Lonely Heart

Vocaloid © Yamaha and Crypton Production

Warning : typo (s), gaje, abal, berantakan dsb

Chapter 9 : Sahabat Masa Kecil


"Lui!? Hibiki Lui!?" pekik Rin yang tidak bisa menahan rasa terkejutnya.

Lelaki yang bernama Hibiki Lui itu tersenyum kecil. "Lama tidak bertemu, Rin,"

Rin menahan nafasnya. Masih dalam rasa terkejutnya. "Kau masih mengingatku? Kukira kau sudah melupakanku ... bukankah ini sudah enam tahun berlalu?" tanya Rin sambil tersenyum sendu. Sebuah memori yang telah lama terlupakan kembali berputar dan menampakkan adegan yang telah lama ia lupakan. Tanpa sadar, Rin mengepal kedua tangannya dengan erat.

"Tentu saja! Aku tidak bisa melupakanmu begitu saja. Mana mungkin aku melupakan sahabat kecilku?" tanyanya sambil terkekeh pelan.

"Tapi ... kukira kau akan marah setelah kejadian waktu itu," ujar gadis honeyblonde itu. Rahangnya mengeras, kepalan tangannya makin erat. Gadis itu menahan nafas. "Kau marah karena aku akan pergi meninggalkanmu waktu itu bukan? Dan kau menganggap kalau aku jahat ... setelah itu kita lost contact dan ... tidak pernah berbicara sama sekali."

"Ah, ternyata kau masih mengingatnya," Lui menghela nafas panjang. "Aku hanya emosi dan sedih saja waktu itu ... karena kau akan pergi dan meninggalkanku. Aku benar-benar menyesal telah menganggapmu jahat." Lui menghela nafas panjang kemudian tersenyum kecil. "Tapi itu masa kecil bukan? Itu masa lalu. Sekarang dan dulu berbeda. Dan sekarang aku masih menganggapmu sahabat."

Rin terperangah. Sedikit terharu ketika mendengarnya."Terima kasih." Gumamnya pelan. "Oh ya, kau hebat bisa mengenaliku. Padahal wajahku sudah tidak sama seperti dulu," ucapnya sambil tersenyum kecil.

"Ah, kata siapa? Aku mengenalimu karena rambutmu tidak berbeda dari yang dulu," ujar Lui sambil menyentuh surai honey blonde itu. Rin menunduk, berusaha mengontrol degup jantungnya yang berpicu dua kali lipat. Jarang sekali ada lelaki yang membelai rambutnya. "Tidak berubah."

Rin mendongak. "Eh?"

Telapak tangan hangat itu menepuk kepala gadis yang berada di depannya beberapa kali. Kemudian ia menghentikan kegiatan itu dan menghela nafas panjang. "Kau tidak berubah. Jepitan dan pita yang sama dan rambut dengan model yang tidak berubah. Padahal jepitan dan pita itu sudah lama."

Rin cengengesan dan tertawa kecil. "Kau hebat, Lui. Bagaimana kau bisa menyadarinya? Padahal aku─upps!" Sontak ia membungkam bibirnya dengan kedua telapak tangannya. "M-maksudku itu hanya se-sebagai tanda persahabatan kita!"

Lui tampak terkejut beberapa saat kemudian tertawa kecil. "Aku senang kau menghargai tanda persahabatan kita hingga seperti itu. Kenapa tidak membeli yang baru? Di luar sana banyak yang jauh lebih bagus dari pada itu,"

Rin menggaruk pipinya dengan telunjuk. "Ehehe ... sebenarnya aku punya banyak di rumah ... tapi entah kenapa hari ini aku ingin mengenakannya,"

"Berarti kau mempunyai feeling yang kuat, ya. Aku tidak menyangka kita bisa bertemu lagi saat ini. Kau tahu? Ini bagaikan mimpi," ucap Lui dengan pandangan menerawang.

"E-eh!? Benarkah!? S-sepertinya kau terlalu berlebihan ..."

Lui menggeleng pelan. "Aku tidak berbohong. Aku selalu membayangkan bagaimana bila kita bertemu lagi. Ternyata kita memang ditakdirkan bertemu di sini ya,"

Rin hanya mengangguk dan tersenyum paksa. Ia masih agak sulit mempercayai kalau Lui benar-benar senang bertemu dengannya. Terlebih lagi perpisahan mereka waktu itu sungguh tidak menyenangkan.

"Ah bagaimana kalau kita mengobrol di luar saja?" tanya Lui sambil tersenyum lebar. "Kurasa di sini terlalu ramai dan membuat kita agak tidak nyaman,"

Rin terdiam beberapa saat. Tampak sedang mempertimbangkannya. Lui yang melihat itu langsung khawatir. "Ada apa? Kau khawatir tunanganmu akan marah ya?" tanya Lui polos.

"Hah!? Aku belum punya tunangan, Lui!" seru Rin sambil mengibas-ngibaskan tangannya di depan dada. Rin mengalihkan pandangannya. "Yang kukhawatirkan itu kau! Kalau kau ... pasti sudah punya bukan?" tanyanya dengan pelan.

"Ah ... ya ... begitulah," jawab Lui pelan.

Rin menahan nafasnya beberapa detik. Ia sudah menduganya. Entah kenapa agak sesak mendengarnya. "Aku tidak mau ada kesalahpahaman. Bisa gawat jika seperti itu," ujarnya agak canggung.

"Ayolah, Rin! Apa salahnya? Kau hanya sahabatku dan bukan selingkuhanku, kan? Aku bisa menjelaskannya nanti pada tunanganku. Lagi pula dia bukan tipe orang yang mudah salah paham kok!"

Rin menghela nafas panjang. Masih berat untuk mengiyakan perkataan Lui. "Tapi kan tetap saja," ucapnya dengan pelan.

Drrt ... drrtt ... drrrt ...

Handphone Lui bergetar. Lui segera merogoh saku celananya untuk mengambil handphonenya. Kedua manik matanya bergerak menyusuri tulisan yang tertera di handphonenya. Helaan nafas terdengar berat. Tatapannya beralih ke gadis yang berada di sebelahnya. Namun tatapannya berubah menjadi tatapan bersalah.

"Rin, sejujurnya aku masih ingin bercerita banyak hal denganmu. Tapi sayangnya aku harus pergi sekarang. Ada seorang manager perusahaan yang harus kutemui. Maaf ya," ujarnya sambil tersenyum paksa.

Rin menggeleng pelan. "Tidak apa kok. Lagipula kita masih bisa bertemu lagi, bukan?" tanyanya sambil menepuk bahu Lui dengan pelan.

"Oke. Ah iya, berikan aku handphonemu!" Rin memiringkan kepalanya tanda tak mengerti. Lui segera menambahkan, "Tenang saja aku tidak akan mengambil handphonemu kok!"

Rin langsung merogoh tas kecilnya dan memberikan handphone itu ke Lui. Jemari lelaki itu segera bergerak lincah di atas layar handphone touchscreen tersebut. Terdengar bunyi getaran lagi dari handphone lelaki itu. Lui segera tersenyum senang dan mengembalikan handphone tersebut.

"Terima kasih banyak! Jaa~!" ucapnya seraya melangkah pergi.

Rin hanya tersenyum kecil membalas ucapannya. Merasa sendirian di antara orang-orang banyak, ia memutuskan untuk kembali menemui Len dan Rinto. Kakinya kembali melangkah menuju tempat di mana Len dan Rinto berada.

.

.


.

.

"Hei, dimana Rin?" tanya Rinto yang sedang mencari-cari adiknya yang hilang di tengah kerumunan orang banyak. Ia mengedarkan pandangannya berulang kali. Namun hasilnya nihil. Kedua matanya tidak menangkap tanda-tanda keberadaan adiknya.

"Tadi sepertinya aku dan Len-chan melihatnya. Sepertinya ia sedang berbicara dengan seorang lelaki," ujar Lenka dengan polos. Len menyetujuinya dengan sebuah anggukan.

"Lelaki? Siapa?" Alis lelaki itu terangkat sebelah. Penasaran dengan siapa adiknya berbicara. Karena menurut Rinto, Rin tidak terlalu suka mengobrol dengan orang asing yang baru saja dikenalnya.

"Sepertinya ia memiliki rambut pirang. Hanya itu yang kuingat," jawab Len sambil mengendikkan bahunya.

Rinto mengernyit bingung. Telunjuk dan ibu jarinya menyentuh dagunya, pose berpikirnya. "Rambut pirang ... apa mereka seperti telah mengenal sejak lama?" tanyanya lagi.

Len mengiyakannya dengan sebuah anggukan. "Dan sepertinya mereka telah lama tidak bertemu," tambahnya lagi.

Rinto menghela nafas panjang, kemudian tersenyum tipis. "Tidak kusangka kalau Rin akan bertemu dengannya lagi ..." ucap Rinto. Apa perasaannya masih sama seperti waktu itu?

Len mengedarkan pandangannya. Kedua irisnya menangkap sosok wajah tuannya. "Ah, itu Ojou," ucapnya dengan telunjuk yang menunjuk gadis tersebut.

Rin berhenti tepat di depan Rinto. "Aku ... tidak menyangka bertemu dengannya lagi ..." bisiknya dengan sangat pelan namun Rinto masih bisa menangkap suara itu.

Rinto menepuk bahu adiknya dan tersenyum, seolah menyemangatinya. Rin membalas senyuman itu. Len yang tidak tahu hanya diam dan tidak berniat untuk mengetahui hal tersebut.

Sementara itu tanpa mereka sadari, beberapa orang mengawasi mereka dari kejauhan. Seringaian licik terukir di bibir mereka.

.

.


.

.

Alunan musik terdengar begitu merdu dari balkon. Banyak pasangan yang menikmati alunan tersebut sambil berdansa. Sekarang adalah acara berdansa. Setiap pasangan boleh berdansa di tengah ruangan ataupun hanya sekedar menari. Namun ada juga yang tidak berdansa dan hanya menikmati alunan musik dengan sekedar mendengar.

Rin yang tidak berminat berdansa langsung keluar menuju balkon. Ia bersandar dan hanya memainkan handphone touchscreen-nya. Keadaan yang sepi serta angin malam yang berhembus kencang tampak membuat Rin sedikit mengigil. Namun itu tidak membuatnya ingin pergi masuk ke dalam kapal.

Namun tampaknya ia tidak sendiri karena bodyguardnya datang menemaninya.

"Ojou, apa yang membuat anda tidak semangat seperti itu?" tanya Len yang tidak tega melihat tuannya yang tidak bersemangat seperti biasa.

"Aku tidak apa-apa, Len. Lagipula kenapa kau mengikutiku ke sini?" tanya Rin pelan. Pandangannya tidak lepas dari layar handphonenya. "Ah ngomong-ngomong dari tadi kau terus berbicara denganku memakai bahasa formal. Kau boleh berbicara denganku seperti biasa kok,"

Len menghela nafas panjang. "Baiklah, Rin,"

Tersenyum tipis, Rin mengangguk-angguk. "Itu lebih bagus. Ah tadi kau belum menjawab pertanyaanku."

"Ah, Rinto menyuruhku menemanimu. Lagipula ini juga merupakan tugasku untuk menjagamu. Di tempat sepi seperti ini bisa saja terjadi hal yang tidak diinginkan, bukan? Aku tidak mau terjadi itu hanya karena aku lalai menjagamu,"

Rin memutar kedua bola matanya bosan. "Haah~! Menyebalkan! Diperlakukan seperti itu terus! Aku bosan~!" serunya sambil mengembungkan kedua pipinya.

"Ya memang harus seperti itu, ojou~!" ucap Len dengan nada yang dimirip-miripkan seperti tadi Rin berbicara.

Rin menghela nafas. Ia mendongak, menatap bulan purnama yang begitu terang. Pikirannya melayang kemana-mana. Namun suara yang sama kembali membuatnya tersadar.

"Kalau ada masalah ... tidak apa-apa kok kalau kau bercerita padaku. Aku berjanji tidak akan bilang ke Rinto ataupun siapapun," ujar Len sambil tersenyum kecil. Rin menatapnya dengan tatapan terkejut. "Yah, daripada kau memendamnya sendirian ... lebih baik diungkapkan pada orang lain, bukan?"

Rin menggeleng pelan. Sebuah senyuman kecil terukir di bibir manisnya. "Tidak perlu. Aku tidak mau merepotkan orang lain hanya karena masalahku."

Len yang masih tidak percaya tidak menyerah semudah itu. Ia mulai menebak-nebak "... Apa ... ini tentang lelaki pirang tadi?"

Skakmat.

Tanpa sadar, raut wajah Rin langsung berubah tegang. Tidak menyangka kalau tebakan Len akan benar dan membawa dampak baginya. "Ti-tidak! Kau salah! Sangat salah!"

Len menghela nafas panjang. Kedua tangannya di silangkan di depan dada dan punggungnya di sandarkan ke pagar balkon. "Bohong. Raut wajahmu berubah drastis. Kau tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutanmu, kau tahu?" ucapnya dengan pelan.

Rin terdiam beberapa saat. Tangannya terkepal dan memukul bahu lelaki itu dengan pelan. Kedua pipinya kembali mengembung. "Haaah~! Menyebalkan! Kau benar-benar menyebalkan, Len! Kenapa kau harus menyebalkan seperti ini!?" desisnya pelan.

Len sama sekali tidak tersinggung dan hanya tersenyum kecil.

"Bahkan kau masih tersenyum disaat seperti ini! Sungguh menyebalkan!" Rin menunduk. Ia menggigit bibir bawahnya. "Dia Hibiki Lui ... sahabat kecilku enam tahun lalu. Dulu aku menangapnya sebagai sahabat yang tidak akan pernah meninggalkanku. Dia pun juga menganggap hal yang sama. Kami sering bermain, bercanda dan melakukan hal apapun bersama. Seiring itu ... aku merasakan perasaan nyaman ketika bersamanya. Sepertinya aku menyukainya sebagai lelaki. Tapi sayangnya ketika aku baru menyadari perasaan itu, takdir berkata lain. Perusahaan Otou-san harus pindah jauh dan itu artinya aku dan dia harus berpisah. Lui marah dan menanggapku jahat. Dan akhirnya kami lost contact. Sejak saat itu aku tidak memikirkannya lagi. Tapi ternyata dunia ini sempit ya, aku kembali bertemu dengan Lui dan kami kembali berkomunikasi lagi. Bahkan ia meminta nomor telephone-ku."

Len terdiam. Ia menghela nafas panjang. "Tapi sepertinya tadi saat berbincang-bincang denganmu dia tidak tampak marah," ujar Len sambil mengernyit bingung.

"Dia justru menyesal dan meminta maaf padaku,"

"Lalu apa yang menyebabkanmu berwajah seperti itu? Kau memikirkan apa?" tanya Len yang tambah bingung.

Rin tampak enggan menjawabnya. Namun ia tetap menjawab meski dengan suara yang sangat pelan. "Rasanya ... aneh dan canggung."

"Sepertinya itu wajar. Lagipula mungkin itu hanya perasaanmu saja. Bagi Lui dia akan biasa saja," ucap Len meyakinkan.

"Mungkin ..."

Len menghela nafas panjang. Rasanya masih ada yang mengganjal. "Kau ... apa perasaanmu ... kembali muncul?"

Rin menggigit bibir bawahnya dengan erat. Ia menunduk. "Aku ... tidak tahu. Rasanya begitu aneh. Tapi dia sudah bertunangan dengan gadis lain ... dan ... aku tidak mau dianggap perusak hubungan orang," jawabnya dengan tatapan sendu.

Len menepuk bahu Rin pelan, membuat gadis itu kembali menatap sepasang iris azure yang tampak menawan. "Kau tidak perlu memikirkannya."

"Eh?"

"Itu masa lalu bukan? Kau tidak perlu memikirkan hal yang sudah berlalu. Yang terpenting sekarang adalah saat ini. Perasaanmu dan tanggapanmu saat bertemu dengannya sekarang. Dia bukanlah orang yang kau sukai saat ini. Perasaan nyamanmu bersama dia telah hilang sejak lama, bukan? Bukankah kau berkata tidak pernah memikirkannya lagi sejak saat itu? Perasaan nyaman itu tidak akan muncul dalam sekejap mata. Ah lagipula ... kupikir saat itu kau masih kecil dan terlalu polos sehingga kau masih belum terlalu memahami hal seperti ini. Tapi sekarang kau sudah besar dan aku pikir ... kau sudah bisa membedakan mana yang hanya sekedar suka atau tidak," ujar Len bijak. "Ah, maaf. Sepertinya aku terlalu banyak bicara."

Rin menggeleng pelan. Ia tersenyum manis. "Tidak. Terima kasih, Len. Kau telah mengajarkanku banyak hal. Ah, sepertinya kau belajar dari pengalaman, ya,"

"Tidak, kok. Itu aku pernah baca dari sebuah novel," ujarnya pelan. Bodoh! Aku saja tidak tahu kenapa aku bisa berbicara panjang lebar seperti itu. Padahal ... aku bahkan tidak bisa melupakan masa lalu yang suram itu ...

"Ah, aku mau ke kamar mandi dulu, ya," ujar Rin sambil melangkah masuk ke dalam. Len hanya mengangguk menanggapinya.

Len menghela nafas panjang. Pandangannya menerawang ke lautan. Rautnya kembali datar. Orang yang melihatnya tidak akan bisa menebak apa yang sedang ia pikirkan. Angin berhembus dengan ganas, namun tidak membuatnya menggigil kedinginan.

"Masa lalu, ya ..." gumamnya pelan.

Sunyi kembali menyelimuti dirinya. Pikirannya melayang-layang entah kemana. Memori lama yang telah ia lupakan, berputar kembali di otaknya. Terus berputar seperti kaset rusak. Jeritan-jeritan itu kembali terngiang di telinganya.

"AKHHH! SAKIT!"

"DASAR PEMBUNUH! PERGI KALIAN DARI SINI!"

"Apa kau mau hidup seperti ini terus, Onii-chan?"

Tanpa sadar setetes air mata merembes dari pelupuk matanya. Len mengusap matanya dan menghela nafas panjang. Ternyata ia tidak bisa melupakan masa menyedihkan itu. Len mengepal kedua tangannya dengan erat hingga buku-buku jarinya memutih. Rahangnya mengeras. Kedua pundaknya menegang. Len mencoba menahan emosinya yang meledak-ledak.

"Sialan!" umpatnya kesal. Jika tidak ada orang, ia pasti sudah berteriak dan hilang kendali. Namun sayangnya ia masih sadar kalau ia tidak bisa bersikap seperti itu.

Tanpa sepengetahuannya, Lenka memperhatikannya dari kejauhan. Ia menunduk dengan tatapan sendu dan menggigit bibir bawahnya.

"Maaf ..."

.

.


.

.

"Haah~ lega juga," ucap Rin dengan riang. Ia mencuci wajahnya di wastafel sambil bersenandung ria.

"Etto ... kau Kagamine Rin?"

Rin menoleh ke samping dan mendapati seorang gadis bersurai biru muda panjang di sebelahnya. Rin tampak terpesona oleh kecantikan gadis tersebut bahkan ia hampir lupa berkedip.

"Kagamine-san?"

"A-ah! Go-gomen!" ucap Rin gugup. "Kau siapa?"

Gadis itu tersenyum kecil. Ia melangkah mendekati Rin dan berhenti tepat di sebelahnya. "Kau tidak perlu tahu aku, kok~ karena kau akan tahu namaku lambat laun~" ucapnya dengan nada manis namun di saat bersamaan itu terdengar seram.

Rin terlonjak. Seketika ia merasa merinding. Tubuhnya gemetar hebat. "Eh!? Apa maksudmu? Siapa kau sebenarnya?" tanya Rin panik. Rin takut kalau gadis itu adalah orang jahat. Terlebih lagi di dalam hanya ada mereka berdua.

"Himitsu~! Jika kau mau tahu, kau harus ikut permainanku, hahaha," Gadis itu tertawa riang dan berputar-putar mengelilingi Rin.

"Kau─AKH!"

─Dan Rin merasa kegelapan mulai menguasainya.

.

.

To Be Continued

.

.

Author's Note :

YEAHHH~! BISA UPDATE LAGI XD

Jujur karena aku udh kelas 9 jadi waktu ku sudah sibuk ... apalagi sekarang lagi minggu UH Q^Q)/ karena kesibukan itu aku jadi melantarkan fic ini ... GOMENN! *bows*

Maaf kalo banyak typo karena saya males ngoreksi ulang -v- #digebukin

Okeh saatnya balas ripiu~

Arrow-chan3 : Iyap! Benaaarr! Tapi tenang aja Rin nanti bakal suka ama Len kok~ Ring nanti muncul kokk XD Makasih dah ripiu~

Kurotori Rei : Iyap! Thanks ripiunyaa~

Kiriko Alicia : Nggak kok! Rin milik Len~ thanks ripiunya~

Kagamine 02 Story : Tau tuh si Lui ganggu aja! (Lui : lu yang nyuruh thor!) Iyap benar! Thanks for ripiu~

Minamika Runa : Eiii ripiumu banyak amat Runaa! Iyaaa! Lui yang disukain Rin dulu! Nggak ahh tar aja si lenka matinya XD #jduak. Makacih dah ripiu~

Furika Himayuki : Bagus deh kalo Furika senang~ sankyu dah ripiu~

Arisa Amori : Iyaa, yang dipoto si Luii! Ini udah lanjut~ makasih dah ripiu~

Nah gimana chapter ini? Kurang memuaskan? Kurang greget? Banyak typo? Langsung curahkan semua di kotak ripiu~! Oke? ;)

Jaa ne~