Kelanjutan fanfiksi ini dapat dibaca di AO3 AsakuraHannah (teman author kolaborasi saya di ff ini, yang melanjutkan cerita Golden Rose).

Terima kasih.

PS: Di bawah ini adalah sebagian dari fanfiksi Golden Rose yang bisa dibaca di sini. Untuk kelanjutannya, silakan dibaca di AO3.

.

.

Sang raja bukan peminat perempuan—Ini bukan hal baru. Desas-desus tentangnya berhembus sekencang angin di stepa gersang. Di usia ke-30, dominasinya membentang sepanjang laut hijau, merambah benteng-benteng berpagar betis masif bernama Sina, Maria dan Rose. Spektakuler dalam sepak terjang menaklukkan wilayah, dia disebut raja sekaligus tentara terperkasa di masa muda. Ah. Dia masih tampak muda saat ini, tinggi badannya membuat banyak pihak salah persepsi. Hiraukan fakta tentang orientasi; sang raja memiliki istana harem berlapis-lapis, di pinggir laut, didiami seratus wanita terbaik seluruh negeri, ditambah beberapa budak laki-laki pemilik fisik-fisik terbaik, untuk menjadi pengawal dan pendamping.

Dicintai dan dibenci karena kekontroversialan, ramalan telah dituturkan ketika ia masih berayun dalam dondangan. Lukisan tarot miliknya menggambarkan figur pria yang terjatuh, tertimpa sepuluh pokok raksasa, dan garis pemerintahan Ackerman akan berakhir olehnya pada usia ke-34. Ramalan ini tenggelam oleh kekuatan adikaranya.

Malam itu, ia duduk dengan sehelai piama sutra hitam di atas ranjang berbau kesturi.

Ia menatap hampa ke langit-langit, bosan, menunggu. Penasihat dan cendekiawannya mengirim surat protes; menganggap dirinya mangkir dari tugas menanam benih ke dalam tubuh haremnya. Masa bodoh. Seorang bocah Eropa bermata hijau yang mengusik rencananya. Gairahnya berkumpul di antara kedua kakinya dan memburamkan isi kepala. Meneruskan keturunan bisa menunggu barang satu atau dua hari.

Tidak ada kata menunggu untuk mengklaim bocah itu, haremnya yang paling hijau.

.

Eren Jaeger, bocah berumur 15 tahun tinggal di sebuah rumah sederhana dengan saudara kandungnya, Mikasa, di pinggiran kota. Tempat tinggalnya kumuh dalam kompleks saluran air yang mengalir langsung ke laut—meski dia tidak pernah menjelajah terlalu jauh dari rumahnya saat ini. Kakek teman baiknya, Armin, selalu memperingati mereka akan betapa bahayanya laut. Yang boleh menikmati keindahannya hanyalah sang maha kuasa yang memiliki istana megah di pinggir lautan. Ketiga bocah berjanji untuk pergi ke laut saat mereka dewasa. Sayembara menjadi pengawal istana akan datang beberapa tahun lagi, tepat ketika mereka berumur 18 tahun.

Nasib berkata lain ketika krisis bahan pangan mendera rakyat. Eren dipaksa bertahan hidup dengan mencuri barang-barang mahal. Rakyat menjadi ganas dan haus akan kehidupan yang lebih baik, tinggal di daerah terpencil memaksa dirinya untuk tidak mempercayai orang. Rumahnya dijarah untuk bahan pangan dan sandang, orangtuanya dibunuh tidak lama setelah Ibunya menyembunyikan dia dan Mikasa di ruang bawah tanah. Eren menumpang tinggal di gubuk Armin dan kakeknya yang sakit-sakitan. Bertiga berusaha mencukupi sehari-hari dengan berjualan dan kerja sampingan. Terkadang mereka harus merampas barang milik orang menengah atas untuk menjualnya demi sepiring nasi.

Eren sedang berjalan menyusuri tembok penginapan. Dia baru saja pulang dari kerja sambilan yang hanya menghasilkan separuh dari biasanya. Dia melihat kereta kuda mewah berhenti di depan pintu masuk penginapan megah yang biasa dilewatinya setiap malam untuk mencuri beberapa pakaian bekas atau makanan yang setengah dihabiskan. Mata hijaunya menyapu barang-barang berornamen dan helaian kain sutra untuk perdagangan ke luar kota. Bangsawan itu lengah ketika Eren menyelinap mendekati kereta dari belakang. Diraihnya kain sutra yang halus itu secepat kilat, rencana yang seharusnya berjalan mulus seperti biasa harus gagal karena dia menjatuhkan kendi yang menimpa ujung kain itu. Sang bangsawan menangkapnya ketika mencoba lari, beberapa pelayan menarik jubah kotornya dan memukulinya. Pisau tajam diarahkan pada leher Eren, memaksa bocah itu tidak berontak. Tangannya diikat dengan tambang sementara bangsawan gendut itu menyeringai.

"Lepaskan!" Eren berkutat melepaskan diri dari dua pria tinggi. Sapu tangan dilingkarkan pada mulutnya, menghalangi umpatan kasar yang hendak dilontarkannya. Bangsawan bertubuh gemuk mendekatkan wajahnya, mendelik tajam.

"Nak, kau cukup berani mencoba untuk merapokku. Kau tidak kenal siapa aku? Kalau bukan karena aku, kau makan pun tidak bisa. Beras kami ini sangat berharga, kain sutra yang hanya milik Raja pun aku dapatkan dari beras mahal yang kami hasilkan. Berani sekali kau mencoba untuk mengambil sutra itu."

Eren meringis ketika jari-jari gendut itu meremas pipinya, memaksanya untuk menatap balik.

"Mata yang bagus, wajahmu kotor sekali, namun kau mempunyai wajah yang unik dan kulitmu kecoklatan yang berharga mahal. Aku tidak akan membunuhmu, aku bisa saja menjualmu menjadi harem." Pria itu tertawa, berdiri dan menyuruh pelayannya untuk membawa Eren ke tempat lelang.

Eren melihat sedih ke belakang, terbayang wajah Armin dan Mikasa yang menunggunya pulang.

.

Para wanita ada untuk meneruskan keturunan.

Sementara laki-lakinya...

Levi mengawasi taman megah dengan kubah-kubah di mana ratusan budak pilihan bertengger di bawahnya. Mereka melirik harap-harap cemas ke arahnya, berharap untuk dipilih, dibawa ke tempat tidur, dan diberi posisi terbaik.

Matanya yang bosan dan kesepian memberi kilatan sekilas kepada harem-harem berpakaian sutra, sebelum perhatiannya tersedot kepada budak laki-laki 15 tahun—yang sedang berdiri kaku, dengan ekspresi wajah ingin cari ribut kepada pengawal-pengawal berbadan besar. Si bocah bermata zamrud, berambut cokelat kastanya, tangannya gemetaran meremas jubah halus miliknya yang berwarna krem dan beraroma jeruk lemon. Kulitnya kecokelatan cerah dan wajahnya cukup sebagai penghias ranjang. Tapi mata hijaunyalah yang paling tidak buruk bagi Levi.

Sang raja menepuk pundak bocah itu, meninggalkan sapu tangan dengan sulaman peraknya sebagai tanda ingin memiliki bocah itu malam ini.

Eren tidak menyangka dirinya mengalami kesialan yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Dewi fortuna tidak berpihak padanya hari itu, dia ditangkap dan diseret ke pengadilan, mendapati orang banyak bertengkar memperebutkan dirinya. Ia diseret keluar dengan kedua tangan dan kaki diborgol. Pakaiannya dilepas, dipaksa untuk mengenakan pakaian sutra yang bocah itu hendak jual beberapa jam yang lalu.

Mata hijaunya melihat sekeliling taman yang megah, dia memandang benci ketika beberapa pria melempar pandangan licik. Salah satu darinya tampak pendek, diikuti oleh beberapa orang yang tampak jauh lebih tinggi darinya. Eren menyadari ketika pria itu menghampirinya bahwa dia lebih pendek beberapa senti darinya. Remaja itu melonjak terkejut ketika pria berpakaian elegan itu menepuk pundaknya. Matanya membelalak bingung ketika pria itu menyodorkan sapu tangannya yang berbenang perak. Pikiran untuk menjual barang mahal itu muncul dalam benaknya yang linglung. Dia hendak berlari ketika lengannya diraih oleh salah seorang pengawal.

"Lepaskan, apa maumu? Siapa kau?!" Jeritannya tertahan ketika pengawal pria itu memukul wajahnya, berteriak 'tidak sopan!' Eren melihat ke atas kepala sang bangsawan, dia memandang mahkota berukuran kecil. Seringai dari pria itu membuat tubuhnya bergetar.

"Yang mulia Raja," Eren berbisik.

"Siapa namamu, bocah?" sapa Levi, suara tidak tertarik, tapi wajahnya berkata lain. "Aku belum pernah melihatmu di sini sebelumnya. Wajahmu tidak buruk. Aku bisa melihat aksen Eropa dan Turki sekaligus darimu."

Levi berbalik ke arah si bocah, mata mengawasi dari atas ke bawah menilai penampilan fisik yang menarik baginya. Di sekelilingnya, deretan harem dan budak-budak mundur beberapa langkah sambil menggigit jari dengan kecewa.

"Kau tahu apa maksudku meletakkan sapu tangan di atas pundakmu?"

Eren menepis jarinya yang menyentuh dagunya, mata hijaunya beradu dengan sang raja. Eren tidak pernah menyangka bahwa dia dibawa ke istana segera setelah dia mencuri perhiasan dan sutra. Tubuhnya bergetar, habislah riwayatnya saat ini.

"Yang mulia, aku tidak bermaksud demikian. Aku hanya ingin mencari makan... dan-" Kata-katanya terpotong ketika Levi menekan jarinya pada bibirnya, menghentikan perkataan yang keluar. Dia tidak menjawab pertanyaan sang raja, Eren menyadari hal tersebut. Pipinya merona merah merasakan jemari yang halus menekan bibirnya yang hangat.

"Namaku, Eren. Kumohon lepaskan aku, aku tidak akan mencuri lagi." Dia terbata-bata, matanya penuh harap untuk dibebaskan selain dipancung.

Sang raja mengerjapkan matanya. Dia maju selangkah, menghirup dalam-dalam aroma buah yang menguar dari tubuh bocah mantan pencuri itu. "Kau tahu sedang berada di mana, nak? Di istana haremku. Kau dibawa ke mari dan menjadi budakku." Levi membawa saputangannya ke pipi Eren yang agak memerah karena bekas pukulan. "Eren, hhn? Tidak buruk."

Eren membuka mulutnya, tidak ada sedikit pun suara yang keluar. Dia hanya bisa melongo memandang sang raja berwajah masam itu. Bibirnya menyungging tipis, senang mendapati bocah itu pucat mengetahui keberadaannya.

"Aku jadi... harem? Yang benar saja, aku ini laki-laki. Ah!" Eren meringis ketika rajanya mencubit pipinya

"Tugasku adalah menanamkan benih di dalam tubuh haremku untuk meneruskan keturunan, tapi tidak selamanya aku melakukannya untuk meneruskan keturunan, 'kan." Levi menajamkan pandangannya terhadap Eren. Sedikit senyum terukir pengisi wajah tampannya. "Aku menginginkan harem lelaki sepertimu."

Levi berbalik, meninggalkan Eren sambil memberi instruksi kepada para pelayan.

"Bersihkan dan persiapkan dia. Bersih sebersih-bersihnya."

Eren menganga seperti ikan yang kehilangan udara, dia diseret oleh kedua pelayan. Mereka melucuti pakaiannya dan Eren dibenamkan pada bak mandi berisi air hangat.

"Tu-tunggu, apakah ini perlu? Aku masih bersih!" Eren protes, dia menutup mulutnya saat sang raja melempar pandangan jijik kearahnya.

"Aku tidak perlu untuk ditanami benih apapun, aku hanya perlu makanan untuk hidup!" Eren menciprati air bak mandi, tubuhnya yang telanjang terekspos kepada sang raja yang berdiri di pintu masuk kamar mandi yang megah.

Eren melempar pandangan kesal ketika Levi mendengus dan memutar badannya, keluar kamar mandi. Dia menggertakkan gigi memandang pelayan yang menuangkan air keatas kepalanya. Wangi sabun tercium, Eren mendesah ketika kepalanya dipijat pelan oleh salah satu dari pelayan itu. Tubuhnya dibasuh sedemikian rupa sampai Eren merasa perih akibat gosokkan yang kasar.

Satu pelayan datang setelah pelayan yang lain. Ada yang membawa air kembang, krim sabun aroma lemon, dan kendi-kendi berisi obat-obat. Mendadak tubuh Eren ditarik ke sana ke mari. Tangan dan kakinya direntangkan, tidak lolos dari tangan-tangan dengan alat dan kuas berbusa sabun. Tubuhnya dibasuh lalu dikeringkan dengan banyak tangan. Madu hangat dilelehkan di atas kulitnya dengan tambahan sapuan ramuan herbal. Putingnya dipoles oleh kuas halus berminyak.

Eren menjerit saat bulu-bulu halus di kakinya dicabuti.

"Hei! Sakit! Lepaskan! Akh!" Bocah itu menjerit lantang ketika pelayan lain menjambak rambutnya yang panjang mencapai tengkuk. Rambutnya yang berantakan dipotong dengan pisau tajam. Ngeri pisau itu mengenai kulitnya yang memerah akibat digosok kasar, Eren menggigit bibir. dia tidak berani bergerak. Pikirannya jatuh kepadanya sang Raja. Bagaimana mungkin dia dimandikan sebelum kematiannya? Mungkin dia harus terlihat berwibawa di mimbar sebelum dipenggal. Eren menutup mata, teringat akan saudara perempuannya dan sahabat baiknya.

'Armin, Mikasa, selamat tinggal.' Eren menjerit ketika dia melihat ke bawah dan mendapati pisau itu mendekati alat kelaminnya.

Selangkangannya dilebarkan, dan Eren memejamkan matanya erat-erat. Air di sudut matanya dihapus dengan sapu tangan oleh para pelayan, mencoba menenangkan. Ramuan obat dioleskan di sekitar perut hingga selangkangannya. Eren menjerit, dan mulutnya ditutup oleh salah satu pengawal berbadan besar. Pisau kecil untuk mencukur bulu-bulu halus itu bergerak cepat di bawah kendali tangan-tangan ahli. Eren dimabukkan oleh wangi melati dan biji-bijian harum yang diusapkan pada leher dan seluruh kulitnya.

Pelayan memeriksa cepitan lengannya, di balik telinganya, dan memaksa untuk melebarkan kedua pipi bokongnya, seluruh badannya tidak luput dari gosokan sabun beraroma sewangi anggur.

Eren mengerang, dia tidak bisa melakukan apapun, memutuskan untuk menyerah mencoba untuk kabur dari tangan-tangan yang menyeka sekujur tubuhnya tanpa henti. Dia merasa aneh ketika tubuhnya tampak mengkilap bersih dan wangi, tidak biasa diperlakukan dengan seksama.

Eren mengerjap bingung ketika tubuhnya diseka handuk halus, mengeringkan tubuhnya yang masih basah. Dia kembali dipakaikan sutra halus yang hampir transparan, Meraba sutra yang membalut tubuhnya dengan lembut, Eren memandang bingung. Sekali lagi dia ditarik untuk melangkah maju, dirinya dituntun keluar layaknya seorang bidadari. Eren menyipitkan matanya ketika cahaya senja menyinari koridor megah yang berlapis emas. Dirinya menatap horizon tepat di depan mata. Dia melihat laut, mata hijaunya berkilat penasaran dengan bunyi deru ombak dikejauhan. Kakinya membawanya melangkah menuju taman, namun dihentikan oleh salah satu pelayan yang menyeretnya entah kemana.

.

Pintu besi berlapis emas terbuka dihadapannya, Eren didorong masuk oleh salah satu pelayan. Kakinya melangkah maju takut-takut, berpikir apabila ini saatnya pengadilan yang ditunggu. Eren memandang sekelilingnya, pintu dibelakang ditutup, membuatnya panik. Dia melangkah kembali ke pintu, mencoba untuk membuka namun tidak berhasil. Remaja itu mengerang pelan, menempelkan keningnya pada pintu, menyadari bahwa dirinya dikurung.

"Tamatlah riwayatku... Aku sudah tidak bisa keluar..." Eren menggumam pada dirinya sendiri.

Tangan-tangan menyergap Eren dari belakang. Si bocah memekik, kemudian dihardik oleh seorang wanita berambut ekor kuda. Dia diseret oleh pelayan-pelayan lain ke depan cermin. Pakaiannya dilucuti sampai hawa udara dingin menjilati kulitnya yang halus. Air jeruk dan melati disemprotkan ke seluruh badan. Sekali lagi Eren dimabukkan oleh wangi-wangian. Rambutnya disisir rapi, kulitnya dilumuri minyak berbau rempah, dan pakaian sutra berlapis melewati tergantung di bahunya.

Wanita berkacamata memperhatikan penampilannya atas bawah, berkata, "Lakukan penghormatan dengan cara mencium karpet. Oke?" Dia menepuk bahu Eren, dan menggiring bocah itu ke ruangan lain dengan ranjang berukuran sedang dan meja tulis. "Kau tunggu di sini sampai malam datang. Nanti kami akan memeriksa kembali penampilanmu."

Pintu besi berukiran ditutup dan dikunci, kali ini ruangan penjara yang mengurungnya dengan sempurna.

"Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku bahkan tidak mengerti kenapa aku harus menunggu sampai malam tiba. Apa mungkin mereka harus rapat dahulu memutuskan apakah aku akan dihukum mati atau tidak? Jadi aku akan selamat? Tapi apa maksud istilah 'harem' yang dikatakan yang mulia raja? Apa karena aku menolak maka dia memutuskan untuk mengakhiri hidupku?"

Eren mengepal tangannya. Dia duduk pada sisi tempat tidur, menatap kakinya yang sudah bersih. Eren membuka mulutnya ketika melihat gelang pada kaki kirinya yang entah sejak kapan dipakaikan. Sang remaja tahu lambang itu, dia sudah tidak bisa bebas sekarang. Dia sudah ditandai sebagai budak seumur hidup. Meskipun gelang kaki yang dikenakannya berbeda dari budak-budak yang pernah dilihatnya di pinggir jalan. Bedanya, kakinya masih bisa melangkah dengan bebas dan tidak dirantai seperti mereka. Eren membungkuk, jarinya meraba gelang emas yang melingkari pergelangan kaki. Dia melenguh putus harapan.

"Mungkin aku tidak seharusnya mencuri... Aku lapar..."

"Kau ini berasal dari mana?"

Seorang wanita muda berambut pendek sewarna jahe masuk ke dalam ruangan dengan nampan berisi sepiring daging ayam wijen. Senyum ramahnya membias.

"Petra Ral, aku salah satu pelayan yang bertugas menjaga harem. Kau ini beruntung sekali dipilih oleh Yang Mulia. Sudah lama ia tidak 'memilih' orang."

Petra meletakkan nampan di atas meja. Ia bertelekan pinggang sambil berjalan mendekati Eren.

"Ingat untuk membungkuk dan memberi hormat dengan cara menekan keningmu ke karpet nanti. Ok?"

Eren terhenyak melihat sikap ramah tamah seseorang terhadap terdakwa hukuman mati sepertinya. Senyuman Petra membuat perutnya melilit.

"Eren Jaeger... uhh aku... dipilih? Sungguh aneh kalau yang mulia memilih seseorang hanya dalam sekali lihat..." 'untuk dibunuh...' namun pikiran itu tidak dilontarkannya kepada sang pelayan wanita yang tampak sangat baik. Eren tidak bisa mempercayai seseorang, dibalik senyuman bisa jadi senjata ampuh. Dia belajar itu untuk bertahan hidup, hanya Mikasa dan Armin yang dapat ia percayai. Keluarganya sudah habis oleh perampok gunung, mereka hanya tinggal di gubuk kecil milik kakek Armin. Eren menggigit bibir, dia memandang makanan yang terlihat sangat lezat. Tidak pernah ia bayangkan bisa menikmati makanan seperti itu lagi. Makanan Ibu.

"Boleh aku santap? Tampak sangat lezat." Eren tidak bisa menahan lapar, padahal mungkin saja makanan itu ada obatnya. Mungkin racun dari sang raja. Tapi, apapun itu, dia hanya bisa berterima kasih apabila makanan terakhirnya akan sangat lezat. Setidaknya dia bisa makan enak sebelum pergi ke akhirat.

"Silakan dimakan," sahut Petra. "Sudah diberi bumbu perangsang dan penambah stamina untuk malam ini. Supaya Kamu bisa melayani raja dengan lebih baik."

Eren menyendok nasi dan membuka mulut lebar, menyuap dengan perasaan bahagia campur cemas. Rasa tidak enak terhadap Armin dan Mikasa yang susah payah mendapatkan makanan. Tidak apa, mungkin ini akan menjadi yang terakhir.

Eren berhenti menyuap, dia menatap ayam yang masih panas di hadapannya, mengundangnya untuk disantap. Bukan makanan enak yang ingin dilakukannya terakhir kali, tapi... laut... Dia ingin melihat laut. Matanya bersinar sedih. Tidak mungkin dia bisa melihat laut di dalam kurungan besi ini.

Eren meletakkan sendok, rasa lapar hilang.

Petra menaikkan alisnya. "Kenapa kamu tidak mau makan? Kalau tidak makan, Kau tidak akan dapat tambahan tenaga. Kudengar Yang Mulia itu sangat..." Petra berdeham. "Uhum. Kau kenapa?"

Eren menggeleng kepalanya, dia tahu permintaannya untuk keluar tidak akan dikabulkan. Mata emeraldnya menatap ayam yang masih mengepul, dia sudah tidak berselera makan.

"Aku tidak lapar lagi. Aku baik-baik saja. Bisa tinggalkan aku sendiri? Aku tidak akan kabur." Eren melempar pandangan sedih kepada Petra. Sang pelayan wanita tidak beranjak dari kursi seperti yang diinginkannya, mungkin memerintah pelayan wanita bukan tindakan yang tepat, sementara dia hanya tahanan, tapi Eren tidak peduli.

Matanya beradu dengan Petra, berharap gadis itu mengatakan sesuatu. Dia menghela nafas ketika petra hanya duduk di depannya tanpa mengatakan apa pun.

"Aku... ingin melihat laut." Eren mendengus. "Tidak mungkin ya, kau memperbolehkanku."

Petra mengerutkan dahi dan menyibakkan helaian poninya yang tebal. Ia mencoba tersenyum menenangkan. "Dengar, Eren. Kau bisa melihat laut kapan saja kalau kau bisa melakukan yang terbaik malam ini, uhuk." Petra melihat keluar jendela. "Mungkin kau beruntung dan akan disukai oleh Yang Mulia." Petra mendorong pinggiran piring ke arah remaja berwajah galau itu. "Kusarankan untuk makan. Ini akan menambah tenagamu. Menjelang malam, kau akan dijemput."

Eren menatap piring yang masih penuh dengan nasi. Dia tidak bermaksud untuk menolak pemberian orang. Eren menyuap satu sendok, jantungnya berdebar kencang, siap kapan saja apabila dia memuntahkan racun. Satu sendok menjadi dua, lalu tiga. Eren mengunyah cepat, rasa hidangannya enak, tidak ada yang aneh. Dia belum merasakan efek yang akan timbul beberapa jam yang akan datang menjelang malam.

"Rasanya lezat," tuturnya dengan mulut penuh. Wajah gadis itu berubah cerah.

.

Levi membuka pintu menuju balkon bertahta emas dan pemandangan horizon kebiruan. Matanya yang kelabu berpendar kebiruan dan jubah sutranya mengkilat di bawah cahaya hangat mentari. Mata itu setajam elang menyapu areal taman istana, dan sebuah kamar di lantai dua berseberangan darinya di mana ia bisa melihat punggung Pelayan Petra dari balik sekat-sekat kaca.

Haremnya yang paling hijau sedang duduk dan mencoba menelan nasi. Levi hampir bisa melihat butiran beras di sudut bibirnya yang kemerahan.

Eren meraih air minum, hampir tersedak oleh gumpalan ayam yang baru saja ditelannya. Sang pelayan menertawai dirinya, terlihat bahwa dia tidak pernah makan makanan selezat itu. Eren menghela nafas, meletakkan gelas yang sudah kosong.

"Terima kasih makanannya." Dia berkata, tersenyum kecil kepada pelayan itu. Dia menyesal telah berpikir buruk sebelumnya. Makanannya sangat lezat. Eren memutar pandangannya, melayang ke tempat tidur. Mungkin, dia bisa beristirahat sejenak sebelum waktunya pergi entah kemana. Dia hendak beranjak dari kursi saat dia merasakan pandangan sedingin es dilontarkan padanya. Eren bergidik, melihat dari sela-sela kaca. Matanya bertemu dengan sepasang mata kelabu. Mata sang raja yang mengawasi gerak-geriknya. Mata itu tidak berkedip, membuat Eren takut.

"P-petra, yang mulia sedang melihat kemari?" Eren menoleh ke samping, merasa tidak nyaman diawasi. Waktunya belum tiba, dia belum dijemput oleh pelayan yang tadi. Dia masih aman. Dia masih hidup dalam hitungan waktu.

Penasaran menghampiri benaknya, Eren sedikit memalingkan muka, menatap wajah Levi. Dia bisa melihat pria berwibawa itu masih menatapnya seolah ingin memakan dirinya.

Senyuman singkat Petra membuatnya mempertanyakan akan apa yang akan dilakukan oleh Raja padanya. Pelayan itu bergegas pergi, meninggalkan Eren sendiri.

Saat Eren mendongakkan wajah kembali menuju teras emas, sang raja sudah tidak ada di sana.

.

Pukul 8 malam, Petra membawa sepiring kaldu yang terbuat dari beras lokal dan ayam dengan segelas anggur wangi. Di belakang Petra beberapa pelayan berdiri menunggu dengan kendi dan jubah kaftan penuh pernak-pernik. Eren diminta untuk makan kemudian bersiap.

Si harem hijau tidak menyentuh makanannya sedikitpun.

Petra menghapus titik-titik keringat di dahi bocah itu, menawarinya untuk disuapi walah hanya tiga sendok nasi. Pelayan-pelayan lain mulai bekerja untuk melucuti baju sutra Eren, memaksanya untuk telanjang sekali lagi. Tangan-tangan dan kaki Eren dipegangi, mereka membalurkan ramuan herbal berbentuk seperti lumpur yang membuat kulitnya berkerak, lalu menggosok kulitnya dengan kain tipis. Beberapa memijat bahunya. Wajah Eren merona padam, mulai tidak bisa menyembunyikan emosi. Prosesi seperti apa yang berlaku di istana mistis ini untuk seorang terdakwa hukuman mati?

Gigi Eren dibersihkan dan lidahnya dioleskan daun herbal. Untuk terakhir kalinya tubuhnya diperiksa sangat seksama dan disemprotkan air melati sebelum dipakaikan jubah berbahan ringan berpayet batu-batuan mulia. Pengawal-pengawal berbadan besar dan berkulit gelap menyambut di ambang pintu, memintanya untuk mengikuti.

"Ingat untuk membungkuk serendah mungkin dan mencium karpet," kata Petra, meremas bahu Eren. "Yang Mulia sangat menghargai sopan santun."

Ketakutan, Eren mengikuti para pengawal sepanjang koridor bersulam emas dan berlian.

Levi duduk menegakkan diri di sisi ranjang. Dia hanya mengenakan sehelai sutra hitam dengan bordiran emas dan berlian di satu sisi. Gelas anggurnya sudah kosong sejak sejam yang lalu. Pendupaan sudah dinyalakan dengan wangi rempah yang mengambang di langit-langit. Ia mendengar langkah tegap pengawalnya saling beradu sepanjang koridor. Telinganya yang tajam hampir bisa mendeteksi langkah lemah dan gugup dari harem pilihannya-untuk bersenang-senang-malam ini.

Pintu kamarnya didorong pelan dan wajah si harem hijau menyembul pucat. Dia digiring masuk dengan bahunya dipaksa merosot turun hingga ke lantai.

Levi menatapnya dari atas dengan dagu yang sedikit terangkat, mata yang menukik tajam, berkuasa penuh.

Eren gemetar, melihat bagaimana Levi melayangkan pandangan dari tempat dia bertahta. Matanya sempat melihat sekeliling ruangan yang penuh harum wewangian, dia tidak bisa menebak apa aroma yang kali ini dihirupnya. Terlalu banyak wangi yang ditumpahkan pada sekujur tubuhnya, penciumannya sesak, tidak mudah mendeteksi bau yang berbeda pada setiap bagian ruangan yang ia masuki dan lalui. Jelas sekali bahwa ruangan ini berkali lipat lebih besar dari yang ia masuki sebelumnya. Dia tidak sempat melihat dengan seksama ketika salah satu pengawal memaksanya untuk berlutut, kemudian memaksanya untuk mencium karpet halus dibawahnya.

Mata hijaunya memandang sang raja yang beranjak bangun, pandangan Eren turun ke karpet di bawahnya. Bunyi langkah kaki semakin dekat, hampir seirama dengan degupan jantung sang harem yang semakin cepat. Kaki Levi yang berbalut sepatu kerjaan mewah berhenti tepat dihadapannya, Eren tidak berani mendongak menatap pria yang penuh kuasa itu. Pengawal melepaskan pegangan yang masih menahan Eren untuk terus mencium karpet setelah Levi memberi perintah. Eren mengambil nafas panjang, tidak berani bergerak. Derap kaki para pengawal menjauh, telinganya bisa mendengar pintu berat berlapis emas itu ditutup dengan bunyi berdebam keras. Hanya tinggal mereka berdua, Eren tidak tahu apa yang harus ia katakan untuk memecahkan keheningan yang tidak nyaman ini. Dia juga tidak berani mengangkat kepalanya.

Tangan besar dan hangat menepuk kepalanya, Eren tersentak kaget, dia menutup matanya, bersiap untuk pukulan ataupun tendangan melayang ke arahnya. Ketika beberapa menit tidak kunjung datang, dia membuka matanya sedikit, sang raja berlutut dihadapannya, pandangan matanya tidak bisa ditebak.

Levi berlutut dengan satu kakinya, menyetarakan level matanya dengan si budak harem pilihan. Ujung jarinya menyentuh dahi si remaja yang mulai memunculkan bintik-bintik keringat, walau kulit halus kecokelatan itu pasti sudah diolesi minyak yang menghambat keluarnya keringat berlebihan, tapi kalah oleh kegugupannya. Mata hijau hanya merefleksikan takut.

"Kau takut padaku, hm?"

Harem yang ditanyai mengerjap panik, tak mampu melihat sang raja tepat di mata. Ia melihat sekeliling, mencari-cari pengawal bergolok baja. Tapi tak ada seorang pun di dalam kamar pribadi rajanya, hanya mereka berdua.

"Kau takut? Apa yang kau pikirkan?" tanyanya lagi.

"A-aku..." Eren menggigit bibirnya, reaksi canggung yang sering dilakukannya. Dia tidak yakin akan bahasa formalitas yang harus digunakan kepada Levi. Mata kelabu itu menatap dingin, tidak bergeming dengan ketakutan Eren. Bibirnya bergetar, berusaha bersikap tenang. "Tidak, aku tidak takut mati!" Kata-katanya terlontar tanpa ia sadari.

Wajahnya menatap bingung ketika sang raja tergelak, tidak menyangka bahwa harem kepunyaannya yang baru mempunyai rasa humor yang tinggi. Tawa rendah sang raja terdengar merdu di telinga Eren yang merona merah. Mata hijaunya bersinar malu, menunduk ketika Levi terkekeh dan menggeleng kepala.

"Apa yang kukatakan itu benar, bukan? Kenapa anda tertawa? Ah- Maksudku, kenapa Yang Mulia tertawa? Aku... sudah berusaha untuk mencuri sutra untuk kujual sebagai ganti uang makan bagi saudaraku dan teman baikku yang memberi kami tempat tinggal. Apalagi hukumannya selain dipenggal. Kupikir malam ini akan menjadi malam terakhirku setelah disidang sekarang." Eren terbata-bata berkata. Rajanya terus menatap lekat wajahnya, mengawasi setiap gerak-gerik sang harem yang masih bocah itu. Kepolosannya menguarkan feromon yang tidak disadari dirinya sendiri, mata Levi berkilat, semakin menginginkan dirinya.

Senyum di wajah Levi buyar ketika mata tajam kelabunya berkilat lagi. Gairah aneh berpendar di sana. "Itu saja?" kata Levi. "Pengadilan macam apa seorang bocah bau asem pencuri sutra yang terjadi di sebuah kamar tidur raja?"

Eren mungkin tidak akan bisa menjawab dan tertunduk seperti puluhan harem yang pernah bersujud di atas karpet bau dupanya, tapi Levi tahu bocahnya yang paling hijau itu berbeda dengan bocah lainnya.

Levi berdiri, melangkah mundur hingga ia kembali duduk dengan kedua kaki diluruskan di atas ranjangnya yang halus dengan fabrik berkelas tinggi. Matanya tidak pernah meninggalkan sosok pucat dan ranum di atas karpet. Ia menepukkan tangan pada bagian kosong ranjangnya, perintah absolut untuk si harem hijau agar merayap naik dengan bokong di udara dan bersiap untuk disantap semalaman.

Tapi Eren adalah bocah harem paling hijau. Dia hanya menatap bingung dan berpikir bagaimana ia bisa mati di atas ranjang.

Levi menghembuskan napas pelan. "Kau mungkin benar, aku punya pedang yang sangat besar di sini untuk membelahmu."

Mata Eren membesar, panik ketika Levi mengatakan pedang yang besar untuk membelah dirinya. Tidak dipungkiri bahwa Eren akan mati saat ini juga. Pedang pusaka macam apa yang Levi punya? Dimana dia menyembunyikannya? Pikiran Eren kalut dengan berbagai kemungkinan pedang berlapis emas yang akan menghujam dirinya.

Mata Levi mengawasi gelagat sang bocah, Eren tahu dia sedang diperhatikan. Dia hanya berlutut di karpet, tidak bergerak sesenti pun. Tangannya mengepal penasaran, kerutan dahi muncul saat dia menanyakan permasalahan pedang tersebut.

"Pe-pedang pusaka macam apa, Yang Mulia? Apakah itu tidak akan membuatku sakit pada saat kau membunuhku?" Eren tertawa kecil, mencoba untuk menangankan jantungnya yang berdegup kencang.

"Tidak mungkin tidak sakit... tidak ada pedang yang tidak sakit ketika ditusukkan kepada seseorang. Aku... sudah siap... Mohon Yang Mulia menghukumku sepantasnya." Eren berkata tanpa basa basi. Dia menatap Levi dengan pandangan serius, siap menerima hukuman yang sepantasnya. Bibir Levi menyunging tipis, menyeringai memandang sang bocah yang jelas tidak mengerti arti lain kalimat yang baru saja dilontarkannya.

"Jangan buat aku menunggu," titahnya, sekali lagi menepukkan tangan di atas ranjang yang terbingkai dengan rangkaian bebatuan mulia, segalanya menyilaukan tapi kalah oleh raja yang bergaris keturunan paling ditakuti. Levi menepukkan tangannya lebih kuat kali ini. Perintahnya jelas: "Kemarilah, merayap ke mari."

Sepasang mata zamrud yang mengalahkan kilau batu alam kehijauan di kamarnya itu bergerak takut-takut, menyemangati sang raja untuk semakin terpacu nafsunya. Levi menyukai dominasi lebih dari apapun, dan senang didominasi oleh sosok harem yang tidak membosankan dengan tubuh bergetar karena takut di bawah kuasanya. Tapi ia mulai tidak sabaran. "Kemarilah, Eren. Tidak akan sakit. Ceritakan apa kau pernah menyentuh atau disentuh sebelumnya."

Merayap. Perkataan itu terngiang di telinga Eren. Bocah itu meletakkan tangannya di karpet, sedikit demi sedikit merangkak menuju sang raja. Levi menatap tidak sabaran. Di sisi tempat tidur, Eren berhenti.

"Aku... tidak mengerti maksud disentuh. Jika maksud Yang Mulia sentuhan belaian Ibu, aku pernah merasakannya. Hanya... satu permintaanku... Aku ingin ke... laut. Sekali seumur hidupku, aku tinggal digunung. Aku ingin sekali melihat laut. Sampaikan kepada saudaraku, Mikasa dan teman baikku, Armin bahwa aku tidak akan bisa pergi bersama mereka." Tangan Eren gemetar ketika dia mengatakan hal tersebut. Dia baru saja memberi perintah sang raja untuk melakukan apa yang diinginkannya. Budak macam apa yang melakukan hal tersebut pada pertemuan pertama dan terakhir mereka. Eren memekik ketika Levi menariknya naik ke ranjang, setengah tubuhnya terbaring dengan bokongnya di udara. Eren menerima tamparan keras dari sang maha kuasa.

"Aku lelah pura-pura tersenyum dan berbahasa diplomasi," kata Levi tiba-tiba, mengulangi tamparan kerasnya di bagian bawah punggung belakang Eren-bagian pipi bokong yang masih berlapis jubah mahal setengah transparan dan selicin satin. "Akhir-akhir ini aku berpikir kenapa aku tertarik menggauli laki-laki ketimbang wanita-wanita rapuh dengan kamisol harem mereka adalah karena hanya laki-laki dan kulit mereka yang tahan dengan setiap kekasaranku. Bagaimana menurutmu?" tanya Levi, setengah menggerutu dan membuat harem hijaunya mengerut takut.

Lengan jubah Levi menyentak otot-otot kekar yang ada di bawahnya, sedang terjulur ke arah Eren. Si remaja hampir memberontak, sebelum mati, air mata memercik dari sudut matanya. Levi berhenti dan diam.

"Ingin ke laut katamu? Kau bisa melakukannya setelah berhasil bertahan dari sabetan pedangku, mungkin."

Levi menarik tubuh itu ke arahnya, membuatnya berbalik dan telentang di atas kasur. Mata Eren membelalak terbuka, mendelik kepada sang raja yang memerangkap dengan sempurna tawanannya.

"Jadilah milikku, Eren Jaeger."