My Princess Serenity

Chapter 11

'LAST'

By Itou kyuu-chan

Naruto by Masashi Kishimoto

Warn: too much warnings, I can't write all.

.

.

Ino memutuskan untuk tinggal bersama dengan Naruto setelah ia keluar dari rumah sakit. Tidak banyak interaksi di antara mereka semenjak kejadian terakhir (hampir ciuman!). Tapi Naruto masih mengurus kebutuhannya dengan sabar dan lembut, membuat sesuatu dalam diri Ino merasa hangat dan nyaman.

Ketika ia menjelajah isi rumah, tidak ada satupun yang familiar dengannya. Denah rumahnya, sofanya, sandalnya, bahkan cara ia melipat bajunya. Semuanya terasa sangat asing dan menakutkan di saat yang sama. Bagaimana jika semua ini palsu dan Naruto saat ini mencoba membohongi dirinya? Muncul ketakutan seperti itu, namun ketika ia mendapati senyum manis dan tulus di bibir Naruto, pikiran negative itu menghilang seketika.

Ino melihat foto pernikahannya dengan Naruto, dan beberapa foto yang kemungkinan diambil setelah pernikahan mereka. Dilihat dari foto, Ino terlihat bahagia, tanpa paksaan. Lagipula, ia yang paling mengenal dirinya sendiri, mana mungkin ia akan menikah di bawah paksaan?

Tersenyum, ia mengambil salah satu foto dengan berlatar belakang 'SUNA PARK' dan hatinya merasakan kesenangan yang entah darimana asalnya. Mungkin itu salah satu momen menyenangkannya bersama Naruto.

"Hmm…" suara berat Naruto membuat Ino menoleh.

Pria itu tersenyum dengan lembut. Lagi, senyuman itu mampu memberinya ketenangan.

"Kau mau minum teh? Kopi? Susu?" tanya Naruto.

Ino mengerutkan kening. "Apa yang biasanya kuminum?" tanyanya balik.

Naruto menunduk untuk beberapa saat, membuat Ino agak merasa menyesal telah bertanya balik. Namun tiba-tiba saja Naruto mengangkat kepalanya, masih dengan senyum. Namun kali ini senyumnya agak sedikit berbeda, tersirat kesedihan di dalamnya.

"Hm… kau tahu. Aku sudah memutuskan beberapa waktu yang lalu...," kata Naruto memulai.

"Memutuskan… apa?"

"Aku memutuskan bahwa kau tidak perlu mengembalikan ingatanmu."

Ino mengerutkan keningnya.

"Biar aku lanjutkan…," kata Naruto cepat. "… dari pada kita berdua memaksakan dirimu untuk mengingat kebiasaan, lebih baik kita mencoba membuat kenangan bahagia yang baru kan? Dan selagi itu, jika saja kenanganmu kembali, itu akan lebih membahagiaankan…"

Ino mengangguk pelan. Itu bukan ide yang buruk sebenarnya. Dan ada beberapa hal yang ingin dicobanya 'untuk pertama kali' meskipun kemungkinan ia sudah pernah melakukannya namun tidak ingat. Seperti pergi ke suatu taman hiburan, atau berlayar ke suatu pulau, terjun payung!

"Baiklah, Naruto-san!"

Naruto memberikannya senyum sumringah. "Mulai dengan memanggilku dengan lebih akrab!"

Ino menaikkan sebelah alisnya kemudian tertawa kecil. "Seperti?"

"Sayang?" saran Naruto.

Walaupun terdengar bagus, Ino tetap saja menggeleng. "Apa aku benar-benar memangilmu dengan sebutan menggelikan itu?"

Naruto menggeleng pasrah. "Tidak, tapi apa salahnya aku mencoba?"

Ino kemudian tertawa terbahak-bahak, menyebabkan suaminya ikut menunjukkan deretan gigi putihnya. "Aku akan memanggilmu Naruto kalau begitu. Tanpa san."

Naruto menangguk. "Memang benar kau Ino."

Ino tersenyum senang. Ia kemudian duduk di salah satu sofa, dan menemukan dirinya merasa puas dengan sofa itu. Pasti dia sendiri yang memilih sofanya saat mereka menikah. Tidak salah lagi. Terlebih sofanya berwarna biru muda pucat, yang cocok dengan warna mata keduanya.

"Jadi, Ino… teh? Susu? Kopi?" tanya Naruto dengan senyum jenaka.

Ino nampak berpikir, namun kemudian ia membulatkan matanya. "Es susu?"

"Pesanan akan segera diantar, Nyonya Namikaze!" kemudian Naruto menghilang di balik pintu.

Ino hanya bisa meneliti dari apa yang bisa dilihatnya. Ia dan Naruto bukan orang yang berantakan, Naruto tidak merokok, mereka berdua suka menonton film, sering ada tamu yang berkunjung (dilihat dari jumlah sofa dan luas ruangannya), dan… bahagia tentunya. Ino tidak bisa mengerti apa yang dimaksud Kakashi-sensei dengan kenangan buruk.

Mungkin ada masalah lain? Perselingkuhan?

Saat Naruto sampai dengan membawa es susu miliknya, Ino menatap Naruto dengan agak serius. Pria seperti ini tidak mungkin selingkuh. Lalu, jangan-jangan dirinya yang berselingkuh? Lalu mengapa Kakashi-sensei bisa tahu? Jangan-jangan…

"Jangan memaksakan diri kan, kubilang," kata Naruto, khawatir.

Kedua sudut bibir Ino turun. "Aku tidak beberapa yakin dengan sesuatu."

Naruto menyentuh tangan Ino dengan hati-hati. "Seharusnya kau tanya langsung padaku ketika tidak yakin dengan sesuatu."

"Bagaimana kalau kau bohong?"

"Aku berjanji. Tidak akan pernah berbohong padamu." Jantung Ino berdegup dengan kencang. Kata-kata sesederhana itu mampu membuat dirinya bahagia, berdegup seperti ini, maka pria di depannya ini tidak mungkin seorang pria asing. Pastilah seseorang yang sangat berharga baginya, seseorang yang mempu membuat dunia mengerikannya menjadi indah.

Itulah mengapa, di detik itu juga Ino memutuskan untuk mempercayai pria di hadapannya.

"Kakashi-sensei…"

Alis Naruto berkedut tidak suka.

"… dia bilang ada baiknya jika tidak ingat. Maka tidak akan mengingat kenangan tidak menyenangkan juga."

"Dan kau menduga itu ada hubungannya dengan hubungan kita?" tanya Naruto tidak percaya.

Ino mengangguk.

"Tidak, tidak, Ino." Naruto kemudian tertawa. Sungguh jarang menemukan pria yang selalu tertawa dan tersenyum seperti Naruto. Ino merasa beruntung. Wait? Beruntung?

"Kau tahu apa yang kita lakukan terakhir kali sebelum kecelakaanmu?" tanya Naruto sambil mendekatkan tangan Ino ke bibirnya.

"A-apa?"

"Kau mau kutunjukkan? Hm?" Naruto tersenyum sensual, membuat Ino memerah bak kepiting rebus. Namun, Ino tidak menjauh. Penasaran, ia membulatkan tekad dan menatap kedua mata biru Naruto dengan kedua matanya. "Tunjukkan…"

Naruto tersenyum puas. Ia dengan cepat mengangkat tubuh Ino seolah ia adalah seutas tali dan membawanya ke kamar mereka, sebelum menjatuhkan wanita itu di atas kasur.

Panik, pikiran Ino sudah melayang-layang ke berbagai pemikiran. Ia tidak yakin ia siap dengan ini. Tapi rasa kegembiraannya melonjak, memaksanya untuk terus maju dan pantang mundur. Itulah mengapa kemudian ia hanya menurut ketika Naruto menyuruhnya untuk berbaring dan memejamkan mata.

Meskipun ia menunggu Naruto untuk berbaring di sebelahnya, namun Naruto tidak kunjung naik. Malahan ia mendengar suara pria itu berkata, "Mari bertukar peran sekarang. Kau adalah aku. Aku adalah kau. Aku, Namikaze Ino, sedang menyirami tanaman di depan rumah kita, mencuci piring dan gelas yang tersisa setelah dipakai semalam, memasak air panas, menyiapkan sarapan, membersihkan ruang tengah dan karpet, dan kemudian aku berjalan dengan kedua tangan yang masih sedikit berdebu, bercampuran dengan aroma kopi. Aku mendekat padamu dan berbisik…" Naruto melakukan sesuai dengan apa yang dikatakannya. Ia mendekatkan wajahnya kepada wajah Ino. "Tidakkah tidurmu sudah terlalu lama, Naruto?"

Ino membuka matanya. "Apa aku benar-benar melakukan hal itu?!" tanyanya syok.

"Ssttt. Pejamkan matamu!" Ino menurut meskipun ia masih setengah percaya.

"… dan kemudian karena kau masih menolak untuk bangun…" Naruto beranjak naik ke kasur. Menimpa tubuh wanita itu, hanya saja dia menopang tubuhnya dengan salah satu sikunya agar Ino tidak keberatan. Napas Ino tertahan, dan lagi-lagi ia merasa tubuhnya benar-benar aneh. Naruto melanjutkan, "Aku akan bilang, kalau kau tidak bangun, tidak ada morning kiss, Naru."

Ino kembali membuka matanya, kini terbelalak. "Apa aku benar-benar melakukan itu?"

"Aku bilang morning kiss, Naruto. Hanya satu," kata Naruto masih melanjutkan.

Ino memandangnya tanpa bekedip. Naruto kembali berkata dengan suara beratnya, "Bolehkah aku…?" kedua mata pria itu menunjukkan kerinduan yang bilang dibendung lebih lama akan membuatnya semakin menderita. Ino tahu Naruto menahan dirinya dalam segala hal, takut-takut apa yang dikatakannya akan membuat Ino semakin tidak nyaman. Naruto telah melakukan banyak hal untuk Ino. Dan Ino rasa satu ciuman bukanlah sebuah masalah.

Ino memejamkan matanya kuat-kuat dan mengangguk.

Naruto tertawa. "Aku tidak memejamkan mataku seperti itu. Buka matamu, Ino."

Perlahan Ino membuka matanya, didapatinya Naruto yang mendekatkan bibirnya pada bibir Ino. Ino pikir rasanya akan aneh, ia pikir ia akan merasa risih, atau mungkin jijik, atau merasakan hal-hal lain. Tapi yang Ino rasakan di kala bibir mereka bersentuhan hanyal 'sesuai', tidak ada hal lain lagi yang lebih sesuai dengannya dibanding ini. Seolah, untuk merasakan momen inilah dirinya dilahirkan. Ciuman mereka mendalam, dan Ino bisa merasakan sesuatu yang hangat jatuh di pipinya. Air mata Naruto. Kini mata pria itu terpejam erat.

Dan ketika bibir mereka saling melepas, ada keraguan dalam diri masing-masing. Enggan untuk saling melepas.

"Dan kau berbicara tentang bayi."

"Kau masih melanjutkan peran kita?" tanya Ino tidak bisa menahan tawanya.

"Karena memandang mata biruku yang cantik, tiba-tiba kau berpikir bagaimana rupa anak kita nantinya? Lalu kau berpikir bahwa kau tidak akan heran bahwa anak kita akan berambut pirang dan bermata biru. Karena kita sama-sama begitu."

"Oke." Ino tersenyum. "Itu masih 'Naruto' kan?"

Naruto mengangguk. "Aku bilang ini bukan saatnya membicarakan itu."

Ino mengerutkan keningnya. "Kenapa?"

"Karena aku mendapat jatah bulananku."

Ahh. Ino memasang wajah kecewa.

"Benar sekali," kata Naruto. "Rasa kecewaku persis seperti rasa kecewamu sekarang."

"Aku bingung. Apakah sekarang ini 'dirimu'?"

Naruto hanya menjawabnya dengan sebuah senyum. Kemudian ia bangkit tiba-tiba. "Kau bangun dengan melompat dari kasur."

"Kau sungguh melompat? Oke." Ino mencoba melakukan yang terbaik, namun lompatannya gagal dan Naruto membantunya agak posisinya aman. Keduanya tertawa.

"Kita berdua pergi ke ruang makan…"

Ino duduk di salah satu kursi sedangkan Naruto menaruh secangkir kosong di depannya, juga piring kosong yang disertai dengan sendok dan garpu. "Aku memberimu kopi," ujar Naruto berusaha meyakinkan.

Ino mengangguk saja.

"Dan kemudian aku berkata sesuatu yang aneh setelah menerima telepon."

"Apa itu?" tanya Ino pelan.

"Kakekku mengalami Alzheimer. Dan aku bilang, aku tidak bisa membayangkan ketika suatu saat terbangun… dan tidak bisa mengenali wajahmu."

Situasi berubah. Tidak ada lagi main-main di sana. Ekspresi Naruto berubah serius, tatapannya berubah serius. Ino melihat ada rasa sakit di tatapan pria itu. Tanpa sadar tangannya bergerak naik, membelai kedua pipi suaminya dengan kedua tangan mungilnya. Ibu jarinya mengusap air mata yang mulai terjatuh. Hatinya merasa tersayat melihat tatapan sedih itu. Namun Ino meneruskannya dengan berkata, "dan itu benar-benar terjadi. Aku tidak bisa mengenali wajahmu."

"… dan… dan kau bilang… kau akan terus berada di sampingku. Memberiku pelukan di setiap paginya. Memberikanku morning kiss."

"Morning kisses," sahut Ino. Naruto membelalakkan matanya menatap Ino.

"Jika itu dirimu, kau pasti akan mengatakan kisses, bukan kiss."

Naruto tertawa di tengah-tengah tangisnya.

"Dan kau telah menepati perkataanmu, Naruto. Kau berada di sisiku terus-menerus. Itu yang penting." Ino memberikan Naruto sebuah pelukan. "Kau ada, tanpa menuntut sesuatu dariku. Dan kau selalu sabar…"

Ia melepaskan pelukannya untuk memandang Naruto dengan kedua matanya yang juga basah. "Karena itulah yang akan dilakukan suami yang mencintai istrinya dengan tulus."

"Aku mencintaimu."

Ino tersenyum. "Aku mungkin belum mencintaimu sekarang, Naruto…"

"Kau akan mencintaiku," ujar Naruto dengan yakin. Kembali memeluk Ino dalam dekapannya yang erat. Dan mereka mempertahankan posisi itu entah untuk berapa lama. Tidak ada yang tahu. Yang jelas, pelukan itu berlangsung sampai keduanya merasa lega, sampai tidak ada lagi batas di antara mereka.

Dan kemudian, mereka memulai segalanya dari awal. Mulai dari mengobrol empat mata dengan ditemani dua gelas es susu, hanya obrolan sederhana. Dimana kau lahir, jam berapa kau lahir, minuman kesukaanmu, makanan kesukaanmu, hobimu, mantanmu, dan sesuatu sederhana lainnya. Mereka memulai kembali bersama-sama, melakukan hal yang seharusnya mereka lakukan sebagai pasangan. Berkencan.

Dan ada kalanya, ketika mereka bersenang-senang, Ino akan teringat dengan ucapan Kakashi-sensei padanya. Ada kalanya kita melupakan sesuatu, melupakan hal buruk yang tidak ingin diingat.

Kring kring kring.

"Mama... Mama…"

"Sebentar Yui-chan, Mama angkat telepon dulu!"

"Mama!"

"Sato-kun…. Narutoooooo! Kau dimana? Sato-kun menumpahkan susunya!"

"Aku dataaaanggg!"

Kring kring.

Ino berlari menghampiri telepon rumahnya yang terus-menerus berdering. Dengan penuh keringat dan pakaian yang kotor penuh warna dan tumpahan makanan, Ino mengangkat teleponnya. "Halo, keluarga Namikaze di sini!"

"…"

"Halooo?"

"Mamaaa!"

Ino menutup teleponnya dengan salah satu tangannya. "Tunggu, Yui-chan. Mama sedang mengangkat telepon yaaa. Narutoooo, tolong urus Yui-chan sebentar!"

Ino kembali pada teleponnya. "Halo?"

"Ino…"

"… Karin?"

"Aku bertemu Kakashi-sensei kemarin. Aku mendengar kabarmu dari dia…."

"Benarkah? Ah aku senang kalian bisa bertemu lagi! Kau dulu suka dia kan?"

"… boleh aku berkunjung?"

"Tentu saja! Ahh aku akan memperkenalkan kedua anakku. Mereka kembar, Yui dan Sato."

"Haha… pasti keduanya mirip denganmu."

"Yep. Kurasa mereka 99% mirip denganku."

"Aku mendengar itu!" sahut Naruto dari kejauhan.

Ino mengabaikan suaminya. "Cepat datang ya, Karin!"

Dan jika saja ingatan Ino kembali, hubungannya dengan Karin tidak akan bisa terjalin dengan baik.

'Karin… bilang pada mereka bahwa itu kau…" kata Ino pelan seusai pulang sekolah.

Karin menolak untuk menjawab, ia menggigit bibirnya tak berani menatap ke mata sahabatnya, Yamanaka Ino. Ino mendorong Karin ke tembok. "Katakan bahwa itu kau yang berciuman dengan Kakashi-sensei di ruang kesehatan!"

Karin kemudian menatap Ino dengan mata yang membulat. "Itu kau, Ino. Bukan aku."

Kemudian gadis itu pergi meninggalkan Ino yang tak lagi menjadi sahabatnya. Dan kemudian menangis, menyesali perbuatannya selama hidupnya.

End.

Cinta yang tulus bukanlah cinta yang dapat hilang dalam sekejap, melainkan cinta yang bertahan di kala mengalami banyak cobaan.

Melepas satu keburukan akan membawa sedikit kebahagiaan.

Author's Note: So, mungkin bagi beberapa dari kalian merasa ini terlalu mendadak. Tapi aku udah pernah blg sebelumnya kalau ceritanya emang udh mau selesai. So, aku berharap kalian bisa enjoy dengan ending ini.

Mengenai Namikaze Sato dan Namikaze Yui, nama ini direquest oleh seorang reader yang mereview dengan nama MrSatriaDDY. Jadi inilah req an mu hahaha. Karena dia satu-satunya yang menyarankan nama, jadi aku menggunakan nama itu yaa… dan terima kasih banyak udh menyarankan nama.

Mengenai endingnya selesai di Karin dan Ino, mungkin agak aneh ya? Tapi bagiku pas-pas aja sih hehe. Mengenai pelajaran hidup juga kan?

Akhir kata, terima kasih sudah mau mengikuti My Princess Serenity dari awal sampai akhir. Terima kasih atas dukungan yang telah kalian berikan. Dan maaf apabila lama kelanjutan tiap chapter, aku lupa bilang di chapter terakhir bahwa aku sibuk kegiatan kuliah. Dan ini liburan baru bisa melanjutkan. Tapi engga nyangka aku nulis ini dari umur 14 tahun, dari ada yang minta bikin lemon segala macem. Hahaha. Maaf tapi kayaknya aku belum pantes mau bikin yang begituan. But I love you all. And goodbye from My Princess Serenity!

P.S.: Sepertinya aku mau publish cerita baru. Tp pairnya SasuIno kalau bisa mampir ya…