Musim dingin mulai datang. Salju-salju mulai berjatuhan dari langit, menghiasi Voca City yang mulai dipenuhi warna putih. Ganasnya angin malam yang menusuk rongga-rongga tulang membuat orang-orang mengeratkan jaket dan syal tebalnya. Malam yang lebih dingin dari biasanya membuat orang-orang bermalas-malasan dan meringkuk di bawah selimut tebal.

Namun beda halnya yang dialami oleh seorang gadis berambut honey blonde. Jaket tebal, rok diatas lutut dan syal putih membaluti tubuhnya. Ia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini, dimana ia bisa melihat salju putih indah yang mengelilingi kota tersebut. Ia lebih memilih tempat yang sepi daripada tempat yang ramai dan berisik.

Yang mungkin ini juga salah satu alasan ia pergi malam ini.

Duduk di sebuah meja di dalam sebuah cafe sambil menikmati coklat panas. Sikapnya terlihat anggun dan wajahnya yang manis serta pakaian sederhana namun terlihat mahal, membuat orang-orang berpikir bahwa dia adalah seorang anak kaya dan keluarganya mempunyai sebuah perusahaan.

Ya, memang benar. Namun sayangnya─

"Rin! Sudah kubilang kalau kau tidak boleh pergi malam ini! Tidak sopan meninggalkan tamu di rumah!" Seorang lelaki yang merupakan kakaknya menghampirinya dengan raut marah.

"Kau bawel, Rinto! Terserah aku dong! Ini adalah hakku! Dan aku tidak peduli dengan tamu itu, mereka sungguh membosankan!"

"Tap─"

"Cukup, Rinto! Aku tidak mau mendengar sejuta alasanmu lagi! Aku tidak mau di dalam rumah dan bertemu teman-teman perusahaan Otou-san!"

ia adalah burung dalam sangkar.


A Vocaloid Fanfiction

Lonely Heart

Vocaloid © Yamaha & Crypton Production

Warning : typo (s), abal, gak jelas, dsb

Chapter One : Bodyguard!?


Rin Kagamine adalah nama gadis honey blonde tersebut. Gadis itu membenci nama belakangnya, nama keluarganya. Benci, sangat membencinya. Ia tidak ingin terlahir sebagai anak orang kaya, bahkan mempunyai perusahaan ternama seperti itu. Di sekolah dianggap sebagai anak sombong dan angkuh setiap harinya, membuat dirinya tidak bebas di dunia luar. Merutuki dirinya setiap hari tidak akan membuat perubahan pada kehidupannya, justru membuatnya semakin terpuruk. Ia pasrah.

Bahkan ia juga membenci saudara kandungnya, Rinto Kagamine. Ia tidak pernah memanggilnya dengan embel-embel niisan lagi semenjak Rinto SMA. Kenapa lelaki itu harus memihak pada orang tuanya, bahkan terlihat bersemangat ketika diberi amanat untuk meneruskan perusahaan? Kenapa? Apakah sebegitu pentingnya perusahaan?

Rin benci. Sangat benci.

Dan karena perusahaannya juga, banyak penjahat yang mengincar dirinya, mengincar hartanya. Oh astaga, sesulit inikah menjadi penerus perusahaan ternama? Rin tidak akan sanggup.

Perdebatan dengan kakaknya seperti saat ini hanya akan menimbulkan masalah baru. Terlebih lagi di tempat umum, namun Rin tidak terlalu memedulikannya.

"Rinto, aku tidak mau ... bertemu dan membicarakan perusahaan seperti itu. Aku tidak suka berbisnis!" ucap Rin pelan. Tangannya mengepal erat, berusaha untuk tetap tegar.

Rinto menghela nafas panjang. "Tapi kali ini tamu kita bukanlah orang-orang seperti itu. Ini tentang bodyguard pribadimu!" jelasnya sambil melipat kedua tangannya.

Tunggu ... bodyguard?

Otak Rin seakan terhenti. Seakan konslet, Rin hanya tercengang tanpa membalas ucapan kakaknya. Ia akan mempunyai bodyguard sendiri dan pastinya ia akan dikawal setiap hari. Teman harus dibatasi dan pergi pun harus bersamanya.

Dikawal setiap hari dan oh, tunggu─

"Rin?"

─bagaimana kalau bodyguardnya adalah seorang om-om botak dan jenggotan dengan badan kekar dan tato di sekeliling tubuhnya!?

Hell no! Mimpi buruk!

"TIDAK MAU! RINTO, ANTARKAN AKU PULANG SEKARANG JUGA!"

.

.


.

.

BRAAK!

Rin mendobrak pintu kayu rumahnya. Dengan tergesa-gesa, ia segera pergi ke ruang tamu. Namun, hasilnya nihil karena di sana hanya terdapat cangkir kosong dan rempah-rempah kue di sofa dan lantai. Rin kembali mendesah.

"Lily!" Rin memanggil bibinya dengan tidak sabaran.

Lily turun dengan tergesa-gesa. "Ada apa sih, Rin?" tanyanya sedikit kesal.

"Kemana─"

Seakan bisa membaca pikiran Rin, Lily memotongnya dengan cepat. "Ah, mereka mengantarkan tamu itu ke apartement-nya,"

"Apakah tamu itu─"

"Dia adalah bodyguardmu, Rin. Kau harus menerimanya dengan lapang dada."

"Bagaimana dengan─"

"Tenang saja, dia ganteng kok ... perfect lagi," Lily mengedipkan mata kanannya, mencoba menggoda Rin.

Lagi-lagi dipotong. Rin tidak suka.

Rin memutar bola matanya, mendesah bosan. "Geez, bisakah kau tidak memotong ucapanku saat aku bertanya!?" sahutnya sebal. "Dan aku bahkan belum mengenalnya. Bagaimana aku bisa mengatakan kalau dia perfect seperti yang kau bayangkan!?"

Lily tertawa pelan. "Tenang saja. Percayalah padaku, Rin-chan!" ia kembali mengedip nakal dan sungguh membuat Rin ingin muntah.

"Tolong jangan potong ucapanku lagi," Rin melipat tangannya di depan dada dan sedikit mendongak, sedikit bersikap angkuh "Kenapa aku harus memakai bodyguard? Aku kan sudah besar!"

"Karena mulai besok aku akan kuliah di Amerika~!"

Yang menjawab bukan Lily, melainkan Rinto dan itu membuat Rin mengernyit tidak paham. Lelaki itu menjawab dengan senang, seakan ia terbebas dari sesuatu.

"Lalu? Toh, dulu kau bukan bodyguardku, kan?" Rin mengangkat sebelah alisnya. "Dan kau juga bukan tipikal kakak yang overprotective terhadap adiknya. Tapi kenapa sekarang aku harus punya bodyguard?"

Rinto tertawa pelan. "Hei, gini-gini ... aku juga memperhatikanmu dari kejauhan tau!" ia mencubit pipi Rin gemas. "Di luar sana, banyak penjahat yang mengincar kau. Tenang saja, aku yakin seratus persen kalau kau akan senang dengan kehadirannya. Kau tidak perlu cemas,"

Alis Rin terangkat lebih tinggi, ia tidak paham mengenai jalan pikiran Rinto. Terlebih lagi ketika perlakuan Rinto terhadapnya yang mulai melunak. Rinto sangat jarang berinteraksi dengan Rin walaupun mereka seatap. Bahkan kadang tidak ada percakapan diantara keduanya dalam sehari penuh.

Ada apa sebenarnya?

.

.


.

.

Kringg!

Bel sekolah berbunyi nyaring. Rin ─yang kecepatan larinya luar biasa─ menghela nafas lega ketika ia masih diberi kesempatan oleh satpam sekolah. Kesiangan benar-benar membuatnya tergesa-gesa untuk melakukan aktivitas pagi ini –terlebih lagi ketika mobil pribadinya sedang rusak. Sungguh menyebalkan ketika harus berlari mengejar waktu.

Untungnya kelas X-A berada di lantai pertama sehingga ia tidak perlu repot-repot untuk menaiki tangga. Ia menggeser pintu kelasnya dengan lesu dan langsung menuju ke mejanya. Tanpa bersuara sepatah kata apapun, Rin menarik bangku dan mendudukinya. Kepalanya ditelungkupkan di meja, wajahnya terlihat sangat tidak bersemangat.

Seorang gadis twintail toska menghampirinya dengan raut panik.

"Rin! Apa yang terjadi padamu?" tanyanya penasaran. "Kok kusut begitu?"

Rin mendongak. "Ah, Miku. Aku belum di setrika," jawabnya asal.

"Hah?"

Tidak ada respon lagi dari Rin.

Merasa diacuhkan, Miku mengembungkan kedua pipinya. "Hei! Jawablah dengan benar! Aku ini kan sahabatmu, Rin!"

"Tapi aku tidak ingin menceritakannya sekarang, Miku," Rin menghela nafas panjang. "Badmood,"

Miku menghela nafas panjang. "Hm ... baiklah kalau memang begitu. Aku tidak keberatan, kok," ucapnya pelan. "Oh ya, hari ini-"

Sreet!

Miku segera kembali ke tempat duduk dan tidak sempat menyelesaikan kalimatnya. Kiyoteru-sensei masuk dengan seorang pemuda di belakangnya. Rambutnya yang honey blonde dikuncir di atas, kedua manik mata biru serta wajah yang shota dan manis. Semburat merah menghiasi pipi para gadis. Astaga, bahkan ketampanannya menyaingi wajah Kaito –sang idola sekolah yang sangat baka.

"Selamat pagi, semua~!" sapaan hangat dari sang wali kelas membuat semuanya kembali tersadar dari lamunan mereka. "Hari ini kita kedatangan teman baru. Kamine-kun, tolong perkenalkan dirimu,"

Pemuda itu maju dan tersenyum kecil. "Namaku Len Kamine. Senang bertemu dengan kalian," ucapnya dengan ramah.

"Kyaa ... tampannya!"

"Dia benar-benar imut~!"

"Senyumannya manis sekali~!"

Dan jeritan-jeritan serupa terdengar dari mulut para gadis –terkecuali untuk Rin dan Miku. Rin hanya bertopang dagu dan memasang wajah datar, terlihat tidak tertarik sama sekali. Rin mendengus sebal.

"Apanya yang bagus dari dia?" gumamnya pelan. "Masih cakepan Kaito daripada dia. Tapi sayangnya Kaito sudah milik Miku," ia melihat ke arah Miku dan Kaito yang duduk semeja. Sedikit iri pada sahabatnya karena Miku begitu beruntung mendapat cowok seperti Kaito (walaupun Kaito sangat baka).

"Baiklah, Kamine-kun. Kau bisa duduk di sebelah Kagamine-san," ucap Kiyoteru dengan senyuman lebar.

Rin tercengang ketika Kiyoteru menyuruh hal seperti itu. Rin tidak tahu harus berekspresi apa ketika mendengar keluhan gadis. Terlebih lagi ketika merasakan deathglare dari teman-temannya. Rin bergidik ngeri.

Para siswi kecewa, berbagai keluhan terdengar.

"Sensei, kenapa tidak sama aku saja?"

"Yaah ... Kamine-kun kau seharusnya duduk denganku~!"

"Aaa ... sayang sekali ..."

"Aku mau sama Kamine-kun~!"

Dan berbagai keluhan lainnya.

Rin tidak habis pikir dengan gurunya yang tidak memikirkan keselamatan muridnya. Apakah guru gila itu ingin mendorongnya ke dalam jurang deathglare? Lihat saja sekarang, ia sudah dikirimi aura hitam.

Padahal di sebelah Luka masih ada bangku kosong, tapi kenapa ia harus duduk di sini? Bisiknya dalam hati.

Len menarik bangkunya. "Ah, Kiyoteru-sensei menyuruhku untuk duduk di sini. Apa kau tidak keberatan, Rin Kagamine?" tanya Len dengan ramah.

Rin mengangguk cepat. "Dengan senang hati, Len Kamine. Aku tidak keberatan sama sekali, kok," Rin membalas dengan ramah.

Len menaruh tasnya dan duduk. "Terimakasih, oujo," bisiknya pelan.

Tanpa sepengetahuan Rin, Len menyunggingkan senyuman penuh makna yang entah karena apa.

.

.


.

.

Rin menggosok-gosokkan kedua tangannya yang tidak memakai sarung tangan. Salahkan dirinya yang lupa dan terburu-buru tadi pagi. Hembusan angin musim dingin tampaknya sedang tidak bersahabat. Ah, mungkin nanti malam akan terjadi badai salju lebat.

Bel pulang sudah berbunyi sejak setengah jam yang lalu. Tugas piket menghambat jam pulangnya. Mobil pribadinya yang rusak membuatnya harus pulang dengan menaiki bus. Sayangnya ia telat lima menit sehingga ia tertinggal bus.

Oh sial. Lagi-lagi ia harus menunggu.

Menunggu di halte sendirian merupakan hal yang biasa bagi Rin. Namun sepertinya ia tidak akan sendirian karena─

"Hei, Kagamine-san! Kenapa belum pulang?"

─seorang Len Kamine memanggil dan menghampirinya dengan raut wajah senang.

Rin memutar badannya dan tersenyum kaku. Kesialan melandanya lagi. Kenapa ia harus bertemu lagi dengan Len di tempat seperti ini? Beruntungnya tidak ada teman sekelasnya yang melihat ini.

"Kagamine-san?"

"A-ah ... aku habis piket," jawabnya pelan. "Bagaimana denganmu?"

"Habis membantu Kiyoteru-sensei," jawab Len agak sebal. "Oh iya, kita pulang bareng, ya! Sekalian aku mau mampir ke rumahmu,"

Rin terlonjak kaget. Ia semakin tidak paham mengenai pemikiran murid baru ini. Mampir? Memang dia udah sering main ke rumah Rin? Dikira rumahnya toko bunga kali, ya? Dekat sama dia juga enggak, lantas kenapa Len begitu bersahabat dengannya?

"Oi, Rin~!" Len menggerak-gerakkan kelima jarinya di depan wajah Rin yang tidak kunjung menjawab. "Boleh, gak?"

Rin tersentak dari pemikirannya. "Err ... memangnya kamu udah pernah main ke rumahku, ya? Kapan?" tanyanya sambil menggaruk rambutnya yang tidak gatal.

Len nyengir. "Yap, semalam," jawabnya santai.

Semalam? Rin mengernyit bingung. Ada apa semalam? Eh, tunggu dulu! Semalam itu kan ...

Rin terbelalak lebar. Rona merah terbentuk di kedua pipinya. "APA!? JADI KAU ADALAH─umph!"

Sebelum sempat Rin melanjutkan kalimatnya, Len sudah menutup mulut Rin dengan cepat. "Oujo, kalau anda berteriak keras-keras semuanya akan tau," ucap Len dengan tenang.

Rin melepas tangan Len darinya. Ia mengusap bibirnya seakan tangan Len membawa sejuta kuman. "Jangan panggil aku oujo dan jangan bersikap formal padaku jika kau adalah bodyguardku," sahutnya pelan.

Len menangguk. "Baiklah, aku akan memanggilmu Rin, tapi kau juga harus memanggilku Len. Bagaimana, oujo?"

Rin meliriknya tajam. Jika ia memanggil Len dengan nama depannya, pasti setiap hari ia akan dikirimi deathglare karena dikira sudah berpacaran dengan Len. "Grrh ... kau ini ..."

"Baiklah jika oujo tidak mau ... saya akan memanggil dan berbicara dengan anda dengan formal," Len menyeringai kecil. "Sehingga ... orang-orang tahu kalau keluarga anda─"

"Cukup! Cukup, Len Kamine!" Rin mendesah pelan. Ternyata pemuda ini licik dan tidak mudah menyerah. "Baiklah, L-Len. Aku mau," jawabnya pasrah. Ia malas berdebat dengan pemuda ini lebih lama lagi.

Len tersenyum lebar. "As your wish, Oujo –maksudku Rin,"

Rin menghela nafas panjang. Kemudian memperhatikan pemuda itu dari atas sampai bawah. Ia sama sekali tidak pernah terpikirkan punya bodyguard seorang pemuda tampan, pintar dan satu kelas dengannya. Tanpa sadar senyum tipis terbentuk di bibirnya. "Kupikir tidak ada salahnya juga jika mempunyai pengawal sepertinya," gumamnya pelan.

"Hm? Kau berkata sesuatu, Rin?" tanya Len sambil memiringkan kepalanya dan tersenyum tipis.

Rin mengalihkan pandangannya dengan cepat, merasa dipergoki karena mencuri pandang. Pipinya terasa memanas. "T-tidak. Ah, busnya sudah datang. Ayo, Len,"

"Baiklah," Len mempersilahkan Rin naik duluan. Tepat saat Rin berada di sampingnya, Len berbisik, "Wajahmu sangat lucu jika blushing seperti itu, oujo –aah maksudku Rin,"

JDUAKK!

Kepala Len dibenturkan ke dinding bis dengan kencang.

"Diamlah, Len!"

Oke, jadi pemuda ini akan membawa keberuntungan atau kesialan?

.

.


.

.

Sesampainya di rumah, mereka berdua langsung di sambut oleh Rinto dengan tatapan jahil. Rinto kecekikikan entah karena apa.

"Wah, wah, tebakanku benar kan, Rin?"

Rin mendengus sebal. "Shut up, baka Rinto! Dan juga kenapa kau belum berangkat, huh?"

Rinto tertawa. "Hm ... aku ingin bertemu Len sebelumnya," ia merangkul Len. "Ini urusan lelaki,"

Rin memutar bola matanya bosan. "Ya, ya, terserah kau," Ia segera melangkah ke kamarnya yang berada di lantai dua dengan perasaan kesal.

Setelah Rinto yakin kalau Rin tidak menguping, ia segera melepas rangkulannya. "Haah, kuharap kau bisa mengatasi adikku. Sifatnya yang dingin dan keras kepala mungkin akan menyusahkanmu. Ahh, maaf ya kalau Otou-san ku menyuruhmu menjadi bodyguard Rin,"

Len menggeleng pelan. "Serahkan padaku. Aku akan selalu mengabarimu," Len tersenyum lebar.

Len benar-benar anak yang baik dan sepertinya ia cukup sabar. Hmm ... mungkin mereka akan cocok jika Rin berpacaran dengan Len, pikir Rinto.

"Hei, Len, apa apartement-mu berada di dekat sini?"

Len mengangguk. "Yap, tenang saja. Dengan begitu aku akan bisa memperhatikannya!"

Rinto menghembuskan nafas lega. Senyuman terukir di bibirnya. Aku tidak perlu khawatir lagi kalau begitu.

"Jam berapa pesawatnya?"

"Sore, tenang saja," Rinto menepuk bahu Len. "Oh ya, orang tuaku sedang dinas keluar negeri, jadi di sini hanya ada Rin dan Lily,"

"Oh, baiklah,"

"Len, boleh aku bertanya sesuatu?"

"Apa?"

"Bagaimana kalau kau berpacaran dengan Rin aja?" tanya Rinto tanpa sadar. "Daripada jadi bodyguard, mending jadi pacar aja,"

"Eh?" Len merasakan wajahnya mulai memanas. "A-a-apa maksudmu, Rinto?" tanyanya sambil mengalihkan pandangannya.

Rinto tersadar akan pertanyaannya yang memalukan. Ia tertawa hambar. "Ahahaha ... otakku sedang konslet hari ini. Maaf, ya, berbicara seperti itu," ucapnya pelan.

Baka Rinto, aku benar-benar bodoh! Aku kan tidak berniat bertanya seperti itu, Rinto merutuki dirinya dalam hati.

Pertanyaan macam apa itu tadi!? Tidak mungkin kan aku berpacaran dengan Rin, ucap Len dalam hati.

Dan ternyata Rin juga mendengarnya saat ingin turun dari tangga. Ia segera membatalkan niatnya dan langsung masuk ke dalam kamar serta menguncinya. Pundaknya terasa lemas, Rin segera bersandar di pintu dan menutupi wajahnya yang sudah semerah tomat. Ia sangat malu apa yang baru saja dikatakan kakaknya.

"Bodoh! Baka Rinto!" umpatnya pelan.

Benar-benar sial hari ini. Bagaimana ia bisa bertatap muka lagi dengan Len kalau begini?

.

.

To Be Continued

.

.

Author's Note :

Ow ... apa yang sudah saya tulis? Err ... baiklah first fic in this fandom.

Konnichiwa, minna-san! Yoroshiku, ne! Salam kenal!

Oke, fic ini spesial untuk kalian yang telah membacanya. Kirimkan saran, komentar, dan sebagainya asalkan jangan flame, ya

Umm ... ini sebaiknya Delete or Next?