Warning : AU. Mungkin belum mengarah ke poin di mana semua feels akan runtuh. Tapi, novel aslinya sukses menghancurleburkan kokoro saya.

Enjoy!


Semuanya bermula sesaat setelah aku keluar dari bar.

Baik memar-memar keunguan di wajahku dan pertemuan itu. Entahlah.

Sebelum segalanya terlihat sangat gelap, sekelompok pria berotot dengan tato-tato menyeramkan yang terlukis di sekujur tubuhnya menyeretku hingga ke sudut gang. Kurasa, mereka lagi-lagi adalah algojo suruhan Orochimaru. Ketua mafia urusan obat-obatan terlarang, senjata api, dan tentu saja wanita. Aku punya riwayat kelam dengan salah satu bisnisnya hingga pada akhirnya ia menurunkan sebuah titah untuk menghabisiku mentah-mentah atau tewas memalukan di dalam tong sampah berisikan sisa sushi dan pizza. Dasar sampah.

Tapi, aku juga sampah seperti dirinya. Di mata ayahku, aku adalah bagian dari kebanggaan yang salah. Semacam mutiara yang berasal dari kerang terbaik tapi proses pengasahan yang dilakukan berulang kali menghasilkan permukaan mutiara yang mengkerut hingga lahirlah biji keperakan yang buruk rupa dan bukannya putih cemerlang. Itulah aku.

Uchiha Sasuke.

Bagi ayahku, Fugaku Uchiha, aku adalah bocah yang lebih baik dilenyapkan sebelum ada mutiara-mutiara lain terlahirkan di generasi Uchiha. Kata tetua Uchiha yang saat ini masih hidup di usia yang nyaris menyentuh angka seratus dua tahun, sebenarnya aku juga tidak percaya hal ini, setiap Uchiha dapat melihat isi hati dan pikiran Uchiha lainnya. Mungkin ada benarnya. Faktanya, itulah persepsi yang tersirat dari cara ayah memasang manik sewarna batu pualamnya kepadaku. Menyakitkan sekaligus memprihatinkan.

Aku beringsut. Punggung membentur dinding dan telapak tangan menggesek tanah yang dingin. Ada rasa asin yang menetes dari lubang hidungku. Itu pasti darah. Si pendek dengan tato bergambar wanita berdada besar di lengannya meninju pelipisku. Lagi. Dan, lagi. Well, secara teknis aku tak bisa melawan. Satu versus lima sama saja dengan seekor semut di antara tiga ekor gajah. Pertama, mereka adalah anak buah Orochimaru. Kedua, aku mabuk.

Aku sudah tak peduli lagi. Kalaupun mati sekarang, tak ada penyesalan sama sekali. Mataku berkunang-kunang.

Sebelumnya, aku tak mempercayai cahaya mungil yang berasal dari sayap malaikat. Yang kupercayai adalah seribu yen untuk membawamu tepat menuju surga. Mereka menyebutnya Red Light District. Kau boleh menamaiku Sasuke si brengsek. Playboy. Si wajah mayat. Si mulut iblis. Si hati beku. Et cetera. Aku memang semua yang mereka katakan. Tidak hingga aku melihat secercah cahaya yang kutahu adalah bagian dari imajinasi akibat kerusakan pengelihatan—siluet cahaya yang berasal dari lampu jalan. Di antara dua kesadaran, aku melihat matahari. Tampak besar dan teramat cerah. Tapi, aku tak perlu menyipitkan mata. Sejenak, aku berharap Tuhan belum membawaku ke sebuah tempat di mana perjalanan hidup yang menyedihkan ini berakhir.

Sebab, detik berikutnya, seseorang berteriak tepat di depan wajahku.

"Kau… baik… saja?!"

Oh yeah. Aku… baik-baik saja. Kurasa.

"Kau… mendengarku? Hey!"

Tentu. Aku masih mendengarmu. Dan, berhentilah berteriak.

Kemudian, seperti bagaimana aku menggambarkan awal dari semua kejadian ini—gelap dan sempit. Aku tak lagi menyentuh apapun yang berada di bawah kedua kakiku. Tak merasakan apapun. Tetapi, aku yakin hidungku tak pernah salah. Aku mencium aroma sitrus dan mint. Sangat kuat dan menenangkan.

Seolah, aku kembali kepada diriku sebelas tahun yang lalu.


.

.

.

Naruto © Kishimoto Masashi

Inspirited from John Green's greatest novel: 'The Fault in Our Stars'

Symbiosis

by Leon


.

.

.

-1-

First Encounter

.

.

.


"Menurutmu dia oke?"

"Diamlah, Karin. Kau terlalu berisik. Dia hanya tertidur."

"Tapi, astaga lihat wajahnya itu, Sui! Seperti bukan Sasuke yang kukenal!"

"Itu karena wajahnya dibungkus perban!"

"Sui, Karin, pelankan suara kalian."

Lalu, yang berbicara dengan nada tinggi melengking penuh isak. Aku tahu pemilik suara itu. Namanya Karin. Hanya Karin. Ia cukup bangga dengan nama tanpa marga miliknya. Seakan ia tak perlu lagi berpura-pura menjadi gadis baik hati dan polos yang akan mengemis kepada kedua orang tuanya agar dibelikan sepasang sepatu kaca dan kotak perhiasan untuk mengencani pria-pria kaya. Ia, seperti yang selalu dikatakan oleh para siswi berisik dan kurang kerjaan lainnya, tinggal dan dibesarkan selama nyaris sebelas tahun di panti asuhan. Berkat isi di dalam tengkoraknya itu, ia berdiri sejajar dengan gadis-gadis sebayanya di sekolah. Aku menganggap Karin sebagai pemilik otak encer yang brilian. Di lain pihak, aku tahu Suigetsu hanya datang kemari karena gadis ini menangis semalam suntuk—terlihat jelas dari warna kehitaman di bawah kantung matanya. Seseorang atau tepatnya seorang gadis sedang membutuhkan pelukan hangat di sini. Dan, Suigetsu sangat pandai membaca situasi.

Berbeda dengan dua orang ini, aku sama sekali tak bisa membaca isi pikiran Juugo. Mungkin ia tengah mengkhayalkan kelinci, kuda, dan burung camar sekaligus. Entahlah. Kepalaku terlalu sakit untuk sekadar menganalisis ekspresi di wajahnya itu.

"Oh Tuhan! Lihat! Dia—dia membuka matanya!"

"Tenanglah, Karin. Teriakanmu itu malah membuatnya semakin ingin menutup mata." tukas Suigetsu. Menurutku, dia benar. Aku berpura-pura tertidur kembali.

"Ah! Ma—maaf. Aku hanya… umm… Sasuke, kau baik-baik saja?"

Ia mengulang pertanyaan yang sama. Gugup.

Aku berusaha menoleh. Merasakan sisa-sisa pukulan dan tinju di wajahku yang sisi-sisinya sudah diperban. Seluruh bagian dari kepalaku, kecuali permukaan wajah, dibungkus rapat bagai mumi. Untung leherku tidak patah sehingga aku tak harus bertransformasi seperti robot dengan collar neck.

Sinar matahari dari arah jendela samping kiriku terlalu terik. Tetapi tidak menyakitkan mataku.

"Berapa lama aku tertidur?"

Pertanyaan retorikal. Buru-buru Karin bertolak ke arah Suigetsu lalu kembali menatapku. Mengawasi kami berdua layaknya metronom. Ia tersenyum aneh.

"Katakan saja." ujar Suigetsu dengan wajah yang ditekuk.

"Umm, sa—satu minggu. Kau tak sadarkan diri selama satu minggu penuh, Sasuke."

Oke. Itu lebih baik daripada mati suri atau hidup dengan kelumpuhan persisten. Setidaknya, pemikiran yang kedua tidak terbukti sebab aku masih merasakan kedua tangan dan kakiku. Karin memilih duduk di kursi berkaki empat samping tepi ranjangku. Ia mengaduk-aduk isi tasnya dan menyodorkan benda berbentuk tape kecil. Perekam.

"Aku sudah merekam semua materi kelas yang mungkin tertinggal selama Sasuke berada di sini."

Apa ada pilihan lain selain menolak?

"Hn."

Hn adalah metafora untuk ya. Kulihat pipi gadis berkacamata itu bersemu entah karena apa. Mudah-mudahan aku tidak perlu menjadi korban penonjokan pemuda yang menatapku penuh kebencian dan kecemburuan di sebelah sana. Suigetsu melipat lengan di dada sembari bersandar pada jendela yang tidak terbuka. Nampaknya, ia akan menguraikan panjang lebar mengenai kronologis kejadian dari awal hingga akhirnya aku terbaring selama seminggu di sini.

"Aku sangat kaget saat suara seseorang yang tak kukenal memekik tajam menggunakan nomor ponselmu. Kupikir, kau lagi-lagi terlibat permainan ala gangster yang dulu selalu kau katakan itu, semacam menenggak hutang dan sebagainya. Awalnya, aku tak percaya pada apapun yang orang asing itu teriakkan. Sungguh, itu adalah omong kosong terbesar yang dijelaskannya padaku." ungkapnya dengan dengusan. Kuakui, itu salah satu cara menghindari amukan. Raut mukanya berubah cepat. Mengkerut kasar. "Dan, benar. Hah."

"Jadi, kau menemukanku di jalan?"

Suigetsu menggeleng. Menghela nafas berat.

"Orang asing yang menelponku itu—ia membawamu ke klinik terdekat dari lokasi ia menemukanmu nyaris tak lagi bernafas. Ia hanya memberiku alamat letak unit gawat darurat di mana kau mendapatkan perawatan emergensi. Jujur, wajahmu saat itu seperti bubur basi, Sasuke."

Bubur basi adalah konotasi terburuk. Aku percaya itu sebab seburuk-buruknya wajah seorang Uchiha, tak ada satupun yang melebihi buruknya pantat wajan. Dan, bubur basi adalah deskripsi singkat bagaimana seseorang yang sudah kau kenal selama tiga tahun terakhir mengataimu tanpa pikir-pikir. Kuanggap itu sebagai cemoohan sekaligus tamparan realita.

"Tak lama setelah itu, aku menerima pesan teks dari Sui. Tanpa pikir panjang, aku langsung lari dari kelas malamku." lanjut Karin. Ia menundukkan wajahnya untuk menahan airmata. Kedua telapak tangan sudah menutup seluruh permukaan wajahnya itu. "Dan… dan… yokatta kau baik-baik saja. Akhirnya, kau sadar, Sasuke."

Woah. Dia terlanjur menangis. Suigetsu segera beranjak mendekati Karin. Menepuk-nepuk gadis itu. Juugo terlihat statis di posisinya.

"Hei, kau mau keluar sebentar untuk menghirup udara segar? Mau kubelikan sebotol latte dari mesin minuman?" tawar Suigetsu dengan suara rendah pada Karin. Usaha yang bagus. Biarkan aku berpikir tanpa harus terganggu isakan seorang gadis baik-baik yang mengalami 'crush complex' terhadap pemuda brengsek bernama Uchiha Sasuke.

Keduanya memilih keluar dari bilik perawatan ini. Tangan pemuda berambut perak menyala itu menggantung di pundak Karin. Suigetsu berhenti sejenak di ujung pintu.

"Ingatkan aku alasan hingga kau berakhir mengenaskan seperti ini, Sasuke. Berhentilah bersikap konyol dan pulanglah ke pangkuan ayah ibumu itu. Tapi anehnya, kau beruntung karena berhasil hidup kembali dan selamat dari maut. Berkat orang asing yang sama sekali tak ingin menyebutkan namanya."

Kini, hanya ada aku dan Juugo.

Kuanggap delik terakhir yang keluar dari bibir Suigetsu sebagai wejangan sebelum merasakan pahitnya hidup di antara kesempatan untuk mati. Layaknya ada bola kasti yang mengganjal kerongkonganku.

"Kurasa, kau juga butuh udara segar."

Juugo yang lebih pendiam akhirnya membuka suara. Ia tak butuh persetujuan siapapun untuk melakukan hal yang ingin dilakukannya. Aku tak menjawab. Hanya diam membatu.

"Udara segar akan membantu otakmu bekerja lebih baik."

Jadi, bisa kusimpulkan bahwa selama ini otakku bekerja dengan sistem yang salah. Atau akibat kurang oksigen dan sebagainya. Tiga orang yang kusebut bagian dari hebi lalu berubah menjadi taka ini adalah sekumpulan siswa SMU tingkat akhir yang memiliki kepedulian terhadap sosok tak bermartabat sepertiku. Karin punya motivasi yang teramat jelas. Suigetsu ada berkat Karin. Sedangkan Juugo? Entah ada yang salah dengan otaknya itu hingga berniat menjadikan Uchiha Sasuke menjadi bagian dari komunitas kecilnya. Dunia miliknya cukup sempit. Dan, aku telah merebut kebaikan yang semestinya diperoleh dari segelintir remaja berkelakuan baik yang tiap hari menghabiskan waktu di perpustakaan, dan bukannya di bar atau klub striptease.

"Merasa lebih baik?" tanyanya pelan. Aku menoleh memandangi langit. Musim semi rupanya. Aku baru menyadari hal ini. Gabungan aroma bunga sakura dan pohon ginkou menusuk-nusuk hidungku. Bukan seperti lemongrass atau sitrus. Bukan juga mint.

"Juugo."

"Ya?"

Aku melirik buah jeruk yang belum dikupas di samping ranjang. Tetapi, fokusku berada di kesepuluh jemari kakiku yang kaku. Sudah saatnya menikmati daratan. Setelah mengibaskan selimut yang menutupi tubuhku, kuturunkan kedua kakiku, lalu menimbang-nimbang apakah aku siap melangkah kembali. Kutengok sisi di mana kantung cairan infusku tergantung. Meski nyeri masih terasa di sisi-sisi wajahku, itu takkan menghambat niat yang bulat ini. Terlelap selama seminggu sudah lebih dari cukup.

"Kau yakin?"

"Hn."

Juugo mengangkat kantung cairan infus dan aku berjalan seperti kakek tua penderita Parkinson. Kami menelusuri lorong-lorong rumah sakit yang berbau obat. Mungkin para perawat yang berhilir mudik akan memarahiku atau apalah. Tetapi, aku membutuhkan lebih dari sekadar menghirup udara dari kubikel kecil jendela dalam ruangan bernuansa putih itu. Naluriku berkata untuk tetap melangkah. Tepat, di ujung koridor yang bercabang dua, aku berhenti. Juugo berdiri di sampingku dan tampak bertanya. Aku berbelok ke kanan. Angin kecil yang berhembus dari celah jendela yang sedikit terbuka di sepanjang sisi kiriku membawa aroma musim semi yang sama. Aku masih melangkah maju perlahan. Jika memoriku tidak salah, maka aku bisa mencium aroma sitrus dan mint itu lagi. Bukan polen bunga sakura ataupun daun ginkou.

Lagi?

Ya.

Pernahkah aku mencium aroma ini sebelumnya?

Angin tipis bertiup dari kejauhan di depan sana. Seseorang—pemuda lebih tepatnya—berlari dari arah yang berlawanan dan melewatiku. Seperti sprinter yang tak tahu etika. Penasaran, aku berbalik. Pemuda itu berhenti saat seorang perawat bertekstur gemuk memarahinya dengan suara besar. Sedikit, aku mendengar pekikan wanita itu. Telunjuknya yang gempal terarah di ujung hidung si pemuda dengan rambut kekuningan cerah.

"…bagaimana jika terjatuh, huh?! Kakimu… sembuh!"

Kakinya… sembuh? Ada apa dengan kakinya?

Wanita itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu, ia tersenyum khawatir. Pemuda yang dimarahinya itu menggaruk-garuk tengkuk dan mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian, perbincangan keduanya berakhir setelah wanita itu menepuk pundak si pemuda yang kurasa tidak lebih tua dariku itu. Mereka menghilang saat berbelok. Anehnya, aroma sitrus dan mint yang menguar saat pemuda itu berlari melewatiku tercium semakin kuat. Aku terpaku seperti seekor anjing yang sedang membaui tuannya.

"Sasuke? Apa kau ingin lanjut berjalan?"

Laki-laki berpostur tinggi ini membuatku sadar akan sesuatu. Bahwa, akan lebih baik jika aku melawan ego dan kembali ke kamar sebelum ingatanku tentang penyerangan antek bebal Orochimaru terhadap wajahku berputar-putar layaknya piringan hitam. Belum lagi dengan kenyataan jika aku tidak sepenuhnya mabuk di malam itu. Aku benar-benar melihat cahaya matahari dan bukannya sekadar percikan lampu jalan. Rambut pemuda yang berlari itu mengingatkanku akan sebuah sinar yang tidak berasal dari surga di Red Light District.

"Kita kembali ke kamar."

Aku mual. Kuharap akan ada obat yang disuntikkan untuk menghilangkan efek mual ini. Maka, aku membelot dari niatku yang bulat tadi. Juugo mengikuti dari samping. Masih menjaga agar tetesan cairan bening dalam kantung infus tetap berjalan masuk menuju pembuluh darahku.

"Oke."

.

.

.

Aku pulang keesokan harinya. Perlu lebih dari satu jam bagiku untuk memutuskan kembali menginjakkan kaki ke rumah di mana para Uchiha bermukim. Salah satunya terletak di jejeran kompleks elit dengan pintu gerbang berlapis setinggi tiga meter, penjaga berpakaian seperti mata-mata di film Men In Black, nyaris selusin anjing galak bermuka garang, dan pemindai suara agar siapapun yang masuk ke dalam sana bukanlah kelompok teroris. Aku hanyalah sebagian kecil dari Uchiha itu. Bungsu dari sepasang suami istri konglomerat yang menguasai sekitar tiga perempat saham stock marketing di bursa efek Jepang. Uang dan bisnis adalah menu sarapan pagi, makan siang serta malam di atas meja santap Uchiha. Sayangnya, aku bukan pembicara yang diperlukan atau setidaknya advisor walau terdengar begitu sembrono dan konyol.

Tiga jam yang lalu, aku masih duduk di tepi ranjang rumah sakit aku dirawat dengan perban-perban menyerupai mumi di wajahku. Saat ini, jika ibuku tak hadir dengan membawa setumpuk airmata, maka aku akan berakhir di pinggir jalan dan mengemis layaknya gelandangan. Ayahku mungkin tak peduli, tetapi tidak dengan ibuku. Ia berbeda. Ia terlalu menyayangiku sama seperti ia memperlakukan Itachi saat ia membawa calon istrinya di hadapan semuanya. Ayahku menolak bertemu dengan sesosok wanita pilihan kakakku yang ditemuinya di sebuah panggung teater musik di London dua tahun lalu itu. Kata ayahku, tidak sepadan dengan gelar Uchiha di belakang nama Itachi.

Di balik kebaikan hati ibuku, ia sangat pandai menyembunyikan rasa sakit yang kutahu sudah ditumpuknya selama menikahi ayahku. Meski keduanya hanya terpisah oleh jalur paternal (mereka bersepupu), masing-masing Uchiha memiliki karakter yang berbeda. Dan, ayahku adalah satu di antara terambisius. Berpotensi mengancurkan satu kaum jika ia benar-benar menginginkannya.

Aku memutuskan turun dari mobil dengan sisa perban tipis yang membungkus dahi hingga ke belakang kepalaku. Melangkah bosan ke arah sebuah rumah yang secara kasat mata persis seperti kastil drakula di Pensylvania. Entah kenapa ayahku tidak menjual rumah menyeramkan semacam ini dan membeli kondominium. Jika sekarang adalah tahun 1700-an, kurasa menjaga tradisi keluarga masih dianggap normal. Namun, tak ada satupun orang di dunia ini yang menganggap dirinya 'normal' bersedia untuk tinggal di bawah atap rumah bernuansa pertengahan tahun 1500-an ini. Anehnya, ayahku adalah salah satunya.

Kulirik arloji di pergelangan tanganku. Pukul tiga lewat empatpuluh menit. Bukan waktu yang cocok dengan keberadaan ayahku di rumah. Aku membiarkan para pelayan menata kamarku selagi ibuku sibuk menyiapkan lapis demi lapis sandwich isi tomat favoritku.

"Kau lapar, Sasuke?"

Aku bersandar di tepi lubang tak berpintu yang menyambung dapur dengan ruang bersantai. Sambil mengunyah apel, aku mengamati seisi dapur yang dipenuhi aroma tepung dan buah.

"Ya."

"Oke. Ah, ibu sudah bilang ke ayahmu kalau hari ini kau akan pulang. Tak kusangka, ia memilih untuk tetap berada di rumah dan menyuruh Shishui bersama pamanmu, Obito, untuk menjalankan perusahaan selagi ayahmu mengambil day off. Hanya saja, ia tak bisa menolak kedatangan segerombolan elit eksekutif dari yayasan milik Senju-san yang sudah menerornya sejak semalam. Urusan penting, harus dibicarakan berdua saja. Begitu katanya di balik telpon." ujar ibuku. Kini, ia kembali ceria. Ia tersenyum senang selama mengupas tepi-tepi roti yang kubenci. Keras dan pahit. Ia masih ingat rupanya. Well, aku hanya meninggalkan rumah ini selama empat bulan saja.

Konsentrasiku membuyar tepat ketika ia berkata ayahku ada di dalam rumah ini. Perlu kutegaskan ulang: ada di rumah ini. Pria semacam Fugaku Uchiha lebih mementingkan roda perputaran uang di balik meja kantornya daripada menunggu putra bungsunya pulang ke rumah dalam keadaan utuh atau begitulah harapannya.

"Di mana Ayah?" tanyaku. Sepiring sandwich isi tomat sudah terarah di depan hidungku. Aku mengambilnya dan menggigit tepat di tengah. Ibu melepas celemek dan mencuci tangan di wastafel.

"Ibu rasa Ayahmu berada di kebun belakang. Tempat yang sangat cocok untuk bertransaksi dengan kepala dingin, bukan? Ah, mungkin pertemuan antara ayahmu dan Senjuu-san sudah selesai."

Selayaknya seorang ibu yang usianya mendekati angka lima puluh, aku bisa menemukan garis-garis keriput yang mulai bersemi di kulit wajahnya yang berwarna menyejukkan. Satu hal yang membuatku yakin untuk pulang. Itu adalah ibuku.

Sesaat, mataku dan mata miliknya bertautan. Tak ada pembicaraan lain, mungkin hanya kosakata batin antara anak dan ibunya. Kemudian, ia mendekat dan membawaku ke dalam pelukannya. Entah, aku sangat merindukan ini. Sangat—sangat merindukannya. Kueratkan kedua lenganku di tubuh ibuku ini. Ia melekatkan pipinya di pipiku dan menepuk kepalaku yang masih terasa sakit. Tapi, tidak sesakit seperti hantaman kata-kata ayahku saat aku kabur dari rumah. Ibuku pandai menyembunyikan apapun, kecuali satu hal. Yakni, airmata untuk kedua putranya.

"Akurlah dengan ayahmu. Kau harus berbaikan dengannya, oke?" tuturnya pelan. "Ibu sudah menceritakan segalanya pada ayahmu. Ia sudah bisa menerima keadaanmu ini. Aku tahu ayahmu bukanlah tipe seorang ayah yang mudah memperlihatkan emosinya di depan anak-anaknya. Maka dari itu, jangan benci ayahmu. Di balik semua wajah tanpa ekspresinya, ia menyimpan sejuta harapan untukmu dan juga Itachi. Ini rahasia antara ibu dan kau—ayahmu sering menceritakan perkembanganmu kepada ibu. Saat ia mendengar kau babak belur dihajar sekelompok orang jahat, ia diam-diam mendatangi rumah sakit kau dirawat setiap harinya. Mengawasimu yang tertidur pulas. Ia—sangat-sangat merasa bersalah."

Ia melepaskan pelukannya dan mengelus lembut pipiku. Sebagus mungkin aku tidak membentuk ekspresi apapun. Bertingkah datar seperti Uchiha pada umumnya. Ibuku tak perlu mengeluarkan terlalu banyak kata untuk menasehatiku. Baginya, sudah cukup dengan pelukan, maka ia yakin putranya yang bedebah ini benar-benar akan pulang. Hanya aku yang dimilikinya sekarang. Itachi memilih hidup terpisah bersama istrinya di London. Kuharap aku bisa bertemu dengannya.

Kami membagi diri. Aku terlalu letih untuk menanyakan lebih jauh di mana ayahku. Setelah melihat ibuku yang tetap cantik di usianya yang tak muda lagi itu melengos pergi mengurusi sesuatu hal bersama pelayan setianya, aku menghempaskan diri di salah satu cushion panjang mengarah ke layar tv. Kubiarkan pintunya terbuka. Samar-samar, suara ayah yang bergabung dengan suara-suara lainnya terdengar. Tontonan di tv terlihat membosankan.

"Sou, sou! Haha! Dengan begitu, aku yakin program ini akan berjalan dengan sangat sukses, Fugaku. Nah, kudengar kau punya putra bungsu yang masih duduk di bangku sekolah. Di mana ia?"

Aku mengintip. Mengamati seorang pria berwajah lucu dengan rambut panjang yang diikat seperti ekor kuda tertawa ke arah ayahku yang memasang ekspresi tak tertebak. Ayahku, seperti biasa. Di belakang pria lucu itu, sekelompok elit eksekutif berjas menjinjing koper kecil yang entah berisi apa. Mungkin tumpukan dokumen yang akan ditandatangani oleh ayah. Saat mencoba memerhatikan lebih lekat, tahu-tahu mataku dan mata pria berwajah lucu itu bertautan.

"Yare, yare! Biar kutebak, Fugaku. Dia pasti putra bungsu yang kau ceritakan itu!"

Telunjuknya mengarah padaku. Pura-pura bersembunyi sudah tak ada gunanya.

"Hn. Namanya Sasuke." Ayahku berbicara dengan nada kasual. Monoton dan rendah. Terpaksa aku bangkit dan melangkah. Bersikap sesopan mungkin, sesuai kata-kata ibuku. Membangun hubungan baik lagi dengan ayah. "Sasuke, Hashirama. Hashirama, Sasuke." Biasanya, orang normal akan menoleh setiap kali ia memperkenalkan dua orang yang saling berjabat tangan. Ayahku bukan termasuk 'orang normal' itu. Atau itulah yang kuamati darinya.

"Ckck. Benar-benar berjiwa heroik! Kau tahu, adik dari istriku memiliki ipar dan iparnya memiliki sepupu. Lalu, sepupunya itu menikahi seorang wanita cantik dan melahirkan seorang anak laki-laki yang kurasa seusia denganmu sekarang, Sasuke. Aku bisa melihat semangat muda yang membara dalam dirinya walau—ada sekeping hambatan yang membuatnya berhenti menjadi atlit basket pro. Oh ya, aku lupa nama anak itu. Tapi aku yakin melihat semangat yang sama dalam kedua matamu, Sasuke-boy! Hahaha!"

Lagi-lagi ia tertawa. Lepas. Seraya menepuk-nepuk pundakku—tepatnya memukul. Pria tua hiperaktif.

"Jadi…" Ayahku berusaha menginterupsi, masih menolak melihatku secara langsung dengan kedua manik hitamnya. Sejenak, aku mengawasi kulit di bawah matanya yang semakin mengendur. Aku merasa bersalah. "…kau ingin aku mengirim salah satu anak buahku ke acara pembukaan yayasanmu, Hashirama?"

"Ya! Usia muda, Fugaku. Usia muda. Besok rencananya kami hanya mengumpulkan pasien-pasien stage lanjut maupun NEC dari golongan usia remaja di bawah duapuluh tahun. Kau tahu, semacam motivator hidup, sharing pengalaman, berbagi kisah, dan yah—melihat mereka berjuang untuk tetap hidup meski dengan keterbatasan." jelas pria berwajah lucu itu. Setiap kali ia menganggukkan kepala, kulit di bawah dagunya ikut bergerak. Ia menoleh melihatku. "Ah! Aku punya saran, Fugaku. Bagaimana kalau kau mengirim putramu ini saja, hm? Aku yakin, dengan tampang serta karisma Uchiha miliknya itu, pasti akan banyak gadis-gadis penderita kanker stadium lanjut yang tersenyum ceria. Hahaha."

Bukannya terdengar menyebalkan, tetapi aneh saja melihat seorang pria hiperaktif tertawa-tawa setiap ia menyelesaikan kalimatnya. Dan, rencana macam apa itu? Menyuruhku memakai pakaian badut dan menghibur remaja-remaja seusiaku yang mungkin akan mati sebentar lagi? Atau mengumbar janji palsu untuk terus semangat menjalani hidup yang menyakitkan ini? Benar-benar konyol. Dan oh, bagi kalian yang belum paham apa itu NEC—No Evidence of Cancer jika aku tak salah ingat. Penderita kanker yang terbukti sembuh.

"Itu bukan rencana konyol, Sasuke. Sebaliknya, kau akan membuka diri dan persepsimu saat kau mendengar kisah-kisah mereka. Aku yakin itu."

Oke. Ia membaca pikiranku. Menyeramkan.

Ayahku menghela nafas. Aku tahu ia masih meragukanku.

"Baiklah jika itu akan memperlancar acara besok, Hashirama. Aku akan menyuruh Sasuke untuk datang ke sana."

Sekalipun aku ingin melotot, yang kulakukan hanyalah mengerutkan kening. Tetapi, Hashirama buru-buru menepuk-nepuk kembali kedua pundakku dan berbisik.

"Jadilah anak baik, oke?"

Lalu, ia tertawa. Lagi. Ayahku menemaninya bersama rombongan elit eksekutifnya melangkah keluar dari rumah. Kedua kakiku terasa lemas. Bukan. Aku tidak peduli dengan apapun yang ayah perintahkan padaku termasuk mengusirku untuk yang kedua kalinya dari rumah ini. Tanpa perlu repot-repot kembali lagi. Tidak dengan cara ini—well—aku punya riwayat yang sangat buruk dengan isu bersosialisasi. Terlebih dengan mereka yang kutahu sensitif mengenai usia dan hidup dan blabla lainnya. Aku berada dalam kriteria eksklusi yang sangat benci membicarakan hidup dan kehidupan setelah ini. Karena, dengan setumpuk dosa yang kupupuk sejak dulu, memangnya Tuhan masih mempercayakan surga padaku?

Aku mengamati punggung ayahku dan kerutan di wajahnya saat ia kembali. Ia tak berbicara apapun setelahnya. Tapi, dari kedut di sudut-sudut bibir dan sepasang mata lelahnya, seolah ia ingin berkata: senang melihatmu kembali, Nak.

Kuputuskan bahwa aku takkan lagi mengecewakan ayahku lebih daripada ini.

.

.

.

Ibuku meributkan hal yang paling absurd pagi ini. Masalah pakaian yang harus kukenakan untuk menemui remaja penderita kanker stadium lanjut di gedung yayasan milik Senjuu corp tepat di sebelah sebuah kapel kecil. Bagiku, tak ada yang salah dengan kaus oblong bertuliskan 'I Love My Life', black jeans, dan sepasang snickers. Lagipula, tampilan luar tak menjadi faktor penghambat bagi setiap Uchiha untuk terlihat tampan. Ini bukan masalah kenarsisan, melainkan kemasabodohan.

"Aku akan pergi sendiri."

"Kau bisa meminta Omatsu-san untuk mengantarmu."

Paman Omatsu adalah supir pribadi ibuku yang siap mengantarnya ke manapun ia pergi. Salah satu dari tangan kanan setia ibuku.

"Kau yakin?"

"Aku bukan bayi lagi, bu."

Jawaban yang sebenarnya tidak relevan dengan pertanyaan ibuku. Hanya, sangat ampuh dalam meyakinkan dirinya akan kecemasan berlebih pada seorang remaja lelaki yang bahkan sudah paham benar bagaimana memukuli orang hingga babak belur.

"Oke. Tapi, jika ada apa-apa, segera telpon dan kabari Omatsu-san, oke? Ibu hanya khawatir jika orang-orang yang sudah membuatmu—yang sudah membuatmu—"

Kupeluk ibuku. Hatinya yang rapuh seperti gelas kaca nyaris terjatuh lagi karena mengingat wajahku yang tak memiliki bentuk jelas beberapa hari yang lalu. Aku sudah melukainya melebihi luka akibat fisik itu sendiri. Aku sama brengseknya seperti ayahku.

"Oke. Akan segera kukabari."

Kukecup pipinya dan kami berpisah.

Butuh waktu yang tak lama untuk mencapai titik tujuan di mana pria berwajah lucu yang meminta secara sepihak agar aku bersedia hadir di acara pembukaan yayasan motivator penderita kanker usia remaja miliknya berjalan sukses. Dengan sepeda motor yang tak lagi kunaiki lebih dari lima bulan lamanya ini, segalanya terasa cepat dibandingkan menggunakan mobil. Kuparkir jauh dari gedung setinggi dua lantai itu agar aku dapat berjalan kaki setidaknya lebih dari tiga puluh langkah untuk memperbaiki kondisi motorik tubuhku akibat baring lama. Di sana, ada taman kecil tak berpagar yang menjadi halaman pembuka gedung bertuliskan We All Love You di pintunya. Aku memutuskan masuk setelah mengetuk.

Awalnya, aku tak melihat siapapun. Sepi dan sunyi. Tetapi, kuedarkan pengelihatanku. Mengamati begitu banyak frame foto yang dilekatkan di sepanjang dinding. Rata-rata berusia antara sepuluh hingga delapan belas tahun. Pemandangan yang menyakitkan, menurutku.

Lalu, aku melihat pintu yang di bawahnya memerlihatkan cahaya putih. Menimbang lama, akhirnya kugenggam dan kuputar grendelnya. Sebelum itu terjadi, seseorang dari arah dalam sudah menariknya untukku.

Seorang pemuda, mungkin lebih tua dua atau tiga tahun dariku jika dilihat dari bekas-bekas kumis yang belum dicukur sempurna, tersenyum lebar. Ia mengenakan kemeja putih berbungkus jas berwarna pastel kotak-kotak. Atasan yang formal untuk ukuran acara yang tidak terlalu formal.

"Masuklah. Ayo masuk. Kami sudah menunggumu, Uchiha-san."

Aku membuat satu per satu langkah dengan hati-hati. Seperti takut terjatuh. Mempersiapkan diri untuk hal terburuk yang akan terjadi.

Ruangan yang kumasuki ini ternyata lebih luas daripada yang kuduga sebelumnya. Menyerupai luas ruangan kelas berisi tigapuluh siswa sekolah dasar. Tetapi, mereka membuat kursi-kursi kayu itu membentuk lingkaran dengan satu kursi berbeda di tengahnya sebagai titik episentrum. Pemuda yang mengantarku masuk itu menyuruhku duduk di salah satu jejeran kursi yang membentuk garis lingkaran. Aku duduk diapit seorang anak perempuan berkursi roda dan pemuda berkacamata hitam.

"Nah, dengan begini, kurasa jumlahnya akan pas. Umm—" Ia menghitung dengan telunjuknya. Jika kursi di tengah akan didudukinya, kerutan di keningnya itu memiliki arti masih ada satu orang yang belum datang. "Hahh—ada yang tahu di mana si pirang itu?"

Anak perempuan di sebelahku mengangkat tangannya.

"Memaksa Uzumaki-oniichan untuk datang adalah hal yang percuma, Kakashi-san!"

Jadi, pelaku utama yang memperlambat sesi pertemuan orang-orang yang sehat dan akan mati ini adalah seseorang bernama 'Uzumaki'.

"Well, kalau begitu, kurasa kita akan memulai saja tanpa—"

SLAM!

Pintu itu terbuka dan menderit tajam. Seseorang masuk dengan bunyi nafas terengah-engah. Ia meletakkan tangan di lutut lalu berdiri tegak kembali. Mengambil nafas banyak-banyak dan menghembuskannya. Aku berbalik dan memutar memori. Matahari mungkin tidak sebesar itu jika dilihat di malam hari. Atau mungkin sinarnya yang berpendar cukup kuat sehingga mataku harus menyipit. Tapi tidak. Aku yakin warna matahari yang kulihat sesaat sebelum aku jatuh pingsan oleh lautan darahku sendiri adalah warna matahari yang tak pernah berubah. Tetap menguning meski bayang hitam membentur di setiap sisinya.

Aroma sitrus dan mint.

Aku membulatkan mata. Bergidik ngeri entah karena apa.

"Yosh, semuanya! Maaf aku terlambat! Heheh."

Dan sialnya, mata birunya yang sempurna bertemu dengan mata opalku. Ia berhenti tersenyum.

Prosesi itu pun dimulai dan berlangsung dengan damai. Tanpa ada sepatah kata yang keluar dari bibirku.


.

.

.

To be Continued

.

.

.


Author's Note:

To Augustus Waters yang di dalam fanfiksi ini saya jadiin Naruto. Anda sukses membuat kokoro saya cenat-cenut. ;;3;;

Fanfiksi ini sangaaaaaaaaat jauh dari alur asli dalam novelnya. Cuma minjem karakter si Gus yang kece badai itu. :3

Thank you!