Naruto © Masashi Kishimoto

Hati yang Tertinggal © marduk 789

Warnings are applied; especially, AU, OOC, and OC.

Chapter I: Perjanjian

Malam masih sama dengan malam-malam sebelumnya. Hidan memandang kosong pada dinding dingin yang menyekat dirinya dari salju yang sedang menari di luar. Beberapa menit lalu ia sempat memandang frustasi pada dua kartu yang sedang dipegangnya. Sama sekali tidak bagus. Terbayang sudah seberapa menumpuk utangnya. Terlebih lagi, ia telah menyerahkan semua taruhannya malam ini.

Ia mendengus kesal. Tangannya meraih botol hijau gelap di atas meja lalu menelannya hingga beberapa teguk. Kepalanya terasa berat. Bukan karena pengaruh alkohol, namun mengingat ini hari yang ia janjikan pada penagih utang. Entah sudah berapa banyak alasan yang ia keluarkan hanya demi mendapat kebebasan. Tapi untuk malam ini ia berfirasat bahwa tidak ada kesabaran yang tersisa untuknya.

Dan benar saja, dari sebalik bilik ia melihat dua orang berjaket kulit hitam melangkah menuju ke arahnya.

Ah, sial! Kenapa begitu cepat?!

Mereka lantas saja mengambil posisi duduk di antara Hidan. Pikiran untuk segera kabur bukan pilihan yang menguntungkan sekarang.

Pria di sisi kanan Hidan meraih gelas lalu menuangkan isi botol ke dalamnya. "Kau ingat janjimu, 'kan?" Ia meneguk isinya hingga tandas. "Tidak ada kesempatan lagi, kecuali kau ingin pulang dengan tubuh yang tidak lengkap."

"He-hei, aku tidak berjanji begitu!" Hidan berdalih. Pria di sebelahnya menaikkan alisnya. Hampir saja ia akan bicara sebelum Hidan memotongnya. "Setidaknya aku tidak berjanji akan kehilangan bagian tubuhku!"

"Itu hanya kompensasi dari Tuan kami. Kalau kau ingin meminta pengampunan lagi, kami tidak akan memberikannya cuma-cuma, kau harus tahu itu."

Tubuh Hidan meremang. Rasa dingin yang ia rasakan bahkan lebih menusuk dari udara musim dingin. Dari pori-pori keningnya mulai tercipta bulir-bulir kecil. Keadaan yang saling berlainan.

"Bagaimana jika aku meminta waktu hingga besok, tanpa ada bagian tubuhku yang hilang?" tanya Hidan mencoba bernegosiasi. Terdengar sedikit tidak yakin.

Pria di sisi kanannya menaikkan telunjuknya sambil menggerakkannya. "Tidak bisa. Setidaknya tanganmu harus dikorbankan. Untuk yang ini, kau boleh memilih… mau yang kanan atau yang kiri."

Pikiran Hidan buntu di situ. Ia berniat melarikan diri dengan melompati meja di depannya. Belum sempat tubuhnya mengambil gerak, tangannya telah digenggam kuat. Ia memandang ke arah kirinya.

"Jangan coba-coba untuk kabur," ucapnya yang sedari tadi hanya diam.

Hidan dapat merasakan sebentuk benda runcing mencium permukaan tubuhnya yang hanya terbalut kaos abu-abu. Tidak perlu usaha besar untuk segera menancapkan benda dingin itu ke tubuhnya.

Tap—tap—tap.

Konsentrasi mereka bertiga terpecah ketika melihat tiga gepok uang meluncur di atas meja. Mata Hidan bahkan membulat besar. Jarang-jarang ada orang yang melemparkan uang sebegitu banyaknya di depan mata. Ia menaikkan pandangannya dan mendapati sosok pria lain bermantel cokelat muda telah berdiri di depan mereka. Rambut lurus panjang pastilah dapat disalahartikan sebagai wanita jika dilihat dari belakang, namun tidak untuk pria itu. Bahu yang tumbuh lebar sempurna membuat anggapan itu seketika lenyap. Terpancar kharisma dari auranya.

"Apa segitu cukup untuk membayar semua utangnya?" tanyanya dengan suara agak berat yang menandakan ia tidak akan dapat tumbuh lebih dewasa dari itu.

Dua pria yang mengapit Hidan saling berpandangan. Jelas mereka tidak akan menanyakan siapa pria misterius itu. Yang terpenting, tugas mereka beres.

"Ini lebih dari cukup," jawab pria yang tadinya duduk di sebelah kanan Hidan sambil tersenyum penuh arti. Mereka pun pergi meninggalkan Hidan yang masih menatap tajam pria misterius yang juga sedang menatapnya. Saling menilai.

"Kau tahu, utangku tidak sebanyak itu. Seharusnya aku bisa mendapat seperempatnya."

"Jangan tamak, Hidan. Kau harusnya bersyukur tanganmu tidak hilang." Ia mengambil posisi duduk di sebelah kiri Hidan.

Tatapan pria berambut putih keperakan itu bertambah tajam. "Darimana kau tahu namaku?" Jelas ia tidak pernah mengenal pria misterius itu sebelumnya atau setidaknya begitu yang dikatakan pikirannya.

Pria di sebelahnya mengeluarkan kartu nama dari sebalik mantelnya. Warna yang didominasi ungu muda begitu menarik perhatiannya. Warna yang jarang digunakan. Hidan menerimanya dengan kecurigaan yang belum berkurang. Ia menurunkan pandangan pada kartu nama di tangannya.

"Hyuuga… Club?" tanyanya tidak yakin yang bahkan hampir menenggelamkan kata terakhirnya.

Tatapan tajam itu seketika berubah. Bukan karena nama perusahaan yang pastinya masih dapat terdengar megah hingga ke pelosok negeri. Bukan karena rambahan produksi perusahaan yang turut mengisi daftar kebutuhan sekunder dan kebutuhan tersier. Bukan juga karena pemiliknya yang termasuk dalam tiga besar orang terkaya. Bukan, bukan, dan bukan.

Ada memori lain di dalamnya yang seolah menyedotnya ke masa lampau. Dan itulah kegagalan yang tidak pernah dapat ia perbaiki.

"Aku adalah pengacara pribadi Hyuuga Hiashi—"

"Hyuuga Neji… itu namamu, bukan? Tidak perlu kauberi tahu lagi jika kau sudah memberi kartu nama."

"Karena kupikir kau sedang melamun dan pikiranmu terlalu penuh dengan rasa takjub pada Hyuuga Club."

Hidan tertawa mengejek. Tiga detik kemudian terdiam begitu saja. Kepalanya menegak memandang lawan bicaranya. "Tarik lagi kata-katamu itu. Berhubung kau juga Hyuuga, aku akan menyakan satu pertanyaan."

"Tapi simpan dulu pertanyaanmu. Di sini aku yang berhak mengajukan pendapat dan penawaran."

Hidan mendengus, namun tidak membantah. Ia sadar akan posisinya sekarang.

Neji menyambung ucapannya, "Ketika orang waras lain menanam investasi, kau malah menanam utang di mana-mana. Aku tidak tahu ada berapa lagi tempat berutangmu. Sejauh ini, aku sudah membayar kepada tiga orang, termasuk yang tadi."

"Apa tujuanmu?" tanyanya yang tidak dapat lagi menahan kecurigaannya.

"Pamanku, Hyuuga Hiashi, mengajukan penawaran untukmu. Seperti yang kau ketahui; jika ada penawaran, maka ada permintaan. Apa jawabanmu?"

"Dan intinya adalah… dia meminta sesuatu dariku, benar?" Ia melepaskan tawa mengejek. Tangannya meraih botol di depannya. "Aku tidak menyangka dia akan mengajukan hal ini. Mungkin karena tidak ada jalan lain atau hanya jalan ini yang mudah?"

Ketika pria dengan tiga tindik logam yang tersemat di telinga kanannya itu akan menarik botol, tangannya ditahan Neji. "Kau belum menjawab," gumamnya dingin.

"Jika aku jawab 'tidak'?"

"Akan ada yang hilang dari hidupmu."

"Kalau dia ingin membunuhku, silakan."

"Jika itu yang pamanku inginkan, dari dulu pasti kau sudah tidak ada."

Hidan terdiam. Lamat-lamat, ia mencoba mencerna percakapan singkat barusan. Perkataan Neji benar.

Kalau bukan nyawanya yang hilang, apa ada kemungkinan nyawa atau benda berharga lain miliknya yang akan hilang? Tapi sejauh ingatannya, ia tidak memiliki apa pun yang berharga. Hiashi tidak mungkin membunuh mantan pacarnya yang juga merangkap sebagai anak pemilik Hyuuga Club, bukan? Tidak mungkin ayah yang begitu menjaga anaknya akan membunuh anaknya sendiri.

"Aku tidak mempunyai apa pun yang ber—"

"Ada."

"Apa?"

Neji mengeluarkan beberapa lembar kertas dari sebalik mantelnya. Ada tiga kertas yang berisi tentang perjanjian. "Intinya, kau tidak dapat dan tidak diberi pilihan untuk menolak."

"Kau memaksaku? Pengacara macam apa kau ini?! Kau perlu disekolahkan lagi!"

"Coba kau baca dulu."

"Aku tidak mau!" Hidan menarik botolnya ketika sadar Neji tidak lagi menahan tangannya.

"Cobalah untuk sedikit kooperatif. Jangan ada penyesalan jika kau menolaknya sekarang."

Hidan berpikir sejenak. Ia melirik pada lembaran di depannya. Memang, sejak ia mengetahui Neji merupakan bagian dari Hyuuga, pikirannya telah terusik.

"Kalau kau tidak mau membacanya, aku yang akan memberitahukan poin-poinnya." Neji menarik napas panjang. "Semua utangmu akan dilunaskan; setiap bulan menerima 10 ribu dolar; asuransi dan pajak ditanggung; dan yang terpenting, kau akan mendapat 20% saham di Hyuuga Club. Jika dipikir-pikir, kau akan mendapat air mancur yang tidak pernah kering."

Hidan melongo mendengar penawaran yang begitu menggiurkan itu. Bahkan tidak pernah terkilas di mimpinya akan mendapatkan kekayaan mendadak. Namun akal sehatnya kembali mengambil alih. "Lalu… permintaannya?"

Neji menarik botol yang dipegang Hidan ketika pria itu akan meneguknya. Lantas, ia mendapat protes dari sang pemilik.

"Mengertilah, ini ada di syarat pertama," gumam Neji tanpa menurunkan nada suaranya.

Hidan menaikkan alisnya, "Maksudmu?"

Neji kembali menarik napas panjang. "Permintaannya, kau tidak boleh meminum alkohol; tidak boleh berjudi dan mendekati tempat perjudian; melepaskan segala benda tidak bermanfaat yang menempel di seluruh tubuhmu; menjalani hidup sehat; dan yang terakhir…," pria itu terdiam selama beberapa detik, "rela mendonorkan 20% hatimu tanpa paksaan. Keempat syarat pertama otomatis tidak akan berlaku lagi jika kau telah menyelesaikan syarat terakhir."

Rasanya Hidan dapat mendengar suara kepingan salju melayang jatuh ke atas atap dengan jelas. Setiap suara kepingan yang jatuh mewakili betapa beratnya permintaan terakhir itu. Jika yang diminta adalah transplantasiginjal, ia masih dapat sedikit menerimanya. Namun untuk hati? Siapa pun hanya memiliki satu di dalam tubuhnya.

"Kau gila?!" teriaknya yang kontan menarik perhatian pengunjung lain.

"Tidak semua hatimu akan diambil. Kau masih dapat hidup. Pertimbangkan juga keuntungan yang akan kaudapatkan nanti. Hingga kau mati pun, hartamu tidak akan habis. Kau harus mengerti." Mata Hidan menyipit demi menilai pria di sebelahnya. Seberusaha apa pun ia mencari celah, tampaknya Neji memang tidak sedang bergurau.

Masa lalu terkilas di matanya. Ada rasa penyesalan yang masih terus membebaninya hingga sekarang. Ketika ia tahu tidak ada pilihan yang tersisa, muncul kesempatan yang tidak pernah diduga kedatangannya. Inilah kesempatan terakhirnya.

"Tidak masalah jika kau tidak menjawabnya sekarang. Akan aku tunggu dalam tiga hari—"

"Tidak perlu, aku juga tidak bisa menolak, bukan? Tapi sebelum itu, kau harus menjawab satu pertanyaanku."

"Aku akan menjawabnya." Neji kembali memasukkan tangannya ke dalam mantel untuk yang kedua kalinya.

"Di mana Hinata?"

Pergerakan untuk mengambil pulpenrefleks terhenti sebelum ia sadar untuk kembali melanjutkan niatnya. Ia tidak langsung menjawab. "Yang pasti, dia tidak berada di negara ini."

"Di mana?"

"Hanya satu pertanyaan." Hidan merutuk. Neji melanjutkan, "Jika kau ingin tahu lebih, dengan menandatangani perjanjian ini, kau akan tahu dengan sendirinya."

Mungkin cara satu-satunya agar ia dapat bertemu Hinata lagi hanya dengan jalan ini. Ya, memang hanya jalan ini yang tersisa untuknya.

Hidan meraih pulpen emans dengan tinta hitam pekat yang menyamai warna langit tergelap. Hanya tersisa tidak sampai satu sentimeter jarak ujung pulpendengan kertas. Matanya menatap fokus pada materai. Dengan menarik napas singkat, tangannya bergerak membubuhi sesuatu di atasnya. Sesuatu yang tidak mungkin dapat dihapus begitu saja.

bersambung—

A/N: Tidak tahu mau bilang apa, selain termakasih sudah baca.