.
.
.
.
Kesenangan di Antara Dua Dunia
—What's Happening Beside You—
Chapter 1 . Hotel
.
The Creation-Story and Opening Quotes © Yoshina Vanatala
VOCALOID © Yamaha Coorporation, beserta perusahaan lainnya yang berhak membuat dan memiliki mereka semua
I don't receive any benefits of this fanfiction. Just be fun.
Dan fanfiksi ini terpisah dan tidak ada hubungannya dengan What Did You Say, meskipun di sini Kaito juga adalah anak kuliahan.
Okay, enjoy!
.
.
.
.
"When you hear it, can you feel its darkness, b**ch?" — Darkana Asmodeus
.
.
.
.
Aku Shion Kaito hanyalah seorang pemuda yang normal—berencana akan masuk ke sebuah universitas ternama. Ingin pergi merantau jauh dari orang tua, gara-gara 'ngidam'. Well, itu kalimat yang aneh. Jadi, lupakan.
Tapi sebenarnya, ada yang berbeda dariku. Bukan berarti aku ini kelainan fisik atau mental ya! Ingat itu!
Aku bermigrasi ke kota karena aku trauma berlama-lamaan di kampung—pedesaan identik dengan hal-hal yang berbau mistis, Teman. Apalagi kampung halamanku punya seekor serigala yang entah sebenarnya tinggal di mana. Hanya terdengar suaranya dari rumah.
Well, itu hanya alibi. Sebenarnya aku hanya trauma gara-gara di kampung, aku sering dipaksa orang tuaku untuk ikut mencangkul di sawah. Itu pun sebenarnya bukan sawah milik keluarga, melainkan cuma numpang minta upah. Berpanas-panas, berpeluh-peluh, kulit semakin hitam, rambut semakin kribo, cuma dapat duit 10 ribu. Apa kata dunia, coba!
Duh.
Baiklah, bukan itu cerita kita kali ini.
Sayangnya, aku tinggal di apartemen yang damai tentram tanpa ada hal-hal sejenis hantu gentayangan atau yang lainnya. Jadi, aku pun hidup dengan normal di apartemen baruku.
Kok sayangnya?
Tampang polos-polos ganteng begini, sebenarnya aku termasuk orang yang tertarik dengan hal-hal gaib. Hantu, momok, monster, aku tertarik pada mereka. Yah, mungkin terkecuali monster. Aku masih sedikit merasa ngeri jika aku harus bertatap muka dengan mereka. Muka mereka biasanya 'kan hancur, dan berdarah-darah. Nista banget dah.
Aku sering bertemu dengan hal-hal seperti itu di kampungku. Apalagi ketika aku mendengar ada lolongan serigala atau gonggongan anjing di dekat rumahku. Itu pertanda bahwa ada "sesuatu" di sekitarku. Aku sedikit menyayangkan karena aku harus meninggalkan mereka untuk beberapa tahun ke depan.
Dan aku berharap, aku akan menemukannya lagi di kota ini.
Pagi itu aku datang ke kampus dengan muka berseri-seri. Seperti kebanyakan mahasiswa baru yang akhirnya berhasil terdaftar dengan resmi di antara kalangan mahasiswa universitas yang elit ini. Aku takkan menyebutkan apa jurusanku, karena kupikir itu tidak penting. Dan bukan inti dari cerita ini.
Lalu aku memutuskan untuk bergabung dengan klub Ilmu Gaib. Atau mungkin sejenis Klub Pencari Hantu. Oke, baru kutahu ada klub seperti ini di universitas! Betapa menyenangkannya!
Di sana, aku menemukan banyak orang yang serupa denganku—serupa dalam minat terhadap kegaiban. Kami saling berbagi cerita, berbagi info, berbagi gambar, sampai bersama-sama mengunjungi tempat berhantu.
Seperti yang terjadi beberapa bulan setelah aku masuk universitas. Semester dua pada saat musim panas. Karena sedang libur, kami memutuskan untuk mengunjungi sebuah tempat berhantu. Dan itu adalah sebuah hotel yang terbengkalai.
Kami sudah melakukan berbagai macam riset di Internet—dan juga meminta pendapat orang-orang mengenai hotel itu—dan menemukan banyak laporan tentang penampakan hantu di sana.
"Ada salah satu kamarnya yang menjadi tempat seseorang bunuh diri. Dan arwahnya masih gentayangan di sana sampai sekarang."
"Kami mendengar sebuah suara aneh di lantai tiga."
"Karena tidak menemukan apapun, kami memutuskan untuk pergi meninggalkan tempat itu. Tapi tiba-tiba kami melihat sebuah bayangan yang berdiri di salah satu jendela kamar lantai tiga ketika kami di luar hotel."
"Tempatnya banyak kecoa, cyin! Duh, eike jijik dech!"
Baiklah, lupakan komentar terakhir itu! Itu komentar seseorang dari Jurusan Kecantikan.
Kebanyakan kabar mengarah pada lantai tiga hotel itu.
Supaya feel seramnya lebih terasa, pertama-tama kami memainkan kokkuri-san dirumahku. Permainannya itu semacam Papan Ouija versi Jepang. Jika kau tidak tahu cara memainkannya, itu semacam ritual yang membuat kita bisa berbicara dengan hantu. Kalian tahu aplikasi "xParanormal"? Ya, prinsip kerjanya sama kok.
(Sebenarnya Kaito ini mau cerita atau promo sih!)
Seusai itu, kami pun pergi ke hotel itu tengah malam. Yah, kalau siang, 'kan tidak menyenangkan. Dan karena kami datangnya ramai-ramai (lima lelaki dan lima gadis, biar genap sepuluh orangnya), jadi kami merasa sangat bersemangat. Tapi akhirnya spirit kami langsung nge-drop saat melihat ada bayangan yang disebut-sebut orang di Internet—bayangan itu seakan menatap kami dari hotel itu. Dan tampak tidak menyukai kami. Tapi kami berusaha tidak mengacuhkannya dan tetap berjalan.
Kami mendengar bahwa ada jalan tikus—pintu belakang—menuju dalam hotel itu. Dan kami harus melewati kuburan yang berada di samping hotel itu. Jadilah kami siap-siap mengenakan pakaian yang bisa diajak bergerak bebas—yah, siapa tahu nanti tiba-tiba kami melihat sesuatu yang membahayakan, jadi kami bisa dengan mudah kabur.
Tapi kami tidak menemukan kuburan apapun di samping hotel itu. Memang mirip, tapi hanya seperti tanah kosong terbuka yang luas.
"Aku tidak melihat satu pun kuburan disini." ucap seorang lelaki dari kelompokku. Apakah karena gelap? Jadi kami tidak bisa melihatnya?
Dan benar saja—berbekal dengan senter seadanya, kami akhirnya menemukan tumpukan papan yang bertingkat, dan di atasnya berdiri sebuah nisan yang berbentuk aneh.
"Lihat, ada sesuatu tertulis di sana."
Aku pun menyinari bagian nisan itu. Dan di sana tertulis, "Istirahat Dalam Damai."
Oh, Gusti.
Nisan itu tampak kotor, dengan daftar nama yang tidak begitu jelas di bawahnya. Kami tidak bisa membacanya karena sebagian besar tulisan itu sudah terkikis. Sedikit disayangkan, tapi mungkin ada sesuatu yang lebih menyenangkan di sekitar sini.
Kehadiran kuburan itu ternyata membuat semua anak gadis menangis ketakutan, dan bahkan anak-anak lelakinya hanya berbicara dengan wajah datar, "Tempat ini tidak bagus."
Sebenarnya aku mulai takut juga, tapi ayolah! Masa' cuma sampai di sini saja?
Jadi aku mencoba untuk menenangkan mereka.
Kami berjalan dan menemukan sebuah sungai kecil di ujung jalan ini. Dan akhirnya setelah melewatinya, kami sampai di pintu belakang hotel itu dan memasukinya.
Dan pintunya ternyata tidak terkunci. Yaiyalah, orang kurang kerjaan mana yang mau mengunci pintu itu sementara bangunan itu sendiri berhantu?
Di dalamnya penuh dengan sampah. Apapun. Semacam telepon tidak terpakai yang kabel-kabelnya berserakan, dan kaleng yang kosong. Kamar mandi dan toiletnya kotor, tapi terlihat masih baru. Cat dinding dan karpetnya yang terkelupas menguatkan fakta bahwa tempat ini memang sudah lama ditinggalkan.
Karena kami hanya punya dua senter, jadi kami mencoba untuk berjalan saling berdekatan. Kami mengelilingi bangunan itu dan memotret beberapa sisi hotel itu. Lumayan seram, karena setiap kami melangkah, rasanya seperti banyak pasang mata yang memperhatikan kami.
Apalagi, kami dengar-dengar, ada yang bilang bahwa hotel ini bangkrut dan terlilit hutang, dan pemiliknya pun menjadi gila dan bunuh diri.
Kasihan ya?
Dan kami merasa sedikit lebih berani dan terbiasa dengan kondisi ini setelah kami menyelesaikan penjelajahan di lantai dasar. Kemudian kami pun menemukan sebuah tangga, dan naik ke lantai dua.
Sesampainya di lantai dua, kami membicarakan berbagai hal tentang lantai tiga, dimana kebanyakan rumor mengarah pada lantai tiga ini.
"Kira-kira, apakah yang akan terjadi nanti?"
"Ah, gak tau juga nih. Tapi katanya, bakal ada suara yang terdengar di sini."
"Hei, kalau ada yang lewat, jangan langsung kabur ya! Siapa tahu kita bisa melihat memotretnya!"
RIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIING
Tiba-tiba terdengar suara telepon yang berdering dan panjang.
Bunyinya berdering dan bergema dalam kesunyian ini.
Dan para anak gadis mulai menjerit histeris.
"HANTUNYA DATAAANG!"
"KYAAAAAAAAAAAA!"
"MAMA, AKU TAKUT!"
Gelombang kengerian mulai menyebar di antara kami dan beberapa dari kami mulai berhamburan ke tangga. Dan ucapan anak barusan itu pun langsung terlupakan oleh semuanya.
"Hei, kalian, tenanglah! Kubilang, tenanglah!" Aku berseru, mencoba untuk menenangkan mereka, tapi sayangnya aku dikacangi.
Oh, ini mimpi buruk. Jika ini masih berlanjut, kepanikan bisa berakhir menjadi sebuah insiden mengerikan. Yah, siapa yang tahu apa yang akan terjadi di tengah kegelapan ini?
Aku bingung apakah aku harus naik ke lantai atas—untuk mencari tahu asal bunyi itu—atau turun ke lantai bawah—untuk menyusul anak-anak lainnya—tapi bunyi dering itu perlahan mengikis kegelisahanku.
"Hei, jangan lari. Turunlah dengan perlahan."
Aku merasa seperti orang tua saja.
Tapi dua orang yang membawa senter tadi sudah pergi ke lantai bawah. Hanya ada aku dan beberapa orang yang masih bertahan. Jadi keadaan menjadi gelap gulita dan aku mulai menggigil kedinginan.
(Untung saja tidak ada suara dering mengerikan itu di telingaku. Pertanda bahwa tidak ada hantu di sekelilingku.)
Aku langsung menyusul mereka ke lantai bawah.
Sesampainya aku di lantai dasar, aku melihat semuanya berkumpul di sebuah tempat kosong terbuka yang kemungkinan besar adalah ruang lobi hotel. Baru saja aku sampai, telepon itu tiba-tiba berhenti.
Aneh.
"Aku ingin pulang..." Seorang anak gadis terisak, mewakili perasaan anak gadis lainnya. Kebanyakan anak lelakinya pun terlihat pucat wajahnya.
Terselip kesunyian yang ganjal. Aneh dan tidak wajar.
Sekarang kami bingung apakah kami harus pulang atau tetap bertahan disini. Tapi sepertinya sebagian besar dari kami hanya ingin pulang ke rumah.
"Maaf, aku sungguh minta maaf."
Seseorang di antara anak lelaki pun berbicara. Dia anak tertua di antara kami. Jadi aura dewasanya lebih terasa daripada anak-anak di sini.
"Aku tidak membayangkan bahwa itu akan menakuti kalian semua sampai seperti ini. Aku minta maaf."
Dia berulang kali meminta maaf. Dan mulai menjelaskan bahwa sebenarnya dia hanya ingin membuat penjelajahan ini sedikit lebih menyenangkan, jadi dia pun mendapat ide untuk menyembunyikan sebuah ponsel di lantai tiga pada siang harinya. Dia menunggu waktu yang tepat dan menelepon ponsel di lantai tiga itu dengan ponsel lainnya di kantongnya.
Jenius, sekaligus idiot. Bagaimana bisa dia senekat dan berpikir sampai sejauh itu!
Hell, orang ini sepertinya pintar menakuti orang lain. Tapi sepertinya wajah bersalahnya itu dibuat-buat, tapi aku tidak tahu juga.
Semua orang pun menghela napas dengan sangat lega.
"Yee, dasar! Menakuti saja!" Kami menyorakinya, dan tidak terlalu keras karena takut mengganggu 'sesuatu yang ada di atas'. Dan kami memutuskan untuk segera angkat kaki dari tempat itu.
Dalam perjalanan pulang, anak tertua tadi berkata padaku.
"Tempat itu gila sekali."
Aku nyaris saja menjawabnya dengan, "Tidak, itu kau yang gila." Tapi tidak jadi ketika dia melanjutkan kalimatnya lagi.
"Saat kita melihat batu nisan tadi, apa kalian tidak menyadari orang di jendela hotel itu?"
Aku sama sekali tidak menyadarinya. Dan tidak pernah terpikir olehku untuk melihat jendela hotel pada saat menegangkan seperti itu.
"Awalnya kupikir, itu hanya sekelompok anak-anak iseng. Tapi saat aku masuk ke dalamnya, jelas sekali bahwa pradugaku itu salah. Mereka ada lebih dari 10 orang di sana. Maksudku, lantai atas."
Aku sempat terhenyak. "Tunggu, siapa yang kau maksud dengan 'mereka'?"
Orang itu pun menyeringai miring. "Kau pikir aku menghabiskan uang untuk membeli ponsel baru hanya karena sekedar ingin bergurau?"
Oh, tidak. Dia benar.
"Tapi aku agak bingung juga. Padahal bunyi ponsel yang di lantai tiga itu tidak seperti itu. Jangan-jangan yang bunyinya riiiiiiiing itu telepon hotel ya? Aku sama sekali tidak ada menghubunginya lho!"
Dia ini membuatku semakin merinding saja. Lalu, untuk apa dia menyembunyikan ponsel di lantai tiga? Aku tidak mengerti jalan pikir orang ini.
Setelah semuanya sudah pulang—menyisakan aku dengan orang tadi di mobilnya—dia mengatakan sesuatu yang mustahil padaku.
"Hei, Shion. Kita kembali ke hotel itu sekarang, oke?" Seringainya semakin lebar.
Aku langsung sembah-sujud memohon padanya untuk tidak membawaku ke sana lagi, dan dia pun membiarkanku pergi. Tapi rupanya pada akhirnya, dia kembali lagi ke sana sendirian.
.
.
.
.
Beberapa hari kemudian, di ruang klub aku bertanya padanya apa yang terjadi tadi malam pada saat dia ke sana lagi. Dan dengan senyuman setengah gaib, dia menjawab dengan simpel.
"Saat aku kembali ke dalam hotel, telepon itu berdering lagi. Aku mengangkatnya, tapi yang kudengar hanya riiiiiiiing. Lalu aku pun meneriakinya, 'Dasar pengecut!' Dan kau tahu apa yang terjadi setelahnya? Semua telepon di hotel itu pun mulai berdering, pada saat yang sama. Aku tahu aku sedang dalam masalah, jadi aku pun memilih untuk segera kabur dari tempat itu."
Dasar gila. Apalagi, dia mengatakannya dengan seringai senang seolah-olah dia sedang menceritakan lelucon pada anak umur 5 tahun.
Dan mulai saat itulah aku mulai akrab dengan orang yang bernama lengkap Kamui Gakupo itu...
.
.
.
.
—To be Continued—
.
.
.
.
Author's Note :
Fanfiksi horror proyek kedua. Dan saya rasa, nih cerita gagal -.- Sebenarnya jalan cerita fanfiksi ini terinspirasi dari salah satu cerita yang di posting di blog "Saya in Underworld", tapi sebagian saya ubah dan bolak-balikkan. Jadi, saya tidak memplagiat. Saya hanya mengambil sedikit jalan ceritanya, dengan mengangkat kisah nyata milik teman saya yang tak kalah ababilnya dengan Kamui Gakupo barusan.
Naa, minna. Karena saya ini hanya coba-coba, jadi review Anda sekalian menentukan nasib fanfiksi ini. Jika memang tak pantas berada disini, Anda bisa menghujat lewat review. Tapi jika pantas? Pujilah Kaito dan Gakupo! :) #dilempar ke dunia lain
So, mind to review?