MINE TO TAKE

.

.

Remake dari novel karya CYNTHIA EDEN

Warning :: Bagi yang pernah membaca novel ini, maaf jika beberapa adegan tidak saya cantumkan, karena saya berusaha menyesuaikannya.

.

.

YunJae

Gia

Mine To Take

.

.

Terkadang engkau begitu menginginkan seseorang...

Terkadang engkau begitu membutuhkan seseorang...

Nafsu bisa berubah cinta.

Dan cinta bisa berubah menjadi obsesi yang mematikan.

.

Chapter 1

Kim Jaejoong menatap gedung yang menjulang tinggi ke langit di hadapannya. Gedung dengan jendela besar dan berkilauan dalam penerangan. Disana terlalu banyak lantai baginya untuk dihitung. Tampak lebih seperti benteng dari pada kantor yang menunjukkan sebuah kekuasaan.

"Nona?" penjaga pintu menatapnya sedikit prihatin di matanya yang gelap.

Ah, mungkin karena dia berdiri di tengah jalan, termangu dan tampak seperti orang yang tersesat. Jaejoong memberikan gelengan kepala cepat lalu balas menatap penjaga itu. Ia mengernyit saat menyadari bahwa orang itu baru saja memanggilnya nona? Jaejoong berdehem kecil lalu merapatkan mantelnya. "Maaf, saya namja." Ujarnya dengan sedikit penekanan. Orang itu tampak terkejut sebelum membungkuk dan meminta maaf pada Jaejoong.

"Kalau begitu mari silakan menuju meja tamu tuan." Penjaga itu mengayunkan tangan menunjuk meja panjang di sebelah kiri pintu utama. Jaejoong sedikit gugup mencermati kamera keamanan yang mengikuti setiap gerakannya. Dengan hati-hati, Jaejoong mendekati meja. "Aku, um.. aku sedang mencari Jung Yunho."

Pria tua yang memakai setelan biru mengangkat alis padanya. "Apakah anda sudah membuat janji?" tanyanya membuat Jaejoong semakin gugup. Dia nyaris tidak mengumpulkan keberanian untuk menuju tempat ini apalagi untuk membuat sebuah janji dengan pemiliknya. Jaejoong menelan ludah, menatap pria tua itu lagi kemudian berjalan berbalik hampir memutuskan untuk pulang ke rumahnya saja.

Aku membutuhkannya.

Jaejoong berhenti lalu membalikkan tubuhnya lagi. "Tidak, saya tidak punya janji."

Jaejoong segera berucap saat melihat mata pria tua itu menyipit padanya. "Nama saya Kim Jaejoong dan saya,... saya adalah teman lama Jung Yunho."

Apa yang baru saja dikatakannya memang tidak sesuai dengan kenyataannya. Tapi Jaejoong sudah putus asa, bahkan dia takut sekarang.

Jaejoong sudah menulusuri seluruh pencarian dalam situs internet. Hingga Jung's Interprace Securities muncul di layar komputernya. Segera setelah melihat namanya, tubuh Jaejoong menegang.

Jung Yunho. Laki-laki itu adalah jalan satu-satunya yang harus ditempuhnya.

Jaejoong tersentak saat pria bersetelan biru itu kembali berucap. "Saya tidak berfikir anda memahami betapa sibuknya tuan Jung, jika anda ingin berbicara dengan salah satu rekan junior disini, saya tidak keberatan untuk menemukan seseorang yang siap untuk anda."

Belum sempat Jaejoong menjawab pria tua itu, telepon di atas meja berdering. "Permisi" dia bergumam lalu mengangkat telepon. Jaejoong mengangguk. Pipinya terasa terbakar. Apakah dia berfikir bahwa ia bisa meminta Jung Yunho untuk membantunya? Setelah semua waktu yang berlalu, setelah sekian lama, mungkinkah laki-laki itu akan ada untuknya? Atau bahkan laki-laki itu sudah tidak ingat lagi namanya.

"Y-ya, sajangnim. Sekarang juga." Jaejoong mendengar pria bersetelan itu gugup dengan nada bicaranya. Pria itu menoleh kembali pada Jaejoong setelah menutup telepon. Pandangan matanya tiba-tiba berubah hangat, dan senyum terlukis di bibir pria itu.

"Anda datang dengan tepat tuan Kim Jaejoong." Pria itu mengulurkan sebuah papan clipboard pada Jaejoong. "Silakan tanda tangan terlebih dahulu, saya akan mengantar anda kemudian menemui tuan Jung."

Pria itu mencuri pandang ke arah kamera keamanan dengan wajah tegang sambil menulis nama Jaejoong dengan gemetar pada buku halaman tamu. Setelahnya, Jaejoong berjalan bersama pria itu menuju sebuah lift. Pria itu memasukkan sebuah keycard dari sakunya, menggeseknya di panel elevator. Pintu itu terbuka seketika dan pria bersetelan biru mempersilakan Jaejoong masuk. "Naiklah ke lantai paling atas, tuan Jung sedang menunggu anda."

Jaejoong berfikir bahwa Yunho bahkan tidak tahu kedatangannya ke gedung ini tapi bagaimana bisa? "Saya tidak mengerti_" Jaejoong bahkan belum selesai berucap saat pintu bergeser menutup dan menyisakan dirinya sendirian dalam ruangan lift itu.

Lift melambat, Jaejoong mengambil nafas dalam-dalam dan keluar saat pintu bergeser membuka.

"Kim Jaejoong ssi?"

Jaejoong menoleh pada seorang wanita cantik berambut pirang yang bergegas menghampirinya. Wanita itu tersenyum "Lewat sini, silakan."

Damn. Jaejoong baru mengingatnya. Yunho pasti telah melihatnya di video camera. Itu menjelaskan segalanya sekarang. Jadi laki-laki itu masih mengingat dirinya. Jaejoong sibuk berfikir saat wanita pirang itu membuka pintu mahoni yang berkilauan. "Kim Jaejoong ssi disini sajangnim."

Jaejoong melangkah masuk dan melihatnya. Orang yang pernah mengajarkannya tentang gairah dan kehilangan.

Jung Yunho.

Ia duduk dibelakang meja, bersandar pada kursinya dan kepalanya miring ke kanan begitu mata musangnya memandangi seluruh tubuh Jaejoong. Tampan bukanlah kata yang bisa digunakan untuk mendeskribsikan Jung Yunho. Seksi, keren dan luar biasa itulah kata-kata yang tepat. Pintu menutup di belakang Jaejoong mengurungnya didalam ruangan itu bersama Jung Yunho.

Yunho bangkit dan berjalan menghampiri Jaejoong, membuat tubuh Jaejoong bergetar.

"H-hallo Yunho." Jaejoong membenci suaranya yang terlihat gugup. Jujur, Yunho memang membuatnya gugup, selalu seperti itu.

"Ini sudah lama sekali." Kata Yunho. Begitu dalam, suara bassnya sempurna dengan wajah yang seksi yang Jaejoong yakini mampu membuat semua wanita bertekuk lutut pada namja ini. Jaejoong menelan ludah, tiba-tiba tenggorokannya menjadi kering.

"Kau terlihat baik Jaejoongie." Jaejoong berharap dapat menekan laju detak jantungnya yang menggila karena panggilan sayang itu. Ia masih diam termakan oleh keterpesonaan.

"Tapi kau tidak di sini untuk mengobrol bukan?"

"T-tidak. Aku tidak kesini untuk itu. Aku_" kata-katanya mengambang saat menangkap kerutan di kening laki-laki Jung itu.

"Kau disini bukan untuk berbasa-basi, bukan untuk seks pastinya. Lalu kenapa kau mencariku?"

Jaejoong menggigit bibirnya. Ini adalah dimana ia harus memohon. Karena tidak ada cara yang dia punya untuk menerima jasa laki-laki ini.

"Seseorang telah mengawasiku."

"Apa yang membuatmu begitu yakin akan hal itu?"

"Karena aku bisa merasakannya." Itu memang terdengar gila. Ketika Jaejoong pergi ke kantor polisi, semua orang disana juga pasti berfikir dia gila.

Yunho tidak berbicara. Sehingga Jaejoong memutuskan untuk berbicara kembali dengan cepat. "Aku tahu ada seseorang yang sedang mengawasiku. Ketika aku ke studioku, ketika aku keluar malam..." ketegangan menyelimutinya.

"Kau berfikir seseorang sedang mengawasimu?"

Melihat ekspresi wajah Yunho, membuat Jaejoong yakin laki-laki itu juga berfikiran sama dengan polisi-polisi. Tapi Yunho tampaknya masih menanti lanjutan dari ceritanya dan mau tidak mau Jaejoong harus menceritakan semuanya. Ya, demi kebaikannya.

"Aku pikir_ " Jaejoong mengepalkan kedua tangannya telihat semakin gugup.

"Orang itu berada di rumahku. Barang-barang yang disusun ulang. Aku tahu itu berbeda saat aku menyusunnya. Pintuku terkunci, tapi ada seseorang yang bisa memasukinya."

Yunho menaikkan alisnya. "Apa yang disusun ulang?"

"P-pakaian."

"Celana dalam" Jaejoong berbisik. "Beberapa celana dalam hilang."

"SHIT" Yunho mengumpat, namun kembali memperhatikan Jaejoong bercerita.

"Polisi tidak percaya yang kurasakan. Mereka tidak melihat tanda-tanda kerusakan di apartementku. Mereka berfikir aku hanya kehilangan laundryku." Jaejoong melirik Yunho dan melihat bahwa laki-laki itu mulai menyadari sesuatu yang sedang terjadi. Jaejoong kembali menggigit bibirnya. "Ini... ini bukan pertama kalinya terjadi."

Yunho terlihat semakin serius menyimak apa yang Jaejoong katakan. "Ketika aku di Jepang, hal yang sama terjadi sebelum kecelakaanku. Ada seseorang yang masuk kedalam apartementku. Dia meninggalkan bunga di kamarku." Yunho menunggu Jaejoong melanjutkan.

Sementara Jaejoong merasakan dadanya nyeri saat ia mencoba kembali bercerita. "Ada bunga-bunga yang bertebaran di seluruh apartementku, tanpa kartu nama atau apapun. Dan apartemenku selalu terkunci."

"Apa kau yakin bunga-bunga itu bukan hadiah dari seorang kekasih?" tanyanya menyelidik. Jaejoong buru-buru menggeleng. "Aku tidak punya kekasih."

Jaejoong bisa melihat Yunho baru saja menghela nafasnya lalu tubuhnya berubah lebih santai. "Aku datang kesini karena aku berharap salah satu agenmu mungkin bisa membantuku. Bahwa kau bisa menempatkan seseorang untuk menindaklanjuti hal ini dan melihat apa yang sedang terjadi. Polisi tidak bisa membantuku. Kuharap kau bisa Yunho." Jaejoong mengucapkan selamat tinggal pada harga dirinya untuk mengungkapkan apa yang baru saja terucap olehnya.

"Kau punya aku Jaejoongie." Kata-kata Yunho seolah menjadi air untuk pelepas dahaganya. Jaejoong tersenyum dan mengangguk. "Terima kasih."

"Yunho, mungkin kita bisa mencari solusi tentang masalah pembayaran_" Jaejoong tersentak sebelum kata-katanya terselesaikan. "Persetan dengan uang." Yunho meraih tangan Jaejoong dan menggenggamnya erat hingga rasanya Jaejoong terbakar oleh sentuhan itu. Bayang-bayang masa lalu berputar dan kembali mengusik pikirannya. Kenangan-kenganan yang menegangkan tubuhnya.

"Kita pasti akan mendapatkan penguntit itu. Percayalah padaku. Tapi sekarang, aku ingin tau apa yang terjadi dengan hidupmu Joongie."

.

.

.

Kim Jaejoong. Dia pernah membintangi sebuah film remaja dan menyentuh semua orang dengan talentanya dalam berakting serta suara luar biasa miliknya. Yunho tidak pernah sedikitpun membayangkan bahwa sosok itu akan kembali padanya. Kali ini semuanya akan berakhir lebih berbeda dengannya dan Jaejoong. Ya, Jaejoong datang padanya dan membutuhkannya.

Keduanya berjalan keluar dari gedung Jung's securities. Jaejoong baru saja berjalan menuju taksi saat lengannya ditahan Yunho, membuat namja cantik itu mengerutkan kening.

"Kita pergi bersama ke apartementmu." Ujarnya dan Jaejoong hanya bisa mengangguk patuh kemudian masuk kedalam sebuah kendaraan ramping, hitam dan menggoda yang menunggu di sebelah pintu lobi.

"Kita akan menuju apartement Kim Jaejoong." Ucap Yunho pada supirnya Park Yoochun. Laki-laki yang cukup tinggi dan berkening lebar. Jaejoong ragu-ragu. Namun ia menyebutkan alamatnya dengan cepat.

Didalam mobil, Jaejoong sedikit merasa risih. Yunho sama sekali tidak melepasakan tatapan darinya. Laki-laki itu seolah menembuskan pedang lewat pandanganya.

"Kau tidak kembali ke Jepang?" pertanyaan itu akhirnya memecah keheningan. Jaejoong mendongak untuk menangkap tatapan musang itu, namun segara menggeleng dan kembali menunduk. Terlalu kuat untuk ditantang. Jung Yunho selalu memiliki mata yang begitu tajam.

"Tidak ada apa-apa lagi bagiku di Jepang." Suaranya begitu tenang dan tidak terlihat sama sekali seperti Jaejoong. "Aku mengalami.. kecelakaan."

"Aku tahu." Yunho mengetahui semua kisah itu. tidak ada yang tidak mengenal Kim Jaejoong. Seorang aktor dan penyanyi yang terjebak dalam kecelakaan mobil di malam badai. Ia sudah bernyanyi di panggung begitu bersinar di Jepang. Dan dia hampir tidak selamat dari kecelakaan itu.

"Aku sudah terapi pada suaraku, hanya saja tidak seperti... tidak seperti sebelumnya." Jaejoong menggelengkan sedikit kepalanya. Kecelakaan itu hampir merusak pita suaranya karena pecahan kaca. "Panggung itu bukan untukku lagi."

"Itu sebabnya kau kembali ke rumah?"

Rumah? Jaejoong merasakan hatinya berdenyut. Satu-satunya rumah adalah bersama Yunho dulu. Mereka adalah dua anak asuh di panti asuhan yang terombang ambing melalui prosedur berulang kali. Jaejoong bertemu dengan Yunho ketika dia berumur tiga belas tahun. Hanya berbeda dua tahun. Dia lebih muda dibangingkan Yunho. Kenangan itu terlalu indah dulu.

"Itulah sebabnya aku pulang ke Seoul. Aku menabung untuk mendirikan studio. Aku akan mengajar disini. Ku rasa aku masih bisa melakukan itu."

"Uang adalah sebuah masalah." Ungkapnya. Yunho menarik sudut bibirnya mendengar itu.

"Aku akan mencari cara untuk membayarmu. Aku bisa melakukannya, hanya saja beri aku beberapa waktu."

Yunho kembali meraih tangan Jaejoong, membawanya kedalam genggaman hangatnya di atas pangkuannya. "Kau seharusnya datang padaku lebih cepat Jae." Mengabaikan pembicaraan tentang uang, ia memilih topik lain. Yunho benci memikirkan Jaejoong berada sendirian diluar dan ketakutan seperti apa yang dilihatnya saat pertama kali melihatnya kembali di kantornya tadi.

Jaejoong menarik tangannya saat mobil mulai melambat membuat Yunho terkesiap. "Kurasa kita sudah sampai." Tapi Yunho tidak melepasakannya. "Kau bilang tidak dalam komitment."

"Yun..."

Suara yang memanggil namanya itu membuat tubuh Yunho bergetar. Tanpa komado apapun, Yunho meraih tengkuk Jaejoong dan bibir mereka bertemu. Jaejoong selalu terasa manis dimata Yunho, beraroma sangat baik dan menguarkan vanila yang menggelitiknya. Sangat bagus untuk dimakan.

Yunho merenggut mulutnya tidak dengan lemah lembut atau pelan-pelan, karena Yunho bukanlah pria semacam itu. Yunho sangat tahu bahwa dirinya bukanlah tipe kekasih yang lemah lembut. Ia mendorong lidahnya merasakan sensasi luar biasa yang selalu diperolehnya dari Jaejoongnya.

Dialah yang mengajari Jaejoong bagaimana sebuah ciuman.

Dan bercinta.

Yunho memperdalam ciumannya, menginginkan lebih, jauh lebih banyak dari pada yang bisa dia dapatkan. Jaejoong datang padanya dalam ketakutan, tapi Yunho tidak tertarik dengan ketakutan itu. Ia menginginkan gairahnya, dia menginginkan Jaejoongnya.

Jaejoong menarik diri. Bibirnya basah dan merah karena ciuman itu. Ia membuka pintu mobil dan keluar. Mengabaikan rasa dingin udara yang menyapa kulit wajahnya lalu menatap apartementnya. Bangunan tua, wilayah kumuh yang berada diluar kota. Sangat berbeda saat ia tinggal di Jepang. Tempat tinggalnya begitu besar,dan mewah.

Tagihan rumah sakit telah mengambil banyak uangnya. Membuatnya harus kembali dimana ia bukanlah apa-apa. Bukan Kim Jaejoong yang tenar dan berlimpah kekayaan.

"Tunggulah disini." Printah Yunho pada Park Yoochun. Lalu dia sendiri berjalan bersama Jaejoong ke dalam gedung apartement.

"Aku berada di lantai tiga. Lantai paling atas." Kata Jaejoong. Yunho memperhatikan sekelilingnya. Ya Tuhan, tempat ini bahkan seperti rongsokan. Pikirnya. Tidak ada keamanan dan orang asingpun bisa melakukan apapun disini. Catnya mengelupas di dinding. Lampu yang berkedip-kedip atau lampu yang tidak menyala sama sekali. Sangat miris.

Sial

Maki Yunho dalam hati.

Mereka sampai di lantai tiga apartement 501. Jaejoong mengambil kunci apartementya. Lalu Yunho meraihnya dan membungkuk meneliti gembok tua berwarna keemasan. Tidak ada tanda-tanda seseorang telah mencoba masuk untuk mencongkelnya. Tidak ada gangguan sama sekali. Yunho memasukkan anak kunci lalu membukanya mempersilakan Jaejoong untuk masuk lebih dulu.

Apartement itu kecil tapi sangat bergaya dengan Jaejoong. Warna-warna cerah menghiasi dinding, mebel yang nyaman mengisi interiornya. Tirainya di tarik mendekati jendela, membiarkan cahaya masuk mengisi ruangan.

Dan tempat ini beraroma Jaejoong.

Yunho berjalan mendekati jendela. Semua aman, terkunci dan tidak ada tanda-tanda gangguan.

Suara Jaejoong mengalihkan Yunho dari jendela. "Aku tahu apa yang kau lakukan. Detectif Shim juga tidak menemukan tanda-tanda kerusakan. Tapi aku yakin seseorang telah berada disini."

"Apakah aku bilang aku tidak mempercayaimu?"

Jaejoong menggeleng. Ia berjalan menuju sebuah lorong sempit dan berujung pada ruangan yang berisikan tempat tidur dari kayu tua, sebuah laci yang dicat biru tua dan menunggu untuk dibuang. Lalu sebuah meja rias di sebelah kanan. Tidak ada yang aneh atau tampak terganggu. "Kapan terakhir kalinya kau berfikir orang itu ada disini?"

"Tadi malam." Jaejoong menatap tempat tidurnya. "Ketika aku pulang tadi malam, pakaian dalamku tertinggal di tempat tidur."

Yunho menatap tempat tidur.

"Aku ingat tidak meninggalkan apapun di tempat tidur." Lanjutnya dengan suara tercekat. "Aku sangat yakin semua dalam keadaan bersih saat aku meninggalkan apartement. Kupikir ada orang yang melakukan permainan denganku."

Yunho menggeleng. "Aku tidak berfikir itu permainan. Ada seseorang yang menguntitmu."' Yunho menjauhi tempat tidur dan berjalan kembali kesamping Jaejoong. "Seseorang seperti ini bisa sangat berbahaya." Tatapan mereka bertemu.

"Kedengarannya seperti orang yang terobsesi padamu."

Jaejoong menjadi gelisah. Kedua tangannya saling menggenggam. "Kau bisa menemukannya, kan?"

"Aku bisa. Agenku akan mengawasi tempatmu. Tidak ada seorangpun yang akan masuk kesini lagi."

"Terima kasih."

Yunho tersenyum dan menyentuh pundak Jaejoong. "Aku akan mendapatkan kunci yang lebih baik untuk pintu dan jendelamu. Kau akan... aman." Jaejoong mengangguk tapi alisnya berkerut saat melihat wajah Yunho.

"Tapi kau akan lebih aman jika pulang kerumahku."

Mata Jaejoong melebar. "Yunho..."

"Aku butuh bantuanmu Yun. Tapi tidak lebih dari itu."

Yunho terdiam. Ia mengalah untuk kali ini, tapi tidak untuk lain kali. Jaejoong pasti akan bersamanya lagi. "Kalau begitu aku akan memulai perlindunganmu. Setidaknya ini yang bisa kulakukan untuk teman... lama?"

Yunho mengawasi ekspresi wajah Jaejoong lalu melanjutkan ucapannya. " Kita berteman sebelum kita menjadi sesuatu yang lebih." Katanya lembut seperti bisikan, Jaejoong mengangguk. Yunho mengeluarkan teleponnya saat menuju pintu keluar. Jaejoong bisa mendengar nada bicara laki-laki itu yang terdengar menuntut. "Aku ingin agen di apatement Kim Jaejoong. Kunci baru, kamera video, dan alarm masuk. Aku ingin satu tim pengawas disini."

Dia memiliki kekuasaan. Yunho bukanlah anak yang terbuang dan tidak punya uang lagi. Dia memiliki orang-orang yang siap mentaati semua perintahnya. Yunho menoleh kembali pada pintu apartement Jaejoong. Ya, dia memiliki kekuasaan dan pasti akan menggunakannya.

.

.

.

Jaejoong menatap bayangannya sendiri. Terlalu pucat, dan kurus. Ia merasa itu bukan dirinya. Sama sekali tidak terlihat seperti bintang yang menjadi pusat sorotan lampu. Tempat ini adalah satu-satunya yang ia miliki. Meskipun studio ini telah mengambil uang terakhirnya, Jaejoong tahu bahwa ini adalah peluangnya melakukan sesuatu untuk mengembalikan hidupnya. Studio adalah Jaejoong dan ia akan membuat tempat ini bekerja.

Jaejoong baru akan beranjak dari tempatnya di depan cermin saat tiba-tiba lampu padam dan menjerumuskannya dalam kegelapan total. Padahal Jaejoong sudah meminta pemilik gedung ini untuk memperbaiki masalah ini. Tapi sepertinya ini tidak dikerjakan. Desiran suara terdengar samar-samar ditelinganya . Seperti langkah kaki sepatu.

Jaejoong membeku. "Apakah ada orang disana?"

Lantai berderit, Jaejoong kenal suara deritan itu. Ya, setiap kali ia memasuki studio, ada satu lantai rusak yang akan berderit jika di injak.

Jaejoong tidak sendirian.

Tap

Tap

Jaejoong mundur hingga tubuhnya membentur cermin. Dia bisa merasakan sesuatu yang mulai mendekat padanya. Saat Jaejoong bersiap lari, dua tangan besar meraihnya. Mengunci erat dan memeluk perutnya. Jaejoong menyentak tubuhnya, tapi tangan itu memeluknya begitu erat dan sangat sakit.

'Aku telah mengawasi...' suara serak itu berhembus di lubang telinganya. Sosok ini lebih besar dan kuat dibanding dirinya. Satu kesalahan orang itu, ia tidak membekap mulut Jaejoong sehingga sebuah teriakan meluncur keluar memenuhi ruangan. "Lepaskan! Tolong aku!" Jaejoong berteriak sekeras mungkin. Agen Yunho sedang berada diluar, pasti mereka mendengarnya.

Prang

Sosok itu membanting Jaejoong ke cermin. Kacanya pecah dan berserakan di sekitarnya. Jari-jarinya membungkam mulut Jaejoong.

Jaejoong merasakan kepalanya begitu berdenyut dan sakit dimana ia telah membentur cermin. Nafas sosok itu meniup daun telinganya.

"Aku akan menjadi satu-satunya." katanya dalam suara rendah dan kasar.

.

.

MINE TO TAKE

YunJae

.

.

.

To be continue