Ti Voglio Bene

Author : Blacksuzushii

Cast : Do Kyungsoo, Kim Jong In

Genre : Angst, Romance

Rate : M || Lenght : Chapter 5

Summary :

"Kenapa kau tidak membunuhku saja eoh?" "Lebih baik kau bunuh aku daripada aku harus menjadi manusia hina macam ini, tuan Kim."

-D.K.S-

"Sayangnya aku tidak akan melakukan hal itu padamu, Do Kyungsoo."

- K.J.I-

(Ga bisa bikin summary, bad summary but GOOD STORY)

Note :

Semua karakter milik Tuhan YME

Jika ada kesamaan alur cerita, ini hanya sebuah ketidak sengajaan ini original my fanfiction

.

"Just Read and enjoy. I recieve criticsm and sugestion"

.

.

Gomawo buat yang setia nunggu FF ini, mian karena proses publishnya lama. Kami benar-benar minta maaf dan terharu ketika banyak yang PM bagaimana dengan kelanjutan FF ini. Saya mewakili Blackshuzusii sunbaenim mengucapkan terimakasih. Happy reading...!

.

.

"Apa yang kau lakukan?"

Aku menatap was – was pada sosok tinggi yang kini sedang meomojokkanku di sebuah dinding selepas kami makan malam. Senyum tipis terulas di bibirnya.

Jongin.

"Apakah sudah menjadi hobimu untuk memojokkan seseorang sehabis makan?" tanyaku sebal.

Jongin kembali tidak menjawab dan hanya tersenyum.

"Apa yang kau inginkan?" Sudah habis kesabaranku. Aku berniat mendorong tubuhnya dari hadapanku namun Jongin bertindak lebih cepat dengan menggenggam bahuku dan menahannya di dinding. Kernyitan heran kutunjukkan padanya.

"Kau tidak lupa, 'kan?" katanya.

Aku semakin mengerutkan alisku tanda bingung. "Apa maksudmu?"

Senyuman makin terkembang lebar di bibirnya. Ia mencondongkan wajahnya ke arahku yang tentu saja membuatku kalang kabut. Dengan membekali diriku dengan mengepalkan tanganku sebagai tindakan antisipasi akan apa yang akan diperbuatnya, aku mencoba untuk meronta. Sayang usahaku tidak begitu berdampak mengingat Jongin menahan tubuhku dengan kuat.

"Ya! Apa yang akan kau lakukan?!" seruku histeris ketika wajahnya kini tenggelam di leherku.

"Ssstt..."

Desisan pelannya yang menyapa telingaku sukses membuatku terdiam bagai patung. Dadaku bergemuruh. Merasakan sentuhan lembut di telingaku yang kutahu benda itu adalah bibir seorang Kim Jongin.

"Diam dan tenanglah sedikit, Soo."

Ia berucap lagi, dan kali ini memberi dampak yang lebih parah karena tubuhku merinding tanpa diperintah begitu suara dalamnya yang berbisik serta napas hangatnya kembali menerpa telingaku. Tanganku mengepal kuat di sisi tubuhku.

Perlahan – lahan Jongin menarik wajahnya dari leherku dan mensejajarkan wajahnya dengan wajahku. Aku tertegun. Pasalnya Jongin tengah menatap lekat diriku dengan tatapan yang, yang, ugh, tak bisa kujabarkan. Apalagi wajahnya tak berjarak jauh dari wajahku. Hal ini kembali sukses membuatku terpaku. Dan kulihat senyumnya terulas kemudian.

"Begini lebih baik," katanya pelan.

Aku? Masih setia bungkam. Entah mengapa.

"Aku benar – benar menyukai wajahmu dengan jarak sedekat ini, Soo," katanya lagi.

Tanpa sadar aku meneguk paksa liurku. Aku terkesiap kala Jongin kembali membawa wajahnya ke leherku. Aku sudah siap jika ia akan melakukan hal – hal aneh dengan memukulnya kuat – kuat. Tetapi hal tersebut tak kunjung datang karena justru Jongin melantunkan bisikan halusnya ditelingaku.

"Jangan lupa dengan perjanjian kita. Aku akan menunggumu dikamarku, Soo." Kalimat tersebut diakhiri dengan sapuan tangan besar Jongin di leherku yang lagi – lagi berhasil membuatku merinding.

Sosoknya sudah beranjak dariku beberapa saat yang lalu, namun aku masih menempel di dinding dengan segala pikiran yang berkecamuk dalam kepalaku.

Bagaimana bisa aku melupakan hal itu? Batinku. Aku sungguh – sungguh melupakan bahwa malam ini perjanjian yang aku dan Jongin lakukan kemarin mulai berlaku: perjanjian akan kekalahanku dimana aku harus bersedia tidur di ranjang yang sama dengannya.

Mendadak aku dilanda ketakutan yang amat menghimpit dadaku. Aku buru – buru berlari menuju kamarku, mengabaikan sapaan Chanyeol yang bertanya mengapa aku terlihat panik dan berlari. Masa bodoh. Keselamatanku jauh lebih penting saat ini. Aku tidak percaya pada ucapan Jongin yang mengatakan bahwa ia tidak akan melakukan hal – hal tak senonoh padaku. Aku membuka pintu kamarku dan segera menutup, membanting lebih tepatnya, begitu aku telah berada di dalam kamar dan segera mengunci pintunya. Kulepas sandal rumahku dan melemparnya tak tentu arah kemudian menaiki ranjangku dan membungkus tubuhku dengan kelambu.

"Aku harus segara tidur. Aku harus segera tidur," ucapku berkali – kali pada diriku sendiri. Tak peduli jika waktu masih sore.

Kedua mataku terarah pada jendela yang membingkai langit gelap diluar sana. Tak ada benda – benda langit seperti bulan ataupun bintang yang mengisi kekosongan langit pekat tersebut. Tak aneh, mengingat saat ini Korea sedang dilanda musim dingin yang parah. Kemarin bahkan badai salju mengamuk dengan dahsyat, maka bukan tindakan tepat untuk mengharapkan malam ini benda – benda langit yang cantik akan menghiasi langit malam.

"Tampaknya salju akan turun malam ini," gumamku pada udara kosong.

Aku merenung. Memikirkan hal – hal yang dengan seenaknya berseliweran di kepalaku meski aku tak ingin pikiran – pikiran tersebut kembali naik ke permukaan. Dan salah satu ingatan yang paling barulah yang mendapat atensi penuh dariku. Ingatan ketika bibir, napas, dan suara Jongin membelai telinga serta leherku dengan lembut. Tanpa sadar tanganku melayang kearah telingaku, merabanya pelan, kemudian perlahan turun, pada leher yang juga menjadi saksi bagaimana napas Jongin yang hangat menyapaku. Aku terhenyak. Cepat – cepat aku menarik tanganku dan mengepalnya dengan cara mencengkram kelambu yang membungkus diriku. Kugelengkan kepalaku dengan keras, berusaha mengusir pikiran aneh yang dengan lancang merangsek masuk kedalam otakku.

"Sial, apa yang kupikirkan tentang pria sialan tersebut?" Makiku. "Aku pasti sudah gila."

Aku menutup kedua mataku, berusaha menghalau segala gambar yang menampilkan wajah menyebalkan milik Jongin. "Tidur Kyungsoo, segeralah tidur, jangan pikirkan apapun." Aku mendoktrin diriku sendiri dengan terus mengucapkan kalimat tersebut, memejamkan mataku lebih rapat dalam usahaku untuk membawaku menuju bunga tidur, berharap jika esok tiba aku akan melupakan segala kerisauanku malam ini.

Butuh waktu satu jam hingga aku pada akhirnya terlelap. Bukan lelap yang baik sebenarnya, karena dalam mimpiku, aku dihadapkan kembali dengan sosok yang paling tak ingin kulihat di dunia manapun: Jongin.

.

.

.

Dugaan Kyungsoo tentang salju yang akan menuruni bumi malam ini benar. Butiran – butiran es putih nan lembut tersebut tampak turun dengan anggun dari kerajaannya di langit. Jatuh bergerombol tanpa suara dan menumpuk di halaman. Esok pagi pasti akan menjadi hari yang berat bagi para perawat kebun mansion Kim karena malam ini salju yang turun cukup lebat.

Hujan salju yang lebat serta suhu yang tiba – tiba menurun drastis membuat seluruh tim keamanan mansion Kim terpaksa mengawasi serta melakukan tindakan pengamanan dari dalam. Beberapa dari mereka masih tampak berlalu-lalang disetiap koridor lengkap dengan masih mengenakan tuxedo yang dibungkus dengan mantel untuk menghalau angin dingin menelusup ke dalam tubuh mereka. Earphone terpasang apik ditelinga mereka untuk saling memberi informasi terkini yang terjadi disekitar mansion dan di dalam mansion itu sendiri. Suasana yang terbilang cukup ramai tersebut sangat berbeda dengan salah satu kamar yang ditempati oleh Kyungsoo. Keadaan kamar tersebut cukup gelap karena lampu sudah dipadamkan. Hanya tersisa cahaya dari api di perapian yang semakin mengecil karena kayu sudah hampir habis terbakar.

Dengkuran halus tercipta dari Kyungsoo yang tertidur dengan posisi masih seperti semula yaitu menghadap pada jendela. Beberapa saat kemudian dengkuran tersebut lenyap dan terganti oleh erangannya. Oh, sepertinya Kyungsoo sedang mimpi buruk saat ini. Terlihat dari keningnya yang mengkerut. Dalam waktu sepersekian sekon Kyungsoo membuka matanya lebar – lebar. Ia mengerjap beberapa kali sebelum ia tenang kembali.

"Rupanya hanya mimpi," gumamnya lega.

Kyungsoo bermaksud untuk tidur lagi ketika ia merasakan suatu kejanggalan. Keningnya kembali mengkerut ketika dirasanya ada sesuatu yang berat berada dibelakang tubuhnya. Pikiran horor memaksa masuk kedalam kepalanya.

Oh, tidak mungkin itu hantu, 'kan? Batin Kyungsoo takut. Ia berniat untuk menggeser tubuhnya, namun tertahan karena sebuah beban entah apa itu berada disekitar pinggangnya. Pikiran – pikiran mengerikan kembali terlintas. Sial, kenapa Kyungsoo jadi paranoid sekarang, kira – kira itulah yang ia gumamkan pada dirinya sendiri. Dengan berani Kyungsoo menyingkap kelambunya hingga ia dapat melihat seonggok tangan yang bertengger dipinggangya. Kyungsoo menganga. Ia merasa hafal dengan tangan berkulit tan tersebut. Pemuda manis tersebut segera menoleh kebelakang dan matanya membulat.

"Apa yang kau lakukan disini, sialan?!"

Makian manis tersebut terlontar bersamaan dengan kakinya yang mendorong sosok malang yang tengah terlelap tersebut hingga jatuh dari tempat tidur. Kyungsoo benar – benar berharap dan jauh lebih memilih jika ia bertemu dengan hantu daripada bertemu dengan sosok menyebalkan yang membuat hari – harinya terasa penuh dengan awan kelabu.

Salah satu kebiasaan burukku akhir – akhir ini adalah insomnia. Entah sejak kapan penyakit menyebalkan ini bersarang dalam diriku. Dan malam ini aku kembali dihantui oleh penyakit tersebut. Padahal aku sudah sangat berusaha menutup mata dan memaksa diriku untuk segera terbang ke alam mimpi. Kesal karena kantuk tak kunjung menghampiri, maka aku melakukan aktivitasku apabila insomnia tengah menyerang: keluar kamar dan berjalan – jalan tanpa tujuan pasti.

Mansion yang selalu terkesan sepi kini terasa aneh dalam mataku karena cukup banyak para penjaga keamanan yang berlalu lalang di koridor. Pasti ini semua karena hujan salju lebat diluar serta suhu rendah yang tiba – tiba hingga membuat mereka berlindung di dalam.

"Selamat malam, tuan muda."

Sapaan – sapaan serupa terus berdatangan dari para pengawal yang melewatiku. Aku membalasnya dengan senyum dan mengangguk singkat.

"Kenapa anda tidak berada di ranjanga anda, tuan muda?"

Aku berhenti dan menoleh ke belakang. Kepala pelayan Hwang-lah yang bertanya. Aku tersenyum dan membalas pertanyaannya," Aku insomnia."

"Apa ada yang tuan butuhkan? Perlukah saya membuatkan sesuatu yang hangat untuk anda, tuan Jongin?" tawarnya sopan.

"Tidak apa, tidak usah repot begitu, ahjussi." Aku berpaling darinya dan menatap ke lorong di depanku yang juga terdapat beberapa petugas keamanan yang sedang berpatroli. "Urus saja mereka, ahjussi. Mereka telah bekerja sangat keras, mereka pasti lelah. Buatkan mereka minuman dan makanan yang hangat."

Hwang-ahjussi membungkuk hormat. "Segera saya laksanakan, tuan."

Aku tersenyum lagi. "Baiklah. Aku sepertinya akan ke perpustakaan untuk membunuh waktuku."

"Algesseumnida, tuan. Hubungi saya jika anda membutuhkan sesuatu."

"Terima kasih, ahjussi."

Aku kembali menyambung langkah setelah ucapan terima kasihku terlontar. Kakiku melangkah hingga aku tiba di depan pintu perpustakaan kemudian membukanya dan segera masuk kedalam setelah aku kembali menutup pintu. Mataku terarah pada jendela besar dengan sekat kotak – kotak yang membingkai lansekap dunia luar. Seluruhnya terlihat putih. Salju yang berjatuhan dari langit begitu lebat seakan tak ada habisnya. Aku baru sadar perapian di ruangan ini tidak menyala. Aku melangkah ke arah perapian besar, yang apabila kau depresi kau bisa segera melempar dirimu kedalamnya, lalu mulai bekerja untuk membuat api. Memang terkesan sangat kuno, namun aku menyukai hal ortodoks seperti ini. Membuatku bisa merasakan bagaimana rasanya berusaha dan berjuang untuk mendapatkan hal yang kita inginkan. Terdengar dramatis? Masa bodoh.

Aku menegakkan tubuhku ketika perapian telah menyala dengan kobaran api yang besar dan tinggi tengah menjilat – jilat udara dengan rakus. Desahan nyaman terlepas dari celah bibirku merasakan kehangatan kini melingkupi tubuhku. Kakiku melangkah random ke arah rak buku dan menarik beberapa buku secara random pula. Aku menjatuhkan tubuhku ke dalam sofa empuk yang tepat berada di hadapan perapian dan mulai membaca.

Suara detak jarum jam menjadi latar yang menemaniku selain derak dan suara retihan kayu yang terlalap api dalam perapian. Setelah halaman ke-264 habis, yang kubaca secara acak, aku melempar buku tersebut ke arah meja. Membaca memang menjadi salah satu alternativku selain jalan – jalan malam apabila aku sedang dilanda insomnia, tetapi hal tersebut tidak begitu efektiv dalam hal menanggulangi insomniaku. Membaca hanya sekedar aktivitas untuk mengisi waktuku. Lebih baik tentu, daripada aku diam menganggur seperti orang idiot.

Aku memandang kearah perapian yang masih setia membara menemaniku.

"Penyakit sialan ini benar – benar menggangguku," gumamku kesal pada api yang menari – nari karena telah berhasil melahap sang kayu. "Aish, apa tak ada obat yang bisa menanggulanginya, eoh?"

Tubuhku agak merinding ketika suhu dingin dunia luar terasa membelai tubuhku. Aku menggulung tubuhku layaknya armadilo guna menjaga suhu tubuhku tetap hangat.

"Bosan," keluhku entah pada siapa.

Ingatanku melayang pada sebuah momen dimana Chanyeol dan Hwang-ahjussi, entah mereka berkonspirasi atau bagaimana, menyarankanku untuk segera menikah dan memiliki istri. Hal tersebut baru kupikirkan saat ini. Karena, sepertinya jika aku memiliki istri, maka akan ada yang mengurus dan mengawasiku. Dan menemaniku tentu saja. Andai aku memang memiliki istri.

Aku tertegun. Bengong sejenak. Kemudian aku terbelalak.

"Kyungsoo!" seruku.

Aish, kenapa aku begitu lamban? Baboya! Lagipula, bukankah seharusnya dia datang ke kamarku dan tidur bersamaku? Ck, Soo-ya, kau tidak bisa menghindariku!

Dengan kecepatan yang tak pernah kuduga sebelumnya aku segera bangkit dari sofa, mengabaikan meja yang berantakan karena buku – buku bertebaran di atasnya serta perapian yang masih menyala. Aku tak peduli, karena dikepalaku saat ini hanya ada sosok Kyungsoo. Aku ingin segera tiba di kamar Kyungsoo.

Aku nyaris berlari dalam usahaku tiba di kamar Kyungsoo. Aku tersenyum kala pintu kayu kamarnya tepampang di depan mataku. Tanpa ragu, aku segera meraih pegangan pintu dan memutarnya untuk membuka dihadapanku.

"Eoh?" Aku memutar – mutarnya namun tak ada yang terjadi. Pintu masih bergeming. Sepertinya Kyungsoo menguncinya dari dalam. Aku mendengus meremehkan. "Masih seribu tahun terlalu cepat untukmu jika kau berpikir bisa memanipulasi diriku, Soo," ucapku rendah. Aku beralih pada dinding di sisi kanan pintu dan membuka dinding yang jauh berukuran lebih kecil: panel yang sengaja kusembunyikan. Aku menekan beberapa angka serta kata yang menjadi sandi untuk membuka pintu kamar Kyungsoo. Suara 'cklek' yang nyaring cukup menjadi bukti bahwa aku menang dan masih mengungguli Kyungsoo. Kubuka pintu tersebut dan hatiku melonjak gembira melihat sang pintu membuka untukku. Kututup pintu dibelakangku dan menguncinya lagi. Dengan langkah hati – hati aku menghampiri ranjang dimana sosok manis kesukaanku pastinya sedang terlelap. Kala aku telah tiba di sisi ranjangnya, dengan perlahan aku duduk dan memperhatikan sosok Kyungsoo yang tertidur menyamping membelakangiku. Aku beringsut mendekat dan mencondongkan tubuhku melewati tubuhnya sehingga aku bisa dengan jelas menatap wajah tidurnya yang sangat menggemaskan.

Aku terkekeh. "Kau tidak akan mungkin bisa mengungguliku jika kau masih berada di mansion ini, Soo," bisikku geli. Pasti ia sengaja tidur lebih awal dan mengunci pintunya agar aku tidak bisa masuk. Well, pemikiran polos yang sangat keliru, Soo.

Jika sudah seperti ini aku sangat enggan untuk berpaling dari wajah manisnya. Aku gemas pada seluruhnya. Mata, hidung, pipi, dan bibir. Bahkan tubuhnya. Semua hal itu sukses membuatku tak dapat menjadi diriku yang waras. Mataku menatap lekat bibir merahnya diantara kulit putihnya. Perbandingan yang kontras. Meski begitu aku justru semakin menyukainya. Kuulurkan tanganku ke arah bibirnya, lantas mengusapnya lembut. Aku hampir gila. Teksturnya yang lembut dan lembab membuatku hilang akal. Meninggalkan pikiran warasku, aku mencondongkan wajahku hingga bibirku berada tepat didepan bibirnya. Namun aku terhenti. Aku mengamati wajah manis Kyungsoo yang sangat tenang dan damai. Mendadak aku dilanda perasaan tidak enak. Sedikit mendengus, namun tetap tersenyum pada akhirnya, aku mengalihkan bibirku dari bibirnya untuk mencium sayang pipinya yang terasa kenyal dan empuk dipermukaan bibirku.

"Kau sangat sempurna, Soo," bisikku halus sembari mengelus pipinya yang terasa dingin karena terpaan suhu rendah musim dingin. "Aku suka melihatmu yang tenang seperti ini. Terlihat sangat cantik." Aku terkekeh tanpa suara. "Yah, Soo, lebih tepatnya aku menyukai bagaimana pun dirimu," tambahku lembut.

Aku kembali memandanginya lekat. Sungguh, sosoknya seperti Snow White yang terlelap dan menunggu sang pangeran untuk mengecupnya.

Aku tertawa akan pikiran konyolku barusan.

Pelan – pelan kunaikkan kedua kakiku ke ranjang, lalu memposisikan tubuhku berbaring menyamping dibelakangnya. Kuletakkan tanganku untuk menumpu kepalaku agar aku dapat melihat wajahnya dengan jelas. Serta-merta senyum kembali tersungging dibibirku. "Kau benar – benar cantik, Soo."

Aku percaya jika Tuhan selalu menempatkan para malaikat-Nya untuk selalu berada di sisi para manusia ciptaan-Nya. Dan aku dapat melihat sosok malaikat tersebut bersemayam dalam dirimu, Soo.

Kutaruh kepalaku dibantal yang sama dengannya dan dengan sangat hati – hati aku menarik kelambu yang ia gunakan untuk berbagi denganku. Merapatkan tubuhku dengan tubuhnya didalam kelambu yang sama lantas kuletakkan tanganku di sekitar pinggangnya. Mataku berangsur teduh ketika aroma memikatnya kembali merasuk ke dalam hidungku. Aroma lavender yang amat kusukai. Aku memejamkan mataku menikmati aroma bagai zat adiktiv miliknya belomba – lomba memanjakanku. Aku mendesah senang. Tersenyum hangat seraya menenggelamkan wajahku di tengkuknya, tempat yang sangat pas bagiku karena aroma lavendernya semakin terhirup kuat olehku.

Aku telah menemukannya: sumber kenyamananku.

Do Kyungsoo.

Tak butuh waktu lama hingga aku jatuh ke dalam dunia mimpi yang telah menantiku.

.

.

.

Rasanya, tak sampai satu jam sejak aku memutuskan menyerah pada alam mimpi, ketika aku merasakan hentakan keras disekitar perutku. Aku terbelalak akan rasa nyeri tersebut, dan aku harus mengerang cukup keras saat kurasa bagian pinggangku terasa sakit seperti membentur sesuatu. Dengan mata berair karena menahan sakit serta kantuk, aku mencoba membuka mataku, yang kembali terbelalak akan pemandangan yang masuk ke dalam mataku.

"Mwoya?" gumamku serak.

Entah bagaimana caranya aku bisa berada dibawah ranjang. Hati – hati aku bangkit dengan berpegangan pada pinggiran ranjang. Dan ketika aku berhasil menegakkan diri dengan bertumpu dilututku, aku dapat melihat sosok Kyungsoo yang sedang duduk sembari menatap kesal kearahku.

"Wae?" tanyaku tanpa beban.

Kyungsoo langsung menuding telunjuknya padaku. "Neo!" serunya.

"Nan wae?" timpalku mengantuk.

"Bagaimana bisa kau berada dikamarku?" ujarnya menuduh, dengan tatapan tidak percaya tentunya.

Dirinya sungguh menggemaskan. Aku tidak mengada – ada. Aku tersenyum kecil dan menaruh sisi wajahku pada lengan yang kuletakkan di ranjang. "Ini rumahku, Soo."

"Lantas?"

"Lantas," ucpaku pelan – pelan, "itu artinya kau tidak dapat berbuat sesukamu disini, Soo. Karena kau masih dibawah pengawasanku. Dan jangan lupakan, ini rumahku," aku sengaja menekan kalimat tersebut. "Sungguh polos pemikiranmu jika kau pikir kau bisa mengelabuiku."

Kudengar Kyungsoo mendecih.

Lagi – lagi aku tersenyum.

"Ngomong – ngomong, Soo, tampaknya ada yang mengingkari janjinya disini." Aku berbicara dengan nada yang diulur – ulur.

Mata bulat Kyungsoo membelalak mendengar kelimatku. Aku mati – matian menelan seluruh gelak tawaku. Perlahan aku bangkit berdiri, menatapnya yang masih terduduk diranjang dan tampak seperti kelinci kecil yang siap dimangsa. Aku menyeringai. Dengan gerakan pelan yang seolah mengancam, aku mulai menaiki ranjang. Dan lagi – lagi, mata Kyungsoo membulat karenanya. "Kau sengaja melarikan diri, eoh?" tanyaku rendah, menggoda.

Tegukan liur terdengar nyaring ditelingaku. Oh, Kyungsoo, kau sungguh – sungguh memancing hewan liar dalam diriku bangkit.

"Jangan mendekat!" serunya panik ketika aku merayap menghampirinya.

Aku tertawa. "Apa yang kau takutkan, sayang?"

Tubuh Kyungsoo menegang. Aku dapat melihatnya.

"Pergi kau!"

Seruan sarat ancaman tersebut bagai angin lalu ditelingaku. Saat aku melihat dirinya hendak melarikan diri, aku lebih cepat satu detik dengan menggenggam pergelangan kakinya dan menariknya kearahku.

"Aw! Jongin!" pekiknya kaget. Dan sepertinya ia lebih kaget lagi ketika melihatku berada diatas tubuhnya.

"Wae?" Aku mengangkat alisku. Jemariku melayang kearah pipi bulatnya yang putih dan memberinya sapuan ringan. Pertahananku hampir runtuh. Kulitnya terasa begitu lembut.

"J-jongin.." cicitnya lemah.

Aku tersenyum. Senyum kecil sensual yang kuharap dapat memberi peringatan non-verbal pada Kyungsoo. Dengan gerakan lambat aku meraih kedua pergelangan tangannya dan menaruhnya diatas kepala Kyungsoo, menahannya dengan menggenggam kuat pergelangan tangan tersebut dengan tanganku.

Kedua matanya membulat takut. Ekspresi takut pertamanya yang kulihat. Aku merasa sedikit bersalah karena itu, namun aku tidak bisa berhenti. Niat awalku yang ingin menggodanya, justru menjadi senjata makan tuan: aku yang tergoda olehnya.

Merendahkan wajahku kewajahnya, aku berbisik, "Kau sempurna," dan hembusan napasku tepat mengenai permukaan bibirnya, membuat tubuhnya menegang dibawah kuasaku. Merasa tidak cukup, aku merambat naik ke keningnya, mengecup kening yang tertutupi rambut hitamnya dengan lembut, penuh kasih.

"Jongin, hentikan-"

"Sssttt.."

Suara Kyungsoo kembali tertelan seusai aku menyelanya.

"Ijinkan aku, Soo," ucapku.

"Hah?" Kyungsoo tak mengerti ucapanku. "Oh.." Tapi ia terkesiap ketika bibirku mengecup pelipisnya.

Mata Kyungsoo terpejam rapat begitu aku memulai penelusuran bibirku diwajahnya. Mulai dari kening, mengalir turun kepipinya. Tentu saja tak hanya meluncur, aku tak bisa menahan diriku untuk meninggalkan jejak. Sepanjang bibirku mengalir, aku meninggalkan jejak kecupanku yang kuharap terasa panas dan basah untuknya. Bibirku kembali naik ke keningnya, dan kembali pula mengalir turun, kali ini ke hidungnya.

Tubuh Kyungsoo bergerak gelisah dibawah tubuhku. Tangannya bergerak, mencoba melepaskan diri dari tawanan tanganku. Merasa hal tersebut menggangguku, aku mencengkram pergelangan tangannya.

"Aw.." Kyungsoo meringis pelan.

Aku terhenyak. Meninggalkan hidungnya, aku menaruh seluruh atensiku pada kedua matanya yang menatapku frustasi. Ada setitik gairah disana, namun aku tidak akan mengambil kesempatan yang ada ini dengan memaksanya. Hembusan napas kecewa keluar dari bibirku. "Mianhae."

Kyungsoo membalas tatapan mataku. "Kau menyakitiku," katanya pelan.

Aku melirik kedua tangannya yang kugenggam erat, setelahnya aku kembali menatap matanya. "Mianhae," ucapku lagi, membelai pipinya dengan tanganku yang bebas.

Kyungsoo tertegun akan perilakuku, namun ia cepat menguasai diri setelah meneguk liurnya susah payah. "Lepaskan aku, Jongin."

Aku memandangnya tidak rela. Aku tidak ingin kehilangan kehangatan dan kelembutannya. Aku tak ingin melepaskannya.

"Jongin."

Suara Kyungsoo lebih tebal, tegas, dan penuh penekanan. Namun hal tersebut malah membuatku iritasi. Kutatap matanya tajam. "Tidak."

Mata Kyungsoo membola. "Musun suriya?"

"Aku tidak mau melepaskanmu. Kau milikku, Soo."

Kami saling tatap dalam keheningan yang menusuk. Kyungsoo memandangku kaget selepas aku mengeluarkan kalimat kepemilikan tersebut. Entah apa maksud pandangan Kyungsoo saat ini, aku tidak dapat membacanya. Ia hanya terus diam sembari membalas hujaman tajam sorot mataku.

"Jong-"

Kalimatnya terpotong saat aku menaruh kedua jariku diatas bibirnya, menahan akses agar suara indahnya tak keluar.

"Jangan banyak bicara, Soo." Kubawa kembali bibirku ke keningnya, memberi hembusan napasku disana, tak lupa jejak kecil dari bibirku yang mengecupnya. Aku mendesah jengah. Mengangkat kepalaku sedikit hanya agar aku dapat membalas tatapannya. Pupil matanya bergetar, mungkin karena takut. "Jangan takut, Soo," aku mengecup pipinya hati – hati, "aku tak akan menyakitimu lagi." Seusai berkata demikian, aku melepaskan dirinya. Aku terkesiap kala Kyungsoo langsung buru – buru mendorong diriku dan bangkit, serta memberi jarak sejauh mungkin. Ia duduk membelakangiku.

Tubuh kecilnya terlihat amat ringkih dan rapuh. Mendadak aku menyesal telah menyakitinya tadi. Bergerak perlahan kearahnya, sembari mengawasi pergerakannya, hingga akhirnya aku tepat berada dibelakangnya. Menatap bahu sempitnya, mataku berangsur meneduh. Perasaan ingin melindunginya kian meluap. Aku ingin menjadi tempatnya bergantung dan bertumpu. Aku ingin menjadi tempatnya tinggal dimana ia akan kembali.

"Kyungsoo," panggilku lembut seraya menyentuh bahunya. Tubuhnya bahkan menegang sebelum aku menyentuhnya.

Kyungsoo segera melepaskan diri dari kungkungan Jongin ketika ia merasa bahwa pria tersebut memberi peluang untuknya lolos. Bergerak secepat yang ia bisa, Kyungsoo membawa dirinya hingga ke tepi ranjang, memberi jarak sejauh yang ia bisa dari Jongin.

Suara genderang bertalu – talu terasa memekakkan ditelinganya. Dan Kyungsoo sadar bahwa suara tersebut berasal dari jantungnya. Tanpa sadar tangannya mencengkram kaos didaerah dadanya, tepat dimana jantungnya bersemayam. Ia menggenggam kaosnya dengan pikiran campur aduk. Tak mengerti. Tak paham. Mengapa ia bisa sekacau dan selemah ini karena Jongin, mengapa jantungnya bekerja diluar kendalinya karena Jongin, mengapa ia justru menerima Jongin. Sentakan keras melanda tubuhnya. Kyungsoo kembali mengingat jejak bibir pemuda tersebut dan seketika merasakan wajah serta tubuhnya panas.

Apa – apaan ini? Batin Kyungsoo kalut.

"Kyungsoo."

Jantung Kyungsoo mencelos kala suara Jongin merangsek kedalam telinganya, dan ia harus merasakan tubuhnya menegang menerima sentuhan ringan Jongin dibahunya. Tanpa menoleh, dan mempertahankan posisinya, Kyungsoo menyahut. "Apa?" Suara yang keluar bergetar, Kyungsoo sadar akan hal itu, namun ia berusaha menjaga kekerasan air wajahnya.

"Aku minta maaf."

Suara Jongin terasa begitu dekat dibelakangnya. Kyungsoo menduga pemuda tersebut berada teramat dekat dengannya. Itu semua terbukti saat Jongin menghela napasnya dan napas tersebut menerpa tengkuk Kyungoo. Terasa panas dan membara disana, membuat Kyungsoo merinding.

Sejenak hening. Kyungsoo tak tahu apa yang dilakukan Jongin, seandainya ia tahu jika Jongin dibelakangnya tengah menatap dirinya memuja dan penuh penyesalan, mungkin hal itu bisa meluluhkan hatinya yang sekeras intan.

"Kyungsoo."

Lagi – lagi suara itu, Kyungsoo membatin jengah.

Tanpa tedeng aling – aling, Jongin merengkuh perut Kyungsoo dari belakang, membawa tubuh mereka menempel begitu erat, dengan posisi wajah Jongin berada dalam leher pemuda mungil dalam rengkuhannya. Sementara Kyungsoo membatu. Ia mendadak bodoh saat lengan Jongin merengkuh perutnya. Lengan tersebut kokoh dan kuat Kyungsoo rasakan. Seolah tak ingin, atau mungkin takut, jika Kyungsoo berusaha membebaskan diri.

"Aku tahu permintaanku ini akan membuatku tampak sangat tidak tahu diri," Jongin memulai, dan Kyungsoo harus menahan napasnya ketika napas panas tersebut kembali menerpa kulit lehernya. "Aku minta maaf sebelumnya, Soo, tapi, bisakah kita tidur bersama malam ini?"

Permintaan Jongin terlontar begitu lembut, pelan, dan hati – hati. Tak ada unsur tersembunyi apa pun yang terkandung. Kyungsoo bisa menangkapnya. Meskipun pikiran logisnya menentang hal tersebut mentah – mentah, namun entah mengapa jauh didalam lubuk hatinya ia tak keberatan dengan permintaan Jongin.

"Janji takkan berbuat macam – macam?" Kyungsoo merutuki dirinya sendiri akan kalimat barusan yang dengan lancang meluncur begitu saja dari mulutnya tanpa tersaring terlebih dahulu dengan logikanya.

Jongin tertawa renyah dilehernya, yang entah mengapa memberi impuls menyenangkan di otak Kyungsoo. "Kau tidak perlu khawatir, Soo."

.

.

.

Waktu menunjukkan dini hari, dan meskipun begitu, tampaknya salju tak ingin berhenti dalam usahanya menyelimuti bumi dengan kelambu putihnya yang dingin.

Kyungsoo masih terjaga.

Kedua mata besarnya menatap sosok pemuda disisinya yang langsung terlelap tak lama setelah mereka berbaring. Pandangan Kyungsoo terfokus pada satu titik: wajah Jongin. Ia mengakui pemuda tersebut memang sangat tampan, jika saja sifatnya tidak menyebalkan. Kyungsoo mendengus. Ia menusuk – tusuk pelan pipi Jongin dengan tatapan menuduh.

"Seenaknya saja, menyebalkan," gumamnya menggerutu.

Jongin sama sekali tak merasa terganggu dengan interupsi kecil Kyungsoo. Tampaknya ia sudah jatuh terlalu dalam ke alam mimpinya. Hal tersebut kembali membuat Kyungsoo mendengus.

"Dan kau tidur seperti mayat," ucapnya sebal. Akan lebih bagus jika Jongin merasa terganggu dengan kelakuannya dan membuatnya bangun kemudian sulit tertidur lagi, begitu yang Kyungsoo harapkan.

Kyungsoo tak bisa melupakan kalimat Jongin tepat ketika mereka berbaring.

"Kau hangat dan wangi, Soo, aku jadi tenang dan aku suka itu."

Serta-merta Jongin langsung terlelap seusai kalimat tersebut terlontar. Dan Kyungsoo mencibir dongkol dalam hati, "Dasar idiot tidak tahu diri."

Jitakan pelan Kyungsoo hadiahkan pada kening Jongin. "Kau pikir aku obat tidur, eoh? Sungguh keterlaluan kau, Kim."

Kyungsoo kembali fokus pada kegiatannya mengamati wajah tidur Jongin. Entah kenapa Kyungsoo kesal sendiri kala perasaan aneh menghujam dadanya. Apalagi cara Jongin tertidur sungguh sangat polos, seperti seorang bocah. Namun Kyungsoo menangkap sesuatu dari cara Jongin tertidur. Pemuda tan tersebut tertidur dengan cara meringkuk, seakan ia butuh perlindungan dan buaian kasih serta kehangatan yang telah lama hilang darinya. Jongin tampak begitu kesepian.

Dalam waktu sepersekian detik yang amat singkat, Kyungsoo tertegun, terpesona. Dan terlintas sebuah pemikiran diluar kuasa Kyungsoo yang menginginkan dirinya melindungi Jongin.

TBC...

Sampai bertemu di Chapter selanjutnya... Pyooong
-uwiechan92-