Pintu gerbang kota dibuka, masuklah para Scout Legion ke dalam tembok. Seperti biasa wajah-wajah suram dan pucat menghiasi para pahlawan yang kalah perang. Mereka selalu kalah perang, menyeret serta gerobak yang berisi tumpukan mayat mereka yang tidak mendidih di dalam perut Titan.

Seorang pemuda memandangi para prajurit itu berjalan pulang ke barak dengan kedua tangan berselingkap. Mulut terbungkam rapat dengan kedua alis mengkerut. Matanya yang biru memandangi para prajurit bermantel hijau satu persatu, mencari seseorang dibalik tirai manusia.

"Bagaimana? Ada Karen di sana?" seseorang di sebelah pemuda itu terasa begitu cemas.

Baru ketika pemuda itu melihat seorang perempuan berambut pirang, berjalan gontai dengan sorot mata yang tak fokus, ia menjawab. "Ya, Heskey, sepertinya adikmu baik-baik saja."

"Mana?" temannya semakin tidak sabar. Kemudian ia melihat perempuan pirang itu di belakang gerobak berisi tumpukan mayat dibungkus kain putih dipenuhi bercak darah. Gadis itu nyaris tidak dikenali oleh keluarganya sendiri. Sorot matanya yang dahulu bersinar penuh semangat, kini redup seperti lilin yang meleleh. Dulu Karen berjalan dengan tegap, dihiasi senyum optimis. Kini kedua tangannya terkulai lemas, gontai seperti tidak makan berhari-hari. Mungkin dia memang tidak berselera makan sehingga jalannya lemas begitu.

"Ah, itu dia." Heskey si teman, tampak lega, "Syukurlah dia selamat tanpa kekurangan apapun."

"Aku tidak tahan dengan kebodohan para militer. Apa yang dilakukan para inteligen di sana? Bukannya mengalami kemajuan, malah membuat ajang bunuh diri mati dengan bodoh." Serge, si pemuda itu menggerutu.

Malam itu Heskey muncul di balik pintu rumah Serge dengan wajah pucat. Tentu saja wajahnya itu membuat Serge membaca ada yang salah. Namun daripada berbicara, Heskey malah mendesak Serge untuk cepat-cepat mengikuti dia. Walau tidak tahu apa yang telah terjadi pada Heskey, namun sepertinya lebih baik tidak banyak bertanya. Serge segera mengambil jaketnya dan mengikuti Heskey. Malam itu jalanan begitu sunyi dipenuhi kabut. Jalanan berbatu yang becek dilintasi dua orang yang bergegas dicekik cemas.

Sampai di pintu rumah, mereka berdua disambut oleh ibu Heskey yang wajahnya sama-sama pucat. Seperti Heskey, si ibu juga tidak banyak bicara, hanya mendesak mereka untuk naik ke lantai dua.

"Cepat, Serge." desak Heskey, masih pucat.

Tak mengetahui apa yang terjadi, namun mengetahui di lantai dua terletak kamar Karen, perasaan Serge langsung tidak enak. Sambil berharap tidak ada sesuatu yang gawat terjadi, Serge melangkah secepatnya sampai ke dalam kamar Karen, membuka pintunya lebar-lebar dan melihat Karen meringkuk di atas kasurnya. Di atas lantai di sisi kasur, terlihat ada genangan berlendir disertai aroma khas makanan yang telah bercampur dengan enzim pencernaan.

Pemandangan yang memilukan bagi Serge melihat Karen seperti itu. Serge mengenal Karen sejak kecil, perempuan itu selalu tangguh, suka tantangan dan pemberani. Namun kini, ia tidak lebih seperti seorang anak kecil yang dilanda mimpi buruk selama seminggu berturut-turut dan mimpinya semakin buruk saja.

"Karen ..."

Karen tidak berkedip memandang Serge di bawah kusen pintu kamarnya, di sisinya berdiri si abang, Heskey. Sejenak mereka menyadari betapa lemah mereka sebagai manusia. Begitu lemahnya sampai-sampai mereka tidak tahu apa yang terjadi dan harus bagaimana.

"Serge ..." itulah kata pertama yang diucapkan Karen sejak dia berhenti bicara. Dan kata-kata itu bagai sebuah lubang dalam bendungan yang bocor, air mata Karen bercucuran jatuh dari matanya. Ketika dia mulai terisak, Serge segera masuk ke dalam kamar dan memeluk perempuan itu. Karen pun menangis seperti bocah sambil memeluk Serge dengan erat.

Selama empat jam lamanya Karen menangis seperti itu, kini semua emosi yang menggumpal dalam hati dan pikirannya mencair keluar. Karen pun duduk di meja makan dan melahap makanan yang tersedia. Karena keadaan sedang sulit, mereka hanya punya sup kacang merah dan ubi. Tapi tentunya Karen makan lebih banyak dari biasanya.

Sabar menunggu menahan kantuk, Serge menahan diri untuk bertanya-tanya. Tapi tentunya dia bisa menebak, Karen trauma berhadapan dengan Titan. Dan ketika gadis itu bercerita, hal itu memang memuakkan. Siapa yang tidak trauma melihat teman-temannya dimakan hidup-hidup? Terlebih cara Titan itu makan bukan seperti manusia memakan coklat batang. Mereka menggigit bagian tubuh manusia, dan mencabutnya sampai lepas. Mencabut sampai lepas. Kadang tulang punggung terbawa, terlepas dari tulang pinggul. Menyeret serta usus dan lambung serta sisi badan lainnya.

Belum selesai bercerita, Karen berhenti seketika. Lalu dia mengusap dahinya sambil menundukkan kepala. Punggung gadis itu gemetar.

Serge meletakkan telapak tangannya di atas bahu Karen, "ya sudah. Tidak usah dilanjutkan. Bagus kau sudah keluar dari sana. Tidak usah kembali lagi."

"Tapi, Serge ..." sela Karen, "Kalau kita tidak melawan, kita semua akan mati. Cepat atau lambat."

"Aku tahu."

"Aku tidak mau mati. Aku ingin melawan para Titan itu agar kita semua bisa hidup seperti ratusan tahun lalu. Bumi ini milik kita, aku hanya ingin mendapatkan kembali apa yang telah direngut dari manusia."

Serge menghela napas. Sudah bosan dia mendengar itu dari Karen. Dan sudah bosan pula dia melarang Karen dan memberi penjelasan semasuk akal apapun. Karena Karen takkan mau mendengar. Tapi, ini demi kebaikan, ia harus mengatakannya. "Sekarang kamu sudah buktikan sendiri bahwa Scout Legion itu ide konyol. Semua tentang pelatihan militer ini ide yang bodoh. Dengarkan aku dan lupakan itu semua."

"Oh, kau pintar sekali yah, tuan Serge Jenius. Ini bodoh, itu bodoh. Semua orang konyol kecuali dirimu. Sementara faktanya, sementara semua orang mengorbankan nyawanya mati mengenaskan, kamu hanya bersembunyi dalam kurungan sambil duduk ongkang-ongkang kaki menunggu makan malam." Karen membalas.

"Hei, aku tidak sembarangan bicara. Bila aku bilang mereka bodoh, mereka memang bodoh dan aku bisa menjelaskan itu."

"Dengan kata lain, tak ada yang lebih pintar selain dirimu!"

"Aku tidak mengatakan begitu."

"Kau memang begitu sejak dulu, siapa sih yang tidak bodoh di matamu?" Karen masih akan menyerocos lebih banyak lagi bila Serge tidak menggenggam erat kedua lengannya.

"Dengar, Karen, sejak kau keluar satu bulan lalu, aku menghabiskan hidupku dalam depresi dan kecemasan. Aku cemas kau tidak kembali, setiap malam bermimpi buruk terjadi sesuatu padamu di luar sana. Dan setiap hari aku berharap bila kau harus mati, setidaknya tubuhmu kembali dalam keadaan utuh karena mati jatuh dari kuda, bukan karena Titan. Dan kini kau kembali tanpa kekurangan satu apapun ... aku harus tegaskan bahwa aku tidak ingin bertengkar denganmu. Apapun alasannya. Jadi, bisakah kita menghindari pertengkaran?"

Selama sepuluh detik yang panjang, mereka berdua hanya saling menatap. Kemudian Karen melepaskan napasnya dengan berat. Salah satu tangannya naik ke dahi dan memijit kepala. Setelah itu ia memberikan senyuman yang paling manis untuk Serge, "selama di sana, aku juga ingin pulang. Ingat kamu terus."

"Nah, begini kan lebih baik." Serge mengembangkan senyumnya.

"Peluk aku, Jenius." Karen lalu menelusup manja ke dalam pelukan Serge. Kedua lengan pemuda itu melindungi gadisnya dan bibirnya mencium rambut pirang Karen.

bersambung ...