Disclaimer : Aoyama Gosho
"Those we love don't die, for love is immortal"
- Emily Dickinson
.
Shinichi Kudo. Salah satu detektif paling brilian yang pernah dimiliki Jepang. Metropolitan Police Department Tokyo berhutang pada pria itu lebih dari yang mampu ditunjukkannya. Begitu banyak kasus misteri yang tak mampu terpecahkan tapi berhasil diselesaikan dengan cerdas olehnya. Lima tahun telah lewat setelah penyerangan terakhir pada Black Organization dan melambungkan nama Shinichi hingga langit ketujuh—dia menemukan dirinya sedang duduk di meja makan menikmati sarapannya. Kopi hitam pekat panas tanpa gula dan sepotong roti bakar. Pada saat-saat seperti demikian—dia merasakan ketenangan langka. Jarum jam masih sedikit beranjak dari pukul tujuh sementara itu embun bahkan belum mengering tapi Shinichi merasakan kalau hari ini bakal terjadi sesuatu. Kau bisa menyalahkan insting detektif sepenuhnya tapi dia tak pernah salah dalam menebak hal-hal tertentu.
Satu tegukan pelan—Shinichi menikmati kesatnya kopi menjalari tenggorokannya dan menghirup aroma wangi menerpa hidungnya.
Ketenangan pagi itu terusik dengan bunyi kunci pintu depan diputar lalu langkah kaki pelan-pelan mendekat. Shinichi meletakkan cangkir kopinya. Dia menggeser posisi duduknya menjadi lebih nyaman. Bersiap-siap.
Sosok wanita berambut pirang strawberry muncul. Shinichi mengangkat alisnya.
"Penerbangan pertama dari New Delhi?" tebak detektif itu sarkastik. Sebenarnya dia telah mengharapkan kedatangan gadis itu. Dari teleponnya yang terakhir, dia akan tiba ke Tokyo dalam beberapa hari. Haibara Ai atau yang sekarang lebih dikenal dengan nama Shiho Miyano mencibir. "Siapa yang mengijinkan kau minum kopi disini pagi-pagi?" gadis itu menaruh koper besarnya dan tas tangannya—Prada limited edition—ke sofa. Shiho termasuk salah satu tipe wanita yang tak pernah kehilangan keanggunannya walau dalam keadaan apapun. Gaun abu-abu polos yang dikenakannya tampak seperti rancangan disainer terbaru membalut tubuh langsingnya dengan pas. Dia melengkapinya dengan liontin berbandul mutiara. Rambut pendeknya sedikit berantakan tersapu angin dan masih ada titik-titik keringat di dahinya.
"Bagaimana India?" Shinichi tak mengacuhkan tuduhan Shiho, "apa masih tetap panas?"
"Tentu saja panas. Negara tropis—jika kau lupa," balas Shiho.
"Kau menemukan apa yang kau cari disana?" tanyanya menyelidik. Dia detektif. Tentu saja tak pernah puas kalau ada misteri tak terjawab. Apalagi baginya, Shiho Miyano selamanya adalah enigma—tak pernah bisa tertebak olehnya.
Shiho berhenti sejenak, matanya memandang Shinichi untuk pertama kalinya pagi itu. Dia hanya mengangkat bahunya acuh tak acuh. "Tidak ada." Lalu sambungnya sambil mencemooh," Kau tau apa yang kucari disana?"
Shinichi mengangkat sebelah alisnya. "Tidak ada? Jadi tujuan kepergianmu ke India selama ini sia-sia saja? Bukankah sudah kukatakan berkali-kali kalau kau seharusnya tak boleh pergi ke sana sendirian." Dia masih menyimpan kemarahannya karena gadis itu pergi ke India diam-diam selama beberapa hari dan tak memberitahuinya sama sekali. Pria itu mengamati Shiho dengan seksama. Gadis itu terlihat kurus dan wajahnya pucat. Mungkin karena perjalanan berjam-jam dan jetlag masih menguasainya. Dia tau kalau fisik gadis itu tak terbiasa dengan cuaca panas.
"Hakase khawatir. Dia tak berhenti merecokkiku untuk memesan tiket penerbangan pertama ke New Delhi begitu mengetahui kalau kau pergi ke sana. Untung kau menelepon untuk menenangkannya. Kau tak pernah lihat bagaimana dia menjadi panik dan tak bisa tidur nyenyak berhari-hari."
Shiho terdiam—merasa bersalah lalu mengalihkan pandangan matanya. Dia masih lelah dan tak ingin berdebat dengan Shinichi di hari pertama dia tiba ke Tokyo. Kepergiannya ke India telah menghabiskan seluruh staminanya.
"Hakase sudah bangun?" tanya Shiho datar. Matanya menatap cangkir kopi di tangan Shinichi. Detektif itu tertawa, "Belum. Mengenai kopi ini… Aku membuatnya sendiri. Kenapa?"
"Um, kau menggunakan cangkirku." Mata Shiho menyipit dan Shinichi malah mengangkat cangkir itu ke bibirnya dan menyesapnya dengan sengaja. "Salahkan dirimu jika kalian hanya mempunyai dua cangkir kopi. Aku tak mungkin menggunakan punya Hakase, bukan?"
Shiho hanya menghela nafas. Baru satu jam menginjak tanah Tokyo dan dia telah bertemu dengan detektif keras kepala—yang berani-beraninya menginvasi kediaman rumah Hakase. Seharusnya detektif ternama-penyelamat-kepolisian-Japan ini menghabiskan waktunya di Mansion Kudo bersama kekasihnya, Ran Mouri, alih-alih bertengkar di pagi yang cerah ini. Dilihat dari keadaan Shinichi yang masih mengenakan piyama, Shiho menarik kesempulan kalau detektif itu menginap disini. Walau rumah Hakase luas tapi mereka hanya memiliki dua kamar tidur dan satu kamar tamu yang kosong, tak berisi perabot apapun. Gadis itu curiga, sepertinya Shinichi menginap di kamar tidurnya.
Amarahnya bergejolak. Detektif ini tak pernah mengenal kata privasi.
"Kenapa harus India?"
"Kenapa harus India?" ulang Shiho sambil mengernyitkan alisnya. Shinichi mendehem keras. "Kenapa kau harus ke India dan bukankah kau tau kalau negara itu tidak aman bagi wanita yang berkeliling sendirian?"
"Aku tidak sendirian disana," jawab Shiho pendek yang malah membuat rasa penasaran Shinichi membuncah.
"Kau pergi diam-diam menemui siapa disana?"
"Hey, ini urusanku dan jangan ikut campur." Bibir Shiho menipis. Shinichi mencibir, "katakan hal ini pada Hakase setelah dia bangun nanti."
"Ai-kun?" mata Shiho beralih ke Profesor Agasa yang berdiri di depan lorong sambil mengucek matanya, "Ai-kun! Kau baru kembali?"
Gadis itu tersenyum kecil, "Maaf karena membuatmu cemas, Hakase. Aku tak sempat memberitahuimu karena kau pasti akan melarangku pergi."
"Apa yang kau cari di India, Ai-kun?" tanya Hakase, matanya khawatir memperhatikan bagaimana tulang pipi gadis itu menirus—yang malah menambah kecantikannya. Dia juga tak luput menyadari berat badan gadis itu telah turun beberapa kilo. Mungkin makanan disana tak cocok baginya.
"Ini… Passportmu masih berlaku kan, Kudo-kun?" Shiho mengalihkan matanya pada Shinichi yang disambut pria itu dengan menaikkan sebelah alisnya. "Tentu saja. Bukannya aku baru ke Los Angeles bersama Ran tahun lalu?"
"Um… ini…" gadis itu terlihat kesusahan mencari kalimat dan masih dengan tergagap-gagap, "aku butuh suami."
Cangkir di tangan Shinichi terjatuh dan cairan kopinya menyiprat taplak meja dengan sukses. Sebagian cipratannya bahkan mengenai Profesor Agasa yang menatap dengan bengong.
"Hey, itu cangkir kopi favoritku," seru Shiho sebal. Untung cangkir itu tidak pecah.
"Suami? Menikah?" Shinichi mengulangi dengan harapan kalau dia salah mendengar.
"Tentu saja itu pura-pura saja. K-karena nanti mungkin…aku akan didakwa untuk pencurian oleh pihak Scotland Yard."
Untuk kedua kalinya Shinichi bengong lagi pagi itu. Sungguh luar biasa. Kata-kata Shiho bagai bom atom yang menjatuhkan misil untuk memecahkan ketenangan pagi.
"Kau bercanda kan?" tanya Shinichi tak percaya. Profesor Agasa bahkan kehilangan kemampuan untuk berkata-kata. Dia cuma menatap gerak-gerik putri angkatnya dengan khawatir.
"Telah lewat satu jam lima belas menit setelah aku menjejakkan kaki di Tokyo. Mungkin sebentar lagi mereka akan datang."
"Datang? Siapa?" Shinichi bertanya dengan bego. Sepertinya dia kehilangan seluruh kewarasannya dalam sekejap.
"Permata Blue Spark milik Maharaja India hilang. Salah satu pengawalnya ditemukan tewas dan aku orang terakhir yang berada disana. Mereka belum mencurigaiku saat itu karena aku merupakan salah satu dari tim Doctor without Borders. Tapi pasti keberadaanku telah diawasi dan setelah punya bukti yang cukup, mereka pasti akan segera datang untuk menahanku."
"Maharaja India?" alis mata Shinichi berkerut.
"Yah, karena permata itu hanya boleh dilihat oleh wanita yang belum menikah maka hanya aku orang luar yang bukan penduduk lokal—yang boleh menyentuhnya saat itu tapi... ada kutukan yang menyertainya juga…" Shiho menghela nafas panjang, "…Kudo-kun, kau harus mengaku telah menikah denganku. Ugh…dan kita balik ke India."
Shinichi hendak membalas ketika bel pintu depan rumah berdering nyaring. Diikuti dengan ketukan keras berulang kali. Dia dan Shiho saling bertukar pandang cemas.
Gedoran bertambah gencar. Shinichi segera menghambur untuk membuka pintu. Wajah serius Saguru Hakuba dan beberapa petugas polisi menyambutnya.
"Shinichi Kudo," Saguru mengangkat alisnya, "tak kusangka bertemu dengan kau disini."
"Ada apa pagi-pagi kesini?" tanya Shinichi tajam.
"Um, ini rumah Profesor Agasa bukan? Kami membawa surat penahanan untuk Shiho Miyano atas dakwaan pencurian permata milik Maharaja India."
"Kau dari Scotland Yard?" Shinichi menyipitkan matanya. Saguru tersenyum sopan, "Kudo-san, jika kau tak keberatan, kami ingin menemui Shiho Miyano dan akan—"
Perkataannya dipotong Shiho yang berjalan keluar," Aku disini." Katanya dengan nada datar. Saguru menatapnya dengan puas dan hendak menggamit lengan gadis itu ketika Shinichi menghalanginya.
"Tunggu dulu! Aku ikut dengan kalian."
"Kudo-san. Ini tidak ada hubungannya denganmu." Saguru memberi kode pada petugasnya untuk memborgol Shiho tapi Shinichi malah menarik bahu gadis itu, "Aku suaminya. Dia Shiho Kudo sekarang. Apapun masalahnya berarti masalahku juga. Aku yakin kalau istriku tak bersalah. Dan aku akan ikut kalian ke India."
Shiho membelakkan matanya terkejut tapi hanya sebentar karena dia menyadari kalau Shinichi dan Saguru sedang saling menatap dengan penuh intimidasi.
"Baiklah! Aku hanya akan menunggu lima belas menit!" kata Saguru. Shinichi segera berpaling ke Shiho sambil meletakkan kedua tangannya ke atas bahu gadis itu, "Tunggu aku sebentar." Dengan kata-kata terakhir itu, Shiho memperhatikan bagaimana detektif itu berlari keluar rumah menuju Mansion Kudo.
"Miyano-san…atau Kudo-san sekarang, sejak kapan kalian menikah?" ada nada suara tak percaya pada Saguru dan detektif blonde itu menatap Shiho dengan mata berkilat-kilat nakal.
Pikiran gadis itu segera berputar cepat, "Kenapa kau tidak mencari tau sendiri?" balasnya dengan sarkastik. "Dan aku tidak mau diborgol. Hukum Scotland Yard tidak berlaku di Jepang—jika kau lupa. Tenang saja, aku tidak akan melarikan diri."
Profesor Agasa yang melihat segala peristiwa terjadi dengan begitu cepat segera memeluk Shiho, dia membisikkan, "Aku akan mencari Akai-kun dan FBI untuk menolongmu, Ai-kun."
Shiho menggelengkan kepalanya, "FBI tidak terlibat dengan masalah ini, Hakase. Kau tak usah khawatir. Dengan kemampuan yang selalu dibanggakan Kudo-kun, seharusnya dia bisa mencari pencuri dan pembunuh itu dengan sekejap. Tenang saja…"
Profesor Agasa melepaskan pelukannya dan masih terlihat cemas. Shiho segera menenangkan pria tua itu dengan meremas tangannya perlahan.
Dalam sepuluh menit, Shinichi Kudo datang sambil terengah-engah. Dia telah berganti pakaian serta memanggul tas koper dan segera mengambil alih koper besar di tangan Shiho.
"Ayo, Mi—Shiho!"
Saguru yang melihat adegan itu hanya mengangkat alisnya dan memberi kode pada petugas untuk mengikuti mereka menuju mobil hitam besar. Setelah melambaikan tangannya pada Profesor Agasa untuk terakhir kalinya dari balik kaca, Shinichi melirik ke Shiho yang duduk disampingnya. Raut gadis itu seperti biasa—tak terbaca emosinya. Dia tak tau apa yang sedang berkecamuk di pikirannya. Tadi dia tak sempat menghubungi Ran tapi seharusnya kekasihnya ini bisa mengerti bagaimana gawatnya situasi yang sedang dihadapi mereka sekarang. Lagipula Ran sangat menghargai keberadaan Shiho—sebagai partner detektifnya. Yah, walau kadang mereka bertengkar karena Shinichi selalu mencurahkan sebagian besar waktunya untuk menjadi detektif alih-alih bersamanya. Dengan kata lain pria itu lebih banyak menghabiskan waktu bersama Shiho—yang membuat Ran marah besar.
Dia tak ingin memikirkan Ran sekarang. Matanya masih tak lepas dari Shiho. Ada apa dengan kepergian gadis itu ke India selama dua minggu secara mendadak dan tau-tau pulangnya malah menjadi tersangka. Sangat mencurigakan.
"Kalian sudah berapa lama menikah?" tanya Saguru tiba-tiba yang menyentak perhatian Shinichi. Detektif blonde itu duduk di samping Shiho sambil melipat kedua tangannya di atas dada. Sedangkan kedua petugas lain duduk di jok depan dan menjadi supir.
"Ugh, tak biasanya kau tertarik dengan kisah cinta orang lain, Hakuba-san?" balas Shinichi tajam.
Saguru tersenyum kecil tak berusaha untuk membalas lagi. Dia tau kalau pernikahan pura-pura mereka itu untuk menghindari status tersangkanya Shiho Miyano dan dia akan membuktikan kalau tidak ada seorangpun yang bisa menipu Saguru Hakuba. Termasuk dua sejoli yang duduk disampingnya. Dengan mata awasnya, dia memperhatikan betapa polosnya jari tangan Shiho dan Shinichi. Tidak ada cincin kawin disana.
Lihat saja nanti.
Saguru menipiskan bibirnya.
Mobil Bentley hitam itu menderu menembus jalan dengan kencang menuju bandara.
.
.
.
Tbc.
A/N : Gw balik dgn fic baru. Bakal ada kasus penjualan organ, Kaitou Kid, Bourbon, FBI dan Sebastian Michaelis di fic ini nantinya hehe. Akan diupdate tiap sabtu atau minggu.
Thanks for reading ^_^