Disclaimer : I don't own Gundam Seed/Destiny but this story is mine.
A/N: Sy putuskan menggunakan nama seperti rencana awal :) thanks to readers special buat AlyaZala dan Popcaga ;D.
-oOoxnelxoOo-
Previous:
Wanita berambut pirang itu merasa kurang nyaman atas tatapan intens seorang wanita cantik yang tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Rasanya aku pernah melihatnya di suatu tempat," gumam Cagalli kecil cukup dapat di dengar oleh Flay. 'Atau mungkin hanya perasaanku saja ...'
"Hmm?"
Cagalli menatap Flay bingung, seolah ia melewatkan sesuatu yang besar. Tanpa disadari mereka, sosok yang dibicarakan oleh kedua wanita itu mendekat.
"Halo ..."
Flay dan Cagalli berpandangan lalu membalas sapaan wanita cantik itu dengan ragu.
"H-Hai ..."
"Halo juga."
Wanita itu tersenyum manis pada Cagalli seraya mengulurkan tangan kananya. "Aku Meer, Meer Clyne -oh Tuhan, bodohnya aku, margaku bukan lagi Clyne." Wanita itu tertawa kecil.
'Meer? Di mana aku pernah mendengarnya? Aku yakin, aku pernah mendengarnya. Tapi ... di mana?' Flay menggigit bibir bawahnya mencoba mengingat-ingat. 'Ia terasa familiar.'
Cagalli menjabat tangan wanita itu lembut. "A-aku Cagalli."
Meer memandang Cagalli dengan tatapan yang tak dapat ia baca. Tapi Cagalli menyadari terdapat sedikit kesedihan terpancar di wajahnya. "Aku tahu. Aku senang akhirnya bisa bertemu denganmu Cagalli Hibiki-san." Genggaman tangan mereka terlepas.
Wajah Cagalli dan Flay terkejut, "A-apa kita pernah bertemu sebelumnya Nona Meer?"
"Tolong panggil saja Meer, Cagalli-san. Tidak, aku hanya mendengar nama Cagalli-san saja."
"Oh."
"Kau tidak bertanya dari siapa aku mendengarnya?"
Mulut Cagalli terbuka, "Huh?" Hanya itu yang mampu ia ucapkan.
"Athrun."
Nama yang sudah lama tak ia dengarkan. Hanya dengan mendengar namanya saja cukup membuatnya membeku. Ia tak mampu menyembunyikan keterkejutannya.
Ah! Benar juga, bagaimana Flay bisa melupakannya. Apa karena model rambutnya yang berbeda? Wajahnya yang agak terlihat lebih dewasa? Dan bentuk tubuhnya yang ... terlihat berbeda seperti wanita hamil?
Alis mata Flay terangkat tinggi. Diperhatikannya Meer dari atas ke bawah secara seksama.
'Bodoh kau Flay!' Flay mengumpat pada dirinya sendiri.
Cagalli ingat! Dia pernah menyebutkan namanya. Meer Clyne. Tunangannya! Bukan! Tidak lagi! Sekarang ia adalah ... istrinya!
Masih dengan keterkejutannya, Cagalli membalas, "Y-ya. Aku juga pernah mendengar nama Anda ... Meer. Meer Zala."
-oOoxnelxoOo-
.
Edge of Infinite
...
Chapter Six : Precious Rose
.
-oOoxnelxoOo-
Meer hanya tersenyum memandang Cagalli penuh arti, sayang ... Cagalli tak dapat membacanya.
'Za-Zala?! Meer Zala?! Ah! Aku ingat! Mengapa kau bisa lupa Flay! Dasar bodoh! Lalu ... apa yang diinginkan wanita ini dari Cagalli?!'
"Cagalli-san, bisakah kita bicara di tempat yang lebih nyaman?"
"Uh, uh, k-kau ingin bicara denganku?"
"Ya. Aku ingin berbicara denganmu sejak lama, tapi ... kudengar kau telah pindah dari Orb. Dan ... mereka yang mengenalmu menolak untuk memberitahu keberadaanmu selama beberapa bulan ini."
Saat Cagalli akan membuka suara, Flay memotongnya, "T-Tunggu sebentar! Kalau ini menyangkut tentang Ath -maksudku Z-Zala, kami sudah lama tak berhubungan lagi dengannya! Cagalli tak pernah -"
"Aku tahu. Athrun yang mengatakan sendiri padaku."
Cagalli tak tahu harus mengatakan apa lagi, ia cukup terkejut dengan pengakuan Meer. Ia begitu mudahnya mengatakan semua pada istrinya dan sepertinya, Meer menerima dan memaafkannya.
Mendengar namanya di sebut olehnya dengan mudahnya, mendengar ia telah mengatakan semua padanya, membuat dada Cagalli sesak. Ia seperti lupa bernafas. Ada keperihan di hatinya.
"Kumohon Cagalli-san, bisakah kita bicara berdua saja?"
Benar, wajar bila Meer memintanya untuk bicara berdua saja dengannya. Cagalli berhutang banyak penjelasan dan maaf padanya.
"Tentu," jawab Cagalli lalu menatap Flay, "maaf Flay, kau pulang saja dulu." Flay masih terlihat tak bergeming dan raut wajahnya memancarkan kekhawatiran, Cagalli yang memperhatikan ini hanya memberikan senyuman dan tatapan 'aku akan baik-baik saja'.
-oOoxnelxoOo-
"Shinn Asuka mengeluarkan album baru!"
"Destiny, Judul Album terbaru Shinn. Hampir semua lagu, ia tulis berdasarkan pengalaman barunya!"
"Lagi! Asuka terlihat menggandeng tangan seorang gadis berambut pirang! Siapakah sebenarnya gadis itu?!"
"Apakah benar gadis berinisial CH yang selama ini digosipkan dengan Asuka adalah kekasihnya?"
"Wow! Luar biasa si Asuka ini! Sampai sekarang ia merupakan penyanyi yang fenomenal!"
"Matikan televisi itu. Dan jangan membaca koran, majalah murahan itu keras-keras, aku tidak tuli. Perlu kuingatkan ini tempat untuk bekerja bukan menggosip. Jika kau punya waktu luang lebih salurkan di tempat lain bukan di sini," balas pria itu dingin tanpa sedikitpun mengangkat kepalanya pada dokumen di hadapannya. 'Mengapa dia terus menggangguku?'
"Tch, kau iri 'kan? Ya 'kan?!" goda pria bermahkota oranye itu lagi.
"Kalau kau mau di pecat, silahkan saja teruskan." Kembali pria yang lain membalas ketus.
Pria bermata hijau itu bersiul panjang. "Ck, ck, ck ... tak kusangka pria tenang sepertimu bisa marah hanya dengan menyebutkan nama 'Shinn Asuka' dan wanita berinisial hmm, apa tadi ya? Oh ya! 'CH'? Kalau tak salah kau mempunyai teman bernama Kira Hibiki? Apa mungkin dia? Ah tidak-tidak! Kira itu pria dan inisialnya adalah KH, atau -bukankah Kira mempunyai seorang adik yang mempunyai inisial serupa dengan wanita yang digosipkan dengannya? Ehm, kalau tidak salah Cali -bukan, Cagi, Calali, Cagami -Oh! Aku ingat! Cagal -"
"Heine!" Pria itu menggebrak meja.
"Ups! Sorry ... apa itu menganggumu?" tanya pria bernama Heine itu dengan sangat polos.
"Sangat! Keluar dari ruanganku Westenfluss! Sekarang!"
"Kenapa kau tak suka aku menyebutkan namanya, sepupuku? Apakah beberapa bulan ini masih belum cukup untuk melupakannya! Sebenarnya apa yang kau takutkan?!"
"Cukup! Keluar. Dari. Ruanganku. Sekarang!"
"Kau pengecut Athrun Zala! Seharusnya kau malu dengan nama keluargamu!"
"Bukan urusanmu!"
"Tch, Iceman! Ya sudahlah. Menggodamu sudah tak mengasyikkan lagi! Oh ya, dia ada di Heliopolis."
"..."
"Maksudku Meer."
"!" Ia terkejut dan bangkit dari kursinya. 'Jadi ia di Heliopolis!'
"Nah, aku berhasil menarik perhatianmu bukan?!"
"A-apa yang Meer lakukan di sana?" Mata emerald-nya membulat sempurna.
"Hmm? Bukankah sudah jelas? Menemui ... 'mantan kekasihmu.'" Ia mengatakan itu dengan begitu entengnya, tak ada beban sama sekali.
"Heine! -"
"Athrun! Kurasa wanita itu sudah bisa melupakanmu! Sedangkan kau," tunjuk Heine," ... di mana Athrun Zala yang kukenal dulu? Di depanku memang seseorang yang memiliki tubuhnya tapi jiwanya ... entah berada di mana."
Athrun menghela nafas panjang. "Ia sudah mati, ia sudah lama ... menghilang," ucapnya lirih penuh kesedihan, tak lama ia kembali berkutat dengan pekerjaannya kembali. Seolah ingin menyudahi perbincangan mereka.
Mengacuhkan sikap dingin sepupunya, Heine berbicara lagi, "Saran terakhirku untukmu, Athrun. Temuilah Hibiki. Bicaralah dengannya. Setelah itu semua terserah padamu."
'Cagalli ... Kira ...'
Setelah Heine pergi, nama itu masih terngiang di kepala Athrun. Terutama Cagalli. Ia menghentikan segala kegiatannya. Merebahkan tubuhnya, memejamkan matanya.
"Cagalli ...," gumaman kecil itu mampu menggema di seluruh ruangannya. "Cagalli ...," ulangnya lagi. "Cagalli ..."
Sepanjang siang itu, Athrun terus menggumamkan namanya. Nama yang masih bergema dengan kencang di hatinya.
-oOoxnelxoOo-
"Nona Cagalli, selamat datang ..."
"Ah Asagi selamat sore. Apa Flay di ruangannya?"
"Nona Alster belum datang sejak keluar bersama Anda tadi pagi."
"Apa?" Alis Cagalli bertautan. Di mana dia? "Terima kasih Asagi. Kau mau pulang?"
"Ehm, sebenarnya jam kerja sudah selesai satu jam yang lalu tapi saya masih menunggu Nona Alster kembali."
Cagalli mengangguk perlahan. "Pulanglah. Biar aku yang menutup butiknya -"
"Ta-tapi Nona Cagalli -"
"Tak apa. Aku yang akan menunggu Flay, biar nanti aku jelaskan semua padanya. Berikan saja kuncinya padaku. Tenang, bila terjadi sesuatu yang tak diinginkan, akan menjadi tanggung jawabku sepenuhnya. Nah, sekarang, pulanglah."
Asagi memberikan kuncinya ragu pada Cagalli yang tersenyum ramah padanya.
"Te-terima kasih Nona Cagalli. Selamat malam."
"Malam."
Tak lama setelah Asagi pergi, Cagalli mengirimkan pesan text untuk Flay.
"Kau di mana Flay? Aku menunggu di butik, Asagi kusuruh pulang lebih dulu," gumam Cagalli seraya mengetik pesan di smartphone-nya.
Flay: Kau di butik sendirian? Aku dalam perjalanan ke sana. Aku bersama Kira dan Alex. Bagaimana dengan Meer? Ah, lupakan, nanti saja kita bicarakan di rumah. Tunggu aku sekitar sepuluh menit.
Senyum Cagalli melebar seraya membalas pesan Flay. "Aku tunggu, berhati-hatilah."
Flay: b there soon girl!
Cagalli menghela nafas panjang. Saat Cagalli akan melangkah, terdengar suara pintu terbuka.
Cagalli menoleh, "Maaf kami sudah tutup."
"Ah, maaf. Tapi kulihat tulisan di depan masih 'open'."
Mulut Cagalli membentuk 'o', Asagi mungkin lupa untuk mengubah tulisan itu.
"Oh, maafkan kelalaian kami. Tapi, kami benar-benar sudah tutup, maaf sekali lagi Nyonya."
"It's fine dear. Kesalahanku juga karena tiba sesore ini. Tapi sayang, aku hanya ingin bertemu sebentar dengan Nona Alster, membicarakan tentang beberapa rancangan. Apakah ia masih di sini?"
"Oh, Flay? Maaf Flay juga tidak -ah iya, mungkin Anda bisa menunggu dengan saya di sini. Silahkan duduk atau mungkin ... Anda bisa melihat-lihat lebih dulu."
"Kau baik sekali sayang, terima kasih."
"S-sama-sama." Cagalli tersipu mendengar pujian wanita itu.
"Apa kau bekerja di sini?"
"Oh ti-tidak. Sebenarnya, Flay adalah calon kakak ipar saya. Saya hanya membantu sesekali."
"Siapa nama nona?"
"Haumeau, maaf ... ada sesuatu menganggu pikiran saya sehingga -ah ma-maaf sekali lagi saya mengatakan hal yang tidak perlu. Nama saya Cagalli ... Cagalli Hibiki."
Wanita itu mengerjap sekali, seolah memastikan ia mendengar dengan benar. "... Cagalli ... Hibiki?"
"Iya Nyonya, ehm ..."
"Lenore. Cukup panggil saja Lenore, Nona Cagalli."
"Nyonya Lenore ..." Nama yang cantik, sesuai dengan pribadinya, begitu pikir Cagalli.
Semakin diperhatikan, ia semakin yakin ia pernah bertemu dengan wanita anggun itu di suatu tempat, tapi ia masih menerka-nerka di mana ia pernah bertemu dengannya.
'Kenapa aku terus merasa pernah bertemu dengan orang-orang yang tak pernah kutemui sebelumnya. Hhh ...'
Wanita itu pun tak kalah menatap Cagalli dengan seksama, membuat pipi Cagalli merona. Cagalli mengalihkan pandangan, membuat Lenore tersenyum makin lebar.
"Hm, mawar putih yang cantik. Apakah nona menyukai bunga mawar putih?"
"Ma-mawar?" Cagalli terkejut dengan pertanyaan yang tiba-tiba tak disangkanya itu. Saat melihat singkat wanita itu, ia ternyata memperhatikan rangkaian mawar putih yang tertata cantik dalam vas di meja customer care. "S-saya ... lebih menyukai mawar merah. Ta-tapi ... sudah tidak lagi." Kata terakhir di ucapkan Cagalli sangat lirih.
Membuat Lenore memiringkan kepalanya, "Mengapa? Itu bunga yang indah, melambangkan suatu ungkapan kasih sayang dan ... cinta. Saya menebak nona Cagalli pasti sering mendapatkan mawar merah dari kekasih nona."
Kepala Cagalli menggeleng cepat, "Ti-tidak begitu ..."
"Hmm? Atau Nona Cagalli sudah menikah?"
Cagalli tersedak ludahnya, "Ti-tidak, saya juga belum menikah."
"Sangat mengejutkan. Sayang sekali wanita secantik Nona Cagalli belum mempunyai pasangan."
"Saya hanya ... mempunyai hal lain yang menjadi prioritas saya."
"Hmm ... begitukah? Tapi sayang ... sepenting apapun hal itu, jangan melupakan kebahagian untuk diri Nona sendiri. Wanita seperti Nona sangat cantik bila selalu tersenyum seperti itu."
Cagalli kehilangan kata-kata. Ucapan Nyonya asing itu seperti ucapan ibunya dulu. Ia merasa, ia sedang berbicara dengan ibu kandungnya.
Cagalli tersenyum kecil, matanya melembut, "Ya, Nyonya benar. Saya takkan melupakan itu."
"Ah, bicara soal pernikahan. Kalau menurutmu, gaun seperti apa yang nona sukai?"
"S-saya?! A-anu s-saya ... ehm, entahlah. M-mungkin yang sederhana saja." Cagalli tersipu, sekali lagi ia merasa kaget dan tak siap dengan pertanyaan dari Lenore.
"Hm, sederhana? Kau tak ingin sesuatu yang ... megah? Spektakuler? Sesuatu yang luar biasa? Mengingat itu adalah hari terpenting untukmu, berharap sebuah pernikahan hanya berlangsung satu kali untuk seumur hidupmu?"
Cagalli memberi jeda sejenak, sebelum menjawab. "Benar ... Anda memang benar. Semua berharap itu akan menjadi peristiwa penting yang terjadi hanya sekali seumur hidup. Tapi ... bila itu saya ... saya hanya menginginkan yang sederhana saja. Saya menginginkan dikelilingi dan berbagi kebahagian hanya dengan keluarga, kerabat, dan orang-orang yang saya kenal, tak perlu ada orang asing di sekitar saya, tentu saja ... tak perlu begitu megah, hanya ... suasana yang sakral dan nyaman -Ah ma-maaf mengapa saya jadi bicara yang tak perlu."
"Nonsense dear. Nona benar." Lenore kembali mengamati deretan gaun pengantin berwarna putih. "Putih cocok denganmu sayang."
"A-apa? Oh i-iya." Cagalli tersenyum canggung. "Hijau juga menarik," gumam Cagalli sangat lirih.
"Maaf, bisa lebih diperjelas?"
"Ehm, ti-tidak a-anu mak-maksud saya, tidak selalu customer di tempat Flay memesan gaun pengantin berwarna putih. Banyak dari mereka memesan warna lain tapi dengan warna yang tak mencolok, warna yang sangat ... soft. Seperti biru langit, merah muda, atau kombinasi putih dengan warna lain." Cagalli tertawa canggung.
"Begitukah? Kurasa saya benar-benar sudah tua dan ketinggalan selera jaman." Wanita itu tertawa kecil, "lalu ... kalau kau nona, warna apa yang kau pilih untuk hari pernikahanmu?"
"Huh? I-itu ...mungkin hi-hijau sep-seperti warna mata Anda, Nyonya." Cagalli tersipu saat mengatakan itu langsung bertatapan dengan Lenore. "Tap-tapi kurasa terlalu mencolok, pilihan saya mungkin ... lime green."
'Oh great! Tidak lagi. Aku mengatakan hal yang tak perlu dengan wanita asing, ia pikir pasti seseorang yang bermulut besar, dungu dan bodoh! Oh Flay cepatlah datang. Aku tak mengerti apapun soal fashion!'
"Nona suka dengan warna mata saya?"
'Suka!' Ingin Cagalli meneriakkan kata itu seraya menatap mata indah nan familiar milik Lenore.
"A-anu, i-itu, sebenarnya ... mata Nyonya mengingatkan saya pada seseorang."
"Seseorang yang Anda sayangi?" tebak Lenore cepat dan penuh dengan keingintahuan.
Cagalli kembali tak langsung menjawab, "... y-ya." 'Dulu ...' Cagalli tersenyum getir yang tak luput dari penglihatan Lenore.
Diraihnya telapak tangan dan diremasnya lembut. "Maaf bila membuatmu sedih. Tapi, siapapun itu ia juga pasti sangat menyayangimu."
"Ti-tidak b-bukan salah Anda tapi, terima kasih Nyonya." Melihat senyuman dan ucapan tulus Lenore, membuat Cagalli kembali tersenyum.
"Kurasa sudah waktunya saya pergi." Wanita itu berdiri, Cagalli mengikutinya.
"Tap-tapi, Anda tidak menunggu Flay, sebentar lagi ia mungkin akan tiba."
"Kurasa tak perlu, aku sudah menemukan yang aku cari."
'Eh?!' Cagalli makin tak mengerti, mimik wajahnya terlihat bingung.
"Semoga harimu menyenangkan Cagalli sayang. Sampai jumpa lagi."
Ketika Lenore memberikan ciuman perpisahan singkat di pipi Cagalli, ia merona hebat. Sampai-sampai ia lupa untuk membalas ucapan Lenore.
'Sampai jumpa lagi?'
Suaranya kembali saat Lenore membuka pintu butik, "Se-selamat jalan Nyonya."
Selang beberapa detik, Flay tiba dengan terburu-buru, "Cagalli sudah kau kunci semua? Ayo lekas pergi, kita makan malam di luar. Kira dan Alex menunggu di mobil."
"Be-belum tunggu sebentar aku ambil t-tasku dulu -oh iya Flay, ada seorang wanita anggun, kurasa ia seorang wanita kelas atas atau semacamnya, mencarimu -baru saja ia pergi, namanya Lenore."
"Lenore? Siapa?"
"Eh? Kau tak kenal?"
"Entahlah, banyak nama Lenore di luar sana! Nama keluarganya apa?"
"Eh? E-entahlah aku lupa! Bagaimana aku bisa tak menanyakannya ya? Atau ... kau punya janji dengan seseorang bernama Lenore sebelumnya? Karena ia mengatakan akan membicarakan suatu rancangan denganmu."
Alis Flay bertautan, "Tidak ada. Aku tak mempunyai janji dengan siapapun."
"Lalu siapa dia?"
"Entahlah, mungkin hanya customer baru yang tertarik dengan hasil rancanganku."
Siapapun wanita itu, sangat terasa familiar baginya.
Sangat!
"Ya ... mungkin kau benar." Cagalli tak yakin dengan ucapannya sendiri.
-oOoxnelxoOo-
"Aku ... bertemu dengannya, ia orang yang ramah dan cantik. Pantas kau tertarik dengannya. Sepertinya masih ada hal yang harus kalian bicarakan. Segera jemput aku di Heliopolis, aku menunggumu ..."
'Meer ...'
Pria itu memijit pelipisnya lelah, ia masih mengingat percakapannya dengan Meer di telepon satu jam yang lalu. Ia juga telah menghela nafas panjang berulang kali.
"Ada 'sesuatu yang tertinggal' di sini, Athrun."
"Mengapa kau melakukan itu Meer?" Ia berkata tidak pada siapapun. Hanya pada dirinya sendiri.
Ia teringat perkataan Heine, untuk berbicara kembali dengan wanita itu.
Tapi untuk apa?!
"Kau mengingkari perasaanmu sendiri ..."
Ia mengingat perkataan Heine lagi. Mengingkari? Diantara mereka sudah tidak ada hubungan lain lagi selain teman. Mereka telah sepakat berpisah dan memilih jalan masing-masing.
Tidak!
Hanya Athrun yang memilih. Ia yang memilih meninggalkan Cagalli. Dan Cagalli ... melepaskannya.
"Sebenarnya apa yang kulakukan? Apakah ini karmaku karena meninggalkannya?"
Bila ia bicara padanya, lalu apa yang akan ia dapatkan? Yang jelas bukan pelukan hangat atau sebuah kecupan penuh kasih. Mungkin ia malah akan mendapatkan bogem mentah Kira sekali lagi, tamparan keras dari Flay, cemooh dari Shinn atau makian dari Cagalli. Hell, sebelum bertemu mungkin Cagalli akan menolak dan menghindarinya.
Lagi pula ...
"Sumber terdekat Asuka mengatakan, bahwa penyayi muda itu memesan sebuah cincin berlian untuk pertunangan. Apakah sebentar lagi kita akan dapat menyaksikan jari manis wanita berambut pirang yang digosipkan dekat dengannya melingkar cincin berlian tersebut? Well guys, we'll see later. Stay tune with us, The Hot Gossip Celebrity Show."
Hanya dengan mendengar berita gossip murahan di televisi -yang sengaja oleh Heine diputar kencang saat Athrun sedang bekerja di saat istirahat makan siang. Athrun menahan emosinya dalam-dalam. Sebenarnya dalam imajinasinya, ia bangkit dan melempar televisi layar datar itu dengan vas bunga kristal pemberian seorang klien dari Copernicus. Tapi ia berusaha untuk tenang, tak terpancing oleh siasat licik Heine.
Ia tahu Heine bermaksud baik, mengembalikan Athrun seperti dulu bukan seorang mesin pekerja tanpa henti. Tapi Athrun tak ingin kembali. Athrun tak bisa kembali. Karena ia terlalu takut, karena itulah ia mengubur dirinya dengan pekerjaan. Itu membantunya melupakan segalanya. Termasuk Cagalli. Termasuk cinta dan rasa rindunya padanya.
Ia memang pengecut.
Ia juga sudah terlambat.
Cagalli telah melangkah maju.
Sedangkan, ia ... ia masih tak beranjak dari tempat ia memilih Meer dan meninggalkan Cagalli.
Tapi yang tak Athrun sangka-sangka adalah ibunya, Lenore Zala, angkat bicara.
"Temuilah dia, ia wanita yang menarik. Ia, wanita yang pemaaf dan penuh kasih sayang. Kurasa ... ia juga ingin bicara denganmu. Apapun keputusan kalian, ibu mendoakan semoga itu keputusan yang terbaik dan semoga ... kalian selalu bahagia."
Athrun merasa heran, darimana ibunya mengetahui hubungannya dengan Cagalli. Sejauh mana ibunya mengetahui hubungan mereka.
Apakah ia harus ke Heliopolis?
Apakah ia harus bicara dengannya?
Untuk apa?
Ia butuh minum. Bukan sekedar minuman biasa. Minuman yang bisa membantunya melupakan semua ini. Alkohol! Yeah, minuman itu!
"Tak ada gunanya kau melarikan diri Athrun. Putuskan lalu hadapilah. Maka kau akan menemukan dan meraih apa yang kau inginkan."
'Lacus ...'
Benar, ia tak boleh melarikan diri. Ia tak boleh menyerah sebelum mencobanya.
'Cagalli ...'
Dengan cepat ia meraih smartphone-nya, Athrun mengirim sebuah pesan email, "Baiklah Meer, kau menang! Aku akan menjemputmu di Heliopolis." Senyum tulus yang jarang Athrun perlihatkan selama hampir dua tahun ini akhirnya terkembang di bibir Athrun.
-oOoxnelxoOo-
"Maaf membuatmu repot seperti ini."
"Hh, tak apa. Itu keputusanku sendiri. Jadi ... aku harus menerima kosekuensinya."
"Hh, tetap saja. Aku seperti ... memanfaatkanmu."
"Tidak Shinn! Tanpa berita yang hanya penuh dengan sensasi dan tak jelas benar atau tidaknya, kau tetap musisi yang hebat. Buktinya, hanya dalam waktu satu tahun, kau sudah mendapatkan penghargaan pendatang musik terbaik dari sebuah ajang yang bergengsi dan di akui secara internasional. Tak ada yang meragukan itu!"
"Seperti biasa. Kau pandai mengubah suasana muram menjadi menyenangkan." Shinn tersenyum penuh arti padanya. "Sangat menenangkan ..."
Cagalli memahami arti pandangan itu. Ia membalasnya dengan senyuman hangat pula. "Um … thanks."
"Terima kasih untuk selalu mendukungku dan terus berada di sisiku Cagalli. Kau, Kira, Flay dan Alex adalah segalanya bagiku. Kalian sangat penting. Sangat berharga bagiku. Kalianlah keluargaku."
Cagalli menggeleng lemah. "Tidak. Akulah yang harus berterima kasih padamu atas segalanya. Setelah menerima tawaranmu, hidupku berubah. Kau, Kira, Flay dan juga ... Alex adalah separuh dari nyawaku. Udara kehidupanku. Terima kasih Shinn ... terima kasih." Air mata Cagalli mulai menggenang.
Ditariknya lembut wanita bersurai pirang itu ke dalam pelukannya, "Terima kasih telah menerima permohonanku Cagalli."
Cagalli mengangguk kecil dalam dekapan Shinn dan menggumam, "Hmm-mm. Bukan apa-apa."
"Apa kau bahagia?"
"Lebih dari yang kau bayangkan!"
Shinn makin mengeratkan dekapannya tanpa berusaha melukainya, menghirup dalam-dalam aroma rambut Cagalli, "Akhirnya ... aku akan menikah."
"Hm-mm ..."
TBC
A/N2: Next : Last Chappie (maybe?:p) … Maav klo plotnya terasa terburu-buru. :p
Mind to review again? :)
Many Thanks,
Fighting!
Nel. ^o^)9
04-09-2014.