Chapter VIII: Tertumpah

Hidan memasukkan beberapa pasang baju ke dalam tas ransel hitam. Wajah yang diliputi kebahagiaan tidak bisa lagi disembunyikan dari guratan tegasnya. Inilah saat yang ditunggu-tunggu sejak dua bulan lalu dalam masa perasingannya. Berbagai rencana menari di atas kepalanya hingga ia bingung untuk memprioritaskan sekadar satu-dua hal.

Tetapi di atas itu semua, yang membuatnya tidak bisa kehilangan senyum lebarnya adalah mengetahui ia bisa mengajak Hime bersamanya. Walaupun sempat ditentang Tenten, akhirnya ia dapat memenangkan adu debat yang menyita hampir setengah jam sejak kepergian kepala keluarga Hyuuga.

"Aku dan Paman akan keluar negeri. Mengetahui ada beberapa masalah yang harus diselesaikan di sana, aku tidak yakin kami akan pulang dalam tiga hari, tapi aku pastikan tidak akan sampai seminggu. Karena itu, kau jangan berbuat macam-macam di sini. Jika terjadi—"

"Iya, iya, aku mengerti." Hidan mendorong punggung Neji agar keluar dari kamarnya. "Kau harus segera pergi. Aku yakin si tua itu sudah menunggumu di depan dengan wajah masam."

"Aku mengatakan ini atas perin—"

Pintu pun tertutup tanpa sempat pemuda Hyuuga itu menuntaskan ujung kalimatnya. Dari sebaliknya, Hidan menempelkan telinga di pintu demi mendengar langkah Neji yang mulai menjauh.

Setelah yakin, pria itu lantas keluar menuju kamar Hime dan mengatakan tujuannya: mengajak gadis itu menginap beberapa hari di flat kecilnya.

Hidan masih tersenyum, kini ia telah memasukkan semua pakaiannya. Kejadian beberapa puluh menit lalu jelas masih menempel di ingatannya.

Sejak ia tidak berhasil pulang pada waktunya saat bertemu Sakon ditambah lagi setelah beberapa kali tertangkap basah sedang menunggu bus di halte bersama Hime, sulit sekali baginya mendapat celah untuk keluar. Kepercayaan Neji pada dirinya yang sering melanggar janji tidak tertulis telah musnah. Dalam sehari, pemuda itu bisa lima kali pulang untuk memastikan Hidan tidak melakukan hal yang aneh.

Tapi setidaknya Hidan masih dapat bersyukur pemuda itu tidak mengadu pada Hiashi dan merahasiakannya dengan berbagai perjanjian yang harus ia turuti. Namun, perjanjian sepele yang hanya sekadar ucapan tidak lantas dapat mengikat rapat Hidan. Dan tampaknya Neji tidak ingin mengevaluasi isi janjinya.

"Kau sudah bersiap, Hime?"

Hime mengangguk, matanya yang berkilat senang membuat cincin menyedihkan di sekitar pupilnya seolah tidak pernah tercipta. Senyum gadis itu yang membentang lebar mengalahkan keindahan pelangi di mata Hidan. Sudah sejak dua bulan lalu, saat mereka tepergok Neji, senyum itu tidak pernah lagi menghampiri Hime. Dan sekarang, Hidan lagi-lagi tersihir oleh pesona nostalgia yang sama… sebelum seseorang menginterupsi kepingan kenangannya.

"Saya mohon Tuan pikirkan sekali lagi!"

Hidan mendengus kesal. Suara itu datang dari Tenten yang ternyata juga ada di dalam kamar Hime. Gadis penjaga itu masih memasang raut yang sama pula, khawatir dan memohon.

"Aku akan menjaganya."

"Saya tahu itu, tapi Anda sudah berjanji tidak akan—"

"Apa aku seperti orang yang patuh pada janji begitu?"

Hidan menggandeng tangan Hime dengan satu tangan lain menarik koper ungu kecil milik gadis itu. Ia berjalan melewati Tenten yang mencoba menghalanginya.

"Tuan!"

"Apa lagi sekarang? Kalau kau ingin memohon untuk ikut, aku akan dengan senang hati meno—"

"Pastikan Hime meminum obatnya. Saya sudah memasukkan beberapa di tasnya. Lalu ada catatan dari saya yang harus Anda baca nantinya."

Hidan mengangguk malas dan seadanya. Jelas ia ingin cepat-cepat terlepas dari pandangan serius gadis itu. Jika tentang masalah obat-obatan, ia telah fasih. Melihat Hime yang selalu meminum obat di setiap ia melewati dapur membuat pria itu hapal sekaligus miris. Dan catatan Tenten pastilah tidak akan jauh dari itu semua.

"Ok. Terima kasih."

Hidan menggeser pintu yang akan mengantarkan mereka pada suara nyaring tonggeret. Awan gelap yang pertama kali menghampiri irisnya, menggantung berat dalam jarak yang masih lumayan jauh, namun cukup untuk menghalangi sinar matahari. Pertanda musim panas tinggal beberapa langkah lagi dari gerbangnya. Waktu setengah tahun yang telah berjalan, jika ia pikir-pikir lagi, tidak begitu buruk. Rasanya ia ingin terus bersama gadis yang kini dalam genggamannya.

"Ittekimasu!"

Siang itu, kebahagiaan Hidan begitu meluap-luap hingga tidak sempat memikirkan hal-hal lain.

marduk 789—

Ketika mereka menaiki kereta listrik, barulah muncul pertanyaan dalam dirinya. Apakah ia benar-benar dapat menjaga gadisnya atau apakah ia telah memutuskan hal yang tepat. Mengulas kembali betapa sempurnanya kehidupan Hime (kecuali dengan kondisinya) dan membandingkan kehidupannya yang selalu berada di tepian terjal, membuat keraguannya berkembang secara masif.

Ia percaya Hime senang akan hal-hal baru yang tidak pernah ia dapatkan, bahkan menurut Hidan hal-hal itu bukan sesuatu yang mewah. Harusnya dengan pertimbangan demikian, keraguannya menyusut, namun tidak semudah itu ternyata.

"Paman kenapa?" tanya Hime yang sedang duduk saat melihat tampang tegang yang sedang berdiri memegang gantungan di depannya.

"Ti-tidak, tidak apa-apa." Seketika itu juga ia baru tersadar entah apa yang membuat kereta siang kali ini begitu penuh. "Kau tidak apa-apa? Kalau kau merasa sempit, aku bisa menggendongmu."

Melihat gadis itu diimpit dua orang dewasa (yang membuat Hidan tidak mungkin muat duduk di antaranya) membuatnya khawatir kalau-kalau hal itu dapat memperburuk kondisi hati sang anak. Namun gelengan Hime tampaknya telah cukup melenyapkan sebagian besar rasa cemasnya.

"Aku baik-baik saja," jawabnya sambil tertawa riang. Merupakan pengalaman baru baginya berada di dalam kereta yang sedang bergerak.

Hidan tanpa sadar tersenyum. Di satu sudut ia senang melihat anaknya tampak tidak keberatan sama sekali dan di sudut lain ia teringat pada perjumpaan pertama kali dengan Hinata. Masa-masa yang tidak mungkin kembali, namun ia bersyukur masih dapat melihatnya dalam perspektif lain.

marduk 789—

Flat sederhanan Hidan tampak sepi ketika mereka sampai di depannya. Tidak ada yang berubah kecuali pada cat pelapis yang semakin banyak mengelupas. Ia menilai pandangan Hime dari ujung matanya, tidak begitu siap mendapati ekspresi tidak senang yang mungkin akan tertampil.

"Paman tinggal di sini?" tanya Hime dengan suara menurun di ujung. Gadis itu berpikir tempat tinggal Hidan tidak akan jauh berbeda darinya. Sejauh yang gadis itu tahu, semua rumah berbentuk sama seperti yang ditempatinya.

"Ya, begitulah. Tidak ada kemewahan di sini. Kalau kau ingin pulang, aku tidak keberatan, lagian belum malam."

Hime menggeleng kuat. Segera saja rasa antusiasnya kembali dengan menarik tangan Hidan untuk segera masuk. Pilar penasaran anak itu kini telah berdiri kokoh dan tidak mungkin dapat diruntuhkan begitu saja.

"Paman, kenapa di sini banyak pintu?" dan, "Kenapa ada nomor juga?" dan, "Kenapa baunya aneh?" dan, "Kenapa ada orang lain di sini? Siapa mereka?" dan masih banyak lagi pertanyaan bertubi-tubi yang berhasil membuat Hidan kewalahan, tapi ia dapat memakluminya.

Namun di atas segalanya, egonya menginginkan Hime seutuhnya. Walaupun pada kenyataannya, lidahnya masih terlalu kelu untuk memohon satu hal yang sederhana, namun berdampak pada seluruh sisa hidupnya.

"Ini kamarku." Hime menengadah menatap Hidan. Ada gurat yang tidak dapat dimengerti anak itu pada pancaran matanya yang meredup. "Aku sudah lama tidak menempatinya, mungkin akan memakan waktu cukup lama untuk bersih-bersih. Jika itu mengganggumu, aku bisa menitipkanmu pada pemilik flat. Dia punya cucu yang lebih—"

"Aku baik-baik saja, Paman!"

Melihat keteguhan yang tertampil, Hidan menghela napas lega. Ia terlalu takut, ia terlalu berpikir berlebihan, sehingga tidak melihat bahwa Hime sama tulusnya dengan Hinata.

Pria itu membuka pelan pintunya sebelum mengatakan, "Okaeri."

Tentu saja tidak ada yang menjawab salamnya melainkan dinding-dinding yang memantulkan kesunyian. Mengetahui tindakannya cukup bodoh, ia merutuk pelan dan tersenyum kecut. Kebiasaan selama di kediaman Hyuuga sedikit-banyak mengubah habitusnya.

Untuk pertama kalinya Hime melihat ada ruangan yang begitu penuh. TV, meja, kulkas, lemari, dan benda lainnya saling berbagi di satu tempat. Bersamaan dengan pintu yang terbuka, partikel-partikel halus turut terbang ringan mencari udara dan itu membuat tubuh Hime melakukan penolakan keras dengan terbatuk.

Hidan yang panik langsung mengeluarkan sapu tangan yang sedikit dibasahi dengan air minum Hime kemudian memberikannya pada anak itu. "Untuk sementara, pakai itu dulu. Aku akan membersihkan debu-debunya. Oke?"

marduk 789—

Hidan membereskan piring-piring yang ada di meja setelah mereka selesai makan malam itu. Pakaian Hime telah berganti menjadi piyama tidak lama setelah ia meminum obatnya. Gadis itu kini berdiri di sebelah Hidan yang sedang mencuci piring-piring kotor.

"Paman tinggal sendirian?"

"Iya."

"Kenapa? Paman tidak punya keluarga?"

"Tidak."

"Mereka ke mana?"

"Kau cerewet juga, ya…." Alih-alih menjawab, ia hanya tersenyum. Tidak ingat lagi sudah seberapa banyak pertanyaan yang sudah ia jawab sejak siang.

Setelah selesai mencuci, Hidan mengeluarkan kasur lipat dari lemari lalu membentangkannya. Hime mengekor dari belakang.

"Kau tidak masalah dengan satu kasur?"

"Tidak! Paman tidak perlu khawatir."

Hime langsung masuk ke kasur disusul Hidan. Tangan kiri Hidan menjadi bantalan nyaman Hime dan pada langit-langit kosonglah pandangan mereka lalu bertemu.

"Kenapa Paman tidak tinggal di tempat yang lebih besar?"

"Karena aku tidak sekaya kakekmu, Hime."

"Kalau begitu kenapa tidak menjadi kaya seperti Kakek?"

Hidan tampak berpikir sejenak, "Hm…, benar juga." Walaupun ia tahu menjadi kaya tidak sesederhana pengertian Hime. "Tapi percuma saja kaya kalau aku tidak bisa mengembalikan apa yang berharga bagiku."

"Maksudnya?"

Hidan terdiam, mencoba menyortir kalimatnya. "Kau ingat pertanyaanmu waktu aku sedang mencuci?" Hime mengangguk. "Kaya atau tidak, keluargaku tidak akan kembali lagi, sama seperti ibumu. Seberapa kaya kakekmu, ia tidak bisa mengembalikan Hinata. Tapi terkadang ada orang yang ingin memutuskan hubungan antara orangtua dan anaknya dengan uang yang mereka punya."

Hime menghela napas. Setelah yakin pikirannya tidak bisa bergerak lebih jauh, ia menggeleng. "Aku tidak terlalu mengerti," ucapnya lirih dan penuh penyesalan.

Namun ada sesuatu yang berhasil tersampaikan, perasaan kusut Hidan yang entah bagaimana dapat ia rasakan walaupun tidak dapat ia jelaskan dengan benar. Gadis itu lalu memeluk tubuh Hidan yang membuat pria itu agak terkejut.

"Paman jangan sedih."

Hidan tertawa bahkan ia sempat melupakan kilatan amarah yang mengusiknya.

Setelahnya, tidak ada lagi suara yang muncul, tawa Hidan yang ringan menutup segalanya. Perlahan Hime kalah oleh rasa kantuk hingga jatuh tertidur dalam posisi masih memeluk ayah yang tidak pernah ia sadari.

"Aku tidak akan sedih kalau kau bisa bersamaku seperti ini…," bisiknya pelan, namun hatinya tetap tidak bisa berbohong. Matanya berkaca-kaca untuk sesuatu yang baru ia mengerti, betapa ia sulit menerima hubungan mereka yang hanya sebatas resipien dan pendonor.

Hidan membalas pelukan anaknya sebelum semua benar-benar tertumpah di malam yang panjang itu.

bersambung—

A/N: Saya tidak tahu akan berakhir di chapter berapa. Mungkin sekitar 10-an atau lebih. Terima kasih bagi yang sudah me-review! Setelah baca-baca lagi, saya jadi semangat menulis. Hehe.