"Bagaimana kalau kita pacaran?" Aku mengatakan itu dengan santai sementara Akashi tidak mengalihkan pandangannya dari buku yang tengah dibacanya. Aku mengerucutkan bibir, tidak senang dengan pengabaian ini.

"Sei-kun, katakan sesuatu~" rengekanku itu membuat Akashi mengalihkan pandangannya dari buku yang dibacanya dan memandangku. Mata heterokrom miliknya berusaha memerangkapku dan aku hanya bisa tersenyum lebar.

"Ada satu syarat."

"Apa?"

"Jangan jatuh cinta denganku."

Aku tertawa mendengarnya. Akashi tahu, semua orang juga tahu bahwa aku tidak mempunyai ketertarikan khusus padanya. Aku memintanya jadi pacarku karena aku bosan dengan pertanyaan teman-temanku tentang pacar.

"Tenang saja, aku takkan melakukannya." Aku menepuk-nepuk pundak Akashi sebelum beranjak dari sofa dan pergi kedapur rumah Akashi untuk mengambil minuman.

.

.

Tapi belakangan, aku mulai menyesali keputusanku untuk bertanya hal itu.


.

.

Don't You Dare Love Me

Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi

AU, lil OOC, typos. Tidak mengambil keuntungan profit dalam pembuatan fanfic ini. Saya tidak sanggup memasangkan Akashi dengan chara perempuan di fandom ini karena saya cinta Akashi seperti besarnya cinta saya pada suami saya di fandom sebelah =)) #youdontsay

Akashi Seijuuro x YOU (terserah bagaimana interpresentasi kalian dengan ini, yang jelas saya pakai first POV)

Don't You Dare Love Me © Green Maple

.

.


Jika ada orang yang bertanya bagaimana caraku bertemu dengan Akashi sehingga bisa menjadi seperti sekarang, aku hanya bisa memberikan jawaban sebuah senyuman. Aku takkan mungkin sanggup mengatakan pada mereka jika pertemuan pertamaku adalah tepat setelah aku melihat pacarku jalan bersama selingkuhannya dan aku menangis di depan Akashi. Dan karena sikapku itu pula, Akashi hampir diseret ke kantor polisi.

Aku merasa bersalah dan aku berniat menebusnya meskipun Akashi bilang tidak perlu. Namun aku tidak menyerah. Meski Akashi sudah bilang tidak perlu. Meski Akashi menatapku dan memberikan intimidasi dengan mata heterokrom miliknya. Meski Akashi mengeluarkan aura menakutkan padaku. Meski Akashi mengabaikan keberadaanku waktu itu.

"Jangan ganggu aku lagi." Akashi akhirnya memberikanku kartu nama dan meninggalkanku seorang diri. Aku melotot saat melihat nama yang tercetak di kartu itu.

Akashi Seijuuro. CEO sekaligus pemilik perusahaan multinasional terbesar di negaraku. Dan aku hampir saja membuatnya masuk penjara karena tangisanku!

Aku tentu saja mengabaikan perkataan Akashi itu. Namun aku pernah kecelakaan waktu kecil dan itu mempengaruhi daya ingatku. Biasanya aku menuliskan kejadian yang aku alami di buku catatan dan melihat potret orang-orang disekitarku saat bangun tidur. Namun hari itu, aku memutuskan untuk tidak mencatat apapun di buku catatanku karena hari itu adalah hari yang paling menyakitkan.

Dalam semalam, aku sudah melupakan niatku pada Akashi. Aku bukannya ingin melupakannya, tapi kelemahan terbesarku adalah mengingat dan aku bahkan tidak punya potret diri Akashi untuk dilihat saat bangun tidur seperti foto orang-orang disekitarku. Apalagi dengan kesibukanku sebagai seorang mahasiswa, membuatku benar-benar melupakan semua niatku pada Akashi.

Namun kami-sama tidak pernah tidur dan selalu berusaha mengingatkan umatnya saat melupakan sesuatu. Dan itulah yang terjadi padaku saat pertemuan yang kedua. Saat itu, aku diseret secara paksa oleh seorang lelaki yang terobsesi denganku dari toko buku. Aku sudah berusaha meronta dan melepaskan diri, tapi tenagaku tidak cukup kuat.

"Lepaskan dia." Suara bariton yang dingin dan sangat terasa arogansinya itu membuatku menoleh. Mata heteroktomnya menatapku dan aura mengintimidasi yang dikeluarkannya pasti membuat nyali siapapun rontok seperti daun yang gugur dari pohonnya. Tapi hal itu tidak akan mempengaruhiku, karena aku bukan seperti orang kebanyakan.

"Ini bukan urusanmu!" Lelaki itu berusaha tidak terintimidasi, namun suaranya terdengar bergetar. Kurasa dia takut.

Aku merasa cengkramannya mengendur dan aku langsung melarikan diri kearah Akashi. Waktu itu aku masih belum terlalu ingat siapa dia. Tapi yang aku tahu, aku pernah bertemu dengannya meski tidak tahu kapan.

"Dia milikku. Kulihat kau menganggunya lagi, kau berurusan denganku." Perkataanya itu dan aura yang mengintimiasi cukup membuat lelaki gila itu segera pergi.

"Terima kasih. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi kalau tidak ada anda tadi."

"Hm." Dan dia hendak beranjak pergi. Namun tanganku refleks menangkap sebelah tangannya yang membuatnya menatapku.

"Maaf. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"

"Kau bercanda padaku?"

"Tidak. Tapi aku punya penyakit melupakan sesuatu dengan cepat dan aku tidak bisa mengingatnya jika tidak mencatatnya ataupun mempunyai potret diri orang-orang yang kukenal."

Tatapan Akashi yang tadi terlihat marah, sedikit melunak. Mungkin dia mengira aku mempermainkannya? Aku hanya mengerjap-kerjapkan mata saat melihat Akashi memberikanku kartu nama. Aku membacanya dan ingatanku seminggu yang lalu merasukiku.

"Aah— Anda yang waktu itu hampir aku buat ke kantor polisi karena aku menangis didepanmu kan?"

"Ya."

"Aku sudah ingat!" Kataku senang, namun mendadak wajahku berubah sedih. Akashi melihat perubahan ekspresiku kupikir tampaknya tidak terlalu peduli. Tapi dugaanku ternyata salah.

"Jangan menangis. Atau kau benar-benar mengirimku ke kantor polisi."

"Ah maafkan aku."

Lalu kulihat seorang berlari tergopoh-gopoh pada kami. Beberapa kali dia menabrak orang yang berlalu lalang namun orang-orang itu tidak bisa memarahinya, entah kenapa. Seolah mereka tadi ditabrak oleh benda tak kasat mata.

"Chihiro, ada apa?" Tahu-tahu orang itu sudah berada di depan Akashi.

Oh, namanya Chihiro. Apa sopan ya menanyakan kenapa keberadaanya seperti tidak terasa?

Dan bersyukurlah aku mempunyai penyakit gampang lupa sehingga aku tidak menanyakan hal itu padanya. Aku tidak mendengar pasti apa yang dibicarakan mereka berdua, tapi tahu-tahu Akashi memandangku dan aku memasang ekspresi bingung.

"Mana handphonemu?" Tanyanya yang membuatku bingung. Eh? Untuk apa bertanya itu?

Tapi tetap saja aku memberikan handphoneku padanya. Dan Akashi menyerahkan handphoneku pada Chihiro dan berkata, "Foto aku."

Tampaknya Chihiro shock, sementara aku mulai paham untuk apa. Mungkin dia marah aku melupakannya, orang yang termasuk jajaran orang kaya didunia? Tapi aku lebih senang begitu ketimbang dia merasa kasihan padaku. Sudah cukup banyak orang yang mengasihaniku karena penyakit ini.

Kan sudah kubilang, aku bukan seperti orang kebanyakan.

"Tidak ada alasan kau lupa setelah ini. Dan jangan merepotkanku saat bertemu lagi." Ini bukan nasehat, tapi ini ancaman! Dan aku hanya mengangguk patuh.

Dan aku ditinggalkan begitu saja setelah mengembalikan handphoneku, seperti waktu pertama kali aku bertemu. Tapi kali ini ada notes yang ditinggalkan dalam handphoneku.

Nomor 1 untuk meneleponku.

Eeh? Speed dialku kenapa dirubah seenaknya seperti itu?! Nomor satu itu nomor ibuku tahu!


.

.

Don't You Dare Love Me Prolog End

.

.


Ngeek. Ini prolog macam apa pula yang saya tulis -_-

Aslinya ini mau dijadikan one shot saja. Tapi gara-gara mimpi malam itu dan ditambah imajinasi liar saya, saya terpaksa harus menjadikan ini MC :")

Saya orang baru disini, jadi mohon bimbingannya semua #bow

And last, mind to review?

Green Maple

05/03/2014