Cast : EXO's All Couple + Hansol SM Rookies

Disclaimer : God, Agency, Themselves, Author

Warn : Boys Love, NC. Not like? Do not read

Notes : Re-post dari cerita Our Love is Our Story yang versi aslinya di cast oleh Super Junior

000

"Membayar bagaimana maksud gege?"

Kris tersenyum. Sepertinya ada niat tersembunyi dibalik senyuman yang jarang-jarang tampil di wajah tirus itu. "Menurutmu? Aku akan membayar apapun."

"Benarkah? Kalau begitu," Wajah Tao mendekat dengan mata menjurus pada bibir Kris. Ketika Kris memberi respon—ikut mendekatkan wajahnya, Tao malah mendorong dada Kris. Ia tertawa geli, kelikikan yang macam anak-anak. "Hampiri Minnie-hyung dan ikuti semua sesi pemotretan hari ini." Kemudian ditinggalkannya sang gege model di ruangan itu.

Kris terdiam; tetap ditempat. Kemudian ia merenggut dadanya sendiri sambil terhuyung mencari pegangan untuk memapah berat tubuhnya. Astaga, sebegitu dahsyatkah efek dari wajah Tao yang terlalu dekat dipengelihatannya?

Dengan anggun Luhan berpose didepan kamera, sementara disisi Xiumin ada Sehun, Chanyeol, juga Kris, menunggu giliran untuk difoto.

"Lihat istriku itu, dia sangat menawan. Ya 'kan?"

"Istrimu? Dasar gila,"

Sehun dan Chanyeol mulai berisik. Ini hal biasa, jika Luhan sudah memamerkan berbagai gaya, dua laki-laki jangkung ini pasti 'berperang' memperebutkannya. Sementara Kris sibuk tengak-tengok kesana-kemari mencari Tao yang tak kunjung nampak.

"Baik, istirahat sebentar," Xiumin mengomando kemudian langsung melesat menuju pantry dan mencari makan siang (biasanya Chanyeol membawa serta satu-dua orang pelayan dirumahnya untuk memasak), namun ia tak menemukan sebutir nasi pun diatas meja.

"Hei, apa-apaan ini? Aku lapar!" Luhan risih, membaringkan tubuhnya asal-asalan di sofa (juga didalam pantry). Sehun menghampiri dan menggenggam tangannya.

"Mau kupesankan sesuatu?"

"Tidak mau, aku bosan dengan junk-food," Luhan merengek manja, memainkan jemari Sehun yang melingkari telunjuknya. "Sudahlah, Hunnie, jangan berisik saat aku kelaparan."

KRIS POV

Kemana anak itu? Rasanya baru saja aku melihatnya masih duduk mengacak-acak tas Xiu-ge, tapi sejak kapan dia lenyap? Kenapa aku tidak tahu sementara sejak tadi hanya dia yang kuperhatikan? Ah, mungkin karena aku melamun juga.

"Hei, Tao-ah, darimana kamu?"

Itu Xiu-ge, memanggil Tao—Ah?

Aku menoleh dan mendapati Tao yang tenggelam oleh belanjaan bawaannya. Kulihat, Xiu-ge beranjak dari sofa dan aku yakin dia berniat membantu Tao. Tidak, jangan sampai dia mendahuluiku. Aku melesat. Astaga, pelari gadungan yang payah. "Biar kubantu,"

"Seharusnya itu kerjaanku," Xiu-ge bergumam dan kembali duduk didekat tiga orang lain yang berkerumun di sofa merah-hitam. Aku puas bisa merebut sesuatu dari Xiu-ge, meski, yah, kalian tahu, aku tidak bisa melakukannya pada Han-ge.

"Letakan disini,"

Tao menaruh semua barang ke sudut tembok yang ada diantara kompor dan lemari pendingin. Aku mengikuti instruksinya dan meletakan apapun disana.

"Ada lagi yang bisa kubantu?" Tanyaku menawarkan. Aku tidak mau Tao memanggil siapapun selain aku. Ah, Yifan, kenapa kau sepayah ini jika bersama Tao? Ya, ya, aku memang terkejut saat tahu kalau Han-ge itu gay. Sebagai infromasi saja, aku menjerit bukan karena apa-apa, justru aku menjerit karena tidak menyangka kalau bukan hanya aku sendiri yang punya kelainan disini. Tidak, jangan tanyakan maksudnya jika kalian sudah tahu apa yang terjadi disini; apa yang terjadi padaku. Benar, aku jatuh cinta pada Tao.

"Kalau gege tidak keberatan," Ia tersenyum. Betapa aku memuja senyum lugunya. "Bantu aku menyiapkan makan siang untuk mereka."

"Makan siang untuk mereka?" Kutolehkan kepala kearah tiga laki-laki disana dengan kritis. "Orang-orang tidak jelas itu?"

"Jangan mengeluh, tadi 'kan gege yang menawarkan bantuan."

Ah, malas sekali rasanya. Aku tidak mau memasak sementara mereka hanya duduk santai-santai dan tidak membantu. Memangnya mereka raja? Tapi mau bagaimana lagi, ini permintaan Tao. "Baiklah," Akan kubantu meski tidak dengan senang hati.

"Ge, tolong buka saus tomatnya,"

"Oke."

Aku meraih sebotol saus tomat dan memutar tutup kemasannya. Aku lupa kalau botol itu masih disegel karena Tao baru membelinya, walau sampai patah seluruh tulang jariku tentu saja sausnya takkan terbuka. Tapi, kenapa keras begini? Tidak mungkin botol saus tomat disegel menggunakan lem besi. Aku masih saja berusaha, sementara ketika kulirik, Tao sedang mencicipi makanan instan yang entah apa.

Crott—

"Lah,"

Kami berdua sama-sama berseru kikuk. Aku berhasil membuka tutup botolnya, tapi saking ekstrem usaha dan tenaga yang kukerahkan, begitu segelnya lepas, isinya malah muncrat keluar dan menjadikan hidungku sebagai landasan. Kenapa aku harus nampak bodoh didepan Tao?

"Aku mau ambil tisu,"

"Tunggu, ge," Tao menarik lenganku dan membawaku mendekat kearahnya. Mulanya aku tak berpikir mengenai apa yang akan dia lakukan, tapi kemudian wajahnya menjurus dan membuatku kaget. Makin tak bisa bergerak lagi ketika Tao membersihkan saus tomat dihidungku dengan menggunakan lidahnya.

Lidah...

Aku syok.

"Aku suka saus tomat, ge!" Ia tersenyum riang. Telingaku serasa terbakar api kasat mata yang disulut peri-peri asmara. Coba pikir, aku bahkan tidak mampu mengendalikan laju detak jantungku sendiri! Lalu, Tao menepuk kedua pipiku pelan, "Wajah gege merah,"

"… Hah?" Suaraku sulit dikeluarkan dengan lancar, tersendat di kerongkongan.

"Oh, tidak, Kris-ge manis sekali!"

Huang Zitao, kejam sekali kau bersuara seperti itu dihadapanku. Kau suka menyiksaku? Aku menatap wajahnya lekat-lekat. Tuhan, sekali ini saja kabulkan keinginanku. Biarkan aku melakukannya, satu kali saja, Tuhan.

"Ge?"

"… Ya,"

"Kris-ge, ada apa?"

Sedikit lagi. Ya, sedikit lagi aku berhasil menyentuh bibirnya. Empat senti, tiga senti…

"Gege!"

Ia mendorong bahuku yang kini termenung. Kenapa begini?

"Jangan disini. Nanti Chan-ge marah,"

Apa aku salah dengar atau dia memang menunda apa yang akan kulakukan tadi? Apa dia tidak menolak?

KRIS POV —End—

"Kenapa Tao belum pulang?"

Suho melirik jam dinding di kost-annya. Sejak tadi ia menunggu Tao pulang karena sudah berniat untuk mengajak Lay pergi—kencan tepatnya.

"Lebih baik telepon saja, hyung," Sahut Lay, tak memalingkan pandangan dari televisi.

"Oh, iya, benar juga."

"Hyung bodoh."

"Aku tidak bodoh!" Suho mengambil ponselnya, memilih nama di kontak, kemudian menghubungi Tao. Ia segera mendapat sambutan. "Halo, Tao, apa kau lembur?"

"Tidak, hyung. Aku sedang menunggu bus. Ada apa?"

"Aku dan Lay akan pergi, jadi aku menunggumu pulang dulu karena disini tidak ada siapa-siapa."

"Begitu? Aku sedang perjalanan pulang, tunggu, ya, hyung,"

"Oke,"

Pip—Tao menekan tombol merah di ponsel kemudian kembali berjalan dengan mantel tebalnya yang berkesan ketinggalan zaman—ah, ya, itu peninggalan kakeknya, syal, dan sebuah penghangat telinga. Ia menggosok-gosok telapak tangan didepan hidung dan bibir, "Dingin," Katanya. Lalu terdengar suara klakson mobil yang nyaring, terdengar jelas kalau si pengemudi memang niat membunyikannya sebising itu. Tapi apa peduli Tao? Dia merasa benar, dia sudah berjalan di area khusus pejalan kaki, untuk apa meladeni orang gila yang gemar menekan klakson?

"Huang Zitao!"

Baiklah, kali ini Tao berubah pikiran. Tentu saja ia akan meladeni siapapun pemain klakson andal yang telah memanggil nama lengkapnya. Nampak sebuah mobil sedan warna merah berhenti tepat disisi trotoar dengan wajah Kris muncul dari jendelanya.

Tao melangkah mundur satu kali dan mengerjap bingung. "Ge, bukankah arah rumahmu kesana?" Tanyanya menunjuk kearah berlawanan.

"Memang. Tapi, aku punya janji denganmu 'kan?"

"Benarkah? Janji apa?"

"Aku mau membayar hari liburmu."

Tao mengingat-ingat, matanya melirik keatas seolah disana ada sekumpulan memori yang bisa ditelaah satu per satu. Bagi Kris itu adalah pemandangan yang sangat manis.

"Oh, itu. Sudahlah, tidak apa-apa. Gege pulang saja dan istirahat."

"Tidak," Kris melengos. Jangan sampai sifat kekanakannya muncul selagi ia mengendarai mobil keren. Sangat tidak elit. "Aku sudah berjanji."

"Iya, ge. Kalau begitu, batalkan."

Hening.

Kris keluar dari mobil, menggapai tangan Tao dan menggenggamnya erat. Ia menaut alis dengan iringan tatapan memaksa. "Aku tidak mau dengar penolakan. Aku tidak suka pada sesuatu yang batal." Ditambah, penekanan pada kata 'batal'.

Tao diam menatap polos, mencerna kalimat Kris barusan. "Dan aku tidak suka pada orang yang mencoba keras padaku."

"Astaga," Kris berjongkok lesu. "Ayolah, Tao, apa kau tega membuatku tak bisa tidur?"

"Yang tidak bisa tidur 'kan gege, bukan aku. Tidak apa-apa."

"Tega sekali kau padaku, Tao-ah," Si jangkung malah merengek.

"Apa, ge?"

"Biarkan aku melunasinya,"

"Tidak usah."

"Tao-ah,"

Tao kembali diam, kemudian menghela nafas. "Baiklah, gege bisa antar aku pu—" Kris segera menarik Tao untuk masuk kedalam mobilnya, memasangkan sabuk pengaman dan mulai menstarter mesin.

"Ini baru keren!"

Suho sudah siap berangkat, tapi berhubung Tao belum menampakan batang hidungnya, jadi ia dan Lay masih dan hanya duduk didepan televisi sambil bermesraan. Jangan tanya bagaimana 'mesra' versi pasangan ini, mereka melakukannya dengan baik tanpa skenario dan tanpa berlatih lebih dulu.

"Hyung," Lay meloloskan nafasnya dari bibir; nafas yang sejak tadi serasa hanya mampu disimpan dibalik dada. "… Apa yang kau pegang?"

"Tidak ada." Suara Suho sumbang.

"Ho—Suho, tanganmu… Jangan disana,"

"Kenapa?" Suho mendengung. "Aku tidak dengar apa yang kau katakan."

"Bohong—Ah! Hyung—Ah! Suho,"

Kali ini Suho berdesis, "Tenanglah, tidak apa-apa. Layie, apa kau mencintaiku?"

Lay terpejam, mendengarkan Suho yang bertanya sambil menhujani ciuman bertubi-tubi diwajah sang kekasih. Apa yang dapat Lay lakukan selain menjawab dengan nada kaku dan diselingi desah tak keruan? Yang tentu saja malah membuat Suho makin gila-gilaan.

"Layie, apa kau mencintaiku?"

Lay—untuk kesekian kali—meloloskan nafasnya yang tertahan. "Iya, aku men—Ah, mencintaimu,"

"Perdengarkan terus suara itu padaku." Dua lengan Suho merangkul tubuh Lay seutuhnya, lalu diangkat paksa hingga Lay memekik kaget, bertanya apa yang saat ini berani dipikirkan Suho. "Kau bertanya apa yang kulakukan? Yang kulakukan ini?" Suho menghempas Lay keatas kasur setelah menutup pintu kamar dengan kaki kirinya. Sekarang posisi mereka kurang lebihnya: Suho mengolongi tubuh Lay yang terbaring, yang hanya bisa menatap penuh penantian.

"Yang akan kulakukan adalah memakanmu."

"Tapi, hyung, kita harus—" Bibir Lay segera terkunci oleh bibir Suho. Diawali dari ciuman ini, ciuman yang eksotis dan panas ini, siapa yang masih bisa memastikan kalau mereka tetap berencana untuk pergi kencan diluar?

"Terima kasih, ge! Aku bisa menghemat ongkos."

"Iya," Kris tersenyum. "Tapi, ini masih belum cukup untuk membayarnya."

"Memangnya Kris-ge mau bayar yang bagaimana?"

Lalu senyuman Kris merubah atmosfir sekitar dengan aura-aura jahanam. Ia meraih tangan Tao dan menggenggamnya—itu pasti salah satu hal favoritnya, pasti—seperti saat mereka bertemu dijalan tadi. "Aku mau melanjutkan yang kita lakukan di pantry tadi. Tinggal sedikit lagi untuk…" Jemarinya meraba bibir Tao yang sejak tadi terbungkam. Gege jahil itu melanjutkan, "… Menciummu." Dengan bibir seakan memberi kecupan. Tao masih diam, memandangnya lurus-lurus. Astaga, apa yang menyerang otak panda itu hingga ia begini lamban?

Merasa tak ditanggapi, Kris yang malang hanya menghela nafas, melepas genggaman tangannya dan membuka pintu mobil untuk segera pergi. Tapi, "Kris-ge," Tao memanggilnya, menghampiri, kemudian memeluk lengan si gege. Kini mereka bertatapan.

"Ya, Tao?" Sahutan lesu menjawab panggilan Tao.

"Jangan pulang, bukankah gege mau membayarnya?"

Mata Kris melebar. "Kau mau melakukannya?"

Tao mengangguk polos. "Mau, ge." Matanya tetap lekat merayapi wajah Kris. Lalu ia berbisik, masih dengan ekspresinya yang seperti bocah SD. "Tapi tidak disini. Ayo masuk."

Jkrekk—

Tao membuka pintu, tapi ketika ia membawa Kris masuk, matanya tidak mendapati Suho dimanapun. Di ruang tamu, ruang tengah, dapur, atau kamar mandi. Atau jangan-jangan Suho sudah pergi meninggalkannya?

"Kris-ge, tunggu disini sebentar,"

Setelah mendapat anggukan dari Kris, Tao melangkah kearah sederet pintu disisi kanan ruang besar sewaan itu. Walaupun Kris mengangguk ketika diminta menunggu, orang itu tetap membuntut dibelakang Tao.

Tok, tok—"Suho-hyung?"

Tak ada jawaban dari pintu yang ia ketuk; pintu kamar Suho. Tapi, samar-samar Tao menangkap suara dari dalam sana. Sekali lagi diketuknya si pintu. "Suho-hyung, Kim Junmyeon!"

"Hyung… Ada yang memanggilmu,"

"Aku tahu, aku tahu," Suho masih antusias pada aktifitasnya diatas tubuh Lay. Ia tak bisa, tak mau berhenti bergerak sama sekali. Ini hal penting baginya, ini satu-satunya momen yang paling ditunggu Suho untuk dilakukan bersama Lay. Tapi, lagi-lagi suara cempreng Tao mengganggu konsentrasinya. Suho berdecak, "Kenapa dia berisik sekali?" Keluhnya, menahan pinggul Lay demi mencabut apapun yang ia tanam ditubuh kekasihnya itu. Ia bangkit dari atas kasur, mengenakan jubah tidur dan berjalan menuju pintu.

"Hyung," Lay menjerit tertahan, berusaha agar suaranya tak terdengar sampai keluar. "Suho-hyung, tunggu dulu. Hei, bodoh,"

"Apa?"

"Itu, bersihkan—"

"Suho-hyung! Kau didalam 'kan? Jawab aku, hyung!" Tao ngotot menuntaskan rasa penasaran, memastikan kalau Suho memang ada didalam kamar.

"Iya, Tao, iya! Aku memang didalam, kenapa?" Suho jengah sampai ikut menjerit.

"Hyung tidak jadi pergi, ya?" Tanya Tao—masih menjerit-ria—dari balik pintu. Suho menjenguk Lay, meminta jawaban dari pertanyaan Tao. Yah, kalau keadaannya sudah seperti ini mana mungkin Lay tetap mempertahankan niat kencannya? Tentu saja ia memberi gelengan, sambil menghalau tubuh telanjangnya dengan selimut.

"Tidak jadi, tiba-tiba aku sibuk," Jawab Suho—juga dengan jeritan.

"Baiklah, maaf mengganggu,"

Suho menghening, menerka-nerka langkah Tao yang perlahan menjauhi pintu. Setelah benar-benar yakin kalau Tao sudah lenyap, Suho menyungging senyum seakan Tuhan baru saja menghadiahinya rumah mewah. Dengan ekspresi segirang anak kera, ia melompat keatas tempat tidur dan mencoba menyingkap selimut yang dipakai Lay dengan paksa. Tapi, Lay menahan selimut itu agar tetap menutupi tubuhnya. Kenapa? Kenapa Lay tidak mengizinkan Suho menyingkirkan selimut itu?

TBC