.
.
.
.
.
Please Be Cute For Me!
Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki
.
.
.
.
"Okinasai yo. Buatkan aku sarapan."
Sesuatu yang keras dan dingin menyentuh leherku, membuatku refleks membuka mata. Sekuat tenaga kukumpulkan kembali kesadaranku yang masih bertebaran di alam mimpi. Cahaya matahari pagi yang mendadak menyerang mataku membuatku silau, menghalangi pandanganku terhadap wajah pelaku yang sedang menodongku dengan, err– senjata tajam.
"Dalam 20 menit, sarapanku harus sudah siap."
Ia menarik kembali senjatanya dari leherku lalu beranjak keluar dari kamarku.
Oke, aku sadar hari ini adalah hari Minggu. Hari dimana bagi sebagian orang adalah hari untuk melepas stress dengan beristirahat dan berlibur. Namun, itu tidak berlaku bagiku.
"Oi, kau bisa membangunkanku dengan cara lain kan? Lagipula anak kecil tidak boleh bermain dengan benda tajam, tahu."
Aku bangkit dari tempat tidur dan mengucek mataku. Tak kusangka, orang tadi lalu memutar tubuhnya kembali menghadapku.
"Kau tidak akan bangun kalau tidak kubangunkan dengan cara seperti tadi. Jangan banyak membantah dan ikuti saja perintahku."
"Hai.. Hai.."
Aku hanya mengangguk pasrah dan menatap punggungnya yang berjalan keluar kamar.
Kau tahu, dialah orang yang membuat hari Mingguku berbeda dengan orang lain. Di hari biasa, aku bisa hidup normal sebagai siswi kelas 3 SMA Rakuzan, dengan prestasi rata-rata. Namun, jika di hari Minggu, aku menjelma menjadi seorang pelayan yang mau tidak mau harus melayani seorang bocah tengil bertubuh pendek –walaupun tidak kupungkiri aku pun masih lebih pendek darinya, yang tidak lain adalah adikku sendiri, Akashi Seijuuro.
Yosh, kegiatan pertama yang harus kulakukan hari ini adalah memasak sarapan untuknya. Sup tofu murni lagi, eh? Mochiron! Aku tidak mau mengulangi kesalahan lagi seperti minggu kemarin, di saat pipiku hampir saja terjilat ujung guntingnya hanya karena aku membubuhkan sedikit rumput laut di sup tofu kesukaannya.
Aku menghela nafas pelan dan berjalan menuju dapur. Di ruang tengah yang berbatasan langsung dengan dapur, aku menemukannya sedang asyik bermain shogi sendirian melawan dirinya sendiri. Kadang aku berpikir, kalau dia sudah begitu, dia mirip seperti orang tua kurang kerjaan. Tentu saja aku tidak boleh mengungkapkannya langsung kalau masih sayang nyawa.
"Kenapa lihat-lihat? Kau berpikir aku seperti orang tua lagi?"
Ia tiba-tiba berkata tanpa menoleh. Aku terkesiap. Cih, dia memang anak aneh, apapun yang aku pikirkan selalu tertebak dengan tepat.
"Ah tidak apa-apa. Tunggu sebentar ya, aku siapkan dulu sarapanmu."
"Cepatlah. Dan ingat, jangan sampai kejadian minggu kemarin terulang lagi."
Uh tidak bisakah dia bersikap sedikit manis di depan kakaknya? Aku ini sudah ikhlas lahir batin menjadi pelayannya sejak kecil, berharap dia menjadi adik yang imut bagiku. Namun, jangankan imut, memanggilku kakak saja tidak pernah. Itulah sebabnya, belakangan ini aku mulai putus asa berharap padanya dan ikut-ikutan tidak mau menyebut namanya. Dan jangan tanya kenapa aku masih juga mau menuruti perintahnya walaupun aku sudah putus asa, karena aku sendiri pun masih berusaha mencari tahu jawabannya.
Kembali kuhela nafasku, lalu melanjutkan kegiatan memasakku. Sambil memasak, sesekali aku melirik kepadanya, memastikan bahwa ia tidak sedang mengawasiku. Iblis berpostur badan kecil itu masih terfokus pada papan shogi di hadapannya.
Tidak butuh waktu lama bagiku untuk memasak sup kesukaannya ini. Aku sudah terlatih karena setiap Minggu pagi memang inilah rutinitasku, membuatkan sarapan sup untuknya. Tetapi kali ini aku meningkatkan kewaspadaanku agar tidak ada lagi kejadian yang mengancam nyawaku. Setelah kurasa cukup, aku pun memanggilnya.
"Nee, aku sudah selesai. Kau mau seberapa banyak?"
Aku sudah bersiap mengambilkan porsi sarapannya dan dia tidak menjawabku. Bagus, sekarang aku diabaikan. Rasanya sudah habis kesabaranku menghadapi bocah arogan satu ini. Aku berdecak pelan untuk mengungkapkan rasa kesalku.
"Aku sudah susah payah membuatkanmu sarapan dalam keadaan ngantuk dan belum mandi seperti ini. Setidaknya tolong jawab a–"
Sebelum aku menyelesaikan ucapanku, tahu-tahu ia sudah berada di sebelahku, menahan tanganku yang sedang memegang sendok. Aku sedikit berjengit, menggeser tubuhku menjauhinya akibat kehadirannya yang tiba-tiba itu. Dari jarak sedekat ini, tatapan intimidasi yang senantiasa menghiasi kedua manik berbeda warnanya itu terasa sangat kentara. Membuat setiap orang yang ditatapnya merasa dipojokkan, tak terkecuali diriku yang sudah tinggal bersamanya sejak lahir.
"Sudah kau pastikan tidak ada kesalahan dalam masakanmu kan? Minggu kemarin kau sudah membuatku trauma."
Dan kau juga sudah membuatku trauma akibat gunting yang kau hunuskan kepadaku, bocah sial.
"Cicipi saja sendiri. Sekarang kupastikan tidak ada kesalahan."
Kuberikan sendok yang kupegang padanya. Namun bukannya mengambil sendok dariku, ia malah menuntun tanganku untuk menyendokan sup dan menyuapkannya ke mulutnya. Aku terperanjat oleh tindakannya yang aneh itu. Ia tampak menyesap pelan rasa sup yang kubuat sambil memejamkan matanya. Dan ini pertama kalinya aku melihatnya seperti ini.
Hening. Melihatnya tidak bergerak, aku memanfaatkan kesempatan itu untuk memandangi wajahnya. Dan apa yang kutemukan sungguh di luar akal sehatku. Di mataku sekarang, dia terlihat.. sangat imut! Dengan mata terpejam dan seulas senyum tipis yang bertengger di wajahnya, dia seolah menghapuskan rasa rinduku terhadap sisi lain dirinya yang manis! Ah ini dia adik idamanku~~
Aku terpana karenanya, namun segera kusadarkan diriku dari lamunan memabukkan itu. Tidak mungkin, tidak mungkin dia dengan mudah berubah menjadi tipe adik yang selama ini aku dambakan! Bagi iblis sepertinya, memasang wajah imut untuk memperdaya kakaknya yang mulai memberontak bukanlah hal yang sulit kan?
"H-hei..? Sudah selesai?"
Aku berusaha memanggilnya ketika sudah hampir 20 detik kami berdua tidak bergerak. Entah kenapa melihatnya dalam keadaan imut seperti ini justru membuatku ngeri.
Perlahan ia membuka kembali matanya.
"..Sup tofu buatanmu memang yang paling enak."
Ia berbisik teramat pelan, namun masih bisa tertangkap gendang telingaku. Bisikannya itu tentu saja membuatku kaget bukan kepalang. Aku menatapnya, meminta penjelasan lebih. Barusan dia.. memujiku? Tidak mungkin kan? Biasanya dia hanya mengangguk datar setelah mencicipi sup yang sudah kusajikan di dalam mangkuk kepadanya dan tidak berkomentar apapun.
"Sudahlah, lupakan saja. Aku akan mengambilnya sendiri nanti. Kau mandi saja, dan harus selesai dalam 10 menit."
Ia melepaskan tanganku dan bergegas kembali ke depan papan shoginya. Kembali ke tabiat aslinya. Ah benar, sepertinya aku tadi hanya berhalusinasi.
.
.
.
.
"Untuk hari ini saja, kubebaskan kau dari tugas. Tapi sebagai gantinya, kau harus tetap duduk manis disini, apapun yang terjadi. Jangan membantah."
Pergerakan tanganku yang sedang mengeringkan rambut dengan handuk terhenti oleh ucapan absurd adikku itu. Ia menepuk-nepuk sofa di sebelahnya, menyuruhku untuk duduk disitu. Ternyata memang ada yang aneh dengan dirinya hari ini. Ingin sekali aku bertanya, namun kuurungkan ketika tiba-tiba di otakku terlintas pikiran bahwa ia tidak akan segan membuatku menderita dengan cara apapun jika aku sedikit saja salah bertindak.
"A-ah baiklah. Tapi aku ambil sarapanku dulu."
Aku hendak berjalan menuju dapur untuk mengambil sarapan namun langkahku terhenti ketika melihatnya bangkit dari duduk dan menatapku tajam.
"Turuti saja perintahku. Biar aku ambilkan untukmu."
Aku terpaku di tempat. Malaikat apa yang sedang merasukinya saat ini? Sejak kapan dia mau melakukan tugas 'pelayan' untuk melayani 'pelayannya' sendiri? Ah yah, sudahlah. Untuk sekarang kuturuti saja dulu.
Aku pun bergegas duduk di sofa yang ditunjuknya tadi. Tak berapa kemudian, dia datang kepadaku dengan semangkuk penuh sup tofu yang membuatku speechless seketika. Mangkuk itu terisi penuh sekali sampai-sampai bila aku mencelupkan satu lagi tofu kesana, dipastikan kuahnya akan meluber, tumpah dari mangkuk. Ia lalu menaruh mangkuk tersebut di pangkuanku dan duduk di sebelahku, mulai berkonsentrasi kembali dengan permainan shogi. Aku hanya dapat memandang horor mangkuk sarapanku. Ini bukan porsi manusia.
"Aku tidak bilang kau harus menghabiskannya sendiri."
Refleks aku menoleh kepadanya. Ia masih menatap papan shogi. Kemampuan membaca pikirannya memang sangat mengerikan. Lalu buat apa semua ini?
"Aku juga belum sarapan."
Ragu-ragu aku bertanya.
"..Lalu?"
"Suapi aku juga. Aku tidak ada waktu untuk makan sendiri."
Dan jika aku tidak salah lihat, sebelum ia memalingkan wajahnya ke arah lain, ada semburat tipis di kedua belah pipinya. Aku pun mengerjapkan mataku. Mimpi apa aku sekarang? Tidak mungkin iblis di sebelahku ini tiba-tiba berlaku layaknya seorang adik yang manis! Dan apa-apaan alasan tidak masuk akal tadi? Jelas-jelas dia sangat punya waktu untuk makan sendiri, melihat kegiatannya sekarang hanya bermain shogi. T-tunggu, aku masih harus waspada. Aku tidak boleh terhanyut dalam suasana. Sebisa mungkin, aku harus tetap tampak seperti biasanya.
Akhirnya aku hanya mengangguk. Dengan hati-hati, kuambil sesendok sup untuk kusuapkan kepada diriku sendiri, lalu sesendok lagi untuk adikku.
"Se–, eh, ini untukmu. Kemarilah."
"Aku sudah tahu. Tidak usah memerintahku."
Ah kutarik lagi kata-kataku. Dia memang tidak ada manis-manisnya sama sekali.
Meskipun begitu, ia tetap melahap sup yang kusodorkan padanya, lalu kembali menekuni shoginya. Kusendokan kembali sesuap untukku, lalu sesuap untuknya, begitulah seterusnya sampai isi mangkuk tinggal separuh. Kami berdua makan dalam diam.
Tidak tahan dengan kecanggungan ini, akhirnya dengan keputusan yang sudah kepertimbangkan masak-masak, aku memberanikan diri untuk bertanya kepadanya.
"Hei. Kenapa kau meliburkanku?"
Mendengar suaraku, ia pun menghentikan permainannya. Ia kemudian melipat kedua tangannya di depan dada dan menyandarkan tubuhnya ke sofa.
"Kau tidak suka kuliburkan?"
"B-bukan begitu maksudku. Aku hanya.. ingin tahu alasannya. Dan juga, kau tampak berbeda hari ini. Mungkin sedikit.. manis?"
Sejurus kemudian aku langsung mengutuki diriku sendiri yang keceplosan mengatakan dia manis. Perkataanku itu sudah menarik perhatiannya secara penuh, terbukti dengan dirinya yang langsung menoleh ke arahku dengan tatapan intimidasi andalannya. Untuk menutupi rasa grogiku, aku langsung menyendokkan beberapa tofu sekaligus ke dalam mulutku, berusaha bersikap biasa. Namun belakangan aku sadar, memang itulah yang dilakukan banyak orang yang sedang grogi sehingga malah semakin terlihat aneh.
"Kau melupakanku. Aku belum dapat jatah."
Ia menyeringai kepadaku. Ah ya benar, aku lupa kalau dia juga butuh makan.
"G-gomen.. Ini untukmu."
Aku segera menyuapinya kembali yang langsung disambut oleh lahapannya.
"Kupikir kau juga butuh liburan."
Aku menghentikan kunyahanku. Hee, siapa sangka seorang iblis seperti dia masih punya hati?
"Tidak usah kau ulangi berkali-kali, aku tahu aku ini iblis. Atau kau memang ingin sekali tugasmu kulipatgandakan?"
"Tentu saja tidak!"
Pertanyaan itu refleks kujawab dengan tegas. Tentu saja, karena aku sudah capek menjadi pelayannya. Aku ingin sekali bilang kalau aku ingin diperlakukan sebagai kakaknya. Aku rela menjadi pelayan selamanya asalkan ia mau menjadi adikku yang sesungguhnya walaupun hanya sehari. Namun lagi-lagi, tekanan yang kurasakan dari aura diskriminasinya membuatku tetap bungkam.
"..Apa aku terlalu berlebihan padamu?"
Aku menoleh padanya. Kudapati sosoknya yang sedang memandangku lekat-lekat. Entah kenapa, aku merasa walaupun tatapannya tajam seperti biasa, namun kali ini tersirat kelembutan, membuatku akhirnya luluh dan tidak bisa lagi menahan lebih lama semua perasaan jengkelku padanya selama ini.
"Ya, kurasa. Kau sangat-sangat menjengkelkan. Kau tidak segan mengacungkan benda tajam kepadaku sampai-sampai selama ini aku berpikir kau tidak menganggapku sebagai kakakmu. Tapi meskipun kelakuanmu begitu, aku tetap berusaha bertahan melayani semua keegoisanmu, berharap kau akan mengerti suatu saat nanti bahwa aku sangat menyayangimu sebagai adikku. Tapi sepertinya saat itu tidak kunjung tiba, ya."
Mungkin jika orang-orang tahu pembicaraanku dengannya, mereka akan mencapku gila. Semua orang tahu akibatnya jika berani melawan adikku ini. Namun, sekarang aku memang sudah tidak tahan. Aku tidak peduli bila dia akan mencabik-cabik tubuhku dengan bebagai macam gunting yang dia punya, yang terpenting sekarang adalah membuatnya memahami apa yang kurasakan kepadanya. Aku sadar, dia tidak akan pernah mengerti jika bukan aku sendiri yang mengatakannya langsung.
Aku terus menatap mangkuk sup yang kupangku sambil terus mengaduk-aduk isinya. Saat ini aku sudah tidak berselera makan. Aku sibuk menguatkan mentalku untuk menyiapkan diri menerima hukuman yang mungkin akan kuterima darinya.
"Itukah yang akhir-akhir ini menyebabkanmu tidak pernah lagi memanggil namaku?"
Ah ternyata dia cukup teliti untuk menyadarinya. Kukira dia tidak akan memperhatikan hal sepele semacam itu. Kenapa juga tidak dari dulu dia membaca pikiranku tentang itu?
"Kau sendiri tidak pernah memanggilku kakak."
Dan perlahan ia beringsut mendekatiku. Sembari mengelus kepalaku, ia mulai membisikan kata yang membuatku tercengang.
"Kau tahu alasan sebenarnya aku meliburkanmu hari ini? Tentu saja karena aku ingin memberikanmu servis sebagai kakak, sebagaimana yang kau inginkan. Jadi hari ini kau bebas memintaku apa saja, asal kau tidak melanggar perintahku untuk tetap duduk manis disini seharian, di sisiku. Dan tetaplah memanggilku seperti biasa. Ini perintah."
Ia menyandarkan kepalanya di bahuku, membuat pipiku merona.
"Onee-chan, daisuki."
Detik itu adalah saat yang sangat bersejarah bagiku. Untuk pertama kalinya aku mendengarnya memanggilku kakak. Dan aku sangat bahagia karenanya.
.
.
.
.
Owari
.
.
.
.
Omake~~
"Nee, Sei-chan, ayo panggil aku lagi~"
Aku sudah menyiapkan handphoneku untuk merekam Sei-chan, yang kini sudah kudandani habis-habisan dengan neko mimi beserta neko paws, lengkap dengan kostum pelayan berekor dan kaus kaki motif garis yang menutupi seluruh kakinya. Sayang sekali jika hari bersejarah ini tidak diabadikan, kan?
"O-o-.. O-onee-ch-chan.."
"Mou, kau terlalu kaku! Ulangi lagi ya, rileks saja!"
"O-o-onee-chan.."
"Sedikit lagi sempurna! Sei-chan, ganbatte ne!"
"Onee-chan.."
"Kyaaaaaaaa~~ Hontou ni kawaii~~~"
Akhirnya aku dapat rekaman yang sempurna! Sei-chan terlihat sangat sangat sangat imut dengan wajahnya yang sedang blushing parah~~ Aku tidak tahan untuk tidak berputar-putar kegirangan karenanya.
"Sudah cukup! Aku memang bilang akan memberimu servis, tapi ini sudah kelewat batas!"
"Hee nani? Kau mau lagi, Sei-chan~? Kalau begitu tambahkan tehee di belakangnya ya?"
SREK
Sebuah gunting meluncur begitu saja tepat di sebelah wajahku dan langsung menancap di tembok. Glek, seketika aku diam mematung.
"Kau ingin kubunuh, onee-chan?"
Sebuah seringaian iblis mengembang di wajahnya.
"I-iie.. Sumimasen.."
.
.
.
.
Okee, masih fic tentang obsesi saya terhadap adik dan kali ini saya lampiaskan ke sang kapten sadis :D
Btw, ini request dari Ruu nyan. Sekalian kemauan saya juga sih, soalnya menurut saya menantang hahaha~~ Gomeeeen kalo di fic ini masih banyak kesalahan, entah itu alurnya kecepetan atau Akashinya jadi OOC, dan yang paling penting lagi typo(s) ;_;
Oleh karena itu, saran dan kritik dari reader-san sangat saya harapkan :D dan terima kasih sudah mampir di fic ini ;)