Orang bilang kebetulan di sekeliling kita dibawa oleh seorang dewi berparas cantik yang memiliki sepasang sayap besar di punggungnya. Dimana dewi itu berada, pasti akan terjadi kebetulan disana.

Bodoh.

Siapa sih yang percaya dengan hal semacam kebetulan? Bahkan legendanya terdengar menggelikan.

Tapi sayangnya, ada dua orang di dunia ini yang mempercayainya.


Scar

-Chapter 1-

Author's note: Typo(s), AU, harsh word, Rated T+


"Ackerman!"

Dua kepala menoleh ke asal suara tersebut.

Moblit bergidik ngeri melihat dua pasang mata menanggapi teriakannya barusan, "uhh.. maksudku Ackerman yang perempuan." Keringat dingin hampir keluar.

Salah satu dari dua orang yang menoleh barusan menghampiri lelaki yang dikenal sebagai guru kimia tersebut. Yang satu lagi mendecih dan pergi sebelum bertatapan mata dengan satu yang ada di depan Moblit.

"Saya Mikasa Ackerman, ada apa sensei?"

Moblit menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal, bingung dengan atmosfer intens barusan.

"Kemarin surat pemberitahuannya sudah dibagikan ke seluruh kelas?," tanya Moblit.

"Sudah sensei, aku juga mengantarkannya ke rumah Marco yang masih sakit."

"Oh, terima kasih Ackerman."

Mikasa membungkukkan badannya lalu kembali berjalan menuju kelasnya. Gadis berambut hitam sebahu itu mengintip arloji di tangan kanannya, tinggal lima menit lagi sebelum bel masuk. Pagi ini ia terlambat karena bus yang ia naiki terjebak macet.

Mikasa segera berlari memasuki gedung menuju ruangan kelasnya di lantai tiga.

Dari dalam kelas lain, Levi memperhatikan gadis itu berlari melewati koridor kelasnya lalu mendecih. Sejak tahun pelajaran baru dimulai, Levi jadi makin sering mengerutkan dahi dan alisnya.

"Yuhuu! Ackerman kecil!" seru perempuan berkacamata yang berdiri di ambang pintu. Perempuan tinggi yang akrab dipanggil Hanji tersebut berlari menuju meja Levi dan tertawa kecil.

"Ketahuan lhoo, aku melihatmu memperhatikan anak kelas satu itu." Hanji cekikikan sendiri dan membuat kerutan antara kedua alis Levi makin jelas. Levi menarik nafas panjang, berusaha mengacuhkan makhluk berkacamata yang merupakan sahabatnya sendiri itu.

"Aku jadi ingat kejadian di awal tahun, upacara pagi itu tidak ada yang bisa mengalahkan deh," kata Hanji.

Levi menggerutu, beraninya Hanji mengingatkannya dengan hal tersebut.

.

.

"Dan sekarang sambutan dari wakil murid baru, Ackerman silahkan maju ke atas panggung."

Barisan kelas tiga tiba-tiba menjadi berisik.

Levi yang merasa memiliki nama marga tersebut langsung menaikkan alisnya, dan orang disekelilingnya menatapnya dengan kebingungan. Tentu saja, karena semua tahu Ackerman yang mereka kenal, si peraih nilai tertinggi di sekolah tersebut sudah menduduki kelas tiga sekarang.

"Ah maaf, Mikasa Ackerman silahkan maju ke depan." Erwin menambahkan setelah mendengar sedikit keributan di tengah lapangan.

Lelaki yang jadi sorotan tiba-tiba barusan menaikkan alisnya lagi, "Mikasa Ackerman?" gumam Levi.

Segera saat itu pula seorang gadis tinggi berambut hitam maju ke atas panggung, gadis itu memakai syal merah di lehernya. Warna biru di dasinya menandakan bahwa ia masih junior. Keributan di sekitar Levi berhenti saat melihat sosok gadis itu berjalan kedepan mendekati mikrofon di atas panggung.

"Selamat pagi," sapa gadis itu datar sambil melihat kerumunan, sama sekali tidak ada senyum di bibirnya. Kedua mata mereka bertemu dan Levi membalas tatapannya dengan tajam.

"Saya perwakilan dari murid baru, Mikasa Ackerman. Saya harap para senior kelas dua dan tiga dapat menerima kami dan membimbing kami selama tahun ajaran baru ini." Mikasa mulai berbicara dengan lancarnya tanpa menggunakan catatan apapun, sesekali matanya bertatapan dengan Levi tapi hanya dalam waktu sepersekian detik.

"Kami murid baru memohon bantuan kakak kelas semua, dan juga dari para guru," kata Mikasa sebelum ia membungkuk 90 derajat, ia masih tidak tersenyum. Gadis itu menuruni panggung dan kembali ke barisan anak kelas satu yang ada di paling kanan.

Mata Levi tidak lepas dari sosoknya sampai ia menoleh kearah Mikasa berjalan, mencari sosok tersebut yang hilang di barisan. Otak Levi dipenuhi tanda tanya.

"Ackerman.." Levi mendecih seraya seluruh barisan dibubarkan.

"Paling ia hanya anak baru sialan seperti yang lainnya." Levi membalikkan badannya mengikuti arus bubar murid-murid sambil membuka kancing blazer sekolahnya. Matanya kembali menemukan Mikasa di tengah kerumunan, gadis itu berjalan dengan dua laki-laki yang sepertinya adalah temannya.

"Levi! Oi! Levi Ackerman! Tunggu!"

Levi menghentikan langkahnya dan memejamkan matanya, kerutan-kerutan amarah terukir di dahinya. Teriakan yang sudah sangat ia kenal tersebut tiba-tiba saja membuatnya ingin membunuh si pemilik suara. Akibat teriakan bombastis tersebut beberapa murid yang masih berada di dalam lapangan menoleh ke arahnya.

"Apa maumu kacamata sialan?" gerutu Levi pada Hanji yang menghampirinya sedikit terengah-engah.

"Ehhh tadi kau ada di barisan mana sih? Aku tidak melihatmu tadi," kata Hanji sedikit sambil memajukan bibirnya.

"Levi.. Ackerman..?" gumam seorang laki-laki yang berada tak jauh dari mereka berdua.

Levi menoleh ke arahnya, ia salah satu teman gadis itu.

"Hoo, kau yang tadi maju ke depan bukan?" Mata Hanji terlihat berkilauan saat melihat Mikasa disebelah lelaki pirang yang barusan mengucapkan nama Levi.

"Hei! Hei! Levi! ayo kita menyapa mereka." Hanji menarik dasi Levi menuju tiga orang murid baru tersebut. "Oi oi kacamata gila! Lepaskan! Dasar tidak waras!" seru Levi makin membuat mereka menjadi perhatian para murid.

"Haai murid baru! Aku senior kalian, namaku Hanji Zoe," kata Hanji dengan senyum uniknya yang seperti biasa. Ia menepuk pundak mereka satu-satu.

Ketiga murid tersebut terlihat kebingungan dengan sikap Hanji. Tapi tidak bagi murid lainnya, mereka sudah terbiasa dengan sikap perempuan nyentrik tersebut.

"Saya Eren Jaeger, mohon bantuan senior!" seru lelaki berambut coklat. "Saya Armin Arlert, mohon bimbingan senpai!" Lelaki berambut pirang tersebut juga ikut membungkuk.

Levi mendecih dan membuang mukanya, ia terlanjur diseret Hanji.

"Ah iya, ini Levi Ackerman, ia juga senior satu kelas denganku," jelas Hanji sambil menunjuk lelaki pendek di sebelahnya itu. Armin dan Eren menatap Levi tidak percaya, lalu mereka berganti menatap Mikasa yang ada di sebelah mereka.

Mikasa yang daritadi diam membungkuk pelan dan berdiri kembali, "Saya Mikasa Ackerman."

Kata-kata Mikasa barusan benar-benar memacu ekspresi mengerikan dari Hanji, senior perempuannya itu tersenyum lebar. Sangat lebar, sampai-sampai murid yang memperhatikan mereka merinding ketakutan. Ia mendekati Mikasa hingga jarak diantara wajah mereka hanya tersisa beberapa senti.

"Ackerman huh? Hei Levi, kau tidak pernah bilang kalau punya saudara perempuan," kata Hanji lalu menoleh ke arah Levi. Lelaki itu membetulkan dasinya yang berantakan lalu menatap Hanji.

"Omong kosong, aku tidak mengenalnya sama sekali," kata Levi.

Mikasa menatap Levi yang sekarang berdiri tepat di depannya, yah.. menatap ke bawah lebih tepatnya.

"Tapi kenapa kalian punya marga yang sama?" ujar Armin, "setauku Ackerman bukan jenis nama marga yang pasaran," lanjutnya.

"Ini kali pertama aku melihatnya Armin," kata Mikasa, tatapannya masih tidak lepas dari Levi, "kebetulan semata."

Ujung bibir Levi tertarik. "Ya, kebetulan yang sangat sial," sahutnya.

"Pfft.." Hanji menahan tawa, "tapi bagaimanapun juga aku melihat kalian berdua benar-benar mirip."

Levi dan Mikasa menoleh padanya bersamaan, mereka terlihat kesal.

"Kalian bercerminlah! Ekspresi kalian itu sama-sama dapat membuat anjing galak kabur ketakutan, tapi sayangnya Levi—" Hanji berhenti sebentar untuk menahan tawa, "—kau hanya kurang tinggi sepuluh senti." Dan tawa Hanji meledak.

Tapi murid-murid yang menonton pertunjukkan gratis tersebut malah terdiam. Mereka seakan sudah mengenal sifat Levi jika ada yang menyinggung tinggi badannya. Eren yang mengerti lelucon tersebut dan tidak bisa membaca keadaan malah ikut tertawa dengan Hanji.

Levi yang sudah naik pitam langsung saja mengarahkan tinjunya ke pipi Eren, tidak sekuat tenaga tapi cukup untuk membuatnya terjatuh. Tapi Levi tidak menyangka Eren akan terjatuh menghantam lantai dengan muka.

"Tch.. dasar lemah.."

"Akh! Ada apa dengamu ini senpai!" seru Mikasa yang melihat kejadian pemukulan Eren barusan di depan matanya dengan wajah horror. Oh Levi sudah membangunkan singa yang ada di dalam Mikasa, apalagi Levi sampai membuat sahabatnya itu mimisan.

"Oi Levi! kenapa kau memukul murid baru!"seru Hanji yang membantu Eren berdiri.

"Aku hanya memberinya pelajaran bagaimana cara menghormati senior—" ujar Levi sampai sebuah tinju lain menghantam pipi Levi yang belum selesai bicara. Mikasa dengan sekuat tenaga yang dimilikinya melepaskan pukulan tersebut dan mengenai wajah Levi, seniornya itu sedikit terhuyung akibat pukulan yang datang tiba-tiba tersebut. Armin yang sedang menangani Eren langsung bangkit menghampirinya.

"Beraninya kau menyakiti Eren!" Mikasa bersiap untuk memberikan pukulan yang lain tapi beruntung Armin menahan gadis tersebut. Pukulan Mikasa yang tadi biasanya bisa membuat orang dewasa terjatuh, Armin masih tidak percaya dengan yang ada di hadapannya sekarang.

Levi menyentuh ujung bibirnya dengan jari dan melihat darah segar disana, "bocah sialan," gumam Levi, "beruntung sekali kau seorang perempuan kalau tidak kau sudah habis disini."

Mikasa setengah berteriak, "Jangan pernah dekati Eren lagi, dasar pendek sialan!"

Amarah Levi makin terbakar, takpeduli Mikasa itu perempuan ia sudah menarik syal merahnya, beruntung Erwin, sang kepala sekolah, datang karena mendengar keributan dan membubarkan keramaian tersebut.

Mereka semua terpaksa digiring menuju kantor kepala sekolah karena sudah berkelahi di depan umum. Tapi beruntungnya Hanji yang merupakan saudara dekat Erwin dapat menjelaskan bahwa kejadian pagi itu benar-benar tak terduga. Yah.. walaupun sebagian besar karena koneksi, tapi mereka semua berhasil keluar dari masalah tersebut tanpa hukuman apapun.

Levi mendecih, ia melihat Mikasa membuang tatapan tajam padanya sebelum membantu Eren berjalan. Lelaki itu menatap biang kerok dari semua kejadian ini, sahabatnya sendiri yang tampak pura-pura tak bersalah. Kerah Hanji ditarik Levi dengan sangat kasar sampai-sampai perempuan itu jatuh di atas bokongnya, Levi menyeretnya keluar dari kantor Erwin menuju kelasnya.

"Akh! Levi! Oi! Oi!," kata Hanji tapi tarikan Levi makin kasar, "baiklah! Baiklah! Aku diam!"

Hanji melambaikan tangannya kearah tiga murid baru tersebut seraya Levi menyeretnya.

"Bye-bye Armin, Eren, dan Ackerman besar!" seru Hanji.

"Lihat saja, akan ku hancurkan laboratorium aneh di garasimu nanti, kacamata bajingan," gumam Levi.

.

.

Singkat cerita, sejak saat itu ada dua orang bermarga Ackerman di sekolah tersebut. Dan kedua orang tersebut bermusuhan, layaknya anjing dan kucing.

Levi Ackerman adalah senior kelas tiga yang memiliki sejuta prestasi. Sekilas ia benar-benar terlihat seperti kekasih idaman, tetapi temperamennya sangat buruk dan jangan lupakan tinggi badannya yang sedikit.. yah.. kurang berkembang.

Sedangkan Mikasa Ackerman ialah murid kelas satu. Terlepas dari kejeniusannya yang membuatnya menjadi perwakilan murid baru saat itu, Mikasa juga merupakan idola banyak laki-laki di sekolahnya. Apalagi sejak kejadian setelah upacara tahun ajaran baru, Mikasa menjadi sorotan semua kelas. Tapi semua mundur serentak saat mengetahui Mikasa memegang gelar sabuk hitam kelas dua di karate.

Jika dua manusia itu bertemu, atmosfer di sekitarnya entah kenapa berubah menjadi gelap. Mereka akan saling melempar tatapan mematikan, padahal Eren sudah meminta maaf atas namanya dan Mikasa pada Levi. Walaupun pada saat itu Mikasa tidak ikut, gadis itu bilang ia tidak pernah memaafkan orang yang sudah melukai Eren.

.

.

Suara desahan nafas berat itu keluar berkali-kali dari mulut Mikasa. Peluh berjatuhan kepalanya, rambut hitamnya yang tadi diikat ke belakang sekarang terurai. Gadis itu menggertakkan giginya saat serangan itu datang lagi.

"Ukh!" seru Mikasa saat sebuah tendangan mendarat di perutnya. Ia segera berguling ke belakang dan memegang perutnya.

"Ada apa Mikasa Ackerman?" Lelaki yang barusan menendangnya tersebut menghampirinya sambil mengencangkan sabuk berwarna hitam di pinggangnya, "kau mengaku sudah kalah?"

Mikasa berdiri dengan susah payah, tendanganbarusan membuat kuda-kudanya makin longgar.

"Tidak akan pernah, senpai."

Gadis itu menarik leher Levi dalam waktu sekejab, beruntung lelaki itu sedang kehilangan fokus. Mikasa menarik seragam putih Levi dan sedikit mengangkatnya ke udara sebelum gadis itu menjatuhkannya dengan keras ke matras.

Kerumunan yang menonton latihan tanding tersebut mendecak kagum.

"Tidak mungkin.." ujar suara di kerumunan, "ia sudah menjatuhkan Levi dua kali."

Mikasa menyiapkan kuda-kuda nya lagi, tapi kali ini ia tidka bisa berdiri dengan tegap. Nafasnya makin menderu setelah membanting Levi barusan.

"Tidak buruk," kata Levi sambil memasang kuda-kudanya juga,"tapi aku sudah menjatuhkanmu enam kali, Mikasa."

Levi memperhatikan gadis yang sudah kacau tersebut. Mereka sudah bertarung hampir selama sepuluh menit non-stop. Lelaki itu sedikit terkesan, gadis itu bahkan lebih hebat daripada lawan-lawannya selama ini.

Mereka berdua saling memegang seragam lawan masing-masing, "menyerahlah Mikasa Ackerman, kau sudah kalah," kata Levi, ia sedikit terengah-engah tapi tidak seburuk Mikasa.

"Aku masih—" Nafas Mikasa tersengal tak karuan, "—bisa melawanmu."

Levi yang melihat pertahanan Mikasa sedikit terbuka langsung mengunci kakinya, menyapu kaki Mikasa dan membuatnya terjatuh. Gadis itu jatuh telentang tapi Levi menahan sikutnya agar Mikasa tidak bergerak. Levi mengarahkan tinjunya di depan wajah Mikasa, gadis itu langsung memejamkan mata.

"Aku menang."

Mikasa membuka matanya, kepalan tangan Levi masih disana tapi tidak menyentuhnya. Kemudian Levi melepas kuncian tangannya, lawannya tersebut jatuh perlahan di atas matras, untuk yang kesekian kalinya. Penonton dadakan yang daritadi setia menonton pertarungan luar biasa tersebut langsung bertepuk tangan riuh sampai mereka semua di hadiahi death glare dari dua Ackerman yang ada di depan mereka.

Kerumunan itu segera bubar dari sana, hanya tersisa Armin dan Eren.

Levi mengulurkan tangannya pada gadis itu, "tidak buruk—" Mikasa mendecih mendengar seniornya tersebut, gadis itu meraih tangan Levi dan berdiri. Yang senior mendekatkan bibirnya ke telinga junior, "—tapi jauh masih kurang untuk dapat mengalahkanku." Lelaki itu berjalan keluar dari arena dan mengambil tasnya.

Mikasa mengepalkan tangannya, "sial.."

Armin menghampiri Mikasa dan memberikannya minum, Eren menjatuhkan handuk ke atas kepala gadis itu.

"Kau baik-baik saja?" tanya Eren, "tendangan Levi di perut mu tadi itu terlihat cukup keras."

Mikasa memegangi perutnya, "perutku tidak apa-apa, tapi—"

"Oi Mikasa," panggil Levi, gadis itu menoleh ke arah pintu keluar. Ia melihat lawannya barusan itu menaikkan ujung bibirnya sedikit, seperti senyum mengolok.

"Tepati janjimu," ujar Levi, kemudian ia berjalan keluar dari dojo. Mikasa menggigit bibir bawahnya hingga hampir meninggalkan bekas.

"Chibi sialan itu… Mati kau Chibi Bodoh!"

"janji apa Mikasa?" tanya Armin pada sahabatnya tersebut. Eren ikut-ikutan melempar pertanyaan yang sama. Nafas Mikasa yang sudah kembali ke alur yang biasa membuat gadis itu dapat berpikir lebih jernih sekarang. Mikasa mencoba mengingat kejadian kemarin.

"Err.. Kemarin aku, secara tidak sengaja membuat kesepakatan dengan Levi—" Raut wajah Mikasa mengeras,"—tapi aku sama sekali tidak menyangka akan begini jadinya."


Eren memeras lap yang sudah kotor di ember yang bertuliskan angka 1-1. Ia, Armin dan Mikasa sedang bertugas piket hari ini. Tapi seperti kebanyakan murid di sekolah, mereka semua suka sekali mengabaikan tugas. Jean dan Reiner seharusnya ikut piket tapi mereka sudah menghilang sejak bel pulang sekolah.

"Kuda sialan itu, lihat saja besok akan kuhabisi dia," gerutu Eren sambil mengelap kaca jendela terakhir.

Mikasa sibuk menghapus papan tulis kapur di depan kelas, sedangkan Armin meyapu sisa sampah yang berserakan di lantai.

"Jangan mencari masalah Eren," kata Mikasa, "aku tidak mau kau terluka lagi."

Eren menatap Mikasa tajam, "kau lagi!" seru Eren, "aku tidak pernah memintamu untuk mengawasiku!"

"Sudah sudah!" Armin menyela, "sebaiknya kita cepat-cepat menyelesaikan ini dan pulang."

Armin mengumpulkan sampah yang sudah ia bersihkan di dalam kantung besar. "Mikasa bisa tolong buang sampah ini?" kata Armin, "biar aku yang mengepel lantai." Mikasa hanya mengangguk sambil mengambil kantung hitam di sebelah Armin.

Gadis itu berjalan keluar kelasnya dan menuruni tangga menuju pintu belakang gedung. Tempat pembuangan sampah berada di dekat perapian yang digunakan untuk membakar dedaunan.

Langkah kaki Mikasa membuat suara renyahan seraya ia berjalan menyusuri halaman belakang sekolah. Jalan tersebut dipenuhi dedaunan yang menguning. Mikasa menarik syalnya menutupi setengah wajahnya, sekarang sedang musim gugur dan udara mulai dingin.

Ia menaruh kantung sampah yang dibawanya di kumpulan kantung-kantung yang lain. Tempat tersebut sangat bau, Mikasa langsung berbalik arah ingin cepat-cepat pergi dari sana. Tapi ia malah melihat orang yang paling tidak ingin ia temui.

Mikasa membungkuk asal, "sore senpai," sapanya ketus.

"Sedang apa kau disini?" Levi yang juga membawa kantung sampah dari kelasnya tersebut menaruh sampahnya di pembuangan.

"Tentu saja membuang sampah, senpai." Mikasa menghindari tatapn mata Levi, bisa-bisa ia memukul seniornya itu lagi.

"Seingatku ini pertama kalinya kita hanya berdua, bukan?" Levi mengeluarkan saputangannya dan mengelap kedua telapak tangannya.

Kedua alis Mikasa menukik. "Aku tidak tahu kalau kau selalu mengingat setiap pertemuan kita, senpai." Kali ini Mikasa menatap mata Levi.

Levi mendecih dan menghampiri Mikasa, "jaga mulutmu didepan seniormu." Lelaki tersebut menarik syal Mikasa hingga membuat wajah mereka bertemu.

"Ackerman huh?" Levi menyeringai sambil matanya menelusuri wajah Mikasa. "Aku benci mengatakannya, tapi mereka benar tentangmu."

"Jika kau tersu menatapku seperti itu," Mikasa tidak memalingkan tatapannya dari Levi, ia malah tersenyum meledek. "Jangan sampai kau jatuh hati padaku, senpai," kata Mikasa yang membuat Levi melepaskan syalnya kasar.

"Kau lah yang seharusnya berhati-hati agar rasa bencimu itu tidak berubah jadi suka." Mikasa hampir mual mendengar seniornya itu. Levi berbalik arah dan kembali masuk ke gedung.

"Kuperingatkan kau, jangan pernah mendekati Eren," pinta Mikasa.

Levi menghentikan langkahnya, ujung bibirnya tertarik ke atas sedikit. Tiba-tiba saja ia ingin sekali menggoda gadis tersebut. Dan ia puny aide yang sangat bagus.

"Baiklah, asal kau dapat mengalahkanku saat latihan tanding besok," kata Levi.

Mikasa menaikkan alisnya, "tapi.. kau bukan anggota klub karate bukan?"

"Oh? Kau tahu apa memangnya?" Levi berbalik, "sebaiknya kau bersiap besok, karena jika kau kalah kau harus menjadi budakku sampai aku lulus."

Mikasa mengepalkan tangannya, "Dan jika aku menang kau harus berlutut meminta maaf, menjauhi Eren, juga mengaku dengan suara lantang bahwa kau itu pendek," ujar Mikasa.

"Baiklah, aku akan melakukannya jika kalah," jawab Levi tegas, "tapi kau harus pegang janji tersebut."

Mikasa memperhatikan seniornya tersebut memasuki gedung, lalu gadis itu tersenyum.

"Bersiaplah berlutut di depan seluruh sekolah, Levi."


Mikasa mengacak rambutnya mengingat kesepakatan bodoh yang ia lakukan kemarin. Sialnya ia terlalu meremehkan Levi karena ternyata seniornya itu adalah ketua klub karate di sekolah tersebut. Mikasa menggeram, kepalanya hampir pecah memikirkan hukumannya karena kalah.

"Menjadi budaknya?" gumam Mikasa sambil mengerjakan pekerjaan rumahnya di kamar, "memiliki marga yang sama dengannya saja sudah memuakkan apalagi menjadi budaknya." Gadis itu menekan ujung pensilnya terlalu kuat hingga patah, ia menutup buku pelajaran dan menarik syal menutupi wajahnya.

"Sial… aku sungguh sial tahun ini.." Mikasa memperhatikan meja belajarnya yang penuh dengan catatan-catatan penting dihadapannya. Di sudut meja ada sebuah bingkai foto biru muda berisi foto Armin, Eren dan dirinya saat masih duduk di bangku SD dulu.

Ia mengingat bagaimana Eren menolongnya saat ia hampir tenggelam di sungai dulu. Memori itu seharusnya menakutkan tapi Mikasa selalu menjadikannya sebagai pengingat bahwa Eren lah penyelamatnya. Ia berjanji akan selalu melindungi Eren sejak saat itu.

Mikasa menaikkan sebelah alisnya, "janji?" gumamnya,"ah.. benar.. aku berjanji pada si pendek itu.."

Gadis itu mengalihkan pandangannya pada foto yang ada di samping tempat tidurnya. Foto dirinya saat masih berusia empat tahun bersama seorang lelaki yang lebih besar berambut hitam sedang merangkulnya.

"Dulu kau pernah bilang jangan suka menantang orang lain ya?" kata Mikasa pada foto tersebut, "Tapi aku terlanjur melakukannya.. hah.. aku benci mengatakan kalau kau benar.."

Mikasa meraih bingkai foto tersebut dan tersenyum.

"Iyakan, Onii-chan?"

To Be Continued


.

.

OI OI

HOLLA YAYAYAAAA

Terima kasih bagi yang sudah mau membaca / *biarkan Light memeluk kalian satu-satu dari kejauhan :'3*

Sudah lama sekali aku engga buat Rivamika :'D Aaaah, seneng banget akhirnya bisa buat fic ini :)) ini fic Rivamika School AU yang pernah aku bilang ada rencana, akhirnya kesampaian :') *tebar confetti* aahh padahal ini mau aku post pas rivamikaweek.. TAPI GA SEMPET HUHU... Selama ini aku kerjaannya cuma main game, nonton anime dan baca fic… rasanya enak sekali bisa lepas dari webe… ahh :3

Chapter dua saya usahakan update secepat mungkin :3

Review kalian kutunggu c: