.

.

.

Naruto and All Characters belongs to Masashi Kishimoto

Story belongs to Hydrilla

.

.

Dates and Diamond Destiny

(warning masih sama seperti chapter 1, ha.)

.

.

Chapter 4

.

.

.

"Aku—" Uchiha mulai buka suara.

Aku merasa gugup mendengar pengakuannya. Apa dia akan mengatakan semuanya padaku?

"Aku berubah karena—"

"Sakura?"

Sial!

Aku bisa mendengar Gaara yang memanggil namaku, disusul langkah kaki yang mendekat. Shit, shit, shit. Di satu sisi aku mau mendengar kelanjutan apa yang akan dikatakan Uchiha, tapi aku juga nggak mau ketahuan oleh Gaara.

Kalau Uchiha keluar dari balkon, tentu saja Gaara akan tahu kalau aku tadi bersama dengannya karena aku bisa merasakan dia mulai mendekat ke sini. Sedangkan Sasuke, dia juga sedikit terkejut, tapi sialnya dia nggak mau melepaskan pelukannya dariku. Aku sudah mencubit lengannya tapi dia juga sama keras kepalanya.

Damn! Apa yang harus kulakukan?!

Aku mulai panik saat mendengar langkah kaki Gaara makin mendekat. Okay, aku memang suka dipeluk Sasuke karena hangat dan nyaman, tapi jelas nggak dalam keadaan seperti ini. Duh.

"Uchiha, kupikir kau harus melepaskanku sekarang?" Aku berusaha membujuknya.

Uchiha mendengus kesal sebelum menjawab, "nggak."

Sialan.

Apa karma sedang mempermainkanku sekarang? Maksudku, aku tahu aku cewek jalang sialan yang mencium cowok lain di belakang punggung pacarku. Tapi, aku hanya menciumnya empat kali dan sekali ciuman di pipi! Secepat itukah karma ingin menggigitku? Well, really, karma is a bitch.

"Sakura? Kau di sana?"

Aku makin panik. Jelas saja. Aku sedang bersama cowok yang diam-diam berciuman denganku dan pacarku sedang berada beberapa meter untuk memergoki kami. Belum juga seminggu aku bermain api seperti ini dan semuanya harus diakhiri malam ini.

Ugh, aku nggak siap.

Meski aku tahu kalau suatu saat Gaara akan mengetahuinya. Tapi, nggak sekarang. Aku baru saja memulainya dan aku masih penasaran dengan apa alasan Uchiha. Harus kuakui juga aku kerap merasa tertantang dengan status dan keadaanku yang berbahaya. Ayolah, aku hanya anak sekolah menengah atas yang sering terpengaruh hormon. Maka dari itu, aku nggak ingin mengakhiri permainanku ini dengan cepat sekalipun aku berusaha mencari penyelesaiannya tanpa merugikan siapapun.

"Uchiha, bisa kaulepaskan aku?"

Aku nggak mau ketahuan sekarang. Nggak dengan posisi dan kondisiku seperti sekarang. Mungkin, jika prom night telah usai, aku bisa mengungkap atau bahkan mungkin jujur ke Gaara. Sekalipun nantinya mungkin aku kena tampar dan umpatan, sih. Karena, itu memang salahku. Bukannya berhenti, aku malah sedikit menikmatinya.

Yang jelas, bukan sekarang. Aku masih mau berpacaran dengan Gaara karena dia adalah tiketku untuk pergi ke prom night. Aku nggak mungkin, dong, pergi ke sana tanpa seorang kekasih? Aku bisa malu. Maksudku, ayolah, aku akan jadi ratu prom dan pergi tanpa pacar? Ya ampun, aku nggak tahu harus menaruh wajahku di mana. Aku jelas nggak akan mengajak Uchiha untuk pergi. Bagaimanapun juga, dia dulunya adalah cowok nerd. Bisa saja dia akan kembali cupu dan malah mempermalukanku, who knows?

Ketika aku mendengar langkah kaki yang semakin mendekat menuju pintu balkon, aku makin panik hingga menggigit bibirku kuat-kuat. Aku berdesis sebelum berujar, "Kumohon, Uchiha, lepaskan aku. Aku nggak mau bertengkar dengan Gaara."

Uchiha mengeratkan pelukannya kemudian menyusupkan kepalanya di perpotongan leher dan bahuku. Itu membuatku geli saat ia mengambil napas di sana. Aku nggak tahu apa maksud dari perbuatannya. Hal itu membuatku bingung dengan sikapnya. Kenapa dia tak mau melepaskan aku? Sedangkan aku berpikir, pelukanku tidak senyaman itu. Karena, yeah, aku nggak punya sesuatu yang empuk sebab dadaku memang nggak sebesar cewek-cewek lain. Damn.

"Uchiha? Please?" Aku masih memohon padanya karena aku bisa mendengar derit pintu. Ya ampun! Aku begitu tegang!

"Panggil namaku," katanya.

Tanpa banyak komentar, aku langsung berkata, "Sasuke, lepaskan aku—"

Dia benar-benar melepaskan pelukannya sebelum mengecup pipiku singkat dan melompat dari balkon.

Aku membeku untuk beberapa saat. Ketika Gaara membuka pintu dan tersenyum kepadaku, otakku masih berjalan dengan lambat. Semuanya terulang-ulang dalam memoriku, meski berjalan dengan cepat.

Saat aku memanggil namanya, dia benar-benar menurutiku. Aku nggak tahu kalau hal kecil semacam itu bisa membuatnya senang. Bahkan, setelah dia mengecup singkat pipiku dan sebelum ia melompat dari balkon, aku bisa melihat ia tersenyum kepadaku.

Ya Tuhan, senyumnya!

Itu bukan senyuman lebar atau seringai menggoda, sebuah senyuman tipis dengan bibir yang dikulum malu-malu. Matanya menyipit dengan binar temaram karena membelakangi cahaya. Senyum itu bahkan masih bertahan sampai ia melompat dan pergi.

Dan senyuman itu membuat pipiku memanas. Otakku malfungsi. Aku mungkin akan berdiri di balkon itu semalaman karena terlalu terpesona jika saja Gaara tak memanggil namaku.

"Kau nggak apa-apa?" tanya Gaara khawatir.

Aku menggeleng, berusaha menyatukan kesadaranku kembali.

"Aku nggak apa, Gaa. Ayo, kita masuk."

Oh, my God. Hatiku nggak bisa tenang. Mungkin ini akan menjadi salah satu pesta terbaik dalam hidupku. Atau setidaknya, kupikir begitu.

.

.

-oOo-

.

.

"Oookay," Ino mengedip genit, "jadi, kau mulai menyukainya, Saki?"

Aku menyedot milkshakeku dengan kasar, "nope. Aku mungkin hanya terpesona."

"Oh, akuilah saja," kata Ino sambil tertawa kecil, "akhirnya gadis kecilku sudah jadi dewasa."

"Hentikan, Ino, itu nggak lucu."

Aku mendengus sebal, kemudian menjejalkan kentang goreng ke mulutku. Aku yakin, aku nggak jatuh cinta dengan Sasuke Uchiha. Nope. Nein. Nada. Aku hanya terpesona pada senyumnya. Karena… dia punya senyum yang manis. Apalagi, lesung pipinya membuat ia semakin memesona di mataku.

Okay, aku memang biasa bersama cowok tampan. Kekasihku pun, tak kalah tampannya. Namun, aku merasa Uchiha punya sesuatu yang membuatku merasa aneh. Aku merasa seperti ada suatu bagian dari diriku yang ingin muncul. Aku nggak tahu itu apa. Mungkin perasaan itulah yang membuatku betah bersamanya (juga ciumannya yang memabukkan, duh). Lagipula, pelukannya sangat hangat dan membuatku merasa… komplit.

Kadang, aku merasa de javu. Tapi, kupikir itu cuma khayalanku saja. Uchiha terlalu misterius bagiku. Ditambah lagi, dulu ialah cowok cupu yang eksistensinya ada hanya untuk dibully. Kepopulerannya mendadak juga karena ia berubah jadi tampan. Semua itu terasa absurd bagiku. Nggak jelas. Aku butuh penjelasan tapi kesempatan itu sudah pergi waktu pesta semalam.

Entahlah. Aku lelah memikirkan Uchiha dengan segala keanehannya. Menghela napas, aku kembali memfokuskan pandang pada Ino yang sibuk dengan gadgetnya. Ia tersenyum sambil mengetikkan sesuatu. Aku mencium sesuatu yang aneh.

"Biar kutebak," kataku, Ino memandangku dengan alis terangkat, "jangan bilang kau punya pacar baru."

Ia tersenyum lebar.

Padahal, waktu pesta kemarin ia bilang bahwa ia ingin menghibur dirinya sendiri karena patah hati. Pacarnya tidur dengan seorang jalang yang ternyata adalah kakak tingkat kami. Dan sekarang, dalam waktu kurang dari satu minggu, ia sudah punya pacar baru.

"What the hell?" tanggapku, "Ha-ha, rekor baru, Piggy, kau punya pacar dalam waktu kurang dari seminggu."

"Kau nggak akan percaya, Forehead!" Ino tampak bersemangat, "kami berkenalan di pesta. Awalnya ia begitu aneh tapi ternyata dia begitu romantis. Ketika dia menciumku, aku langsung jatuh cinta padanya!"

"Semudah itu?"

"Sakura, kau nggak akan mengerti," katanya, "perasaan seperti itu nggak bisa dijelaskan."

"Tapi, Ino, kau nggak bisa memercayai orang yang baru kaukenal begitu saja!"

"Sakura—"

"Bagaimana jika ternyata dia bukan orang baik? Bagaimana jika dia ternyata maniak? Bagaimana jika dia akan melukaimu, Ino?"

Aku panik sendiri. Nggak. Bukannya aku mau mengatur kehidupan sahabatku. Tapi, aku nggak mau dia terluka. Ia baru berkenalan dengan seorang cowok dan mereka berkencan begitu saja. Ketika Ino berpacaran dengan orang yang kukenal saja, ia masih tetap terluka. Aku masih ingat ketika Ino berpacaran dengan Si Brengsek yang nggak sudi kusebut namanya. Ino begitu menyukainya dan Si Brengsek itu berkhianat. Jadilah sekarang Ino nggak pernah berpacaran dengan serius lagi.

"Atau bagaimana jika dia punya PMS[1]?"

"Tenanglah, Sakura," Ino tersenyum kalem, "aku hanya berkencan dengannya, kami bukannya akan menjalin hubungan yang serius. Dan aku tidak berniat tidur dengannya, kautahu."

Aku menghela napas, "jangan sampai terluka karena hal ini."

"Roger."

Aku percaya Ino akan baik-baik saja. Ia berbeda denganku. Semua orang mencintainya karena dia adalah cewek yang baik. Dia cantik, pintar, dan baik hati. Meski awalnya aku nggak terlalu dekat dengannya, kenyataan bahwa ia adalah orang yang menolongku di masa lalu bukanlah hal yang patut kupungkiri. Aku nggak bisa membiarkannya terluka. Dia orang yang berharga bagiku.

Di sekolah menengah pertama, kami awalnya nggak pernah menyapa satu-sama lain. Tapi, banyak hal yang berubah. Ia bisa menjadi kawan baikku adalah anugerah.

Kautahu, kadang pertemanan antar cewek itu bisa sangat rumit. Harus ikut trend, memuji gaya temanmu sekalipun kaupikir gayanya buruk, dan ikut-ikutan membenci orang yang kau nggak kenal sama sekali hanya karena temanmu membencinya. Itu aneh dan membuatku nggak nyaman. Maka dari itu, dulu aku kerap dikucilkan karena punya pandangan berbeda soal pertemanan.

Namun, Ino berbeda. Dia nggak memaksaku untuk mengikuti trend bersamanya (sekalipun ujungnya aku ikut juga sekarang), dia nggak pernah meminta pujianku (karena tanpa meminta, akupun akan memujinya karena dia memang luar biasa), juga tidak mengajakku untuk membenci orang lain. Dia memang sangat berharga untukku.

Dibandingkan dengannya, aku nggak ada apa-apanya. Serius. Dia terlahir cantik dan menarik, sedangkan aku… hanya menirunya. Hina sekali, kan, aku? Aku berusaha menirunya, masuk ke dunianya yang gemerlapan, karena aku nggak mau kesepian. Ya ampun, aku merasa menyedihkan.

Kusedot milkshakeku hingga tandas. Ino menatapku khawatir setelah sadar ada perubahan pada raut wajahku.

"Kau nggak apa?"

"Yeah, hanya sedikit merasa down."

Ino menggenggam tanganku sebelum berkata, "kau selalu bisa mengatakannya padaku, tahu."

Dia memang satu-satunya tempat curhatku. Aku menghela napas lagi kemudian berkata, "kautahu, aku merasa semua ini… terasa janggal. Maksudku dengan perubahanku, cowok-cowok, teman, dan semuanya."

"Sakura—"

"Kau nggak mengerti, Ino," selaku, "kau terlahir cantik… memang, sih, aku senang dipuja banyak cowok setelah apa yang kulakukan. Kau tahu, aku merasa diriku sangat luar biasa. Tapi, kadang aku berpikir bahwa aku telah menipu."

Ino menggelengkan kepala, "Sakura, kau salah. Nggak ada salahnya dengan berubah dan memercantik diri. Kau memang cantik. Begitu juga dengan kepribadianmu." Ino menyedot diet-cokenya sebelum kembali berkata, "kalau nggak, cowok-cowok mungkin mengejarmu untuk menidurimu saja. Tapi, lihat, nggak ada satu cowok yang berusaha menidurimu—kalian putus karena kau bosan dan memutuskan mereka, bukan?"

Oh, ya ampun, Ino terlalu frontal.

"Tapi, kau tahu, dibandingkan dengan dirimu, aku—"

"Stop it," Ino menatapku tajam, "sudah berapa kali kubilang untuk berhenti membandingkan dirimu dengan diriku? Kau, ya kau. Aku, ya aku."

Namun, rasanya sulit sekali untuk nggak membandingkan diriku dengannya. Ino adalah sosok yang selalu berada di dekatku. Secara otomatis, dialah sosok yang sering kujadikan perbandingan. Lagipula, aku dengan jelas memintanya mengajariku untuk tampil seperti dirinya. Aku menirunya karena bagiku, dialah sosok ideal seorang cewek remaja.

"Ikuti aku," kata Ino sambil menangkupkan kedua tangannya di pipi, "cantik, cantik, cantik. Setiap cewek itu cantik dengan caranya masing-masing."

Aku tertawa. Ya ampun, mantra itu.

Aku masih mengingat mantra itu dengan jelas. Itu adalah mantra yang diajarkan Ino ketika aku baru memulai berlatih untuk memercantik diri. Aku kerap kehilangan kepercayaan diriku, dan Ino membuat mantra itu untu menyemangatiku.

Mungkin aku naif dan bodoh karena terpengaruh oleh hal sesimpel itu. Tapi, nyatanya, mantra itu kerap sekali kugunakan untuk menyemangati diriku sendiri ketika aku merasa kehilangaan kepercayaan diri. Apa yang dikatakan Ino itu memang benar. Setiap cewek itu cantik dengan caranya masing-masing.

Well, memang benar Ino itu terlahir cantik. Dia cantik dengan badan berlekuk seksi. Aku memang jauh di bawahnya. Tapi, itu nggak berarti aku nggak menarik. Sekalipun aku nggak punya dada besar, aku punya pantat seksi. Dan kupikir, aku cukup menggoda. Buktinya, aku bisa berpacaran dengan kakak kelas populer, Gaara, bahkan Uchiha yang awalnya cupu dan telah berubah jadi keren, berusaha untuk menciumku setiap hari.

Oh, aku bodoh banget!

Kenapa aku membiarkan diriku merasa rendah diri? Aku sudah berusaha untuk memerbaiki penampilan. Aku berusaha. Jadi, aku nggak menipu. Kalaupun mereka merasa tertipu… siapa peduli? Toh, aku nggak operasi plastik atau bagaimana.

Aku cukup langsing, jadi aku nggak perlu diet bila ingin memakai sebuah gaun. Beberapa cowok juga bilang aku punya bibir yang menggoda dan senyum yang manis. Aku selalu ikut kelas, nggak pernah jadi junker, nilai terburuk dari tugas dan ulanganku juga B+. Mom dan Dad juga selalu bilang bahwa mereka bangga padaku.

Okay, bisa dibilang aku nggak seseksi dan secantik Ino, tapi aku punya hal yang membanggakan. Um… misalnya project penelitianku yang dipuji Mr. Orochi? Well, aku hanya salah satu dari sebagian murid yang dapat pujian darinya karena dia adalah guru yang sulit. Sejauh ini yang pernah ia puji hanya aku, Hyuuga, dan juga Uchiha. Dan lagi, aku percaya bahwa otakku nggak kosong macam cewek-cewek populer lainnya.

Lagipula, untuk apa, sih, aku kerap membandingkan diriku dengan Ino? Maksudku, aku jelas diundang secara khusus untuk datang ke prom. Memang, prom di sekolahku dihadiri oleh setiap tingkat, tapi ayolah, aku patut untuk merasa spesial karena ketua panitia prom sendiri yang mengundangku. Berdasarkan voting pula, aku masuk menjadi calon ratu prom. Itu menakjubkan banget! Bukankah itu berarti levelku sama dengan Ino yang juga masuk menjadi calon ratu prom?

"Kau benar, Ino," kataku, "kalau aku nggak cantik, mungkin aku nggak akan diundang ke prompt dan dinobatkan jadi ratu."

"Sialan, kau!" Ino melemparku dengan fried-fries, "aku yang akan jadi ratu, tahu!"

"Nggak bisa, Dear," kataku dengan nada prihatin, "tapi, karena aku baik hati, aku mungkin akan meminjamkanmu mahkotaku."

"Aku membencimu, Forehead."

Nggak, aku tahu dia nggak membenciku. Jika dia membenciku, dia nggak mungkin memakai nama panggilan sayang untukku.

"Akan tetapi, serius, Sakura, kau harus mengatasi rendah dirimu," Ino menambahkan.

"Well, aku sedang mengatasinya," tanggapku, "tapi, kau tahu kan, itu sulit… setelah semua yang telah terjadi. Ada kalanya aku merasa diriku nggak pantas."

"Kau pantas mendapat semua ini, oke?" Ino menggenggam tanganku, "lupakan apa yang telah terjadi. Kau sudah terlahir kembali."

Nggak segampang itu untuk melupakan kenangan hidup. Tapi, aku hanya mengangguk saja untuk membalas perkataan Ino. Aku nggak mau mengingat hal yang bisa membuatku melankolis. Toh, itu sudah lama berlalu dan aku sedang berusaha untuk memerbaiki diriku sendiri.

Aku memandang ke luar jendela kafe untuk menghalau pikiranku yang mencoba untuk terbang ke mana-mana. Langit tampak begitu biru dan tentram. Jalanan dipadati oleh orang-orang yang tengah terburu-buru sekalipun ini hari libur.

Hidup di kota besar kadang begitu sesak. Semua orang berdempetan tanpa saling bicara, terburu-buru dengan pakaian rapi, bahkan ada yang mengerjakan laporan sambil berjalan. Ya ampun, banyak dari mereka yang mengambil jatah lembur meski ini akhir minggu. Meski aku sendiri yakin, mungkin di masa depan, aku nggak punya jatah libur yang tetap karena aku ingin jadi dokter. Mengambil napas, aku berpikir bahwa itu masih cukup lama. Seenggaknya aku masih muda dan bisa fokus untuk mendapat nilai yang bagus.

Lucu juga melihat orang-orang yang begitu dekat namun nggak saling kenal dan bicara. Mereka sibuk dengan makanannya, minumannya, membaca buku, atau bahkan bertelepon—tunggu! Aku merasa kenal dengan orang yang sedang menelepon itu. Tinggi, putih, bergaya kasual, dan berdiri di samping mobil mewah yang hitam mengilap. Rambutnya mencuat, meski sedikit turun dan menyentuh bahunya.

Bukankah itu Uchiha? Sedang apa dia di sini? Aku sudah kerap nongkrong bersama ini di kafe ini setiap akhir pekan. Namun, aku baru melihat penampakan Uchiha di daerah sini. Entah kenapa, aku merasa ada sesuatu yang perlu kucaritahu.

"Ino, aku pergi dulu," ujarku sambil buru-buru memasukkan semua barangku ke dalam tas selempang, "ini jatahmu untuk menraktirku, kan?"

Aku nggak menjawab teriakan Ino yang menanyaiku ada apa dan langsung keluar dari kafe. Aku bisa melihat Sasuke yang masih bercakap-cakap dengan seseorang. Penasaran, aku berjalan mengendap-endap ke arahnya. Berusaha agar aku nggak ketahuan. Kemudian, aku bersembunyi di balik mobilnya sambil mengintip Uchiha yang kini berdiri membelakangi mobil sambil berbicara melalui telepon.

"Ya, Mom," aku bisa mendengar suaranya, "kupikir aku akan melewatkan makan malam."

Woah, dia terlihat keren dengan jeans, kaos, dan jaket yang simpel. Ia bolak-balik melirik jam tangannya sebelum mendesah dan kembali berbicara.

"Aku segera pergi," ucapnya, "tentu saja. Yeah, nggak apa. Itachi bisa mengatasi hal itu."

Kemudian, ia masuk mobil. Aku buru-buru menyingkir ketika mesin dinyalakan. Aku benar-benar nggak menyangka kalau Uchiha bisa menyetir mobil sendiri serta bergaya kasual. Teka-teki tentangnya yang belum bisa kuselesaikan semakin mengusik pikiranku. Aku nggak suka jika ada hal yang nggak kutahu, apalagi bila hal itu menyangkut dengan kehidupanku. Itu membuatku kesal.

Segara saja aku memanggil taksi dan mengikuti mobil yang dikendarai Uchiha. Kupikir, Uchiha itu memang sinting. Terlihat jelas dari caranya mengemudi yang ugal-ugalan. Dia seperti buru-buru, namun aku nggak tahu kenapa. Yang jelas, aku merasa tegang dan senang karena aku berhasil mengikuti Uchiha.

Aku merasa aku selangkah lebih dekat untuk menguak kemisteriusan si Uchiha. Bisa saja dia punya kelemahan yang bisa kumanfaatkan. Memikirkannya saja membuatku bersemangat. Aku nggak bisa membayangkan apa saja yang akan kulakukan padanya. Akan tetapi, aku yakin aku akan menemukan sesuatu yang menarik.

Ya Tuhan, aku makin bersemangat! Aku merasa dunia ada di pihakku karena aku akan—

Oh, shit!

Atau mungkin nggak karena mobil hitam Uchiha yang kuikuti mendadak hilang di tikungan.

God damn you, Uchiha.

TO BE CONTINUED

a/n:

Ah, hello.

Saya tahu saya butuh waktu yang saaaaangat lama untuk mengupdate fanfic ini. Sebenarnya, ini masuk daftar fanfic sulit saya karena saya nggak terbiasa menulis MC dan butuh usaha keras untuk menjaga Sakura di sini tetap dalam feel "imperfect-barbitch". Ugh.

Maaf, saya belum bisa membalas review kalian satu-persatu karena saya ngetik ini pun sambil ngerjain hal yang lain. Saya juga sudah kurang tidur beberapa hari di minggu ini. And I just wanna sleep rn tapi kayaknya kerjaan nggak mau kompromi, hwhw. Tapi, saya baca review kalian semua berulang kali! :D

Untuk HellowMellow dan Niwa-chaan yang bilang ga suka karakter sakura yang bitchy di sini… I'm glad! Usaha saya berhasil bikin karakter yang annoying tapi dia juga punya kekurangan. Lagipula, baru kali ini ada yang muji saya soal karakter yang saya buat dan saya sendiri juga ngerasa "aarggh finally!" ada yang notis gimana nyebelinnya sakura di fanfic ini :"D Tbh, ini kayak kehidupan nyata ngga sih? Sok perfek tapi banyak kekurangan sana-sini? Iya, itu emang saya rolemodelnya (…) #pergi

Soal Gaara, saya tahu, banyak dari kalian yang mikir Gaara adalah cowok baik dan kasihan karena diselingkuhi Sakura. Nggak mau spoiler sih, tapi Gaara nggak sebaik itu :} Daaan, tentu saja Gaara punya ending dan alasan tersendiri. Tenang aja.

Chapter depan, akan mulai diulas alasan Sasuke, masa lalu Sakura, juga hal yang lainnya. Saya berencana menjadikannya seperti puzzle. Jadi, hanya perbagian saja. Dan saya akan berusaa mengetik lebih panjang.

Soal update, saya tahu saya ga bisa update cepat. Banyak alasan, sih. Namun, saya berencana untuk menamatkan fanfic ini di tahun 2016, maksimal sampai pertengahan tahun 2017. Saya berencana menjadikannya sekitar 10 chapter atau kurang. Jadi, saya minta untuk berhenti bertanya kapan saya update fanfic ini. Karena, kalian nggak akan mendapat jawaban memuaskan dari saya sebab saya sendiri tidak bisa berjanji kapan. Kalian akan kecewa dan merasa di-php-in saya nantinya. Kan saqid :(

Udah terlalu banyak curcol, wkwkwk.

Review?

Salam hangat,

-Hydrilla :)