Disclaimer:

Shingeki no Kyojin belongs to Hajime Isayama

Warning:

AU! OOC (Just in case, especially for Petra)! Typo(s)(Just in case)! Terkesan agak maksa, dll.

Petra's POV.

Italic: Petra's flashback, Sfx., etc.

Genre:

Romance, angst, drama

Rated:

M

Pairing:

Rivaille (Levi) x Petra

(Rivetra)

"Hahaha! Lihat dirimu, Levi, kau penuh dengan salju!" Aku berteriak seraya tertawa kencang. Eh, tunggu…

Aku? Tertawa? Rasanya sudah lama aku tak tertawa seperti ini. Rasanya begitu… lega.

"Tch, lihat saja, akan kubalas kau, Petra!" Levi bersiap-siap melemparkan bola salju ke arahku. "Kau siap?!"

(A/N: Ah! Gak kebayang si muka teflon itu main lempar-lemparan salju OAO)

"Ah!" Aku menutupi wajahku dengan lenganku, supaya dapat menangkis serangan dari Levi. Mengesalkan juga, sih, bermain lempar bola salju dengan makhluk tanpa ekspresi di ujung sana. Oh ayolah, bukankah ini untuk bersenang-senang? Lantas, kenapa dia tidak tertawa—minimal tersenyum?

Mungkin ada yang salah dengan saraf ekspresinya…

Oke, abaikan.

"Levi, aku capek!" Teriakku setelah kita sudah agak lama bermain.

Ia berjalan menghampiriku dan menggandeng tanganku, lalu kami berjalan menuju sebuah pohon yang tak ada lagi daunnya—jelas, ini musim dingin. Kami duduk di atas permadani putih yang dingin untuk melepas lelah.

"Bagaimana?" Levi menatapku.

Aku tertawa kecil. "Yah, cukup menyenangkan. Sudah lama aku tidak bermain salju seperti tadi." Ucapku seraya memeluk lututku sendiri. "Terima kasih sudah mau menemaniku, Levi…"

"Huh…" Ia menatap jauh ke depan. "Sudah sepantasnya kau berterima kasih padaku. Asal kau tahu, aku tak pernah bermain permainan kekanak-kanakan seperti tadi."

"Maaf, maaf…" Aku kembali tertawa—namun kali ini lebih kencang. "Tapi, jujur saja, kau sangat tidak pantas bermain seperti tadi, Levi. Maksudku—pfftt—tidak cocok dengan wajah datarmu itu!"

Tawaku lepas.

Tiba-tiba aku merasakan benda dingin menyentuh wajahku dengan agak keras. Oh—

"Kau kesal, eh?" Aku menahan tawa. "Entah kenapa—walaupun tampangmu tetap datar—kau terlihat lucu jika kesal seperti itu."

Levi menatapku dengan tajam.

Aku diam.

Tapi sedetik kemudian, aku merasa wajahku seperti ditarik. Dan—oh—aku bisa merasakan bibirku basah oleh—

—bibir Levi.

Mataku terbelalak. Kaget, tentu saja. Ciuman ini tidak mengenal kelembutan. Levi memaksa, menggigit, dan melesakan lidahnya ke dalam rongga mulutku—beradu dengan lidahku. "Hmpfft—Levi—" Aku berusaha menolaknya, tapi Levi jauh lebih kuat dariku. Jauh-lebih-kuat.

"Diamlah." Levi memperdalam ciumannya.

Tidak, Levi…

Ini salah…

"Hng…" Sial. Apa-apaan suara itu? Memalukan! Tapi aku tak bisa menahan suara itu agar tidak keluar. Suara itu terlepas begitu saja. "Le—Levi… ini—ngh—tempat umum…"

Levi melepas ciumannya. Kukira, aku bisa bernapas lega dan memasok udara kembali setelah ciuman itu. Tapi tidak. Bibirnya kini menjelajah ke pipiku, dan terus turun menuju leher. "Hngh… ja-jangan… Le—"

Gawat. Ini gawat. Aku takut, takut jika Levi 'melewati batas'. Aku dapat merasakan sesuatu yang basah dan hangat menyentuh leherku. "Ah!" Sial, dia meninggalkan kissmark di leherku. "Lev—Levi… b-bagaimana jika—" Ucapanku tersendat karena Levi menjelajahi leherku dengan liar. "U-uh, k-ketahuan?"

"Tidak akan." Wajahnya kembali menatap wajahku dengan tatapan yang—uh—menggairahkan. "Sembunyikan saja dengan baju dengan leher tinggi."

"Khh—"

"Kau tahu?" Ia memelukku dengan erat dan membenamkan kepalanya di perpotongan antara leher dan bahu. "Aku menandaimu, agar semua orang tahu bahwa kau telah ada yang memiliku. Aku, akulah orang beruntung itu…"

"Maaf, aku kelewatan…" Levi beranjak dari tempat duduknya dan berjalan ke dalam rumah, meninggalkanku yang berurai air mata mendengar ucapannya. Meninggalkanku yang masih terduduk di atas salju. Meninggalkanku sendiri.

.

.

.

"Tumben kau memakai baju dengan leher tinggi seperti itu." Komentar Auruo saat melihat pakaianku.

Mereka telah kembali, tepat setelah aku membersihkan diriku. Aku mengikuti saran Levi, agar kissmark darinya tidak terlihat. "Memangnya apa urusanmu?" Sahutku.

Auruo berjalan mendekat dan langsung menarik tanganku. Aku yang tidak siap langsung terjatuh ke dalam pelukannya. "Lepaskan!" Aku terus meronta-ronta, tidak rela untuk dipeluknya. Betapa terkejutnya aku saat baju di bagian leher ditarik olehnya. Sial, pasti kissmark itu terlihat jelas!

"Hoo…" Ia tersenyum sarkas. "Jadi selama aku dan orang tuamu pergi, ada yang bermain-main denganmu, ya?"

"Lepaskan aku! Itu bukan urusanmu!"

"Tapi tenang saja, setelah ini, kau dan aku akan tinggal berdua saja. Berdua. Tak akan ada gangguan dari makhluk pendek bernama Levi itu." Ucapnya dengan senyum mengejek. "Dan kau akan menjadi milikku sepenuhnya."

"Tidak, terima kasih." Kataku tidak kalah mengejek. "Aku masih menyayangi nyawaku dan belum mau menjualnya kepada iblis tua sepertimu itu. Sudah, aku mau turun dan makan malam."

Aku tahu dia marah. Tapi apa peduliku?

Tiba-tiba saja tangannya kembali menarik pergelangan tangannya dan menjatuhkanku kembali ke pelukannya. "Lepas!"

"Tidak akan." Ia mempererat pelukannya seraya berkata dengan nada rendah.

"Kau mengikuti gaya bicara Levi? Sudah cukup. Kau dan dia sama sekali tidak mirip." Aku masih terus berontak.

Sepertinya ia tidak mendengarkan—atau tidak mau. "Aku tahu siapa yang telah menyentuh bibir ini terlebih dahulu—"

Bibirku diusap olehnya—

"—tangan ini pun sudah ada yang menggenggamnya lebih dulu—"

—tanganku digenggamnya—

"—tapi aku yakin, Levi belum mengambil 'mahkota'mu."

—aku terkejut.

Aku berniat lari dari sana, tapi genggamannya begitu erat. Aku benci ini!

"Khh, lepas—hng—kan!"

Hanya Levi…

"A-ahh, le-lepaskan aku! Ah!"

Hanya Levi yang boleh menyentuhku…

Pandanganku menggelap. Ah, mungkin aku terlalu lelah memberontak. Levi, tolong…

.

.

.

Keesokan paginya, aku terbangun di ranjangku sendiri. Tidak ada yang aneh, sampai aku menyadari satu hal…

Aku tidak memakai pakaian sehelai pun!

Memori otakku mengulang kejadian semalam. Ah, iya, Auruo…

Aku menangis. Jelas saja. Orang tidak kucintai mengambil kehormatanku. Sedangkan, aku mengharapkan orang lain yang mengisi posisinya semalam. Aku mengambil pakaianku yang tercecer di lantai dan mengenakannya dengan tangan gemetar.

Bagaimana?

Bagaimana aku bisa menghadapi Levi setelah ini?

"Ohayou, Petra." Aku mendengar suara memanggilku dari arah ranjang. Menghiraukannya, aku berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri sebersih-bersihnya.

"Dingin sekali." Ucapnya dengan nada mengejek.

BRAK!

Pintu kamar mandi kubanting dengan geram. Berani-beraninya dia! Dia kira dia siapa?

"Kh…" Aku merintih pelan. Milikku terasa sakit. Jadi, Levi bukan yang pertama, ya? Aku tersenyum lemah. Maafkan aku, Levi, maaf…

.

.

.

Saat sarapan, aku tak banyak bicara. Aku masih cukup shock jika mengingat kejadian semalam. Dan beraninya Auruo, dia melakukannnya ketika aku pingsan! Sial!

"Petra, makanlah. Nanti kamu sakit." Ibu tersenyum.

Aku beranjak dari tempat duduk. "Aku sudah kenyang." Ucapku seraya meninggalkan ruang makan. "Lagipula, aku tidak nafsu makan." Mengingat kejadian semalam membuatku mual. Inginnya aku bilang begitu, tapi tidak. Aku tidak ingin se-frontal itu.

.

.

.

"Petra…" Levi berjalan menuju arah balkon kamarnya, dimana aku sering berkunjung. Kulihat di tangannya terdapat makanan. "Makan."

Aku menggeleng pelan. "Tidak."

"Makan. Ini perintah." Ucap Levi dengan nada tegas.

Aku tertawa kecil. "Siapa kau berani memerintahku?" Balasku sengit. "Kubilang tidak, itu artinya tidak! Jangan memaksaku!"

Levi terlihat tertegun. Ia meletakan piring berisi makanan itu dan berjalan mendekatiku, mengusap pipiku perlahan. "Kau menangis. Ada apa?"

"Eh?" Aku menyentuh bawah mataku, dan ada air di sana. "Aku menangis?"

"Ada apa?"

"Maaf…" Bisikku pelan, menahan isakanku yang sebentar lagi akan keluar.

"Hah?" Levi terlihat heran, raut wajahnya berubah walau hanya sepersekian mili. "Maaf, untuk apa?"

"Maaf…" Aku kembali mengucap maaf. "Maaf, karena telah menahanmu di sini…"

Levi terdiam.

"Maaf, karena telah menyukai dan menerimamu dulu…" Terus kulanjutkan ucapanku. "Maaf, maaf, karena kau selalu ada untukku, sedangkan aku selalu membiarkanmu sendiri..."

Egois...

"Aku ingin dicintai dan disayangi sepenuhnya olehmu, padahal aku tak memberikan cintaku utuh padamu. Maaf, Levi. Maafkan aku." Aku mulai terisak. "Maaf, semalam... Auruo mengambil kehormatanku saat aku pingsan. Maaf karena bukan kau yang pertama melakukannya denganku. Aku sungguh menyesal..."

Aku ini egois...

Kulihat Levi terpaku ditempatnya. "Kau... sudah melakukannya?" Ia tampak tak percaya.

Aku mengangguk pelan, takut. Aku takut Levi kecewa padaku. Aku takut Levi pergi. Aku takut...

"Tak apa..."

Mataku membulat mendengar pernyataan Levi barusan. Bukan, bukan itu yang kubayangkan. Aku membayangkan Levi akan segera pergi dari rumah ini, atau mungkin akan memarahiku dengan wajah datarnya. "T-tidak apa?"

"Kalau kau menyesal..." Levi mendekatkan wajahnya ke wajahku. "Bolehkah aku mencicipimu malam ini?"

Wajahku memanas mendengar bisikan seduktif itu di telingaku. "Ta-tapi... sakit..."

"Aku akan memperlakukanmu dengan lembut, tidak seperti si tua Auruo itu." Levi mengusap pipiku dengan lembut. "Dan akan kupastikan kau sadar, tidak pingsan."

.

.

.


To Be Continue~


Iya iya saya tau ini sedikit (re:Sangat!) terlambat updatenya. Saya sibuk nyari sekolah, minna TuT) Gomen naaa *bows*

Mana cuma seribu words lebih dikit. *dibantai*

Chapter depan kayaknya saya bakal bikin full lemon, tapi dari sudut pandang ketiga~ setuju gak? Kalo nggak, saya bakal bikin lemonnya dikit aja :

Arigatou, minna, yang udah mau baca, mampir, review, silent reader, semuanya ^^

Mind to review?~


Rikka Tatsuko: Gimana kalo kita bikin semuanya mati? : /yandere mode: on/ /heh/ lime aja dulu kali ya, kalo straight saya malu bikin lemon O/O

Ryu-chan LD: Itu karena… /ga mau spoiler/

shileedaelee99: Gimana kalo Petra sama Eren? /HEH/

Ouji maji: Arigatou~~ ini udah apdet~

Lala Yoichi: Hnn, gimana ya? Bisa dipertimbangkan dulu ya~