Summary: "Hei! Kau itu berniat mengajariku, atau menyiksaku sih sebenarnya?!" / "Ngomong-ngomong, tidakkah menurutmu akan sangat hebat kalau Tsukishima ikut bergabung dengan tim kita?" Hinata kembali membahas hal yang sama. Tanpa sadar ada kilat kecemburuan dalam iris biru gelap yang kini memandanginya.

Warning: Alternative universe. OOC (saya usahakan sebisa mungkin in character, tapi mohon dimaklumi jika tetap terasa out of character). Shounen-ai.

Don't like, Don't read

Rate: T

Genre: Romance

Disclaimer:

Haikyuu! (c) Haruichi Furudate-Sensei

Fanfic: Tutor (c) Hanabi Kaori

Cover Picture (c) 勘 ついった

Main Pair:

Tsukishima Kei x Hinata Shoyo

.

.

.


"Baiklah, besok kau bawa semua hasil tesmu yang mengerikan itu. Kita mulai pelajarannya besok. Setiap pulang sekolah, di perpustakaan."

"Tunggu dulu! Setiap hari? Kau gila ya! dan setelah pulang sekolah aku ada kegiatan klub!"

"Semakin cepat kau bisa menguasai materinya, berarti semakin cepat juga aku akan terbebas dari tugas yang merepotkan ini. Aku juga tidak peduli soal kegiatan klubmu itu, kau bisa ikut kegiatan klub setelah jam belajar kita selesai! Dan tidak ada tawar menawar lagi!"

"Tsukishima! Kau menyebalkaaannnn!"

Iris keemasan pemuda itu berkilat jenaka. Ah, Tsukishima Kei tidak salah. Sepertinya menjadi tutor sementara untuk Hinata Shoyo tidak akan membosankan. Anggap saja sebagai pengisi waktu luang.

.


Tutor —


.

"Ini."

BRUK!

Tumpukan buku-buku tebal itu kini tergeletak begitu saja di atas meja. Hinata hanya bisa menatap tumpukan buku-buku setebal kamus tiga bahasa itu dengan pandangan tak percaya bercampur rasa ngeri. Setetes keringat dingin mengalir turun dari dahinya. Pemuda bersurai orange itu mengangkat wajah untuk menatap sosok tinggi di hadapannya. Sepertinya ada yang perlu diralat... Hinata lebih merasa ngeri ketika menatap sosok Tsukishima yang kini tengah menyeringai senang tepat ke arahnya. Dasar iblis...

"Ini...?"

"Materi yang harus kau pelajari hari ini," jawaban itu terdengar santai, sangat berbanding terbalik dengan respon yang diberikan oleh sang lawan bicara. Ini semua... materi untuk hari ini? Hinata tahu kalau Tsukishima itu menyebalkan, tapi diluar dugaan pemuda itu benar-benar sudah gila!

"Hei! Kau itu berniat mengajariku, atau menyiksaku sih sebenarnya?!" Hinata bangkit dari kursinya, dan menunjuk ujung hidung Tsukishima dengan jari telunjuknya. Masih dengan senyum yang menyebalkan, Tsukishima menepis telunjuk Hinata sebelum balas menjawab. Ia mengambil secarik kertas dari dalam kantung celana, dan memaparkannya tepat di depan wajah pemuda mungil tersebut.

"Lihat baik-baik hasil tesmu ini," Tsukishima mulai menunjuk-nunjuk bagian yang salah. "Bahasa Inggrismu mengerikan! Tense yang kau gunakan sangat kacau. Apalagi kosakatanya, banyak sekali kesalahan dalam penggunaan huruf! Kalau otak kecilmu itu bisa mengingat dengan baik, 50% pengetahuan yang dibutuhkan untuk soal tes ini sudah kita pelajari sejak Sekolah Dasar!"

"Ti—tidak pintar berbahasa Inggris kan bukan masalah... Aku orang Jepang, dan selamanya akan tetap tinggal di Jepang!" Hinata berusaha untuk membela dirinya sendiri.

"Hooo~ jadi semisal ada turis asing yang menanyakan jalan padamu, kau juga akan tetap diam? Atau jika suatu hari nanti Bossmu memberikan perintah untuk melayani tamu dari luar negeri, kau akan pura-pura bisu? Begitu?" Tsukishima terdiam sesaat. Memincingkan kedua matanya, menatap Hinata dengan pandangan mengintimidasi. "Menyedihkan sekali."

"Ugh..." yang barusan itu sangat menusuk. Hinata menciut, sungguh tak bisa membalas ucapan Tsukishima lagi. harga dirinya benar-benar telah dihancurkan oleh sang pemuda berkacamata dengan serangan bertubi-tubi. Merasa menang, Tsukishima mengumbar senyum menjengkelkan dan menarik kursi untuk duduk.

"Sekarang, duduk! Lebih cepat kita mulai, lebih cepat pula kita selesai," Hinata hanya bisa duduk dengan pasrah, tak ingin mengulur waktu lebih lama lagi untuk menghadiri latihan klub voli. "Materi pertama hari ini, penggunaan tense."

Dan berlanjutlah satu jam setengah bagai neraka bersama Tsukishima Kei. Hinata ragu... akankah dirinya bisa bertahan hidup sampai dengan satu bulan ke depan?


-.-.-.-


Bertumpu pada ujung kaki, lalu menghempaskan diri sekuat-kuatnya. Tubuh itu terangkat, melayang di udara. Tanpa perlu membuka mata, cukup hanya dengan rasa percaya. Tangannya terayun, untuk langsung bertemu kontak dengan bola yang melesat di udara. Suara berdebam yang keras menggema ketika bola voli tersebut menghantam lantai gym dengan keras.

"Sekali lagi!" Hinata berseru keras sambil menghapus keringat yang mengalir dari dahinya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Kageyama. Entah sudah berapa banyak toss yang diberikan pemuda bersurai hitam itu untuk Hinata dalam latihan hari ini.

"Hinata, Kageyama, kita sudahi dulu latihan hari ini!" tegur Daichi.

"Eh? Sebentar lagi saja, Kapten!" Hinata memprotes, berlari kecil menghampiri Daichi yang masih sibuk mengenakan jaketnya.

"Tidak bisa! Di luar sudah cukup gelap, dan kalian juga sudah kelihatan lelah!" spiker mungil itu menggembungkan pipinya kesal. Jujur saja ia masih belum puas latihan, lagipula tadi dia terlambat datang latihan.

"Hinata kelihatannya sedang stress ya?" tanya Sugawara, tersenyum lalu menepuk puncak kepala juniornya tersebut dengan lembut layaknya seorang ibu.

"Memang... gara-gara si jelek Tsukishima..." masih dengan wajah kesal, Hinata menjawab pertanyaan Sugawara.

"Salahmu sendiri karena terlalu bodoh," Kageyama yang entah sejak kapan telah berdiri di sampingnya kini juga ikut bersuara. Perempatan jalan terbentuk di wajah Hinata. Bagus sekali Kageyama, kemana perginya kepedulianmu sebagai seorang sahabat huh?

"Sudah, sudah. Hari sudah malam, sebaiknya kita cepat pulang," Sugawara berusaha menengahi kedua juniornya agar tak berdebat lagi. Dengan perasaan terpaksa Hinata tetap mengikuti perintah para seniornya untuk segera pulang. Setibanya di rumah, Hinata tak punya waktu untuk meladeni ajakan bermain sang adik, karena setelah makan malam ia harus langsung berkutat dengan tugas rumah yang diberikan oleh Tsukishima hari ini.

Payah... pemuda berkacamata itu bahkan lebih parah dari pada guru paling killer di sekolahnya. Memang benar Hinata jadi berhasil mencerna materi yang diberikan, tapi cara mengajarnya itu yang jadi masalah! Hinata berjengit ngeri ketika mengingat pelajaran pertamanya hari ini, dan besok masih akan seperti itu lagi? menggelengkan kepala dengan keras, pemuda itu berusaha untuk membuang bayangan mengerikan tersebut dari otaknya.

"Tsukishima jelek..."


-.-.-.-


Ketika mentari terbit esok hari, suara kicauan burung yang merdu harus teredam oleh teriakan panik Hinata yang menggelegar. Panik, tentunya. Tugas dari Tsukishima baru ia kerjakan dua nomor saja, belum lagi kini di kertas tersebut tampak bekas kolam air liur buatannya semalam. Sepertinya ia tertidur tepat diatas kertas tugas pemberian Tsukishima. Hinata sungguh tak bisa membayangkan hukuman macam apa yang akan diterimanya hari itu. Dan memang benar, Tsukishima mengatainya habis-habisan, menambah jumlah tugasnya, dan menaikkan tingkat kesulitan tugas untuknya.

Iblis... Hinata kini yakin 100% bahwa Tsukishima Kei adalah jelmaan iblis.

Hari demi hari terus berlalu sejak Tsukishima mulai bertugas sebagai tutor untuk Hinata. Sudah seminggu lewat, dan kini telah banyak perubahan pada sang pemuda mungil beriris kecoklatan. Dari komentar yang diberikan oleh para pengajar, sepertinya Hinata yang sekarang jadi lebih menaruh perhatian pada penjelasan yang diberikan oleh para guru di dalam kelas. Walau jelas tujuan utamanya agar ia tak perlu meminta Tsukishima untuk mengajarinya ulang.

"Kerjakan soal ini, nomor satu sampai sepuluh," Tsukishima mulai menyerahkan lembar soal untuk dikerjakan. Materi hari ini adalah matematika. Salah satu pelajaran yang membuat Hinata amat tersiksa. Sial... nomor satunya saja sudah susah begini. Masih sibuk berusaha mengingat-ingat rumus untuk mengerjakan soal di hadapannya, ekor mata Hinata tak sengaja melirik ke arah sang tutor. Membatin, enak sekali Tsukishima malah sibuk membaca majalah saat dirinya harus mengerjakan soal yang sulit ini!

"Un?" Hinata mengedipkan kedua matanya beberapa kali ketika lebih jelas melihat cover majalah yang dibaca Tsukishima. Bukan, covernya bukan bergambar gadis seksi dengan baju buka-bukaan kok. Melainkan salah satu atlet bola voli dari tim nasional Jepang. Sadar akan tatapan Hinata yang tertuju pada dirinya, Tsukishima balik menatap pemuda mungil itu dengan pandangan penuh tanda tanya.

"Ada apa? Ada masalah dengan soalnya?"

'Iya! Soalnya terlalu sulit!' Inginnya sih Hinata menjawab begitu. Tapi jangan harap soalnya akan diganti dengan yang lebih mudah, jadi percuma saja. "Cover majalahmu... kau suka voli?"

"Lumayan," senyum merekah di wajah Hinata ketika mendengar jawaban tersebut.

"Aku juga!" balasnya antusias. "Aku bahkan sudah jadi anggota reguler klub voli Karasuno!" Tsukishima memandang Hinata dengan satu alis terangkat, meragukan ucapan pemuda di hadapannya.

"Posisimu?"

"Middle Blocker!" jawab Hinata sembari menepuk-nepuk dadanya dengan bangga. Tsukishima terdiam, Hinata masih menunggu jawaban. Beberapa detik hanya ada keheningan diantara mereka.

"Pffft... Hahaha!" Tsukishima tiba-tiba saja membungkam mulutnya sendiri, sebelum akhirnya tertawa dengan keras. Beruntung dalam perpustakaan kini hanya tinggal mereka berdua saja, penjaga perpustakaan sepertinya tengah pergi keluar sebentar. Hinata menatap bingung Tsukishima yang tertawa lepas di depannya. "Kau? Middle Blocker?" pemuda tinggi itu menunjuk Hinata, lalu kembali berusaha untuk mengendalikan tawanya.

"Memang kenapa?" yang ditunjuk hanya bisa memiringkan kepala dengan wajah bingung. Tidak mengerti apa yang membuat seorang Tsukishima tertawa lepas seperti itu.

"Chibi sepertimu jadi Middle Blocker? Itu tidak mungkin!" Hinata kini mengerti bahwa sedari tadi Tsukishima tertawa mengejek dirinya. meragukan kemampuannya sebagai salah satu spiker andalan Karasuno.

"Tapi aku memang spiker yang hebat! Aku bisa melompat sangat tinggi dan memukul bola melewati net dengan sangat cepat!" masih tak juga menyerah, Hinata kembali meyakinkan sambil menyayunkan tangannya seakan-akan tengah melakukan spike. Tsukishima tak juga mendengarkan, masih dengan senyum mengejek yang ia arahkan pada Hinata. Sesekali tawa kecil juga masih lolos dari bibirnya.

Entah bagaimana, sore itu waktu belajar mereka jadi lebih banyak tepakai untuk membahas tentang bola voli. Hinata yang masih juga keras kepala, dan Tsukishima yang tak pernah berhenti menggoda. Hinata cukup tahu bahwa Tsukishima itu menjengkelkan, tapi untuk hari ini saja... Hinata merasa tak keberatan dibuat jengkel olehnya.

"Jadi sejak kapan kau suka voli?" kini percakapan mereka berubah menjadi obrolan ringan. Hinata lebih memilih untuk mengabaikan lembar soal yang diberikan oleh Tsukishima tadi.

"Sudah kubilang, aku hanya tertarik! Bukan tergila-gila pada voli sepertimu!"

"Sama saja!"

"Jelas beda, Hinata bodoh!" yang dipanggil dengan sebutan 'bodoh' barusan hanya mengerucutkan bibirnya sebal. Biasanya hanya Kageyama yang akan terang-terangan mengatainya bodoh. Bagus sekali, kini sudah bertambah jadi dua orang. "Kakakku juga pemain voli."

"Benarkah?" iris coklat itu berkilat penuh semangat. Tsukishima hanya menatap Hinata dengan tatapan bosan. Berpikir bahwa reaksi pemuda itu terlalu berlebihan. Tidak peduli reaksi atau ejekan macam apa yang diberikan oleh pemuda tinggi itu, Hinata masih terus melontarkan pertanyaan. "Kakakmu hebat sekali!" serunya riang setelah mendengar Tsukishima bercerita tentang sang kakak.

Tsukishima terdiam. 'Ini aneh...' batinnya berbicara. Tidak biasanya ia akan bicara terbuka pada orang lain, jadi kenapa juga ia bercerita sebanyak ini pada Hinata yang kurang lebih baru seminggu ini dikenalnya? Apalagi yang menjadi topik pembicaraan adalah sosok sang kakak yang ia kagumi.

"Hei, Tsukishima!"

"Hn?"

"Kenapa kau tidak ikut bergabung dengan klub voli saja!" Tsukishima menatap Hinata dengan satu alis terangkat. Tak pernah menyangka bahwa sang pemuda mungil akan melontarkan tawaran semacam itu kepadanya. "Maksudku, lihat saja tinggi badanmu itu! Tinggi badanmu itu pasti akan sangat menguntungkan dalam pertandingan!" jelas Hinata lagi dengan menggebu-gebu.

"Aku tidak berminat membuang-buang waktu bersama tim yang lemah," pemuda berkacamata itu kembali mengalihkan pandangan pada majalah yang tengah ia baca, jemarinya mulai membalik-balik halaman dengan perlahan.

"Karasuno bukan tim yang lemah!" iris keemasan itu kembali melirik Hinata yang baru saja berseru dengan nada kesal.

"Kami selalu berlatih dengan keras demi meraih kemenangan. Kami punya Ace, Libero, dan Setter yang hebat. Pemain-pemain yang lainnya juga bisa diandalkan! Karenanya, kami bukanlah tim yang lemah!" ulangnya sekali lagi dengan penuh penekanan. Iris coklat itu menatap lurus ke arah sang lawan bicara. "Selain itu..." Hinata sengaja menggantungkan ucapannya.

"..."

"Kalau Tsukishima ikut bergabung, kami pasti akan jadi lebih kuat lagi!" Tsukishima tak pernah tahu, kenapa kini senyuman itu mengembang di wajah sang lawan bicara. Bukankah seharusnya Hinata marah karena Tsukishima baru saja menghina timnya? Jadi bagaimana bisa Hinata tersenyum sambil mengatakan hal semacam itu? Tidak masuk akal. Ia benar-benar tak bisa memahami pemikiran orang bodoh.

"Jam belajar sudah habis," ujarnya sigkat, lalu menutup majalah yang tengah dibacanya. Tsukishima bisa melihat senyuman di wajah Hinata berubah menjadi raut kebingungan karena belum berhasil menyelesaikan soal yang tadi ia berikan. "Bawa pulang saja soalnya, dan sisanya kau kerjakan sebagai tugas rumah."

"Eh? Sungguh?" Hinata menatap pemuda itu degan pandangan tidak percaya, tumben sekali Tsukishima baik hari ini. Kembali sibuk membereskan alat tulisnya, Hinata melirik ke arah Tsukishima yang mulai berjalan ke arah pintu keluar sembari menenteng tasnya dengan santai.

"Hinata," pemuda tinggi itu berhenti di ambang pintu masuk perpustakaan, memunggungi Hinata yang kini memandangnya bingung. "Tentang tawaranmu tadi... akan kupertimbangkan," dan ia kembali berlalu, meninggalkan Hinata begitu saja. Tanpa sedikitpun menoleh ke belakang, untuk sekedar melihat senyuman cerah yang kembali merekah di wajah sang pemilik iris coklat tersebut.


-.-.-.-


Sudut kanan mata Kageyama berkedut untuk yang kesekian kalinya, berusaha menahan rasa kesal yang sedari tadi ingin ia ledakkan. Salahkan saja Hinata. Setelah pemuda pendek itu terlambat datang latihan, kini ia bahkan berani merusak konsentrasi Kageyama dengan terus mengoceh tidak jelas tentang pemuda bernama Tsukishima yang bahkan wajahnya saja tidak ia kenal. Memang sudah merupakan hal yang biasa bagi klub voli jika Hinata dengan berisiknya mengeluhkan sang Tutor, tapi entah mengapa hari ini ia jadi lebih berisik dari biasanya.

"Lalu kakaknya juga seorang Ace! Hebat kan, Kageyama!" bagus Hinata, jika kau lanjutkan omongan tidak jelasmu itu untuk lima menit kedepan, tidak akan ada seorangpun yang berani membayangkan nasibmu di tangan Kageyama nantinya.

"Bisa saja dia berbohong padamu tentang kakaknya itu," Pemuda bersurai hitam itu perlahan mengelap keringat di wajahnya dengan handuk.

"Dia tidak berbohong!" Hinata merespon dengan penuh kepastian.

"Dari mana kau tahu kalau dia tidak berbohong?"

"Uhm, itu..." Hinata mendadak diam, menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. Bisa ia rasakan pandangan tajam Kageyama kini tengah tertuju ke arahnya. "Entahlah, aku hanya merasa begitu," jawabnya sambil menebar senyum innocent.

Urat kesabaran Kageyama putus detik itu juga, dan detik berikutnya sebuah jitakan hangat mampir di kepala bersurai orange Hinata. Perempatan jalan kini jelas terbentuk di wajah Kageyama. Dasar anak satu ini! Ngotot, alasannya tidak jelas pula.

'Kerasukan apa sih dia?' Tanya Kageyama dalam hati. Apa benar pelajaran tambahan yang diterima Hinata sangat berat, hingga bisa mempengaruhi kewarasannya? "Kau aneh sekali hari ini," ujarnya berterus terang. Hinata yang awalnya masih sibuk mengusap-usap bekas jitakan Kageyama juga ikut terdiam.

"Aneh?"

"Sejak tadi kau terus mengatakan hal baik tentang si Tsukishima itu," lanjut Kageyama lagi. pemuda tinggi itu melipat kedua tangannya di depan dada, seraya menatap Hinata dengan curiga. Pemuda pendek di depannya tak juga menjawab.

Ucapan Kageyama baru saja membuatnya tersadar. Memang aneh... kenapa dia terus-terusan memuji Tsukishima hari ini? Padahal Tsukishima adalah orang paling menyebalkan yang pernah ia kenal. Ah, mungkin karena dia baru tahu bahwa Tsukishima juga menyukai voli. Iya! Pasti itu alasannya. "Orang yang menyukai voli tidak mungkin orang jahat!" jawabnya penuh keyakinan.

"Hah?" dan Kageyama hanya bisa menatap dengan pandangan aneh. Prinsip bodoh macam apa itu?

"Ngomong-ngomong, tidakkah menurutmu akan sangat hebat kalau Tsukishima ikut bergabung dengan tim kita?" Hinata kembali membahas hal yang sama. Matanya berbinar-binar penuh harap ketika membayangkan Karasuno yang akan semakin kuat jikalau Tsukishima ikut bergabung. Tanpa sadar ada kilat kecemburuan dalam iris biru gelap yang kini memandanginya.


-.-.-.-


"Sudah berulang kali kukatakan, aku masih mempertimbangkan tawaranmu! Aku belum pasti akan masuk ke klub voli!"

Menyesal.

Tsukishima Kei sungguh menyesali ucapannya hari itu. Setelah ia berkata akan mempertimbangkan tawaran Hinata, pemuda mungil itu terus saja memburunya. Meminta kepastian jawaban. Awalnya memang biasa saja, tetapi jika setiap sesi pembelajaran mereka terus diawali oleh pertanyaan yang sama setiap harinya... rasanya cukup mengesalkan juga.

"Tinggal bergabung saja apa susahnya sih!" kedua pipi Hinata menggembung kesal, masih tak mau mengaku kalah dalam perdebatan mereka hari itu.

"Berisik!" Tsukishima bangkit dari kursinya dalam sekali hentakan, memandang pemuda di hadapannya dengan mata yang memincing tajam. "Kerjakan saja soal itu dengan benar!" ujarnya lalu mulai melangkah pergi.

"Hei! Mau kemana kau?"

"Bukan urusanmu! Begitu aku kembali, soal itu sudah harus selesai. Atau akan kuberi tugas rumah yang banyak nantinya!"

"Tsukishima jelek!"

Tak repot-repot mendengarkan teriakan kesal Hinata, Tsukishima membuang napas berat. Kenapa setiap hari Hinata tak pernah bosan mengetes kesabarannya sih? Bukannya dia ingin menggantungkan harapan pemuda mungil itu begitu saja, tapi memang dirinya sama sekali belum memutuskan untuk masuk ke klub voli atau tidak. Terlalu banyak pertimbangan. Tsukishima memang menyukai voli, tapi ia tidak ingin konsentrasinya pada bidang akademik terganggu.

Sekarang dia sudah menempati bangku sekolah menengah keatas, dan harus membangun prestasi sejak dini agar bisa dengan mudah masuk ke universitas manapun yang dipilihnya nanti. Karenanya Tsukishima tak ingin terlalu terbuai pada hobinya itu. Lagipula voli kan hanya sekedar kegiatan klub, jadi kenapa si Hinata itu serius sekali menanggapinya?

Dan lagi soal Hinata... Tsukishima tidak tahu dengan kata apa ia harus mendeskripsikan pemuda itu. Berisik, mungkin? Ah, tapi sepertinya kata pendek memang yang paling cocok untuknya. Tsukishima tertawa kecil, mengingat reaksi pemuda itu setiap kali ia memanggilnya dengan sebutan Chibi. Cukup jarang ia menemukan remaja sepantarannya dengan tinggi badan yang dibawah rata-rata.

Kedua kakinya tanpa sadar membawa pemuda berkacamata itu menuju kumpulan rak berisi novel. Sedikit membaca untuk mengulur waktu tak terdengar seperti ide yang buruk. Memperhatikan secara teliti judul buku yang ada, Tsukishima mulai memilih judul yang sekiranya akan ia suka. Semoga ada genre lain selain romance di sini. Jujur saja pemilik iris keemasan ini tidak menyukai cerita berbau romantis atau dramatis layaknya gadis remaja.

Menemukan judul yang cukup menarik, jemari panjangnya menarik satu buku dari dalam deretan. Kata demi kata ia telaah, lembar demi lembar ia lewati. Tsukishima melirik pada jam yang melingkar manis pada pergelangan tangan kirinya. Pukul 4.51 di sore hari. Kurang lebih sudah lewat 30 menit sejak ia mulai membaca novel tersebut. Ceritanya tak buruk. Mungkin besok buku itu akan ia pinjam untuk dibawa pulang, mengingat hari ini dirinya tak membawa kartu perpustakaan.

Meletakkan kembali buku tersebut ke tempat semula, Tsukishima memutuskan untuk mengecek kondisi Hinata. Memang merepotkan, tapi Tsukishima tak ingin dikatai sebagai Tutor yang tak bertanggung jawab. Lagi pula ia hanya memberikan soal sebanyak lima nomor tadi, seharusnya soal-soal tersebut sudah selesai dikerjakan. Seharusnya begitu. Tapi kalau Hinata yang mengerjakan, rasanya dia ragu.

"Hinata," tak mendapat jawaban, Tsukishima mendapati pemuda bersurai orange itu kini tengah tertidur pulas. Tuh kan? Benar saja dugaannya tadi, baru juga ditinggal sebentar. Menggelengkan kepala putus asa, Tsukishima menghampiri meja mereka yang terletak di samping jendela besar perpustakaan. Langkahnya terhenti, hanya berjarak selangkah lagi dari sosok yang kini tengah terbuai mimpi.

Cahaya berwarna jingga menembus masuk lewat jendela besar itu. Sang cahaya membuat surai-surai rambut Hinata semakin tampak cerah mencolok. Wajahnya pun tampak tenang tertimpa cahaya hangat sang mentari di sore hari. Tsukishima meletakkan tangannya di pundak kecil itu dan mengguncangnya pelan. "Oi, bangun bodoh."

"Uhm..." tak juga bangun, Hinata justru mengubah posisi kepalanya yang masih berada di atas lipatan kedua tangan, seraya bergumam tak jelas. Tsukishima terdiam. Setelah Hinata mengubah posisi kepalanya tadi, kini wajah keduanya jadi sangat berdekatan. Mungkin salah Tsukishima juga karena terlalu menundukkan tubuhnya. Angin masuk dari jendela yang terbuka, meniup tirai berwarna putih tipis yang menutupinya hingga bergoyang perlahan.

Tsukishima terpaku. Apakah ini hanya imajinasinya semata, atau memang wajah Hinata terlihat sangat indah dibawah guyuran cahaya jingga? Tsukishima tak tahu apa jawabannya. Seketika itu juga pikirannya kosong. Dan ketika tersadar...

...Tsukishima menemukan dirinya tengah mencium bibir pemuda mungil di hadapannya tersebut.

Iris keemasan itu membulat sempurna ketika menyadari apa yang baru saja ia lakukan, dan secepat mungkin menarik diri untuk memisahkan wajah keduanya. Raut tak percaya tampak jelas di wajahnya kini, Tsukishima yakin ada yang salah dengan dirinya tadi. Kenapa? Kenapa dia sampai harus mencium Hinata? Penekanan lagi, mencium bibir Hinata.

"Ck!" pemuda tinggi itu berdecak kesal. Rasa bingung dan ketidaktahuan membuatnya frustasi. Menyambar tasnya dengan kasar, dan dengan langkah lebar Tsukishima berlalu meninggalkan perpustakaan. Ingin secepatnya pulang dan mengguyur kepalanya dengan air dingin. Tsukishima tak pernah tahu, karena ketika sosoknya hilang di belokan lorong sekolah... kelopak mata itu terbuka, menampakkan sepasang iris coklat yang semakin tampak indah di bawah cahaya senja.

"Tsukishima..."

.


To Be Continued —


.

Balasan review untuk yang tidak log in:

- For Elena oak: Saya ucapkan terimakasih atas review yang telah anda berikan. Ini sudah update, selamat menikmati! :D

- For Zoccshan: Terimakasih atas reviewnya. Senang rasanya begitu tahu ada yang suka pada pair TsukiHina dari Indonesia selain saya! Ah, dan terimakasih kembali saya ucapkan, penulisan saya masih banyak kekurangannya... (-/-)


.

Hana: Terimakasih karena telah menyempatkan diri anda untuk membaca karya saya di fandom Haikyuu ini! :D

Jujur saya sangat bahagia karena fanfic dengan pair yang terbilang cukup rare di fandom Haikyuu Indonesia ini mendapat respon yang positif dari para readers. Dan ternyata bukan hanya saya seorang diri yang menaruh hati pada pair ini! XD

Dan inilah chapter ke 2 dari Tutor! Saya berharap para readers tetap bisa menikmati fanfic ini tanpa rasa bosan. Sebenarnya saya sempat mampet ide di tengah-tengah pengerjaan. Mohon do'akan semoga kejadian yang sama tak terulang kembali. Berhubung di chapter awal adegan Tsuki*Hina'nya kurang, di chapter ini saya usahakan full of Tsuki*Hina.

Kembali saya ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya bagi para readers, reviewers, followers, juga bagi mereka yang telah bersedia memasukkan Tutor ke dalam list favorite! Mungkin cukup sekian, dan sebelumnya mohon maaf jika banyak typo, EYD yang salah, Alur terlalu cepat atau tidak jelas! Yang pasti, Hana juga manusia biasa yang bisa salah! Silahkan tinggalkan review ataupun flame sesuka anda! ^w^

.


'Only stupid Author competing to beat fellow pair ...

fic made with the heart... not by hatred...'

By

Hanabi Kaori