Disclaimer:

Shingeki no Kyojin belongs to Hajime Isayama

Warning:

AU! OOC (Just in case, especially for Petra)! Typo(s)(Just in case)! Terkesan agak maksa, dll.

Petra's POV.

Italic: Petra's flashback, Sfx., etc.

Genre:

Romance, angst, tragedy (maybe)

Rated:

Bingung mau naro rating apa jadi diputuskan ratingnya T+++ untuk bahasanya~

Pairing:

Rivaille (Levi) x Petra (Rivetra)


Hei, aku tidak akan melupakan hal itu. Ketika pertama kali bertemu denganmu. Ketika pertama kali kau menyatakan perasaanmu padaku. Ketika bibirmu menyentuh lembut bibirku…

Ah, indahnya hal itu. Andai saja hal itu bisa terulang. Oke, itu hanyalah harapan kosong tak bermakna dan tak layak diucapkan karena masa lalu tidak akan mungkin terulang. Sungguh, aku berpikir cinta kita sama seperti drama-drama cinta yang sering ditayangkan dalam theater yang sering kita tonton bersama.

Bodohnya aku. Aku selalu berharap jika keromantisan kita akan seperti keromantisan antara Romeo dan Juliet. Bodoh. Aku melupakan fakta bahwa mereka pada akhirnya tidak dapat bersama. Bodoh. Bodoh…

Lonceng pernikahan telah berbunyi. Apa? Apa? Aku ingin pergi dari sini. Aku ingin melepaskan pakaian putih penuh renda ini serta perhiasan-perhiasan tak berguna ini, lalu berlari keluar dan memelukmu.

Aku tahu. Aku tahu wajahmu memang tetap datar. Tapi aku juga tahu kalau hatimu menangis pedih! Aku tahu!

Jangan membohongi perasaanmu sendiri. Aku pun tak dapat membohongi perasaanku. Aku masih mencintaimu! Tidak, lebih dari itu. Aku selalu mencintaimu!

.

.

.

Pada hari itu, musim gugur terindah yang penah kulihat…

Badanku menggigil kedinginan. Kala itu, aku sedang duduk di bangku taman dan membaca buku. Namun sialnya, semakin lama udara di sini semakin dingin. Tapi ternyata, kedinginan itu membawaku mengenal orang itu. Orang yang membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama.

Sebuah mantel mendarat mulus di kedua bahuku. Aku terkejut sebentar lalu menengok ke belakang. Dan saat itu, aku menemukan sesosok pria dengan tinggi sekitar 160 cm, iris matanya yang berwarna hitam dan tatapan tajamnya bagai elang siap menerkam mangsanya. Surai hitamnya yang sangat indah, serta wajahnya…

… begitu tampan.

"Eh?" Aku tak kuasa menatap matanya yang seakan mengintimidasi namun dapat melelehkan hatiku. "T-terima kasih…"

Ia hanya mengangguk pelan dan duduk di sampingku. "Kenapa kau tidak membawa mantel? Padahal ini musim gugur."

Aku menunduk seraya merapatkan mantelnya yang tersampir dibahuku. "Tadinya belum sedingin ini. Oh, darimana kau tahu aku kedinginan?"

"Kelihatan dari gesturmu." Balasnya.

"Oh…" Aku hanya mengangguk-angguk mengerti. Aku hampir lupa, aku belum berkenalan dengan pria ini. Kuulurkan tangan kananku seraya tersenyum, "Aku Petra Ral. Kamu?"

Pria itu hanya menatap tangan kananku, lalu beralih memandang wajahku. "Apa kau terbiasa memperkenalkan dirimu pada orang asing sepertiku?"

Orang asing? Dengan gemetar, kuturunkan tangan kananku dan menunduk. "Tidak juga. Aku hanya melakukannya dengan orang yang kuanggap baik."

"Hoo, apakah aku cukup baik untukmu? Hanya dengan selembar mantel itu kau sudah menyebutku orang baik?"

"Firasatku berkata seperti itu…"

"Hmm…" Ia bergumam seraya mengulurkan tangan kanannya. "Aku Levi."

Kuangkat kepalaku dan menyambut tangan kanannya. "Hanya… Levi?"

"Ya," ia mengangguk pelan. "Hanya Levi."

Bisa kusimpulkan, pria itu—bukan—Levi itu adalah orang yang jarang tersenyum. Atau bahkan, tidak pernah? Tapi tetap saja, wajahnya tetap tampan walaupun tak dihiasi senyum. Justru, wajahnya terlihat sangat menggoda dengan mata sayunya itu.

Hei…

Apa yang kupikirkan?

.

.

.

Kenapa? Kenapa kau hanya diam, terpaku melihatku seperti ini? Lakukanlah sesuatu! Hentikanlah kegiatan gila ini! Aku tidak bisa. Aku tidak bisa…

Kenapa? Kenapa wajahmu tetap saja datar seperti itu ketika melihatku seperti ini? Aku ingin melihatmu berekspresi. Bukan, yang kuingin bukanlah ekspresi marah yang pernah kau tunjukkan padaku waktu itu. Aku ingin kau tersenyum, ataupun menangis…

.

.

.

Pada hari itu, musim dingin terbahagia yang pernah kurasa…

"Kau selalu saja lupa membawa mantel." Ujar Levi dengan datar. "Kau bisa saja mati kedinginan karena ini musim dingin."

"A-" Ucapanku terbata karena kedinginan. "Apa kau bilang?! M-mati… uh, mati kau bilang?"

"Ya." Balasnya singkat. "Dasar bodoh!"

"K-kalau bicara… j-jangan… sembarangan!" Aku sedikit takut karena nada bicara Levi meninggi. Badanku menggigil hebat, walaupun Levi sudah menyerahkan mantelnya untukku. Aku sungguh kasihan padanya. Bukankah itu berarti Levi sekarang sedang kedinginan? "K-kau sendiri… juga menyerahkan mantelmu berarti… kau bisa saja mati kedinginan!"

"Oh ya?" Ia menatapku dengan sarkastik. "Bagaimana jika begini?"

Tiba-tiba saja badanku sudah berada dalam rengkuhannya. Jantungku berdegup begitu cepat. Dengan cepat, panas menjalar di tubuhku, padahal badannya dingin. Hangat. Sungguh hangat. Dengan ragu, aku ikut melingkarkan tanganku di pinggangnya, berharap rasa hangat ini akan terus ada.

"Merasa hangat?" Bisiknya pelan.

"I-iya…" Jawabku singkat.

"Petra…"

Eh? Kenapa? Tak biasanya Levi memanggil namaku dengan nada rendah seperti itu. "Ya?"

"Aku mencintaimu."

Mataku terbelalak. Dengan cepat, aku melepaskan pelukanku dengannya. "K-kau serius?" Bohong. Aku tak percaya. Aku tak percaya…

"Aku tak pernah seserius ini…"

Tak dapat kubendung lagi air mata bahagia ini. Perasaanku terbalas. Perasaanku terbalas… "Aku… juga mencintaimu."

.

.

.

Tamu-tamu sudah berdatangan. Aku takut. Sungguh takut. Aku pun tak sanggup harus berjalan berdampingan dengan orang lain, sedangkan kau hanya menatapku dari bangku paling belakang. Berusaha menyembunyikan raut sedihmu dengan wajah datarmu. Heh, kau memang beruntung mendapatkan wajah seperti itu, jadi kau tak perlu repot-repot menyembunyikan kesedihanmu.

Tidak sepertiku…

Entah sudah berapa kali make-up ini rusak karena air mataku tak mau berhenti. Dan entah kenapa, ibu-ku hanya menganggap jika aku terlalu gembira hingga menangis. Akhirnya ia menyuruh orang yang memberiku make-up untuk menunggu hingga air mataku habis.

Kesal.

Aku kesal. Aku tak pernah merasakan perasaan ini sebelumnya. Yang kutahu sebelumnya hanyalah senyum, tertawa, bahagia, dan sedih…

Hanya kau, yang dapat mengerti akan diriku. Hanya kau…

... tadinya kupikir seperti itu.

.

.

.

Pada hari itu, hari natal paling menyenangkan untukku…

Levi ulang tahun bertepatan dengan natal. Dan natal tinggal besok. Dan aku belum menyiapkan kado untuknya! Apa yang harus kuberi untuknya?

Kulirik isi dompetku. Hanya tersisa beberapa lembar saja uangku. Sial, apakah aku harus membuat kadonya sendiri? Tunggu, membuat kado sendiri? Itu bukan ide buruk.

Sudah kuputuskan kalau aku akan memberinya syal rajutanku sendiri. Memang, tidak akan sempat. Namun jika aku tetap terjaga hingga malam, pasti syalnya akan selesai.

Kumulai dari rajutan pertama, lalu kedua, ketiga, dan seterusnya. Entah kenapa, mata ini tidak lelah walaupun jam telah menunjukkan pukul sebelas malam. Ini untuk Levi. Ini demi Levi. Hanya Levi tercinta…

.

.

.

Esoknya, aku telah siap dengan kotak kado berbungkus warna biru laut yang indah. Kurapikan penampilanku, lalu segera berangkat ke gereja, tempat dimana kita akan bertemu nanti.

"Levi!" Kuteriakan namanya saat aku melihat sosoknya yang terbalut kemeja putih dan celana hitam.

Sosok dengan tinggi 160 cm itu menoleh saat namanya dipanggil. "Petra…" Sapanya.

"Uh…" Aku bergumam pelan.

"Ada apa?"

"Kau lupa ini hari apa?"

"He?" Ia menatapku dengan pandangan aneh. "Bicara apa kau. Ini natal, bukan?"

Aku tertawa kecil. "Bahkan kau sendiri lupa dengan hari lahirmu, Levi."

Kuperhatikan, ia berpikir sebentar. Tak lama, matanya sedikit melebar dan ia segera mengangkat wajahnya dan menatapku. Kubalas tatapan itu dengan senyum. "Selamat ulang tahun, Levi." Ucapku seraya memberikan kotak kado yang telah kubawa.

Levi terlihat terkejut. Namun, ia tetap menerima hadiah dariku seraya mengucapkan terima kasih. Kubalas ucapannya dengan senyuman. Syal itu langsung dikenakan olehnya. Syal berwarna cokelat dengan rajutan sayap berwarna hitam dan putih.

"Kau membuatnya sendiri?"

Aku tersenyum kecil. "Semoga kau suka."

.

.

.

"Sudah waktunya, Petra." Ucap Ibu padaku.

Aku menatap sosokku yang terpaku di cermin. Tidak, yang kulihat bukanlah aku yang sedang mengenakan gaun pernikahan yang indah, bukanlah aku yang telah dihias kembali oleh make-up. Yang kulihat adalah dia. Sosok laki-laki yang kucintai, yang akan duduk di antara para tamu.

"Aku…"

Ibu mendekatiku dan mengusap pelan bahuku. Ia tersenyum manis padaku. "Kenapa? Tamu undangan sudah menunggu. Ibu tahu kau gugup."

Gugup?

He, jangan membuatku tertawa. Kalian semua tidak tahu apa-apa. Kalian semua tidak tahu apa yang kurasakan sekarang. Dan kumohon, jangan menjadi sok tahu!

Aku benci pada orang yang seolah-olah tahu segalanya.

Tapi aku lebih benci dirimu, pengecut yang membiarkan kekasihnya menikah dengan pria lain tanpa mau memperjuangkan lebih jauh.

Sial, sial, sial! Kenapa? Kenapa kau datang dalam kehidupanku? Tidak perlu kau memasuki kehidupanku jika pada akhirnya kau tidak akan bersamamu. Kau salah! Kau yang salah! Kenapa kau membuat diriku jatuh cinta padamu?

"Sebentar lagi, Bu…" Aku berucap pada Ibu, yang dibalas oleh anggukannya.

"Sepuluh menit, ya." Balasnya. Ia beranjak dari tempat duduk dan meraih kenop pintu. Namun, sedetik kemudian, datanglah sesosok orang yang paling tidak ingin kutemui saat ini. Bisa kalian tebak siapa…

… Levi.

"Hei…" Sapanya padaku. Aku terdiam. Tidak, lebih tepatnya aku menahan tangis. Aku tidak mau jika aku berbicara, air mataku pasti akan meluncur bebas. Ia berjalan menuju arahku dan duduk di sampingku. Tetap, ekspresinya masih sama seperti biasanya. Datar.

Rasanya ingin sekali aku menarik pipinya demi melihat senyumnya.

… abaikan saja ucapanku tadi.

"Kau baik-baik saja?"

Masih tak ada kalimat ataupun kata yang keluar dari bibirku. Aku bisa merasakan bibirku bergetar karena menahan tangis. Tak lama, aku menganggukan kepalaku.

Ia menghela napas kecil. "Aku tahu kau kecewa, tapi—"

"Jangan ucapkan!" Aku berteriak. Air mataku akhirnya lolos.

"Petra…"

"Kubilang jangan ucapkan!" Aku menutup telingaku seraya menggeleng-gelengkan kepala kuat-kuat. Air mataku meluncur dengan bebas melalui pipiku. "Aku tidak mau… aku tidak mau mendengar apapun darimu, Levi…"

Levi menarik lembut tanganku. Ia menatapku lurus-lurus, sehingga aku memalingkan wajahku karena tidak sanggup menatap matanya yang—masih saja—terlihat mengintimidasiku. Tapi sial, ia menarik daguku, sehingga mau tak mau mata kami saling bertatapan.

"Petra, lihat mataku…" Bisiknya padaku.

Tidak. Tidak. Aku lebih suka melihat pembunuhan berdarah-darah daripada harus menatap iris obsidian itu saat ini.

"Apa…" Balasku dengan acuh.

"Aku mencintaimu."

"Bohong. Omong kosong."

Seolah tak mempedulikan ucapanku, ia tetap melanjutkan kata-katanya. "Maafkan aku jika saat itu aku tidak memperjuangkan cinta kita. Ada beberapa alasan yang membuatku tak bisa memperjuangkannya."

"Tak usah dibahas. Aku benci."

"Petra…" Dengan cepat namun lembut, Levi mengecup bibirku. Serta merta, kurasakan pipiku memanas.

Tapi…

Plak!

Levi terlihat terkejut—walaupun tak terlalu terlihat, namun aku yakin ia terkejut—saat tangan kananku mendarat manis di pipi kirinya. Air mataku turun dengan derasnya. "Tidak… jangan pernah menciumku… lagi." Ucapku dengan sesenggukan.

Ia terlihat tak peduli. Dengan sekali tarikan, tubuhku jatuh ke dalam rengkuhannya. Tentu saja aku berontak. Namun, lama-kelamaan aku lelah sendiri, sehingga aku merelakan diriku berada dalam pelukannya.

"Aku benci…" Ucapku menahan kesal.

Usapan tangan Levi terasa di puncak kepalaku. Hangat. Sudah lama aku tidak merasakan hangatnya tangan Levi. Dengan cepat, aku menggeleng.

Apa yang kupikirkan, sial…

"Lepaskan!" Aku kembali berontak.

"Tidak akan…" Bisiknya. "Tidak akan, Petra…"

.

.

.

Pada hari itu, musim semi paling tak berwarna yang pernah kurasa…

"Bu, ini Levi. Orang yang sering kuceritakan kemarin-kemarin!" Ucapku dengan semangat ketika membawa Levi mengunjungi rumahku. "Ayah, kenalkan, ini Levi."

"Levi." Ucap Levi dengan datar.

Ayah dan Ibu saling memandang. "Nama lengkapmu siapa, Levi?" Tanya Ayah.

Levi menggeleng pelan. "Namaku hanya Levi. Tak ada tambahan marga apapun."

"Memangnya orang tuamu kenapa?"

"Entahlah, dari lahir aku sudah berada di panti asuhan."

Ibu menghela napas pelan. "Sebentar ya, Levi. Saya ingin berbicara terlebih dahulu dengan Petra. Petra, sini."

Kami berjalan menuju dapur. Ibu menatapku dengan tatapan tajam. "Bagaimana bisa kau mencintai laki-laki yang tidak jelas asal-usulnya?" Tanyanya dengan nada tinggi.

"Tapi, aku—"

"Apa kau tahu darimana dia berasal?"

"Itu…"

"Apa kau tahu bagaimana latar belakang dia?"

"Aku…"

"Sekarang seperti ini saja…" Ibu menjeda kata-katanya sejenak. "Dimana tempat tinggalnya sekarang?"

Aku terdiam. Lebih tepatnya, terhenyak. Aku baru sadar, jika aku tidak mengenal Levi seutuhnya. Tidak, aku tidak tahu apapun tentang Levi, walaupun itu hanya sekedar tempat tinggalnya.

"Lihat? Bahkan tempat tinggalnya pun kamu tidak tahu." Sindir Ibu.

"Tapi aku mencintainya!" Balasku dengan agak keras.

Ibu tertawa—seperti mengejek. "Mencintainya? Apa yang kau tahu tentang cinta?" Tanya Ibu sarkastik. "Ibu tidak akan pernah menyetujui hubungan kalian!"

.

.

.

"He? Apa? Bisa diulang?" Ucapku sarkastik.

"Aku tidak akan melepasmu." Ulangnya lagi.

Apa? Jangan membuatku tertawa, Levi! "Huh, kau hanya bisa mengucapkan hal itu setelah semuanya terlambat."

"Tidak ada kata terlambat ataupun penyesalan dalam semua keputusanku." Balas Levi. "Aku tahu keputusanku memang tidak selalu benar. Tapi, aku tidak akan pernah menyesal."

Tiba-tiba pintu terbuka. Dengan serta-merta, pelukan kami berdua terlepas. Di balik pintu, terlihat sosok Ibu sedang tersenyum pada kami. "Levi, ayo bujuk adikmu untuk keluar dan segera melaksanakan pernikahan ini." Ujarnya lembut.

Levi mengangguk pelan, membuatku ingin sekali memukulnya karena ia selalu saja menurut kata-kata Ibu dan Ayah. Kupikir ia adalah tipe orang yang tidak akan mau menurut perintah siapapun. Ternyata…

Dasar bodoh. Levi, kau bodoh…

.

.

.

Pada hari itu, musim panas paling membara yang pernah kutahu…

"Mulai hari ini, Levi dengan resmi kami adopsi."

Apa?

Apa? Aku tidak dengar. Adopsi?

"Apa?" Aku bertanya, memastikan.

"Levi kami adopsi."

Adopsi? Levi… Levi yang itu?

"Kalian jelas sudah tidak boleh berhubungan lagi, karena kini kalian adalah saudara." Tegas Ibu.

Mataku terbelalak. Apa-apaan itu?! "Ibu sampai mengadopsinya demi tidak mau melihat kami bersama?!" Jeritku. "Apa Ibu dan Ayah tidak ingin melihat anaknya bahagia?"

"Tentu saja kami mau. Tapi, tidak dengan Levi." Kali ini Ayah angkat bicara. "Levi tidak jelas asal-usulnya, martabatnya, serta tidak jelas tempat tinggalnya dimana."

Dasar orang-orang gila martabat!

"Petra bahagia jika bersama Levi!" Suaraku mulai bergetar karena menahan tangis.

"Dengar…" Ibu menatapku tajam. "Yang menginginkan adopsi ini justru Levi sendiri!"

"Bohong…" Ucapku tanpa basa-basi.

"Kau bisa menanyakan hal ini padanya."

.

.

.

Malamnya...

"Levi…"

Aku terkejut melihatnya membawa barang-barang dengan jumlah banyak ke rumahku. "Kau, mau apa?"

"Mulai hari ini, aku tinggal di rumahmu." Ucapnya dengan santai. "Aku telah diadopsi oleh keluarga Ral, alias keluargamu."

Kebetulan Ayah dan Ibu sedang keluar. Aku menatapnya tajam. "Apa benar kau yang mengusulkan adopsi ini?"

Levi mengangguk. Hanya mengangguk.

"Kenapa?"

"Kenapa apanya?"

Aku menahan diriku agar tidak meledak. "Kenapa kau mengusulkan hal itu?! Apa kau sudah tidak ingin bersamaku lagi?! Kau tidak mencintaiku lagi?" Suaraku meninggi.

"Bukan seperti itu…"

"Lalu bagaimana?!"

"Ceritanya panjang… suatu saat akan kuceritakan." Balasnya.

Aku lelah. Aku sudah lelah, sampai-sampai aku tak ingin lagi bertanya pada Levi. Segera saja aku membalikan badan dan berjalan menjauh dari Levi. Memasuki kamar, aku membekap kepalaku dengan bantal. Menangis…

.

.

.

"Petra, ayo…" Levi mengulurkan tangan kanannya.

Aku menggeleng lemah. "Tidak mau."

"Petra…" Ia mulai memohon. He, ini suatu keajaiban. Sejak kapan Levi bisa memohon? "Ayolah. Mempelai pria telah menunggumu di luar."

"Mempelai pria yang kuingin hanya dirimu…" Balasku dengan egois.

"Aku pun…" Ia menatapku dengan intens. "Mempelai wanita yang kuingin hanya dirimu. Tapi, itu dulu. Sekarang sudah tidak bisa, Petra. Karena, kita adalah saudara."

"Kau bodoh…"

"Apa maksudmu?"

"Kau bodoh, Levi. Kau bodoh…" Aku mulai terisak.

.

.

.

Musim gugur, mengingatkanku pada pertemuan pertama kita…

"Petra, makanlah." Levi membawakanku sepiring makanan. "Kau bisa sakit jika tidak makan."

"Tak usah mengkhawatirkanku…" Bisikku pelan.

Levi menghela napas. "Lihatlah dirimu! Semakin hari tubuhmu semakin kurus, wajahmu juga… semakin pucat saja! makan!" Perintahnya padaku. "Tentu saja aku mengkhawatirkanmu, Petra. Jangan bodoh."

"Karena kau adalah kakakku, kan?" Ujarku sarkastik. "Pergilah dari kamarku!"

"Walaupun aku bukan kakakmu, tetap saja aku akan mengkhawatirkanmu, dasar bodoh. Cepat makan." Ia mengambil sendok yang tergeletak di atas piring. "Atau mau kusuapi?"

"Aku bisa makan sendiri." Dengan cepat aku menjawab dan mengambil piring berisikan makanan itu dari tangan Levi. "Sudah, sana keluar."

"Tidak akan, sebelum kau memakan makananmu." Balas Levi dengan tegas.

"Tch…" Aku berdecih tak suka. "Kau keras kepala."

"Dan kau sulit diatur."

"Aku bukan mainan yang bisa kau atur sesukamu."

"Tapi kau adalah adikku dan kau harus mau menuruti kakakmu sendiri."

"Aku tak pernah menganggapmu sebagai kakakku."

"Tapi aku menganggapmu sebagai adikku."

Sial. Kenapa ia bisa membalik semua perkataanku? "Kau terlalu pandai membalik omongan seseorang."

"Kau yang terlalu bodoh karena ucapanmu dapat dengan mudah kubalik."

"Diam!" Nada suaraku meninggi. "Kau membuat telingaku sakit. Cepat keluar!"

Levi mengangkat bahu tanpa tujuan. "Habiskan makananmu."

"Tsk! Baiklah!" Dengan cepat, kumakan semua makanan di dalam piring tersebut. Tak peduli lagi soal kesehatan alat pencernaan atau apapun, yang penting cepat selesai. "Sudah! Sekarang kau bisa pergi?!"

Ia beranjak dari tempat duduknya lalu dengan mengejutkan, ia mengecup dahiku. "Apa-apaan kau?!" Bentakku.

"Tanda sayang seorang kakak kepada adiknya."

"Menjijikan…" Aku tersenyum sarkastik. "Aku benci dan tidak mau lagi mendengar kata-kata soal kakak-adik lagi. Itu menggelikan!"

"Terserah saja…" Levi berjalan menuju pintu dan membukanya. "Selamat menikmati harimu, adikku."

Sial.

.

.

.

Aku sudah di luar. Aku sudah keluar dari tempatku berada tadi. Kenapa bisa? Karena Levi menggendongku secara paksa agar aku mau keluar.

Pakaian ini…

Perhiasan ini…

Buket bunga ini…

Memuakan! Aku ingin membuang semuanya! Apalagi gaun sialan ini, begitu panjang hingga aku kesulitan berjalan. Perhiasan ini juga membuatku muak! Semua orang di sini membuatku muak! Terutama kau, Levi!

Pintu gereja telah terbuka. Tanda sang mempelai wanita—atau aku—harus segera memasuki tempat pernikahan. Aku masih memandang Levi dengan penuh kesedihan. Saat itu, aku disuguhi pemandangan yang amat sangat langka—bahkan belum pernah ada…

Levi tersenyum…

Ia tersenyum. Tipis memang, tapi aku yakin dia tersenyum. Bukan, itu bukan senyum senang maupun bahagia. Itu senyum kesedihan—bukan—itu senyum kepedihan.

Bukan.

Bukan senyum seperti itu yang kuharapkan pertama kali tersungging di bibir Levi. Bukan senyum seperti itu.

Aku membayangkan jika senyum pertamamu adalah—

—senyum bahagia—

—ketika kita berada di atas altar, mengucapkan sumpah setia, menyematkan cincin di jari manis—

—aku ingin melihatmu tersenyum bahagia kala itu, Levi.

Namun, semua itu tak pernah terjadi—

Kenapa? Kenapa kau menyembunyikan semua perasaanmu, Levi?

—tidak—

Air mata menggenang di pelupuk mataku. Kutahan mati-matian, agar orang tuaku tidak marah karena aku merusak make-up lagi. Lagi dan lagi. Ayah telah berdiri di sampingku. Kami mulai berjalan perlahan menuju altar pernikahan.

Kakiku terasa berat. Ini berat. Kulirik sebentar ke belakang. Apa? Levi, kau sedang apa? Melambaikan tangan? Apa maksudmu?

—semua itu tak akan pernah terjadi…

.

.

.

Musim dingin, mengingatkanku pada kamu, yang menyatakan perasaanmu padaku…

"Petra, kau sudah siap?" Ayah bertanya.

Aku tak menjawab. Hanya diam saja, seraya memandang ke arah Levi yang telah memakai kemeja dan jas hitamnya. Apa? Kenapa kau semakin tampan saja, Levi?

Gaun berwarna putih—bukan gaun pernikahan, namun gaun biasa—membalut tubuhku. Rambutku disisir dengan rapi. Aku tidak mau disanggul, karena rambutku memang pendek. Aku tidak mau memakai make-up, namun Ibu tetap memaksa. Sehingga, aku hanya memakai bedak tipis ditambah lipgloss berwarna merah muda.

"Kau terlihat cantik, Petra." Tiba-tiba Levi memujiku.

Aku hanya tersenyum hambar. "Terima kasih…" Tak lama, aku berdiri dan menyambar mantelku seraya mengenakannya.

Aku hampir tersedak ketika melihat Levi mengenakan syal yang menimpa cravat-nya. Bukan apa-apa. Hanya saja, itu adalah syal cokelat pemberianku satu tahun lalu untuk ulang tahunnya. Syal berwarna cokelat dengan tambahan rajutan sayap hitam dan putih…

"Levi, itu…" Gumaman terdengar dari bibirku.

"Kenapa, Petra?" Tanya Ibu.

"Eh?" Aku segera tersadar dan memandang wajah Ibu. "Tidak apa-apa."

Ayah berdiri di pintu depan seraya menatap jam tangannya. "Ayo, cepat. Kita sudah ditunggu oleh keluarga Bossard."

Kalian bisa menebaknya, bukan?

He? Jangan pura-pura bodoh. Iya, ini perjodohan.

Kami sekeluarga—namun Levi tetap tak kuanggap sebagai bagian dari keluargaku—berjalan ke luar dan menuju mobil. Dingin. Sangat dingin. Kau tahu, Levi? Sebenarnya, sejak setahun lalu, aku selalu menunggu musim dingin datang kembali. Agar, kau bisa menyematkanku lagi dengan mantelmu.

Tidak.

Bukan mantelmu.

Aku ingin pelukanmu. Tapi, kenapa musim dingin tahun ini…

… terasa menyedihkan?

Entah kenapa—

—aku seperti tidak ingin—

—musim dingin ada lagi.

.

.

.

Aku yakin mataku sudah sangat memerah. Air mata kutahan mati-matian agar tidak jatuh. Di ujung sana, calon suamiku—walaupun aku tak akan pernah menganggapnya—telah berdiri menunggu kehadiranku—walaupun aku tak peduli dia ingin menunggu selama apapun.

"Kau gugup?" Bisik Ayah.

Aku nyaris saja tertawa sarkastik ketika mendengar ucapan Ayah. Apa-apaan itu? Gugup? Menggelikan.

Ayah tidak protes ketika aku tak menjawab pertanyaannya. Tentu saja. Dia tidak akan mau memarahiku di tempat ramai seperti ini. Memalukan, katanya.

Bermuka dua? Iya.

Langkah demi langkah kujalani menuju altar. Sesak. Setiap langkah yang kupijak—entah kenapa—membuat diriku semakin enggan berjalan. Aku ingin kembali.

Aku ingin kembali ke masa lalu.

Aku ingin mengulang semuanya.

Andai saat itu aku tidak ke taman itu. Andai saat itu aku membawa sarung tangan ataupun syal. Andaikan saat itu kau tidak datang. Andaikan saat itu aku tak memperkenalkan diriku padamu…

Ah, terlalu banyak kata andaikan dalam pikiranku. Aku menyesal…

Kenapa…

Padahal, Levi telah mengajariku agar tak pernah menyesali keputusan apapun yang kita buat. Padahal, Levi sendiri tidak pernah menyesali semua tindakannya…

Tapi kenapa—

—penyesalan masih menguasaiku?

.

.

.

"Selamat datang, Mr. Ral!" Sambut seseorang—yang kuyakin adalah Mr. Bossard—ketika kamu telah sampai di kediaman keluarga Bossard. "Silahkan masuk."

"Ah, Mr. Bossard!" Balas Ayah. "Terima kasih."

Seratus poin untukku.

Rumah itu memang megah. Indah. Mencerminkan kekayaan yang amat sangat. Namun, entah kenapa, aku sama sekali tak tertarik dengan kemegahan ini. Yang membuatku tertarik hanyalah—

—sesosok laki-laki ber-cravat yang sedang meminum teh dengan cara aneh—

—namun tetap terlihat elegan…

Aku mengambil duduk tepat di samping Levi. Bukan. Bahkan, tepat bersebelahan di sofa yang sama. Aku takut. Diam-diam, aku meraih tangan Levi dan mengeratkan genggamanku.

Levi tidak protes.

Tidak…

Bahkan dia balas menggenggam tanganku.

"Nah, Mr. Ral. Ini anakku, Auruo Bossard." Mr. Bossard memperkenalkan anaknya. "Dan yang cantik itu pasti… Petra Ral, bukan? Kau sering menceritakannya akhir-akhir ini."

Pantas saja telingaku tiba-tiba terasa gatal akhir-akhir ini…

"Petra, Auruo. Kami akan meninggalkan kalian berdua di ruang ini. Saling berkenalanlah satu sama lain." Ucap Ayah padaku dan laki-laki bertampang aneh itu—Auruo, maksudku.

Apa…

Tidak mau…

Aku mengeratkan genggamanku pada tangan Levi. "Levi, ayo." Ajak Ayah pada Levi. "Petra, tolong lepaskan genggamanmu dengan Levi. Aku tahu kau gugup."

Jangan, Levi—

Levi memaksakan tanganku agar terlepas dari tangannya, walaupun ia melakukannya dengan selembut mungkin.

—jangan lepaskan aku—

Genggaman tangan kami terlepas. Kali ini, tanganku hanya dapat meraih udara. Tak ada tangan Levi di sana. Tidak ada tangan hangat itu…

—apakah kau tega melepasku?

"Silahkan, Petra, Auruo."

.

.

.

"Namaku Auruo Bossard." Laki-laki itu mengulurkan tangannya padaku.

"Aku sudah tahu…"

"Kau Petra Ral, bukan?"

"Jangan menanyakan hal yang sudah jelas…"

Ia menghela napas pelan. "Kau... kenapa?" Tanyanya padaku.

Kedua irisku melebar. "Kenapa?" Ucapku sarkastik. "Kau tanya kenapa?! Aku tak pernah mau menyutujui hal ini. Penjodohan. Ini menggelikan. Aku tak akan pernah mau melakukannya, kecuali jika dengan Levi."

Auruo terlihat sedikit terperanjat, namun berusaha tetap tenang. "Levi siapa?"

"Dia, yang tadi duduk di sebelahku." Ucapku.

"Bukankah dia kakakmu?"

"Lantas?"

"Bukankah itu tidak boleh?"

Aku tertawa. Tertawa sarkastik lebih tepatnya. "Dia bukanlah kakakku, sampai ia diadopsi oleh Ayah dan Ibu. Mereka memang jahat! Mereka lebih memandang harta, jabatan, dan martabat. Mereka tak pernah melihat apa itu cinta yang tulus. Tidak pernah…"

Dia terdiam.

Dan aku memang tak butuh jawaban…

.

.

.

"Jadi bagaimana, Petra? Auruo?"

Auruo tersenyum samar. "Bagaimana… apanya?" Tanyanya polos.

Orang tua kami berdua tertawa. "Apa kalian sudah merasa cocok? Bilang saja pada kami, kapan pernikahannya akan dilangsungkan?"

Aku tersedak teh yang kuminum. Dengan sigap, Levi mengambil saputangan miliknya dan mengelap bibirku dan tanganku yang terkena tumpahan teh.

Jangan berlaku baik padaku—

"T-terima kasih…"

—tahukah kau, Levi? Itu membuatku berharap…

"Ada apa, Petra?" Ayah menginterupsi adegan romantis di antara aku dan Levi. Sial.

"Pernikahan?" Aku balas bertanya. "Apa tidak terlalu cepat untukku? Aku tidak mau." Mataku melirik ke arah Levi yang ternyata juga sedang memandangku. Aku menangkap sorot keterkejutan di matanya, walau tak terlalu terlihat.

Levi sama terkejutnya denganku.

"Ya, pernikahan. Kalian ingin melangsungkannya dimana? Kapan? Bilang saja." Ucap Ayah. "Dan, Ayah rasa ini tak terlalu cepat untukmu, Petra. Umurmu saja sudah masuk kepala dua. Sudah sepantasnya kau memilih pendamping hidup."

Levi.

Aku ingin Levi.

"Jadi?"

Aku menghela napas lelah. "Baiklah. Memang mungkin aku sudah pantas memilih pendamping hidup, tapi tidak sekarang."

"Lalu kapan?" Tanya Ayah lagi. "Oh, bagaimana kalau kita mendengar pendapat Auruo?"

Auruo tersenyum simpul. "Aku hanya tergantung dengan Petra."

"Bisakah aku…" Menimbang-nimbang, antara takut dengan reaksi mereka nanti akan omonganku, dengan keuntungan apabila mereka mempersilahkan. "Membicarakan ini dengan Levi? Yah, kalian tahu, tak ada salahnya mendiskusikan hal ini dengan…"

Aku menelan ludah. "… Kakak."

Orang tuaku terlihat tak suka. Namun, karena mereka tak ingin memperpanjang masalah, dengan mudahnya mereka mengangguk. Lagipula, keluarga Bossard ada di sana. Mana mungkin Ayah dan Ibu tega menghancurkan wibawanya di depan mereka.

Sarkasme? Mungkin.

Levi dan aku berjalan beriringan ke luar dari ruangan tersebut. Setelah dirasa aman tanpa bisa dicuri dengar atau apapun, aku menjatuhkan diriku di kursi yang ada. Menunduk. Frustasi akan semua ini. "Aku harus apa, Levi?" Tanyaku dengan suara bergetar, menahan tangis yang akan meledak.

Satu tepukan lembut mendarat di kepalaku. Hangat, nyaman, dan… menenangkan. "Lakukanlah apa yang kau ingin lakukan."

"Seperti menikah denganmu?" Aku tak lagi peduli pada gengsi wanita. Aku ingin mengucapkan apa yang ingin kuucapkan pada Levi. Karena dengan gengsi itu sebelumnya, aku jadi kehilangan sosok Levi.

"Lakukan apa yang ingin kau lakukan, kecuali apapun yang menyangkut diriku. Tidak bisa, Petra. Kita tidak boleh bersama." Usapan jari-jari menggelitik indera perasaku. "Ini garis takdir kita. Dan, kita tak bisa melakukan apapun selain menerimanya."

Aku menenggelamkan wajahku pada kedua telapak tanganku, menangis dan menangis. Levi berlutut di depanku, berusaha mensejajarkan tubuhnya dengan tubuhku, mengelus lembut suraiku, dan memberi kecupan singkat pada dahiku.

"Levi…" Aku terisak pelan. "Suatu saat nanti, kau juga akan menikah dengan perempuan lain, bukan? Apa itu artinya… kau akan melupakanku?"

Levi menggeleng pelan. "Aku tak akan menikah…"

"Tapi kau harus!"

"Aku tidak mau, Petra."

"Tapi, kalau begitu… aku…" Pernyataan Levi tadi tidak membuatku senang, namun membuatku merasa egois karena hanya akulah yang akan menikah. "Aku semakin merasa bersalah. Aku semakin merasa mengkhianatimu, Levi."

"Sejak awal, tak ada yang bersalah."

.

.

.


TBC~


Minna~ ketemu lagi sama saya setelah fic pertama saya yang berjudul "Complicated"

Terima kasih atas reviewnya dan para silent reader di sana *kissu*

Dan kali ini saya coba bikin fic Rivetra dengan genre favorit saya yaitu "angst" :"v saya sebenernya bingung mau naruh ini di rating T tapi takut nyerempet ke M jadi untuk sementara saya kasih rating T dulu ya~

Last but not least, mind to review?