Hinata mengintip di balik pintu kamarnya yang sedikit terbuka. Mengamati koridor rumahnya sepi. Perlahan ia mulai memberanikan diri untuk menggeser pintu kamarnya semakin lebar. Kaki kanannya yang perlahan melangkah keluar dari sana, menampakan dirinya yang berbalut terusan putih panjang selutut. Rambutnya yang pendek menyembunyikan raut wajahnya yang muram dan takut. Putri bungsu Hyuuga itu menutup perlahan sedemikian rupa pintu kamarnya agar tidak berbunyi, agar tidak ada yang sadar jika dirinya keluar dari kamar. Terlebih, Hiashi ataupun Neji.

Derit langkahnya yang menggema di koridor dengan alas kayu dingin menyentuh kulit kakinya tak akan bisa menyembunyikan suara. Hinata perlahan menggigit bibirnya takut, tapi ia meneruskan langkahnya hingga sampai pada genkan rumahnya.

Gadis kecil itu nampak menghembuskan napasnya lega setelah melewati koridor menggema di dekat kamarnya. Ia melirik lagi di sekelilingnya, memastikan jika sekarang ia memang benar-benar sendiri. Setelah sukses, kini ia membuka perlahan meja geser yang ada di dekatnya. Mengeluarkan sepatu kecil yang akan dipakainya untuk menjadi alas kaki diluar. Hinata tak bisa menyembunyikan raut wajah bahagianya lagi, ia terus tersenyum. Hingga akhirnya ia berdiri dan bersiap untuk keluar dari rumahnya diam-diam siang itu.

"Hinata-sama-!"

Hinata berbalik, mendengarkan bagaimana derap langkah kaki Neji yang terdengar buru-buru dan suaranya yang menggema di belakang sana. Hinata semakin takut jika setelah ini ia tak akan dibiarkan pemuda itu untuk keluar dari rumah. Dengan cepat akhirnya tangan kecilnya meraih kenop pintu dan keluar dari rumah. Tak menghiraukan lagi bagaimana Neji berteriak hingga menyusulnya keluar.

.

.

.


LIAR PRINCE & INNOCENT PRINCESS


Liar Prince and Innocent Princess

Liar Prince and Innocent Princess©Hachi Breeze

Character from:

Naruto©Masashi Kishimoto

Present for ©SasuHina

©June, 2014


©2014


©Hachi Breeze


.

.

.

"Hinata-chan!"

Hinata tertawa bahagia ketika menemukan Sasuke masih bersembunyi di balik tiang listrik besar yang tak jauh dari gerbang depan rumahnya. Pemuda Uchiha bungsu yang masih kecil itu menampakan senyuman bahagianya. Ketika Hinata baru saja keluar dari gerbang depan rumahnya, gadis itu langsung menarik lengan Sasuke untuk segera lari dari sana. Pemuda kecil yang hanya mengenakan kaos biru dan celana pendek selutut berwarna hitam itu mengikuti Hinata dari belakang. Membiarkan gadis itu menariknya pergi.

Baru lima meter setelahnya, ia bisa melihat Neji yang mengejar dengan napas yang tak kalah memburu di belakang sana. Sasuke hanya melirik dan masih mengikuti Hinata dari belakang sana.

.

.

.

Sasuke melirik Hinata perlahan. Pemuda itu mengamati bagaimana gadis kecil yang beberapa tahun lebih muda di depannya itu tersenyum. Sedikit tersipu, Sasuke mencoba mengalihkan perhatiannya. Ia kembali menepuk pasir yang mulai mengeras di kotak pasir besar tengah taman perumahan kompleks. Mereka berdua membangun istana pasir dari tanah taman bermain. Sasuke masih diam ketika Hinata terus mengajaknya bicara. Sasuke kembali melirik Hinata lagi. Kali ini bukan lagi wajah gadis itu yang ditujunya, melainkan bagian bawah terusannya yang berwarna putih itu. Pakaiannya kotor, jelas sekali terlihat terlebih Hinata mengenakan warna putih. Tidak seperti dirinya yang hanya terlihat samar karena warna pakaiannya yang gelap.

Sasuke mencoba mengeluarkan suaranya, tapi Hinata masih tersenyum manis.

"Sasuke-kun,"

"Hn?"

"Setelah ini apa yang akan kau lakukan?"

"Tidak ada." Pemuda itu jelas menyembunyikan apa yang ia rasakan ketika ia bisa merasakan panas dengan jelas di wajahnya. Ia berbohong jika ia tidak menyukai gadis yang ada di depannya.

Hinata hanya melenguh mengerti walaupun itu bukanlah sebuah balasan dari sebuah jawaban. Tapi hanya itu yang bisa dilakukannya setelah tak ada yang bisa ia utarakan lagi setelah Sasuke menjawabnya dengan buntu. "Besok, masih mau main denganku?"

Sasuke kembali mendongak hanya untuk menemukan wajah manisnya lagi. Tapi disana ia sudah didahului dengan manik matanya yang teduh. Membuatnya merasa nyaman, mata Hinata. Mata yang tidak pernah bisa membuatnya berbohong. "T-Tentu saja, bodoh."

Mendengarnya saja Hinata sudah sangat senang. Hingga gadis itu langsung menyunggingkan senyumannya secara spontan.

"Ah, lihat! Lihat! Istana pasirnya sudah hampir jadi! Ayo kita buat beberapa orang-orangan pasir untuk pelengkapnya!"

Sasuke tak bisa berpaling dari sana. Walaupun umurnya dan Hinata masih kecil, belum lagi berbeda beberapa tahun. Ia hanya mengerti jika jauh di dalam hatinya, ia ingin terus bersama Hinata.

"Hinata,"

"Hmm?"

"Jika sudah besar, menikahlah denganku."

.

.

.

Hinata berbalik menatap Neji yang berdiri di belakangnya dengan wajah masam. Pemuda kecil itu masih diam tak mengeluarkan suara apa-apa. Hanya mengamati noda-noda yang ada di bagian bawah terusan warna putihnya yang kentara itu. Meskipun sudah ia peringatkan untuk tidak cemas, pemuda kecil itu tidak menurutinya sama sekali. Untuk sekali seumur hidup, itu adalah pertama kalinya ia tak melihat lagi sosok Neji yang tegap selama beberapa jam hingga makan malam selesai. Tanpa ada kata pamit yang sampai pada pendengarannya.

.

.

.

"Hei, berjanjilah padaku."

"Apa?"

.

.

.

Hinata menatap keluar jendela lagi. Gadis kecil itu masih menunggu bagaimana suara yang khas itu memanggilnya lagi. Ia masih menunggu. Kali ini Hinata tidak lagi memakai terusan berwarna putih, ataupun semua pakaian yang berwarna putih. Karena jika ia melakukannya, ia akan membuat Neji cemas lagi seperti kemarin. Semalam, Hinata benar-benar tak menemukan lagi sosok Neji yang biasanya akan kontrol rutin melewati depan kamarnya, sekadar berjalan saja. Bahkan hingga ia sudah terlelap tidur setelah makan malam selesai. Hingga pagi-pagi sekali, ia sudah menemukan bayangan Neji yang mengetuk pintu kamarnya.

Bukan saatnya untuk Hinata bertanya, tapi yang ia pertanyakan adalah dimana Sasuke sekarang. Bukankah mereka berdua sudah berjanji akan bermain bersama kembali hari ini?

Tidak seperti biasanya, tidak lagi terdengar suara Sasuke yang memanggil namanya di depan rumah. Hanya ada beberapa pelayan rumahnya yang berdiri disana dengan pemotong rumput. Suara bising saja yang dapat di dengarnya. Tidak ada suara keras yang selalu membuatnya keluar untuk bermain.

Hinata melangkah turun dari kasurnya setelah lelah menunggu dengan hanya memandang jendelanya saja. Gadis itu bergegas berjalan menuju pintu dan hendak keluar rumah lagi.

Memang tidak akan mudah jika akan menemukan Neji yang sudah berada di depan pintu. Tapi bukan itu yang membuat Hinata menghentikan niatnya untuk tidak keluar untuk bermain. Melainkan sebuah kertas putih yang ditujukan kepadanya lah yang membuatnya berhenti.

"Kau hanyalah gadis bodoh yang selama ini percaya kepadaku."

-Uchiha Sasuke-

Dan Hinata mulai sakit hati sejak saat itu.

.

.

.

Sepuluh tahun berlalu sejak saat itu. Neji membungkukan badan menyambut Hinata yang turun dari mobil. Tahun demi tahun berlalu, gadis itu pergi untuk melanjutkan studinya ke sekolah khusus wanita di Kyoto. Hinata melepas masa kecil hingga remajanya dari Tokyo untuk pergi mencari pengalaman baru dengan secuil luka yang membuatnya tak bisa lupa. Selagi Hinata membenahi seragamnya yang kusut, Neji mengambil tas besar milik Hinata dari dalam bagasi mobil. Pemuda itu sedikit menarik lengan bajunya untuk mempermudah, lalu berjalan di belakang Hinata yang mulai melangkah pelan. Rambut Hinata yang kian panjang menutupi kesuluruhan punggung kecilnya. Neji hanya tersenyum. Ini pertemuannya dengan Hinata untuk pertama kalinya, lagi. Setelah sepuluh tahun gadis itu meninggalkan rumah untuk menyembuhkan luka hati pada sekolah khusus wanita.

"T-Tidak banyak yang berubah dari sini, ya, Neji-nii?"

Neji memejamkan matanya dan mengangguk. Urat nadinya terlihat kentara ketika ia membawa dengan tegas tas besar Hinata. "Ya. Justru anda yang banyak berubah, Hinata-sama. "

Hinata sedikit menengok ketika ia merasa penasaran. Namun ia tetap melangkah hingga mendekati pintu, "Anda terlihat lebih anggun dan cantik dari sebelumnya."

Hinata hanya tersenyum. "Bagaimana keadaaan di rumah ketika aku tidak ada?"

"Semuanya baik-baik saja."

Hinata tersenyum lagi.

"Anda mungkin lelah, tapi Hiashi sudah menunggu anda di ruang tengah. Mohon bersabarlah Hinata-sama."

Bukannya tidak mau. Gadis itu hanya bisa tersenyum dan mengangguk perlahan. Langkah kakinya yang berat tidak bisa menutupi jika dirinya sangatlah lelah setelah melakukan perjalanan panjang dari Kyoto kembali ke Tokyo. Tulang punggungnya rasanya ngilu sekali hingga serasa tak bisa bergerak. Tapi, yang ingin menemuinya sekarang ini tak lain adalah ayahnya sendiri. Ia tak bisa menolak selain mengangguk.

Neji berganti mendahului Hinata untuk sekadar membuka pintu kepada nona mudanya. Pemuda itu kini bukan lagi seorang bocah kecil yang tak akan bisa apa-apa untuknya. Kini kakak sepupunya yang sudah mengabdi untuk menjaganya itu sudah tumbuh menjadi pria dewasa yang bisa memikat siapa saja. Dan Hinata hanya bisa tersenyum selama dirinya tidak disini ternyata Neji sudah melakukan sebuah perubahan yang sangat besar. lalu, bagaimana dengan Hanabi, adiknya? Ia semakin tak sabar untuk segera bertemu dengan keluarganya.

Ketika Neji membukakan pintu bagian dalam yang menghubungkan ruang tengah keluarga dengan ruang khusus untuk tamu ini, membuat Hinata benar-benar rindu. Sebelum masuk, ia membungkuk terlebih dahulu. Memberi salam kepada Hiashi yang sudah duduk disana dengan tenangnya. Memejamkan mata di dekat meja penghangat. Tak lama setelah Hinata masuk, Neji menyusul masuk dengan membawa dua cangkir teh hijau yang hangat. Pemuda itu meletakannya dengan sangat hati-hati. Begitu pintu kembali ditutup hingga menyisakan mereka berdua kembali, Hinata perlahan mulai duduk.

Ruang tengah yang dikhususkan hanya untuk berbicara penting di antara keluarga ini membuat Hinata menjadi kikuk. Ini pertama kalinya setelah sekian lama ia sudah tak bertemu dengan Hiashi selama sepuluh tahun, lalu ketika ia sudah menginjakan kaki di rumah ternyata ada sesuatu yang membat pria paruh baya itu gusar. Perlahan, Hinata mulai mendesak maju mendekati meja penghangat dan berhadapan lebih dekat dengan ayahnya.

Hinata sedikit tersenyum dan memberi salam kecil ketika ayahnya mulai membenarkan duduknya.

"Bagaimana kabarmu?"

Hinata mendongak, "Baik. Tou-san bagaimana?"

Hiashi hanya menggangguk. Hinata hanya tersenyum sambil memerhatikan cangkirnya. Satu yang dapat Hiashi dapati dari perubahan Hinata semenjak sepuluh tahun sekolah pada sekolah khusus wanita. Anak gadis sulungnya sudah tak lagi gagap seperti dahulu.

"Kenapa kau memilih untuk keluar dari sekolah khusus wanita?"

"Ah," mulanya Hinata hanya mendongak sebelum pada akhirnya ia berubah menjadi kikuk. Ia bingung harus menjawab apa pertanyaan ayahnya yang mendadak ritoris. Tak ada yang bisa ia siapkan untuk menjadi jawaban.

"Apa karena Uchiha?" Hinata tertegun.

"Uchiha Sasuke. Ituloh, pemuda yang waktu kecil mengintip di depan rumah sambil memanggil namamu itu."

"Tidak. Bukan karena dia."

Hinata meremas ujung bawahan seragamnya. Setidaknya jangan nama itu yang harus ia dengarkan saat ini setelah selama sepuluh tahun terakhir. Hiashi menilik wajah tegas putrinya. Sungguh sebuah perubahan yang sempurna dari putri kikuknya yang dulu. Ia lebih bangga memiliki seorang putri yang seperti sekarang. Tak menyesal ia telah memasukan Hinata kesana setelah gadis itu memintanya secara langsung. Mungkin Hanabi perlu mengikuti jejaknya walaupun secara kesuluruhan mental Hanabi sudah memenuhi. Berganti topik, Hiashi mencoba untuk berdehem hanya sekadar untuk berbincang pada putrinya. Matanya berganti menilik anyaman bambu yang apik pada ukiran dinding atap rumahnya. Pria paruh baya itu kembali berpikir. Ia mengambil cangkirnya dan meneguk tehnya sebentar.

"Kudengar, Sasuke bekerja -"

"Tou-san, jika pembicaraan ini tidaklah seberapa penting …, tolonglah biarkan aku pergi. Aku lelah."

Pria paruh baya itu mengerti hanya dengan sekali pandang pada seragam elit yang belum dilepaskan Hinata. Ia hanya menghembuskan napasnya seraya mengayunkan tangannya. Sebagai ucapan terima kasih, Hinata membungkuk perlahan sebelum pada akhirnya pergi. Hinata menutup pintu dengan sangat perlahan, namun ia tak beranjak pergi. Ia hanya bersandar sebentar disana. Mencoba menenangkan gemuruh yang dirasakannya pada dadanya.

"Sasuke-kun," dan bibirnya pun mulai bergetar.

.

.

.

"Berbohonglah padanya."

"Jangan bercanda!"

.

.

.

Di awal umurnya yang beranjak menjadi dua puluh tiga tahun itu membuat Sasuke hanya bisa menguap di balik jas yang membuatnya terlihat berwibawa. Namun nyatanya ia hanya bisa menggoda siswinya dengan senyuman mautnya. Pemuda itu sudah tak bisa lagi dikatakan remaja, namun seorang pemuda yang akan beranjak menjadi pria dewasa. Sorot matanya yang tajam tak bisa sembarangan melirik kemana-mana. Sebingkai kaca dengan ukuran silinder telah membatasi penglihatannya. Membuat mata kelamnya yang tajam tak bisa menjangkau bayangan dengan jelas. Disetiap langkahnya pasti akan terdengar sebutan namanya yang di iringi dengan godaan dari siswinya. Sasuke hanya bisa memasang senyuman palsu.

Rambut dengan panjang yang standard namun terawat, memakai jas dan dasi layaknya orang berpendidikan tinggi, terbukti dengan profesinya yang mendapat gelas Doctor untuk bagian Guru di umurnya yang masih muda, sangat jenius, kaya, dan tampan. Jelas saja banyak siswa yang akan mengejarnya walaupun tak mungkin. Setiap sekolah pastinya akan memasang peraturan dimana percintaan antara hubungan guru dan siswanya sangatlah ditentang. Selain itu, untuk mengantisipasi adanya hal ini Sasuke telah mengajak Sakura pada simulasi kencan yang membuatnya berpura-pura sebagai kekasihnya. Tapi tetap saja tidak seberapa mempan.

Sasuke bisa melihat Sakura yang masih berdiri di depan pintu ruang kesehatan dengan memutar-mutar kunci. Berusaha membuka pintu ruang kerjanya. Sasuke yang malas masih menyunggingkan senyumannya untuk menyapa beberapa siswi yang ditemuinya.

"Oh, Sasuke-sensei. Selamat pagi."

"Hn. Pagi, Sakura."

Sakura masih tersenyum walaupun pemuda yang ada di sampingnya ini tak langsung segera pergi dari sana. Ia tahu pemuda itu akan melakukan itu sambil mendongak ke atas. Gadis itu tahu jika pemuda itu tidaklah mencintainya, ia hanya kasihan terhadapnya dan memanfaatkannya pada situasi kritis di saat yang menguntungkan. Tapi tidak apa.

Perlahan Sakura melirik Sasuke dari ekor matanya. "Kudengar, Kurenai-sensei tengah mengamuk setelah mendapati beberapa absen warna merah pada namamu."

"Hn?"

"Itu artinya kau harus menghadap, sensei!"

"Wanita tua itu, selalu saja mengejarku untuk menghadirinya. Aku malas."

"Hanya untuk hari ini saja, datanglah kepadanya dan meminta ijin untuk absensi. Sekalian minta maaf saja."

"Hn."

Sakura kembali melirik Sasuke. "Kau menggoda siswi lagi?"

"Tidak. Mana mungkin aku menggoda mereka? Yang ada mereka yang akan mengejarku." Senyuman searah yang ditujukan pemuda itu sudah ia pahami. Berada di sekeliling Sasuke membuat Sakura paham bagaimana dan kapan pemuda itu akan berbohong.

"Kau sudah tak pandai berbohong, Sasuke."

"Sudah tahu, pakai nanya."

Belum lama ia menyandarkan punggungnya, ia langsung pergi. "Jangan lupa untuk minta maaf!"

Teriakan Sakura hanya disambut oleh ayunan tangan kanan Sasuke yang bebas. Malahan, teriakannya sudah kalah tertelan oleh beberapa siswi yang menyapa Sasuke. Pemuda itu, sungguh sangat populernya dia meskipun sudah memasuki usia yang dewasa sebagai guru muda.

.

.

.

"Jauhi dia."

.

.

.

Di koridor yang sepi, Sasuke mulai melambatkan langkah kakinya. Disana ia mulai bisa menjadi dirinya sendiri ketika sekelilingnya sudah sepi. Pemuda itu memasukan salah satu telapak tangannya yang kosong ke dalam saku celananya. Jas yang sedikit berantakan itu tak ia permasalahkan, bahkan rambutnya yang hampir menyentuh alis matanya. Sasuke hanya bisa memandang kosong keluar jendela koridor yang sepi. Menerawang jauh keluar sana.

"Hinata," dan ia hanya bisa menghembuskan napasnya sebelum napasnya kembali tercekat menemukan sosok Hyuuga Neji yang memandangnya tajam di bawah sana.

.

.

.

"Tumben sekali kau bisa ada disini, Hyuuga? Kehilangan tuanmu?"

Sasuke masih tertawa dengan senyuman mautnya seperti biasa. Menjadi prince charming seakan sudah membalikan dunianya saat ia masih kecil. Senyuman dan tawanya yang sudah tak sama lagi seperti sepuluh tahun lalu ketika ia kehilangan sesuatu. Ia sudah bukan lagi bocah remaja yang bisa melepaskan senyuman tanpa beban seperti itu lagi. Itu hanyalah dulu, di masa lalunya.

Neji masih diam tidak menjawab. Ia berdiam diri di samping mobil tanpa sepatah katapun untuk menjelaskan walaupun jauh dalam hatinya ia ingin membalas pemuda Uchiha yang umurnya lebih muda darinya itu. Bibir Neji mulai mengatup hendak menyuarakan apa yang ingin diungkapkannya. Hingga membuat dunia Sasuke seakan terjungkir balikan.

.

.

.

"Hinata-sama sudah kembali …, alasannya lebih tepat karena untukmu."

.

.

.

Hanya satu kalimat yang tak memuat verba kasar sedikitpun. Entah mengapa kalimat dari Neji itu sudah membuat hatinya terasa ngilu layaknya teriris. Panas layaknya terbakar dengan keringatnya yang dingin. Ia sudah menulikan suara yang menyapanya daritadi. Sepertinya dari awal ia harus menuruti saran Sakura untuk menemui Kurenai-sensei mengenai absensi yang sudah ia warnai dengan warna merah karena absen tanpa keterangan. Karena disana ia pasti bisa menemukan sesuatu yang telah hilang lama.

Pintu ruang absensi dan administrasi yang ada disana terbuka dengan paksa karena Sasuke. Guru muda itu nampak semakin berantakan ketika rambutnya terkena angina selama ia berlari. Peluh juga menuruni kening dan pelipis, kacamatanya pun sampai berembun. Sasuke tidak bisa memungkiri disana ia benar-benar bisa menemukannya.

"H-Hinata?"

Tidak hanya Kurenai yang sebenarnya terkejut karena ulah Sasuke, tapi Hinata lah yang lebih terkejut. Namun ia sudah bisa mengontrolnya untuk menjadi suatu emosi stabil.

"Sasuke-sensei! Kau kem-"

"Hyuu-!"

"Sasuke-sensei! Dengarkan aku dulu! Kenapa kau banyak-tapi tunggu dulu, kenapa kau berantakan?"

Sasuke masih mencoba mengatur napasnya. "Aku terlambat. Tadi ada kucing tertabrak dekat apartemenku."

Bohong. Hanya kebohongan yang bisa ia keluarkan karena pikiran dan pandangannya hanyalah fokus tertuju pada Hinata. "K-Kau, Hyuuga Hinata, kan?"

Hinata hanya tersenyum. Gadis itu hanya tersenyum, sesuatu yang pada akhirnya membuat Sasuke menjadi luluh. "Lama tidak bertemu, Uchiha-san."

Sasuke hanya bisa tersenyum dengan wajah teduhnya, sebuah hal yang sudah lama tak dilakukannya lagi. Kurenai melihat keduanya dengan bingung. Bahkan wanita setengah baya itu hampir tak bisa mengeluarkan suara, "Kalian berdua sudah saling kenal, ya, Uchiha-sensei, Hyuuga-san?"

"Ya. Sudah sangat lama."

Ya, hanya Hinata lah yang pada akhirnya bisa membuatnya menjadi orang terjujur selama hidupnya.

Karena kejujurannya telah kembali pada sisinya.

.

.

.


END (or) TBC?

(._.)a

©Hachi Breeze

©2014


.

.

.

Hinata mengikuti Sasuke dengan kikuk walaupun ia berusaha tenang. Gadis itu melewati beberapa koridor yang tak seberapa ia pahami karena baru saja masuk untuk menjadi siswi di sekolah ini. Lain lagi dengan kikuknya Sasuke. Pemuda itu hanya diam sambil mengantongi buku tebal menggunakan sebelah tangannya. Sesekali pandangannya beralih keluar jendela. Namun disana mereka semua mulai bertemu.

Ketika pandangan Sasuke keluar dari jendela, ia bisa menemukan bagaimana Neji memandangnya tajam dari tempat semula. Walaupun Sasuke sempat ingin mengatakan terima kasih telah memberi tahunya, namun gagal pemuda itu lakukan setiap menemukan wajah Neji. Sedikit saja, ia bisa merasakan tangan Hinata samar hampir meraihnya di belakang. Bahkan suara siswi yang memanggil namanya pun tak bisa ia dengar dengan jelas. Karena ia hanya fokus pada dua orang Hyuuga yang ada di bawah dan belakangnya.

Hinata semakin kikuk ketika ia berjalan di belakang Sasuke ternyata banyak sekali siswi yang meneriakan nama pemuda itu. Satu hal lagi yang tak disangkanya, selama sepuluh tahun ini Sasuke berubah menjadi orang yang populer. Ketika ia mendongak menatap Sasuke, yang mengambil perhatiannya bukanlah punggung lebarnya. Melainkan seorang guru muda yang cantik berdiri di depan ruang kesehatan. Dengan raut wajahnya yang seakan kecewa dari wanita itu, Hinata hampir saja meraih ujung baju Sasuke.

Neji bisa melihat bayangan Hinata yang berjalan tepat di belakang pemuda yang lebih muda darinya itu. Walaupun profesi mereka berdua berbeda, yang sejak dulu selalu berbeda, membuat Neji hanya bisa membuat suara gemerutuk dari giginya karena sebal. Pemuda itu tak menunjukannya pada wajahnya yang tegas ketika menemukan manik hitam tajam itu mengintimidasinya.

Mendengar suara ribut-ribut yang semakin menjadi, membuat Sakura mau tak mau keluar dari ruang kesehatan dengan penasaran. Wanita itu mengerti nama siapa yang terus saja digemakan di koridor, hanya saja ia penasaran apa yang sedang terjadi dengan pemilik nama itu. Begitu membuka pintu ruang kesehatan, Sakura sudah menemukan Sasuke yang tak jauh dari sana tengah memandang ke bawah melalui jendela. Di belakangnya juga sudah berdiri gadis cantik yang belum pernah dilihatnya. Sesaat, jauh di lubuk hati Sakura terasa sakit.

Tuhan, biarkan kebohongan terungkap.

.

.

.


#Review?