I warn you, kissing scene ahead.


Hari-hari biasa Midorima menjenguk Takao, adalah saat pemuda itu sedang tidur. Karena saat pemuda pemilik seluruh jiwanya itu membuka mata, Midorima selalu memastikan dialah hal pertama yang Takao lihat. Terkadang, dia yang tidur saat Takao terbangun dengan jari mereka bertautan.

.

.

Takao menoleh ke luar jendela. Senja yang cantik adalah hal kedua yang dia lihat. Jemari tangannya bertautan semakin erat. Ditegakkan badannya untuk duduk di pembaringan. Dikecupnya lembut surai hijau familiar yang tertidur dengan mendekap tangan kirinya.

Penembak jitu Shuutoku mengerang. Cukup dikecup saja sudah bangun, rupanya.

"Shin-chan, kau langsung bangun begitu kucium. Seperti putri tidur saja." goda sang elang begitu Midorima sudah sadar dan kini terduduk sambil membetulkan kacamatanya. Mata tajamnya memperhatikan tubuh besar itu yang masih terbalut seragam sekolah, dan di meja sebrang pembaringan ada sebuah guci biru kecil—oh, mungkin itu lucky item Shin-chan hari ini.

Midorima menghela nafas, "Bakao, bukankah seharusnya terbalik?"

Takao hanya membalas dengan tertawa kecil. Dia mengusap punggung tangan Midorima dengan ibu jarinya, dan hening yang menciptakan getaran-getaran itu hadir. Matahari yang hampir tenggelam adalah saksi bisu atas kedua pemuda yang saling menatap tanpa kata—tapi rasa cinta itu ada. Detik berlalu dan entah siapa yang memulai, dua bibir yang kering itu saling menyatu. Mengecup. Merasakan. Membuai. Memeluk. Memagut—dan melengkapi.

"Aku lapar." sedikit mendesah, Takao menginterupsi bibir Midorima yang sedang memberi kecupan-kecupan ringan di sekitar bibirnya. Bibir yang sedari tadi aktif itu mendecak pelan.

Midorima berhenti, mendelik pada jam yang tergantung di dinding dan memandang Takao sejenak. "Baik. Kau mau makan apa? Masih satu jam lagi sebelum suster datang dan mengantarkan makan malam."

"Belikan aku roti melon dan sekaleng kopi." pinta Takao dengan suara manja. Sengaja, sepertinya.

"Kau dilarang minum minuman kaleng, Bakao. Sekotak susu saja."

Sebelum dia membuka mulut untuk protes, bibir itu kembali diberi kecupan ringan. Midorima rupanya tahu cara efektif membungkam mulut rewel kekasihnya. Takao mendecih pelan saat Midorima berdiri untuk pergi. Kemana perginya sifat tsundere Shin-chan dulu, sih? Dia jauh lebih menyenangkan untuk dijahili. Shin-chan yang sekarang bersikap lebih dewasa dan memilih tidak menggubris candaannya.

.

.

Senja sudah lama tergantikan dengan beludru malam. Takao diam sambil menonton televisi yang menampilkan dorama percintaan. Midorima sedang serius belajar di sisi lain ruangan. Sedari tadi sejak makan malam, inilah yang mereka lakukan. Sesekali, Takao melemparkan candaan namun tidak ditanggapi. Takao sedikit kecewa, tetapi dia memakluminya. Wajar saja Midorima belajar sekeras itu—ujian akhir hanya tinggal seminggu lagi.

Tunggu—ujian akhir?

Takao menatap punggung Midorima yang membelakanginya. Apa yang akan dilakukan mantan tsundere itu setelah lulus? Apa dia akan pergi? Apa mimpi Shin-chan—Takao sama sekali tidak tahu. Bagaimana dengan mimpi-mimpinya sendiri? Tidak seperti Shin-chan, Takao tidak pernah memikirkan mimpinya sendiri. Baginya, sudah cukup selama ini dia dapat bermain basket bersama. Dia takut. Takao sangat takut Midorima akan segera pergi. Takao sama sekali tidak menginginkan hal ini—

—tapi apa yang bisa dia lakukan? Apa dia berhak menghentikan Shin-chan? Sejak pertama kali bertemu, hidupnya hanya untuk Midorima. Jika pemilik seluruh jiwanya itu pergi—apa yang akan dia lakukan nanti?

Apa yang akan dia lakukan—tanpa ada sosok Midorima di sisinya lagi?

Tanpa disadari, air mata sudah mengalir di pipinya. Takao mengulurkan tangannya ke arah Midorima. Menggapai—dan menyadari ada jarak yang memisahkan mereka. Seperti inikah rasanya nanti? Jarak ini akan semakin besar dan membuat Midorima menjauh—hingga tidak terlihat lagi.

"Jangan pergi."

Ingin rasanya Takao meminta—tapi ada satu sisi dari dalam diri yang menghentikannya.

Kondisinya sudah seperti ini. Takao menatap nanar pada tubuhnya sendiri. Tangan kirinya memang pulih, tapi tidak sekuat sebelumnya. Kedua kakinya memang sudah bisa berjalan, namun masih tertatih. Ada sebuah goresan luka permanen di pelipis kanannya yang cukup panjang—yang masih terasa perih jika disentuh. Dan satu bagian lain yang paling dia benci—lengan kanannya yang masih terbungkus perban. Lukanya luar dalam. Sudah dua minggu dia berada di sini tapi tetap saja tangan kanannya tidak mau bergerak—

Takao menggigit bibirnya kuat-kuat—

Kenapa harus seperti ini? Kenapa di saat-saat terakhir dia bersama Shin-chan, keadaannya harus seperti ini?

Takao menghapus air mata dan menarik nafas dalam perlahan—sedikit menenangkan emosinya. Ditatapnya kembali punggung besar itu—Midorima masih berkutat dengan soal-soal. Sejak dulu, Shin-chan memang selalu seperti itu, selalu masuk ke jajaran peringkat sepuluh besar sekolah. Apa yang membuat Midorima selalu belajar dengan keras seperti itu—Takao juga sama sekali tidak tahu.

"Shin-chan." panggilnya—dengan nada sedikit bergetar. Yang dipanggil hanya menjawab dengan gumaman 'hmm' singkat.

Takao tersenyum perih. Mendadak hatinya sakit. Mata memandang punggung yang semakin terlihat tidak terjangkau. Ingin rasanya dia memanggil nama yang ribuan kali dia panggil itu lagi—tetapi dia tahu itu sia-sia.

Takao terkesiap. Apakah seperti ini jadinya? Shin-chan yang tidak pernah menoleh ketika dipanggil. Shin-chan yang bahkan mungkin akan tidak menyadari bahwa namanya dipanggil.

Takao tahu Shin-chan yang dia cintai itu akan pergi. Dia tidak tahu kemana, kapan, dan untuk apa. Dia hanya tahu—Shin-chan akan pergi meninggalkannya sendiri.

"Shin-chan." panggilnya sekali lagi, kali ini dengan suara yang lebih lemah. Midorima kembali menggumam pelan sebagai jawaban. Takao menatap layar televisi itu dengan hampa.

"Kenapa kau belajar di saat menemaniku di sini? Kalau sampai nilaimu turun, jangan salahkan aku. Lebih baik kau pulang dan melanjutkan belajarmu di rumah—kurasa, itu akan lebih bagus untukmu." sedikit puas karena berhasil menahan nada suaranya untuk tidak terdengar menyedihkan—buru-buru Takao melanjutkan sebelum Midorima yang telah menoleh ke arahnya membuka mulut untuk bicara, "Aku hanya tidak ingin menjadi menjadi halangan bagimu. Lagipula aku—tidak terlalu membutuhkan simpati."

Tangan kirinya mengepal—tanda bahwa dia sedang menahan perasaannya. Takao terus memaksa seperti sedang terlihat baik-baik saja dengan mencoba menonton televisi. Dia tidak berani untuk menoleh saat mendengar suara langkah kaki yang dikenalnya mendekat.

"Bakao." Midorima menggeser kursi dan duduk di samping pembaringan. Ditatapnya lekat-lekat wajah yang masih tidak mau menoleh padanya itu. "Lihat, dan—dengar." tangan besarnya yang selalu ditutupi perban meraih dagu sang surai eboni, membawa wajah itu untuk mau menatapnya. Takao yang tampak terkejut begitu mata mereka bertemu, sedikit menunduk dan menggelengkan kepalanya pelan.

Perlahan, kedua telapak tangan Midorima menempel di kedua pipi halus Takao, mengangkatnya dan menatap iris perak kebiruan indah—sedang menyiratkan perih yang amat sangat. Midorima tersenyum miris menatapnya—dulu mata itu selalu bersinar, namun sekarang terlihat lebih gelap, dengan lingkaran hitam di sekitar matanya. Pernah sekali dia ingin mengutuk takdir yang melakukan ini pada belahan jiwanya—tetapi dia menyadari bahwa hal itu tidak akan berguna. Tidak hanya Takao yang menderita—Midorima sendiri sudah menderita menyaksikan kekasihnya setiap kali menjerit-jerit kesakitan—tanpa ada sesuatu yang bisa dia lakukan.

"Kau tidak pernah menjadi halangan untukku, Bakao." ibu jemarinya dengan lembut mengusap pelan pipi yang disentuhnya, "Sebaliknya, kau menjadi alasan kuat bagiku dalam mengejar mimpiku, dan—jika kau khawatir bila aku akan pergi meninggalkanmu—" Midorima menatap dalam mata yang terluka itu lagi—menikmati sekian detik keheningan yang seolah tercipta khusus bagi rasa cinta mereka untuk terdengar dan mengisi kekosongan—menarik nafas dalam dan tersenyum penuh cinta padanya, "Ingatlah bahwa aku hanya akan mencintaimu, Kazunari. Tidak ada yang dapat menggantikanmu, selamanya."

Takao tidak diberikan kesempatan untuk membalas, dia bahkan tidak diberikan kesempatan untuk berpikir, saat bibir mereka menyatu kembali. Midorima mendekap tubuh dan menghujani bibirnya dengan kecupan-kecupan lembut yang intens—seolah meminta Takao untuk yakin akan pernyataan cintanya barusan. Midorima bukanlah orang yang bagus dalam menyatakan perasaannya lewat kata-kata—dan ia menyatakannya dengan tindakan.

Takao sedikit terengah saat akhirnya ciuman mereka berhenti. Pikirannya dibuat melayang dengan mudah hanya dengan kecupan-kecupan cinta yang diberikan Midorima padanya.

Midorima menatap wajah itu lekat-lekat, "Kau—sudah mengerti sekarang?"

Takao mengangguk pelan, mengeluarkan semua keberaniannya dan ragu-ragu dia bertanya, "Aku ingin tahu—apa mimpimu, Shin-chan?"

Midorima menarik kursi dengan kakinya, lalu duduk dan menatap mata itu kembali, "Awalnya, mimpi itu bukanlah kemauanku. Orangtuaku yang memaksa." dia melepaskan perban yang membungkus tangan kirinya, "Mereka menganggap profesi itu adalah hal yang—kau tahu, demi menjaga nama baik keluarga. Ayahku sangat menginginkanku menjadi seseorang yang besar, seperti dirinya." dia mulai melepas perban di tangan kanannya, "Ayahku menentang basket, dia menganggap hal itu bisa merusak konsentrasiku. Kami bertengkar dan pada akhirnya sepakat, bahwa aku diijinkan bermain basket hanya sampai lulus SMA. Setelahnya, aku harus mengikuti kemauannya. Mengejar mimpinya—bukan mimpiku."

Takao menatapnya simpatik. Midorima kembali bersuara, "Tidak perlu menatapku seperti itu, Bakao." dia tersenyum tulus, "Pada akhirnya, aku tahu mimpi yang dipaksakan padaku itu ada alasannya, dan sekarang aku sudah menemukannya."

"Alasan mimpimu, Shin-chan?"

Midorima tersenyum. "Ya, kau ingin tahu?"

Takao menelan ludah, lalu mengangguk. Sedikit terkesiap saat tiba-tiba Midorima menautkan jemari-jemarinya yang tidak lagi terbungkus perban pada tangan kirinya.

"Mimpiku menjadi seorang dokter, dan Takao Kazunari adalah alasannya."

Takao tidak tahu, tapi mendadak air matanya tumpah. Perasaan lega dan bahagia memenuhinya. Hening itu sekali lagi datang—dan kini terisi oleh getaran-getaran cinta yang terdengar. Bulan yang mengintip di luar jendela menjadi saksi bisu dua anak manusia—saling menatap dan haus akan cinta.

"Berjanjilah padaku, kau harus jalani rehabilitasimu dengan baik—hingga aku datang menjemput dan membawamu bersamaku." suara lembut itu memecah kesunyian. Takao mengangguk pelan.

"Kau—harus berjanji padaku juga, Shin-chan." dia menarik nafas dalam-dalam, "Berjanjilah kau akan kembali padaku—karena aku akan terus menunggumu."

Midorima tersenyum, "Sampai kapan?"

Takao merunduk, menempelkan dahinya pada puncak kepala pemilik surai hijau itu.

"Selamanya, Shintarou." ia berbisik— "Selamanya."

Midorima meletakkan sebelah tangannya di belakang kepala Takao dan menariknya mendekat. Membuai bibir itu sekali lagi—dan larut dalam emosi cinta.

"Tentu saja, Kazunari." ia berbisik di sela-sela ciuman.

.

"Aku janji."

.

.

.

Jika aku adalah elang, aku adalah elang yang jatuh karena mencoba terbang dengan sepasang sayap yang patah. Tapi kau berada di sini dan mengajariku untuk terbang tanpa sayap, karena kau mencintaiku, Shin-chan.

.

.

.

fin.

reviews? terima kasih! ^-^