Sabtu, 20 Agustus 20xx

Musim panas hampir berakhir. Meski begitu, bukannya menjadi sedikit lebih sejuk sebagaimana seharusnya menghadapi musim gugur yang akan segera datang, terik matahari malah makin menggila. Nyanyian tonggeret yang harusnya mulai berkurang pun malah seperti mengadakan orkestra tiap menitnya. Belum lagi ketika pancang pandang menyapu muka, terlihat jelas hawa-hawa gurun Sahara dan fatamorgananya yang melegenda. Tolonglah, ini pertengahan Agustus tapi kenapa serasa 23 Juli(*)?

Murasakibara Atsushi tergeletak di bawah rindang pohon. Di sebelah kepalanya berserakan botol-botol minuman berbagai rasa yang telah kandas isinya. Dan tak jauh dari tumpukan botol, terdapat segunung kemasan camilan yang telah ludes pula. Ia merintih, kilau amethysnya meredup dan kelopak matanya menyanyu. Tangan kanan terjulur ke atas, hanya setengah dan terihat tak bertenaga. Pemuda jangkung tersebut terlihat seperti tengah dilanda kepedihan yang begitu mendalam. Telapak tangannya yang menggantung seketika disambar seorang lain yang bersimpuh di sisi lain tubuhnya. Orang tersebut menggenggam erat telapaknya yang besar, sambil berlinangan air mata (dan tentu saja keringat).

"Aku... Sudah tidak ku—at, ukh!" erang Murasakibara. Ia memejamkan matanya dengan begitu erat, seperti menahan rasa sakit yang amat dahsyat.

"Jangan bilang begitu! Kau sanggup!" sambar si lawan bicara. Murasakibara kembali membuka matanya dan menatap pemuda tersebut dengan sendu.

"Semuanya... Kuserahkan padamu—" satu hembusan berat keluar dari belah bibir Murasakibara yang mengering, "—Kise-chin..." dan pada akhirnya kedua manik ungu tersebut menutup sempurna diiringi dengan tangan yang melemas di genggaman.

"Murasakibaracchi!"

.

.

.

.

.

.

"Jangan jahat gitu dong, ssu! Kamu belum ngapa-ngapain dari tadi. Plis, harusnya yang akting mati itu, aku-ssu!" bahu itu digunjang hebat, kepala ungu terantuk-antuk ke tanah berselimutkan rumput gajah. Tapi si pemilik kepala terlihat tidak terganggu dan meneruskan 'kematian'nya.

"Aaaa! Aku juga mau mati saja kalau seperti ini!"

Detik itu juga Kise Ryouta mengikuti jejak kawannya menyongsong sebuah kematian manis.

.

.

.


.

TODAY

Disclimer : Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi

TODAY © Hyori Sagi

Summary : Hanya sebuah kisah setengah penting dan setengah waras yang terjadi hari ini / Midorima seketika merasa perlu untuk menyuntikkan vaksin anjing gila pada para anggotanya yang mulai berteriak tidak karuan /

Rated : T untuk bahasa kasar yang nyempil

Warning : Bahasa nyeleneh. Ore!Akashi. Teiko!Arc. Beberapa chara yang ter-bully. Typos. OOC?

.

Enjoy!

.


.

.

.

Awal dari opera sabun tersebut adalah pengumuman yang dibawa oleh Momoi Satsuki saat latihan pagi sedang diistirahatkan beberapa menit. Gadis bertubuh biola itu datang mengintrupsi ajang mengumpulkan nyawa para anggota tim basket dengan aura bunga-bunga yang menyesakkan dada. Dia terkekeh riang di hadapan para pemuda yang tergeletak mengenaskan di lantai gedung olahraga. Kontras sekali, bahkan gadis itu jadi terlihat seperti ratu harem yang sedang menyiksa para gigolonya—untung ini hanya perumpamaan. Sambil mendekap papan jalan di dada, Momoi meminta semua anggota tim untuk berkumpul. Yang mana hal tersebut merupakan sesuatu yang amat sulit untuk dilakukan, mengingat kondisi fisik mereka benar-benar membuat hati miris.

"Ehehe... Jadi, minna—" manajer pink itu memulai dengan tawa bahagia (dan disahuti lemas oleh sebagian pemuda. Untung Momoi cantik dan bohai, kalau tidak mana mau mereka bela-belain menyeret tubuh yang kelewat lelah untuk mendengarkan ocehannya), "Barusan aku mendapat informasi penting dari pelatih." Para kumbang mendengarkan dengan sepenuh hati tanpa niatan menyela.

(Lebih tepatnya mereka tidak punya cukup tenaga untuk melakukan itu)

"Kita klub basket mendapat dispensasi untuk tidak mengikuti kelas tambahan hari ini,"

"UWOOOOO!" seketika gedung olahraga tersebut dipenuhi dengan sorak antusias. Gedung yang tadinya hanya diisi dengan erangan sekarat kini berubah menjadi begitu ramai dan hidup. Hilang sudah semua letih di tubuh. Kabar dispesasi macam itu memang nyanyian surga bagi para pelajar.

Dengung-dengung ceria terlontar dari mayoritas lisan pemuda. Mereka mengabaikan Momoi yang masih betah berdiri di depan mereka dengan senyum bingung. Pengumumannya belum selesai loh.

"Ettoo, kalian..."

"Hoi, Momoi-san masih ada pengumuman lain nih!" salah seorang pemuda di baris depan menyadari gelagat Momoi dan segera tanggap untuk mengembalikan atensi pada si manajer.

"Yash! Pengumuman kalau kita juga dapat dispensasi saat festival olahraga?" celetuk salah satu anggota di barisan belakang.

"Uwoo! Mantap!"

"Hei kalian! Diam dulu dan dengarkan pengumumannya, nanodayo!" seru Midorima jengkel. Ia memijat pangkal hidungnya untuk mengurangi pusing yang mendera. Klub basket tanpa Nijimura atau Akashi memang benar-benar memusingkan. Midorima membatin, kemana si Akashi itu saat dia dibutuhkan dalam situasi chaos macam ini? Tidak ada selain Nijimura dan Akashi yang bisa menjinakkan para pemuda ini dalam sekali tepuk. Lagipula yang bertanggung jawab sekarang adalah dirinya, wakil kapten tim basket, selagi kapten tidak ada di tempat. Midorima merutuk, ia paling tidak suka berhadapan dengan orang-orang yang terlalu berisik apalagi sampai harus mengaturnya. Kenapa Akashi sampai memilihnya menjadi wakil sih?

Seketika lapangan indoor tersebut menjadi senyap. Midorima Shintarou yang jengkel itu ancaman. Bisa saja kan dia mengadukan pada Akashi dan menyarankan pada kapten mereka untuk menambah porsi latihan sebagai hukuman karena sudah berisik?

(Padahal Midorima tidak pernah melakukannya seberisik apapun mereka ketika Akashi sedang tidak di tempat. Tapi yang namanya jaga-jaga, tidak ada salahnya, 'kan? Sedia payung sebelum hujan itu lebih baik)

"Terima kasih, Midorin! Jadi, hari ini kita tidak perlu mengikuti kelas tambahan—" wajah-wajah berseri semakin bersinar, "—sebagai gantinya, kita diwajibkan untuk mempersiapkan peralatan dan lapangan atletik untuk festival olahraga besok Senin."

Krik...

"HAH!?"

Wajah-wajah bercahaya seketika berubah menjadi suram. Suara petir menyambar pun terdengar (secara imajiner). Raut-raut tidak rela terpampang jelas, terutama dari wajah seorang Aomine Daiki yang tadinya sudah sangat siap untuk ambil langkah seribu menuju rumah.

"Kok gitu sih!?"

"Kenapa kitaaaaa?!"

"Aaakkhh! Kemana para OSIS itu?!"

"Di tengah terik macam ini kita bersih-bersih lapangan atletik?! Dunia pasti sudah gila!"

"IDE SIAPA INI?!"

Midorima seketika merasa perlu untuk menyuntikkan vaksin anjing gila pada para anggotanya yang mulai berteriak tidak karuan. Di sebelahnya, Murasakibara menonton sambil ngemil keripik jagung, terlalu malas untuk ikut meneriakkan protes. Iya, dia juga tidak setuju. Tapi tidak perlu meraung-raung seperti gorilla mengamuk begitu.

"Ini usulan Akashi-kun yang sudah disetujui Pelatih, loh."

Senyap.

"Katanya hal tersebut bagus untuk latihan stamina dan mental kalian dalam menghadapi kejuaraan besar."

ALASAN MACAM APA ITU?!

Ruh-ruh yang tadinya telah bersemayam nyaman dalam raga kini kembali memberontak untuk keluar dari mulut begitu mendengar pengumuman secara lengkap. Sebagian besar arwah para pemuda telah menggantung di bibir, siap lepas landas menuju surga. Sisanya terlihat kalem-kalem saja meski sebenarnya mereka merapalkan kutukan-kutukan maut bagi kapten merah mereka. Mengabaikan keadaan yang begitu suram, Momoi dengan santainya membacakan pembagian tugas (neraka).

.

.

.

Matahari tepat berada di atas ubun-ubun ketika para anggota tim basket selesai berbenah di gedung olahraga dan bermigrasi ke lapangan outdoor. Sinar mentari begitu menyengat dan menggigit di luar sana. Belum lagi udara begitu kering dan hawanya bagai dalam panci rebusan sup di atas bara api. Baru melihatnya saja rasanya ingin menyelam di kubangan wastafel, dan sialnya mereka harus rela untuk merasakannya secara langsung. Jika boleh memilih, mereka lebih sudi dicekoki bahasa alien bernama matematika di dalam kelas selama dua jam penuh ketimbang lalalili di bawah sengatan sang surya.

Midorima yang melihat semangat bawahannya hangus seketika saat baru selangkah menjajaki dunia luar, segera mengambil tindakan. Dengan tegas ia pimpin manusia-manusia lesu tersebut untuk menyongsong (siksaan) perjuangan yang telah menanti. Pengikutnya hanya menyahuti malas dan menyeret langkah. Mereka menyebar menuju pos masing-masing dengan membawa alat-alat olahraga yang akan digunakan pada festival olahraga lusa nanti. Sebagian lagi ada yang membawa alat-alat untuk membenahi dan mempersiapkan lapangan atletik. Cat untuk memperbaharui jalur lari, pita untuk garis finish, tali-tali untuk pembatas arena, dan sebagainya.

Entah kebetulan atau memang disengaja (mereka yakin ini disengaja), para pelangi kedapatan jatah paling menyiksa dan menyusahkan. Mereka akan benar-benar dibakar oleh sumber panas nomor wahid se-Bimasakti. Murasakibara yang biasanya menampilkan wajah malas dan tak peduli di setiap keadaan pun sampai memperlihatkan raut syok yang begitu legendaris. Benar-benar mewakili semua rasa anggota gulali lainnya (yang sama-sama memamerkan ekspresi fantastis).

"Momoi-chin... Bisa tolong diulang jobdesk-nya? Barusan ada remah umaibou di telingaku jadi aku pasti salah dengar," katanya polos. Yang lain langsung memandang pemuda jangkung tersebut dengan ekspresi tercengang,

'Memangnya bisa?!'

Momoi mengerjap, lalu tertawa kecil, "Remahan camilan mustahil bersemayam di telingamu, Mukkun. Kecuali kamu lupa cuci tangan sebelum menyentuh telinga," ralatnya seraya mengibaskan tangan kanan—tangan kiri masih setia memeluk papan catatan di dada, "Lagipula kamu tidak salah dengar kok. Di catatan yang diberi Akashi-kun: Midorin, Ki-chan, Dai—Aomine-kun, Tetsu-kun, dan Mukkun yang bertugas mengecat ulang seluruh jalur lari di lapangan atletik dan memasang palang rintang untuk lomba lari," lanjutnya riang.

Yang namanya disebut seketika mematung. Keriangan Momoi saat mengumumkan jatah tugas mereka bagai suara sangkakala yang menggetarkan hati. Mau kaget dan ketakutan pun rasanya percuma sekali. Ini seperti menghadapi sebuah kematian yang tepat di depan mata, menghindar pun tak guna. Mereka sudah tidak tahu, ekspresi apa yang harus mereka gunakan untuk mendeskripsikan ketidaksetujuan mereka. Yang jelas, jika ini merupakan bagian dari komik, mereka yakin mereka akan digambar pada panel hitam pekat dengan sekujur tubuh putih plus ekspresi datar-pasrah. Jangan lupa garis-garis depresi yang digambar di pojok atas untuk menambah aura suram dan sebuah tulisan mode capslock penuh berbunyi, 'YA TUHAN!'

.

Kise Ryouta merengut. Partner kerjanya langsung tumbang begitu tangan memegang kuas. Bukan, bukan karena lelah. Ya kali lelah, kerja saja belum. Alasannya sudah pasti tidak jauh-jauh dari jajanan penuh MSG kesayangannya. Jadi, Momoi menyita semua camilan dan minuman yang Murasakibara bawa ke bawah sebuah pohon tak jauh dari lapangan. Gadis itu berdalih bahwa Akashi yang menitah. Mulanya lelaki jangkung tersebut bisa menerima, apalagi nama Akashi dibawa-bawa. Hanya saja itu tidak berlangsung lama. Begitu kakinya menginjak medan tugas, kepatuhannya dilelehkan habis oleh terik mentari. Iris ungunya bergerak gelisah dan berkali-kali menengok kresek putih besar berisi setengah jiwanya yang dijaga ketat oleh Momoi. Dia tidak mau Momoi melihatnya melanggar aturan Akashi dan mengadukannya. Tidak, dia tetap mau jadi anak baik di hadapan Akashi karena Akashi kuat dan dia segan pada pemuda merah itu. Ocehan Kise pun tak ia dengar, pokoknya dia sibuk mengawasi Momoi dan bedo'a agar manajer pink tersebut segera hengkang dari penjara kekasihnya.

Gayung bersambut. Do'anya dijabah oleh Yang Maha Kuasa. Momoi dipanggil salah satu siswi dan bergegas pergi dengan siswi tersebut. Sepertinya darurat karena mereka pergi dengan terburu-buru. Tanpa ba bi bu, bungsu Murasakibara tersebut meninggalkan Kise dan pekerjaannya, padahal ia baru saja memegang kuas dan akan melakukan debut nguli perdananya. Ia berlari tergopoh menuju tempat dimana camilannya bersemayam. Kise yang terlambat menyadari hanya bisa tertegun. Memandang dari jauh bagaimana bahagianya Murasakibara di bawah naungan rindang pohon sambil meneguk sebuah minuman berperisa jeruk.

SIALAN!

Dengan kalap, untuk kesekian kalinya, Kise mengoleskan sunblock pada lengan. Padahal belum ada setengah jam ia mengoleskan lotion tersebut pada kulit putihnya. Aomine Daiki yang berpasangan dengan Midorima di sisi lain merasa iritasi melihatnya. Dia tidak dengan sengaja terus memperhatikan bocah kuning tersebut hingga tahu bahwa barusan adalah yang ketiga kalinya Kise menggunakan tabir surya. Tapi entah kenapa, selalu saja saat pemuda eksotis tersebut mengusap peluh dan mengalihkan perhatian sebentar dari kerjaannya, pemandangan itu yang tertangkap mata. Dia mencibir, dasar banci, dan didengar oleh Midorima yang kebetulan bergeser mendekat untuk mengecat bagiannya.

"Siapa yang kau bilang banci, hah?" tegur Midorima. Ia tersinggung, dipikirnya Aomine tengah mengejek dia.

Aomine menoleh, "Bukannya kau bisa lihat kalau aku tidak mengejekmu?" balasnya cuek. Rambut-rambut kuas kembali ia celupkan ke dalam kaleng cat.

Wajah Midorima memerah, jari tengah refleks mendorong kacamata. Malu juga karena kege-er-an, untung si tan tidak lihat Midorima tersipu.

"Mana kutahu. Aku tidak lihat arah matamu saat bilang begitu, nanodayo," belanya, "Jadi siapa yang kau bilang banci?"

"Siapa lagi," suara gesekan kuas dan permukaan lapangan terdengar seiring dengan tangan kecokelatan yang sigap bergerak. Aomine mengedikkan sedikit dagunya ke arah seberang dimana Kise sedang melakukan hal yang sama sambil komat-kamit tidak jelas, sepertinya mengeluh. Midorima mengangkat sebelah alisnya, gestur meminta penjelasan lebih. Namun pemuda hijau tersebut langsung merutuki kelakuannya yang sia-sia karena sadar bahwa Aomine tengah menunduk. Padahal dia ingin hemat energi.

"Memang dia melakukan apa sampai kau bilang banci, nodayo?"

"Kelakuan flamboyannya itu loh. Bikin iritasi mata," jeda untuk bersungut, "Masa mengoles tabir surya tiap beberapa menit. Memangnya dia perempuan? Apa salahnya sih disengat matahari barang setengah hari. Paling hanya menggelap sedikit. Lagipula dia sudah mengoleskan tabir surya sebelum ke sini. Mengoleskan terlalu banyak juga tidak baik, 'kan? Aturan pakainya kan oles kembali setelah dua jam terpapar sinar matahari. Bukan tiap menit. Dikiranya pakai sembarangan begitu tidak ada efeknya, apa."

Midorima diam sejenak, ia memandang takjub pada Aomine.

"Sejak kapan kau mengurusinya?"

"OI! Kan sudah kubilang kelakuannya membuatku iritasi!" Aomine menggeram.

Sang wakil kapten tersenyum tipis, diam-diam salut dengan kepedulian Aomine pada rekan satu timnya. Memang dia terlihat cuek, serampangan, dan kasar. Tapi Midorima akui bahwa sebenarnya pemuda di sampingnya inilah yang paling peduli terhadap teman-temannya. Hanya saja ia bukan tipe romantis yang dengan leluasa memamerkan rasa sayangnya secara gamblang. Dia cenderung bertindak arogan dan terkesan jahat saat sedang menyampaikan kepeduliannya, kata-katanya juga tidak sopan. Itulah yang membuat sebagian besar orang malas berurusan dengannya dan menganggap Aomine bukan teman yang baik. Padahal jika mau sedikit saja menyelami tindak tanduk dan makna tersirat di ucapannya, sebuah perhatian besar bisa terlihat jelas.

"Hmph, bilang saja kau khawatir pada kesehatannya. Berbelit-belit begitu tanda orang bodoh, nanodayo."

"Apa kau bilang?!"

"Telingamu tuli?"

"AP—Dasar lumut!"

"Membalas dengan sebuah ejekan saat tidak bisa mendebat. Itu juga tanda orang bodoh, nodayo."

Aomine menjambak rambut sambil berteriak tertahan. Dia sudah cukup stress dengan panas matahari yang menghujam kejam kepala dan seluruh tubuhnya. Tidak perlu ditambah dengan perdebatan receh dengan si hijau lumut. Sebenarnya kenapa rasanya dia sial sekali hari ini? Apa dia harus mulai mengikuti acara ramal konyol yang diagungkan Midorima agar terhindar dari kesialan macam ini di kemudian hari? Tapi dia tidak mau jadi sesat.

"Murasakibaracchi!"

Sontak Midorima dan Aomine berpaling pada sumber suara. Mereka mendapati Kise sedang meraung-raung di hadapan Murasakibara yang tergeletak di bawahnya. Aomine ber-wtf ria sedang Midorima hanya terpikir untuk menggelengkan kepala sambil menghela napas dan memijat pangkal hidung.

"Aomine, sana kau hentikan drama murahan mereka sebelum makin parah,"

"Ogah. Kau saja. Yang wakil kapten itu kau, bukan aku."

Duh, gusti. Cepatlah kau selesaikan urusan Akashi Seijuurou dan kirim dia kemari! Midorima tidak tahan.

"Aaaa! Aku juga mau mati saja kalau seperti ini!"

ARRGGH! Iya, iya, ini Midorima sudah berdiri dan menuju ke panggung dadakan. Tolong opera sabunnya jangan dilanjut! Dia masih butuh tenaga pemuda-pemuda sableng tersebut untuk menyelesaikan jalur lari sebelum matahari tepat berada di atas ubun-ubun!

Aomine ngakak tertahan melihat kelanjutan dramanya saat Midorima bergabung dan berusaha menghentikan pertunjukan tersebut. Bukannya berhenti, ceritanya malah semakin mengocok perut. Apa-apaan deh itu si Kise yang tiba-tiba memanggil Midorima 'Mama' dan mengadu telah dianiyaya secara batin oleh anak sendiri. Dan Aomine benar-benar tidak bisa menahan tawanya lagi saat Murasakibara nimbrung akting dengan Kise. Mengatakan jika Midorima Mama yang jahat karena menelantarkannya bersama Papa yang tidak becus kerja dan memberinya nafkah. Kontan saja Midorima meradang dan segera menarik kasar salah satu kaki Kise dan Murasakibara bersamaan hingga membuat keduanya terseret,

"Berhenti bermain-main dan kerjakan tugas kalian!"

Untuk beberapa alasan, Midorima semakin merasa hormat pada Akashi.

.

.

.


END


.

.

.


Footnote


*23 Juli merupakan puncak musim panas yang disebut Geshi.


A/N


Ya ampun, telat pos. Harusnya tanggal 20. Hehehehe...

Uumm... Btw, udah setahun ya ini dianggurin. Hahaha... /ketawagaring/ Eemm... Yaa, di sini saya mau minta maaf karena jarang update, terus makin gaje nan garing—

—Iya, udah, gitu aja. /digiringkepohontoge/

.

Saya juga mau berterima kasih untuk semua pembaca yang sudah menyempatkan diri membaca cerita ini, yang nge-fav, follow, review, huhuhu... Terima kasih banyaaakk! Kalian luar biasa~ Oh ya! Saya sempet janji untuk bales review ya... Eeemm... Ok... Di sini aja ya semuanya? Kalau PM satu-satu takut gak sempet lagi~ /bilangajasitumager/ Saya akan balas semua review dari awal karena lupa mana-mana saja yang sebenernya sudah dibales, lol. /dibuang/ Oh! Dan ada omake di bawah, so stay tune 'till the last, yaaa?

.

.

Flow Love-san makasih banget udah suka cerita gaje iniiii. Huhu, saya tersandung—maksudnya tersanjung, hehe~ Yaps, betul banget! Mereka kelewat kreatif xD. Dan masalah Akashi tiba-tiba gatel pengen ngambil ponsel... Apa sudah ketebak? /dor/ Iya nih, Aomine memang suka tiba-tiba muncul terus ikut ngetik—tunggu, dia belajar misdirection juga ya? OAO Hm, hm! Aku setuju sama Flow-san. Penggunaan sifat Akashi memang bikin pusing. Ah, TODAY masih lanjut koook. Hanya saja sistemnya tiap chap nyeritain satu hari. Jadi end di tiap chap itu maksudnya cerita di hari tersebut beres. Slice of life gitu maksudnya mah, wkwk... Untuk fictnya sendiri masih cukup jauh dari tamat kok~ LiaZoldyck-chan (-san?) itu Aomine pundung loh dibilang begitu, wkwkwk... Tetsuya memang pinter kalau nyangkut beginian (beginian apaan woy). Ini udah diupdate sampe chap 5 loh... Gak ada keinginan buat review lagi? :'( /desh/ chuyachups-san Hehehe, karena Aomine memang pantas dibully~ /dilemparAomine/ Makasih banget udah suka ceritanya, hehe... Ini udah diupdate sampe chap 5 loh... Gak ada keinginan buat review lagi? :'( /desh/ (2) Kitami Misaki-san Waaahhh parah niiihh... Hayooo, dipelototin Kise tuh~ Oh ya, chap 3 kebanyakan kata autis ya? Wkwk, saya sampe gak sadar~ Duh, maaf atuh kalau saya pake bahasa jaman dulu :'( Da aku mah apa atuh :'( Haha, Akashi memang identik paus dibanding singaa xD /digorokAkashi/ Nozomi Rizuki 1414-san Bisa dong! Dia kan mamalia xD /teorimacamapaitu/ PMS itu singkatan dari –piiiiiipppp- Hah?! Ikan apa ituuuu? Baru dengeeeerrr.. Hahaha mau liat! /brbgoogling/ Makasih infonya ya, wkwk... Punya bahan baru buat ledekan Akashi xD Nearo O'nealy-san Ini udah diupdate sampe chap 5 loh... Gak ada keinginan buat review lagi? :'( /desh/ (3) sakhi-saaaaaaaaaaaaannnnnnnn! Aaaaaaa, kemana aja kamuuuu? Huuuu, keasyikan main ke rumah tetangga di dalem dinding maria ya sampe gak pernah mampir lagi ke sini? /tears/ Gak, saya gak mau tanggung jawab, huh! /tsun/ Anoo, karena... Saya pikir ini... Kurang pantes di genre humor? Habisnya garing krenyes-krenyes gitu. Malu sama fict lain yang humornya dewa. Hayati merasa tak pantas bersanding dengan mereka /eea/ Yoroshiku-san ini masih lanjut kok! Iya, Cuma tiap chapternya aja yang end. Untuk cerita secara garis besarnya belum, hehe... Ini udah diupdate sampe chap 5 loh... Gak ada keinginan buat review lagi? :'( /desh/ (4) AkabaneKazama-san Iya, Kagami gak muncul :'( Maaaff~ Dan ini udah dilanjut yaa xD KNY97-san Terima kasih banyaaakkkk xDD uk—siucchi halo~ /nyengir/ Makasiihh, saya ikut senang kalau uk—siucchi merasa terhibur. Hehe, ayo mampir lagi sini~ Ya ampun, S. Hanabi-saaaannnnn... Saya seneng banget direview satu-satu gini beberapa cerita sayaaa... Huhuhu, saya senang sekali~ /elapingus/ Wkwkwk, hayooo temen kamu ada potensi jadi fujo tuh~ /dor/ Haha, penampilan kan memang suka menipu gituuu~ Apalagi Tetsuya~ Haha, iya, saya paling bahagia negebully mereka /ditampol/ soalnya sifat mereka fleksibel banget. Hehe, iyaa. Pair days di knb memang didasari dari nomor jersey mereka... Makasih~ Ini saya kembali meski gak bisa terlalu aktif. Maaf jadi kelamaan nunggu ya? /sungkem/ N Rani kudo-san Sudah di up ya! Silakan dinikmati xD

.

Dan terakhiiirrrr... Terima kasih semuanya! Terima kasih untuk kalian yang sudah baca, baik meninggalkan jejak maupun tidak, saya sangat mengapresiasi kesediaan kalian buat bacaaaa~ Tsah, jadi formal gini ya? Hehe okeee, sebagai penutup, silkan dicicipi omakenyaa~ ;D

.

.

.


Omake


.

.

.

Dimana Kuroko?

Jadi, adakah yang menyadari bahwa sepanjang hari ini Kuroko Tetsuya tidak masuk radar? Dia tidak terlihat saat anggota tim yang lain berjuang di bawah sengatan matahari yang begitu menyiksa. Pemuda kurus itu tidak terlihat ikut andil dalam kerja rodi tersebut. Tidak terlihat... Atau memang tidak ikut?

"Hei, sepertinya anggota tim inti kurang satu ya," singgung seorang pemuda berambut cokelat pada Aomine yang kebetulan lewat sambil menenteng dua kaleng cat putih.

Aomine berhenti dan menatap pemuda itu dengan satu alis terangkat, "Hah? Kurang satu? Tidak kok," sahutnya.

"Apa perasaanku saja? Rasanya kurang satu deh."

"Ngayal kamu. Lengkap kok,"

"Hmm... Berarti memang perasaanku saja," dan lelaki itu kembali sibuk dengan tongkat-tongkat estafet di keranjang.

Aomine mengedikkan bahu tak acuh. Ia melanjutkan perjalanannya ke bagian Selatan lapangan atletik untuk memberikan cat tambahan sekaligus kembali mengecat jalur lapangan yang mulai memudar bersamaan dengan anggota pelangi lainnya. Ia menendang bokong Kise dengan iseng sesampainya di sana dan melongos begitu saja ke tempat Midorima saat Kise sibuk menyemburnya dengan sumpah serapah dan sampah camilan Murasakibara.

Lagi-lagi Midorima turun tangan untuk melerai dan mendinginkan suasana (di tengah panasnya udara). Seriusan, kenapa Akashi kedapatan jatah dipanggil kepsek saat seperti ini? Kenapa bukan dirinya saja? Tahu begitu, dia rela jadi ketua OSIS.

"Cukup kalian berdua! Jangan seperti anak SD. Kalian ingin cepat-cepat hengkang dari terik matahari kan? Maka jangan banyak berdebat dan kerjakan!" sembur Midorima. Tangannya sigap melempari kuas pada Aomine dan Kise saking kesalnya. Kuas bersih kok, jadi tidak akan merecoki jalur yang sudah susah payah dicat ulang. Dia masih cukup waras untuk tidak melempar kuas berlumuran cat pada keduanya. Bukan karena tidak ingin mengotori duo sableng itu ya, tapi demi kerjaan mereka yang sudah setengah jalan.

"Midorimamacchi!"

"Berisik, Kise!" Midorima kembali melempar kuas pada Kise. Si kuning berkelit dengan susah payah, mengingat lemparan Midorima tidak boleh diragukan keakuratannya. Teriakan minta ampun terus didengungkan agar pemuda hijau tersebut mau menghentikan lemparannya. Di lain pihak, Aomine tertawa puas dengan tontonan tersebut. Suara tawanya benar-benar keras dan lepas, perut dipegangi saking kencangnya ia tertawa. Air mata juga lolos dengan mudah dari sudut mata. Anggota lain sampai berhenti sejenak untuk melongok apa yang sebenarnya ditertawakan pemuda biru tersebut—dan pada akhirnya ikut tertawa geli dan sedikit memanas-manasi. Sampai pada suatu masa, Midorima menimpuk Aomine dengan kaleng cat kosong untuk membuat bocah itu diam. Kontan saja yang lain segera bungkam dan terbirit melanjutkan tanggungan. Keamanan kepala mereka terancam jika masih berani melanjukan tawa dan provokasi.

"Oh ya, Midorima," yang dipanggil menoleh, Aomine duduk sambil mengusap kepala yang masih berdenyut, "Memang anggota tim inti kurang satu ya? Tadi ada anak reguler yang tanya,"

Midorima pikir, Aomine akan mengajaknya duel verbal karena sudah menimpuknya. Ternyata lelaki biru tua tersebut hanya bertanya kasual. Bahu Midorima yang sempat menegang karena bersiap untuk adu mulu, kini kembali rileks. Ia mendorong bingkai kacamatanya dan berkacak pinggang dengan satu tangan.

"Tentu saja tidak, nanodayo. Bukankah saat latihan pagi sudah diabsen dan hadir semua? Kecuali Akashi yang izin karena ada keperluan dengan Kepsek."

"Nah kan!" Aomine menunjuk sumringah. Ujung jari tepat memancang Midorima yang berdiri tepat di hadapannya—dan ditanggapi risih oleh si tertuju, "Aku juga sependapat. Tapi sepertinya anak tadi tidak percaya deh. Haah... Parah sekali. Aku kan sudah bilang apa adanya," keluhnya sambil bersidekap dan menghela napas.

"Mungkin itu hanya alasan saja untuk mengadu pada Akashicchi, ssu," Kise yang kebetulan dengar, ikut nimbrung. Ia dan Murasakibara sudah hampir menyelesaikan tugas mereka makanya sekarang posisi keduanya dekat dengan Midorima dan Aomine. Sehingga percakapan dua pemain tersebut tak ayal di dengarnya pula.

"Masa sih? Parah sekali kalau begitu," sahut Aomine tak percaya.

"Kalian jangan berburuk sangka begitu, nanodayo. Mungkin dia hanya salah liat," Midorima buru-buru mengintrupsi.

"Hee, ngomong-ngomong soal kurang satu—" ketiganya melirik Murasakibara yang tiba-tiba ikut bersuara, "—Kuro-chin berpasangan dengan siapa ya? Dia kebagian mengecat juga kan?" imbuhnya sambil menatap malas ulasan cat yang ia pulas.

Hening.

.

.

Jadi, sebenarnya Kuroko ke mana?

Sreeeg...

Pintu gedung olahraga terbuka seperempat. Seorang pemuda dengan rambut sewarna langit saat ini, berdiri di celahnya.

"? Sudah selesai?" gumamnya heran, "Apa selama itu aku di toilet?" tanyanya sangsi. Kaki berbalut sepatu basket putih berjalan menuju ruang ganti di arah jam tiga, memeriksa ruangan tersebut untuk menemukan anggota lain.

Kembali ia dibuat heran dengan keadaan ruang ganti yang nihil kehidupan. Loker-loker terkunci rapat dan barang-barang di sana juga terletak rapi. Sepertinya benar sudah selesai latihannya. Kuroko menghela napas, tidak ada yang menunggunya untuk mengabarinya. Pasti lupa. Padahal ia sudah bilang pada Aomine kalau ia akan ke toilet. Bocah remang itu parah sekali memorinya.

Dengan santai ia membuka loker miliknya dan berganti pakaian. Setelah tubuhnya kembali rapi terbalut seragam, ia mengunci loker dan meninggalkan gedung olahraga sambil menenteng tas—menuju kelas untuk mengikuti kelas tambahan. Dia merengut dalam hati, lupa juga ada batasnya. Sampai tidak ingat untuk memberitahu dia kalau latihan sudah selesai itu benar-benar keterlaluan. Dan dengan suasana hati buruk, Kuroko Tetsuya menjalani kelas tambahan seraya menguar aura suram ke sekelilingnya.

.

—Tanpa tahu jika sebenarnya latihan dialihkan menjadi beres-beres lapangan. Yah, setidaknya dengan begitu dia bebas dari belaian terik matahari langsung, 'kan?