"Apa kau sudah puas hanya dengan ini?"

"Mengapa tidak?"

"Tapi… kau adalah satu-satunya pihak yang terluka jika melakukan hal ini. Tidakkah kau…"

"Lebih baik aku yang terluka. Karena, jika aku tak melakukannya, maka dialah yang akan terluka. Dan aku membenci hal itu. Kau mengerti bukan?"

"Ya… aku mengerti, Izuna."

.

…*…

.

Diclaimer: Naruto belongs to Masashi Kishimoto

Saya tidak mendapatkan keuntungan material apapun dari pembuatan fanfiction ini.

Warning: AU, Classic Eropa World, rasism, OOC (maybe), Miss Typo(s) etc

Kesalahan data sangat mungkin terjadi akibat kurangnya wawasan penulis pada masa yang dimaksud.

Happy Reading.

.

…*…

.

Britania, 25 Desember 1796

"Kau melamun."

Kushina memandang Karin dengan wajah bodoh yang sebenarnya tak ingin ia tunjukkan. Ah, sudah berapa lama dia memandangi langit dan berpikir jika warnanya tak seindah warna mata pria itu? Bahkan kedatangan adiknya saja tak dia sadari.

"Karin? Sejak kapan kau di sini?"

"Setengah jam yang lalu. Aku sudah memeriksa setengah dokumen perdagangan batu bara di utara sementara kesadaranmu hilang entah ke mana." Karin meletakkan setumpuk dokumen di meja Kushina dan duduk menghadapnya. Wajahnya tampak bersinar nakal, seperti yang selalu dilakukannya tiap kali menemukan sesuatu yang menarik. "Jadi siapa pria itu?"

"Aku tak paham apa yang kau maksud." Kushina tahu, mengalihkan wajahnya yang memerah dari sang adik hanya akan menambah kecurigaan Karin saja, namun dia tak bisa menahan dirinya sendiri untuk tidak melakukan hal itu. "Aku tak berminat untuk menikah. Harus berapa kali aku mengatakannya padamu?"

Karin mengangguk kecil. Namun senyum lebarnya tidak menandakan jika dia percaya. "Kalau begitu, apa maksud surat yang dikirimkan oleh Lady Mikoto ya?"

"Surat? Surat apa?!"

Karin meletakkan sebuah surat yang amplop dan segelnya sudah terlepas di atas dokumen. Senyum lebarnya masih saja terpampang. "Hm, bagaimana ya? Kurir keluarga Uchiha datang satu jam yang lalu. Karena kupanggil-panggil kau tidak menyahut, kubuka saja surat itu dan kubaca isinya."

Kushina menghela napas panjang mendengar penjelasan bernada ringan dari adiknya. Mungkin dibesarkan tanpa orang tua memang banyak berpengaruh pada sikap serampangan gadis itu—tak beda jauh dengan Kushina sendiri. Salahnya juga yang lupa akan janji Mikoto untuk mengabari kejadian di pesta semalam melalui surat. "Sudah kukatakan untuk tak membuka surat-suratku, Karin. Jangan ikut campur masalah orang lain, sikapmu ini sama sekali tak menggambarkan sosok seorang Lady."

"Aku tak mau mendengar ceramah itu darimu. Lebih baik berkacalah dulu, tak ada perempuan yang mengenakan setelan jas, Lady Kushina Uzumaki. Sikapmu lebih tak Lady dibandingkan denganku."

Berdecak kesal, Kushina mengibaskan tangannya ke arah Karin. "Jangan urusi aku. Aku sudah memutuskan untuk menjalani hidup sebagai seorang laki-laki dan memimpin keluarga ini. Kau cukup urus saja kehidupanmu dan Nagato. Tumbuhlah menjadi gadis dan pemuda baik-baik dari keluarga bangsawan sehingga kelak kalian akan mendapatkan hidup yang lebih baik."

"Tapi, bagaimana denganmu?"

"Aku?" Kushina membeo pertanyaan Karin, tampak tak sepenuhnya mengerti akan pertanyaan dari adiknya. "Aku bahagia dengan kehidupan yang seperti ini."

"Aku juga bahagia dengan hidupku sekarang."

"Kau pantas mendapatkan hidup yang jauh lebih baik dari ini. Mendapatkan suami dari kalangan atas, menikah baik-baik dan menjalani hidup terhormat sebagai seorang wanita bangsawan."

Karin tampak ingin membantah. Mulutnya sudah terbuka untuk menyatakan ketidaksetujuan, namun akhirnya dia menelan lagi segala yang hendak dikatakannya. Ia hanya menghela napas panjang. "Sudahlah. Aku tak ingin membahas itu. Katakan saja padaku siapa laki-laki yang disebut-sebut Lady Mikoto berdansa denganmu semalam."

"Itu bukan urusanmu. Kembali ke kamar dan bersiaplah untuk latihan dansa sore ini."

Gadis muda itu memberengut tak suka. "Aku membenci latihan dansa bersama Miss Tsunade. Dia selalu berhasil menemukan kesalahanku dan membuat pergelangan kakiku terasa patah."

"Itu artinya tarianmu memang belum bagus."

"Cara bicaramu seolah kau ratu dansa saja."

"Aku? Jangan bercanda." Kushina meletakkan kepala di atas punggung tangannya dan menyeringai kecil. "Jadi, kembali ke kamar dan rapikan kepanganmu. Jika perlu, panggillah Shizune untuk melakukannya. Kau selalu menyisakan anak rambut jika melakukannya sendiri."

"Tak bisakan aku mengurai rambutku seperti yang kau lakukan, Kushina?"

Mata memohon dan wajah polos sang adik tampaknya sudah tak lagi mempan bagi Kushina. Gadis itu hanya mengibaskan tangannya lagi. "Tidak sopan bagi seorang nona muda mengurai rambutnya."

Karin menggerutu pelan sambil bangkit dari kursinya. Mengetuk-ngetukkan sepatunya ke atas lantai dengan nada keras, untuk menunjukkan kekesalan. "Baiklah, aku tak akan berusaha merayumu lagi, Lady Kushina Uzumaki. Jadi, sekarang kau harus mengatakan padaku siapa pria yang berdansa bersamamu semalam. Atau aku akan membuatmu mengatakannya."

"Cobalah jika kau bisa, Lady Karin Uzumaki." Kushina tersenyum meremehkan. "Dan aku yakin kau tak akan dapat melakukannya."

"Aku pasti akan mengetahuinya!"

"Apapun katamu, My Lady."

Karin mendecih kesal dan pergi meninggalkan ruangan itu dengan membanting pintu. Kushina tertawa puas, membuat alis adiknya berkerut kesal sudah menjadi salah satu kegemarannya.

"Dasar gadis remaja."

Karin tumbuh menjadi duplikat sempurna darinya. Liar, berkemauan keras, terbuka dan keras kepala. Bukannya Kushina tak senang akan hal itu, namun dia ingin adiknya merasakan kehidupan normal sebagai seorang putri bangsawan. Lengkap dengan teman-teman wanita bersuara melengking, bangsawan tampan, pernikahan mewah dan anak-anak yang manis. Dia sama sekali tak ingin membuat Karin menjalani hidup yang sama dengan yang dijalaninya.

Diambilnya beberapa dokumen yang tadi diperiksa Karin, memastikan ulang pendapatan mereka dan biaya yang dibutuhkan untuk meneruskan pertambangan itu. Senyum kecil tersungging di wajahnya melihat beberapa coretan tinta dari adiknya mewarnai halaman demi halaman berkas itu. Mencatat kemungkinan dan kesalahan yang ada di dalamnya.

Karin memang berbakat untuk menjadi penerusnya. Tapi bukan berarti ia berencana mati muda dan menyerahkan bisnis keluarga Uzumaki ke tangan sang adik. Apalagi Nagato juga masih membutuhkan banyak perhatiannya.

Kushina menghela napas panjang. Cukup sudah ia mengkhawatirkan keluarganya, Kushina harus merilekskan pikirannya barang sejenak.

Mungkin membaca surat dari sang sahabat yang berbau romansa bukan hal yang buruk untuk beristirahat. Ia membuka surat yang dibawa Karin tadi. Menemukan tulisan tipis dan melingkar-lingkar khas milik Mikoto di atas kertas bercapkan simbol keluarga Uchiha. Ia tersenyum.

.

.

Britania, 25 Desember 1796

Dari meja Lady Mikoto Uchiha.

Untuk Yang Terhormat Lady Kushina Uzumaki, The Duchess.

Salam sejahtera untuk Anda.

Oh, Kushina, aku tak yakin dapat menuliskan terlalu banyak keformalan dan aturan sebagai pembuka pada surat ini—seperti surat-surat pada umumnya. Aku tahu, kau mungkin akan kesulitan membaca tulisanku yang berantakan. Namun yakinlah, aku menuliskannya pukul empat pagi. Aku tak dapat tidur. Tiap kali aku memejamkan mataku, selalu bayangan wajah Fugaku Uchiha yang terlihat. Dan itu membuatku gugup dan malu di saat yang sama.

Akhirnya aku mengerti maksud kata-katamu, Kushina. Kurasa kau benar, aku memang ditakdirkan untuk berada di jalan ini. Menikah dan memiliki anak-anak. Kurasa Fugaku adalah orang yang tepat untuk menjadi pendampingku.

Dia begitu lembut dan sopan. Memperlakukanku bagaikan seorang putri. Dia bersikap seolah aku adalah barang antik yang akan pecah jika sedikit saja diperlakukan dengan kasar. Dan aku sangat menyukai sikapnya itu.

Aku benar-benar tak mengerti. Hilang ke mana kegundahanku saat aku berkata padamu jika aku tak ingin menikah? Oh Tuhan, aku sudah benar-benar salah saat mengatakan hal itu.

Kushina, aku tahu jika kau tak akan mengerti apapun yang aku katakan di sini. Dan aku juga sama sekali tak bermaksud untuk memaksamu melakukan hal yang sama denganku. Namun, kumohon Kushina. Dengarkanlah aku kali ini saja.

Aku tahu perasaanmu. Aku tahu ketakutanmu. Aku mengerti jika kau berada dalam posisi yang tak menyenangkan di sini, dan aku tahu rasanya.

Namun, pernahkah kau berpikir, apa yang membuat Lord Uzumaki menikahi Lady Mito Uzumaki meski tahu akan banyak pihak yang menentang?

Ya, Kushina. Itulah cinta. Kau terus lari dari perasaanmu sendiri. Berusaha membunuh hatimu. Namun malam ini, aku melihatnya. Sebuah cinta yang amat besar telah tumbuh di hatimu. Cinta yang kau tujukan untuk pria yang berdansa denganmu.

Kushina, hanya dengan melihatnya saja aku tahu jika pria itu telah jatuh cinta padamu. Seperti kau jatuh cinta padanya.

Maka, kumohon Kushina. Bukalah hatimu untuknya barang sedikit saja. Cobalah untuk menerima perasaanmu. Dan mungkin, kau akan mengerti apa yang tengah kurasakan sekarang pada Fugaku.

Yakinlah. Aku hanya ingin kau bahagia, sahabatku…

Dan semoga kesejahteraan selalu bersamamu.

.

Dari sahabatmu, yang terus mendoakan kebahagiaanmu.

Mikoto Uchiha.

.

.

Kushina mengedipkan matanya membaca surat tersebut. Entah hanya perasaannya atau dunia sedang berkomplot untuk memaksanya menikah.

Ia menarik napas panjang, surat tersebut setengah terakhirnya sama sekali tak terbaca seperti surat yang ditulis dengan pemikiran Mikoto sendiri. Gadis berperangai lembut yang telah menjadi sahabat Kushina sejak mereka masih menjadi gadis kecil berpipi merah muda itu tentu tak akan memaksa Kushina menikah—apalagi dia tahu segala hal yang membuat sang bangsawan Uchiha menolak takdirnya sebagai wanita. Seolah-olah ada orang lain yang sedang mendiktekan apa yang tengah dipikirkannya pada Mikoto dan memaksa gadis itu untuk menulisnya.

Tapi siapa?

Kushina segera menghapus nama Madara Uchiha dalam daftar itu. Pria tua menyebalkan yang sialnya juga merupakan ayah dari kedua sahabatnya itu tidak mungkin menginginkan Kushina menikah—tentunya tanpa tujuan tersembunyi.

Mungkinkah Izuna yang melakukannya?

Bisa jadi. Pemuda itu juga mendesaknya untuk menikah semalam. Bahkan dia juga mencarikan pria yang mungkin sesuai dengan kriteria hati Kushina—dan kebetulan salah satu di antaranya termasuk. Suatu tindakan yang ganjil. Bahkan lebih ganjil dibandingkan dengan sikap Izuna yang memang sudah sejak awal tak mudah untuk diprediksi.

"Huh, sebentar lagi Mikoto akan menikah dan meninggalkanku. Izuna juga hendak menikah—ah, sial, aku lupa mengintrogasinya soal itu semalam. Setelah itu Karin akan menikah, agak lama kemudian dilanjutkan oleh Nagato. Dan aku tetap akan sendirian dan kesepian…"

Kushina memandangi langit sebelum menghela napas panjang. "Menikah ya? Mungkin itu tak seburuk yang kuduga sebelumnya."

Langit biru bergeming, warna birunya sedikit lebih gelap dibandingkan saat terakhir kali Kushina melihatnya.

.

…*…

.

Fugaku memandangi sahabatnya yang terus berjalan hilir mudik di dalam ruangannya tanpa berhenti. Dari sudut ke sudut, dari ujung ke ujung. Tampak begitu frustasi dengan pikirannya sendiri.

"Kau harus istirahat, Minato. Lusa adalah hari keberangkatanmu untuk menjelajah tanah baru. Dan kali ini kau akan sendirian. Jangan sampai tenagamu terkuras untuk hal yang tidak penting seperti ini."

Minato mendecih kesal. Matanya menusuk tajam pada rekan sekaligus penolongnya sepuluh tahun lalu. Bersahabat dengan pria itu memang terasa menyenangkan di atas laut—solideritas sesama pria yang merindukan belahan jiwanya. Namun begitu sampai di darat dan pria Uchiha itu bertemu tunangannya… yah, mungkin Minato hanya iri saja.

"Kau bilang ini tidak penting? Sudah berapa lama aku bekerja di kapalmu dan mendaulat diri sebagai sahabatmu?" Minato menghentikan gerak gelisahnya dan duduk di salah satu kursi kayu yang ada di sana. "Seharusnya kau sudah tahu seberapa aku ingin bertemu dengan gadis itu kan?"

"Dan kau sudah bertemu dengannya," tambah Fugaku. "Kupikir itu sudah cukup. Apalagi setelah kau tahu jika itu adalah Lady Kushina Uzumaki."

"Apa maksudmu?"

Fugaku menghela napas panjang. Ditepuknya pundak Minato sebagai bentuk ungkapan duka cita yang tak terkatakan. "Selama ini kau selalu membuat kisahmu seolah gadis yang kau temui itu seorang ginger anggun yang memesona bagaikan seorang peri. Aku sama sekali tak menyangka jika dia adalah Lady Uzumaki."

"Aku sudah mengatakan jika dia wanita yang kuat dan tangguh bukan? Dan dia sama sekali tak berubah. Masih tetap seperti yang ada dalam benakku."

"Ya, dia masih tetap binatang buas."

Minato tak mendengarkan. Pria itu justru diam sembari menopang dagunya. Matanya terpejam, seolah ia sedang menyelami lautan waktu untuk mengenang kembali sosok gadis yang telah menjerat hatinya sekian tahun lalu. "Yang tak kuduga adalah jika kau mengenalnya. Dan tunanganmu adalah sahabat baiknya. Dunia ini terlalu sempit."

"Ya, sempit," Fugaku membeo sembari menyesap tehnya. Sengaja dihindarinya sosok sang sahabat yang masih tenggelam dalam manis pahitnya percintaan. Sungguh, dia tak ingin menghancurkan imajinasi pria Spanyol itu. Namun ia juga tak bisa diam saja dan pura-pura tak tahu. "Saking sempitnya, dia kelak akan menjadi kakak ipar istriku."

Minato melayangkan tatapan tajam meminta penjelasannya.

"Madara Uchiha berencana menjodohkan Izuna dengan Kushina. Akhir minggu adalah waktu yang ditetapkannya."

"Izuna? Pria yang bicara pada Kushina saat pesta kemarin bukan?" Minato mengetukkan jari-jarinya pada tepian meja dengan serius. "Dia mencintai Kushina."

"Omong kosong. Yang kudengar, dia justru menolak pernikahan paksa ini."

"Dia memiliki mata yang sama denganku. Mata yang selalu terpaku pada seorang gadis dan tak akan pernah lepas." Minato tersenyum kecil dan menunjuk matanya sendiri. "Dia mencintai Kushina. Itu adalah hal yang pasti dan tak terbantahkan. "

Fugaku hanya mengangkat bahunya tak peduli. Terkadang teman baiknya itu sama mudahnya dipahami seperti seekor phoniex. "Kalaupun memang benar, apa yang akan kau lakukan? Asal tahu saja, Madara Uchiha bukan pria tua yang mudah untuk melepaskan sesuatu. Jika dia sudah bertekad, maka apapun akan dia lakukan untuk mendapatkannya."

"Aku juga pria yang sama keras kepalanya."

"Kau akan berusaha mengejar gadis itu? Sadarlah, Minato. Dia tak mungkin memilihmu, dia bangsawan dan kau… kau hanya pelaut sekarang. Kau tak akan mendapatkannya."

"Jangan pernah menyimpulkan sebelum memulai sesuatu."

Fugaku mendecih kesal. "Lupakan saja gadis liar itu, ada ratusan gadis yang akan dengan senang hati menjadi istrimu dan melayani kebutuhanmu. Mengapa kau selalu saja melakukan hal yang sulit?"

Minato bangkit dari duduknya dan menyambar jas hitam yang ia letakkan di atas meja. Sebuah senyum percaya diri tersungging di wajahnya. "Tentu saja karena aku adalah seorang petualang," ia menjawab dengan percaya diri. "Aku akan memburu dan mendapatkan apa yang aku inginkan hingga mendapatkannya."

"Dan kau akan pergi menemuinya? Menemui wanita itu?"

"Kenapa tidak?"

"Sekarang? Tanpa perencanaan apapun? Kau gila, Minato. Apa kau tak ingat jika tiga hari lagi kau akan melakukan pelayaran? Apa kau ingin meninggalkannya setelah mendapatkannya? Tega sekali kau."

Minato mengangkat bahunya tanda jika ia sendiri tak tahu apa yang akan dilakukannya. "Kushina akan dilamar tujuh hari dari sekarang. Aku akan pergi tiga hari lagi. Hanya ini saja kesempatanku untuk mendapatkannya. Mana mungkin aku melepaskannya begitu saja?"

Fugaku sudah mengenal Minato Namikaze sepanjang perantauannya di tengah samudra. Dan dia tahu, tak ada yang dapat mencegah Minato melakukan apa keinginannya. Termasuk dirinya sendiri. "Terserah kau sajalah. Aku tak akan ikut campur lagi, Minato."

"Aku memang tak berharap kau akan membantuku," Minato membuka pintu. Kemudian dia menoleh lagi pada sahabatnya yang sudah banyak mengarungi samudra kehidupan bersama. "Tapi kau harus ingat, bukan hanya kau satu-satunya orang yang mendarat di pulau Britania untuk meraih cinta."

BLAM.

Pintu ditutup.

Fugaku Uchiha hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala saja melihat tinggkah sahabatnya. Sebuah senyum kecil tersungging di wajahnya.

"Kushina Uzumaki ya…" dia bergumam pelan sambil memandang langit-langit kamarnya yang membosankan. "Siapa sangka tipe wanita idealnya adalah seekor binatang buas berambut merah."

Pria itu mengalihkan matanya pada celah di antara pintu, mengamati punggung sang sahabat yang kian menjauh, untuk meraih pujaan hatinya sendiri.

"Yah, semoga kau berhasil menjinakkannya, Minato Namikaze."

.

…*…

.

Suara ketukan pintu dan sebuah kepala bersurai merah yang melongok penasaran dari baliknya.

Kali ini sang adik bungsu yang menjadi tamunya.

Kushina tersenyum kecil. "Masuk, Nagato. Tak biasanya kau menemuiku di tempat ini."

Anak laki-laki itu masuk, matanya menjelajah ruang kerja Kushina dengan raut penasaran. Raut yang selalu ditunjukkannya tiap kali datang ke tempat itu. "Karin menyuruhku untuk menanyakan siapa pria yang berdansa denganmu semalam."

"Gadis itu benar-benar tak mudah menyerah. Dia bahkan menggunakanmu untuk menanyakannya padaku." Kushina memberi isyarat pada Nagato untuk duduk di atas kursi di hadapan Kushina. "Apa yang Karin janjikan padamu jika kau mendapatkan jawabannya?"

"Dia akan memberikan setengah tabungannya agar aku dapat membeli buku yang kuinginkan," jawab Nagato cepat.

Satu tarikan napas panjang kembari Kushina keluarkan. "Kakakmu itu lebih dewasa saat berusia sembilan tahun dibandingkan saat sembilan belas tahun."

"Dia hanya ingin meyakinkan dirinya sendiri. Jika kau menikah, maka mungkin dia juga akan mendapatkan seorang suami juga."

Kushina memandang adik lelakinya dengan tatapan tidak senang. "Tentu saja Karin akan mendapatkan suami. Segera. Dia gadis yang baik, aku yakin banyak pria yang akan berebut mendapatkannya."

"Ya, andai rambutnya tidak merah." Nagato memandang kakaknya dengan tatapan yang sama tajamnya. "Jangan berusaha menyangkalnya, Kushina. Aku tahu selama ini kau terus membohongi dirimu sendiri dengan berpikir jika aku dan Karin akan dapat menjalani kehidupan normal seorang bangsawan. Namun katakan padaku, bagaimana caranya kami harus bergaul dengan orang-orang yang terus menghina kami dari belakang? Satu-satunya orang yang akan menikahi kami—tidak, kita—hanyalah mereka yang matanya dibutakan oleh harta dan tahta hingga tak lagi memikirkan garis keturunan."

Kalimat dalam surat Mikoto berputar dalam kepalanya. Membuatnya merasa pening. "Tapi bagaimana dengan Ayah dan Ibu?" tanyanya dengan nada parau. "Ibu tak memiliki apapun saat menikah dengan Ayah."

"Kita tak bisa membandingkan hidup mereka dengan kita." Nagato merapikan tumpukan berkas di sudut meja yang baru Kushina rampungkan dengan wajah getir. "Karena Ibu tak memiliki apapun, dia menikah karena cinta. Dan karena kita memiliki segalanya, kita menikah karena keegoisan atas harta dan kekuasaan."

Sebuah kesadaran tiba-tiba masuk dalam benak Kushina. "Nagato…"

Adiknya menoleh dengan malas-malasan. Masih terlalu sibuk dengan tumpukan kertas di sudut meja yang mewakili sebagian dari harta yang mereka miliki.

"Apakah… kau dan Karin mencoba menjadikanku model kalian dalam mengarungi kehidupan?"

"Aku tak bisa menyangkalnya." Semudah itu Nagato mengakuinya.

Kushina menyandarkan tubuhnya pada kursi dan tertawa mengejek dirinya sendiri. "Ah, bodohnya aku. Tentu saja aku tak bisa berharap jika kalian tidak akan meniruku. Kalian adalah adikku. Tanpa sadar, aku telah menanamkan bibit-bibit pemikiranku pada kalian."

"Kami melihatmu bekerja dan berusaha tiap hari untuk kami. Bekerja dan bekerja hingga kau tak lagi mempedulikan penampilan dan sikapmu, hanya agar kami dapat tumbuh menjadi orang yang disegani."

"Kau sendiri sudah tahu hal itu. Aku akan melakukan apapun untuk kebahagiaan kalian."

"Kami tidak manja, Kushina. Kami ingin membantumu." Nagato memandang kakaknya dengan tatapan menantang. "Dan tak ada yang salah pada keinginan seorang adik untuk membantu kakaknya, bukan?"

"Tidak. Tentu saja tidak ada yang salah…" Kushina menghela napas lelah dan tertawa tercekat. Entah mengapa ia merasa kalah—ia tak pernah merasa seperti ini sebelumnya sejak kematian ayahnya dulu. "Yang salah hanya aku. Dan aku sama sekali tak tahu bagaimana cara untuk menebusnya."

"Menikahlah."

"Apa?"

"Menikahlah." Nagato mengulangi kata-katanya. "Menikahlah karena kau menginginkannya. Menikahlah karena kau mencintainya. Menikahlah karena kau dicintainya. Itu akan membawa bukti yang nyata bagiku dan Karin. Jika ginger juga pantas untuk dicintai."

Kushina tertawa kecil. "Tak biasanya kau bersikap puitis seperti ini."

"Bukan mauku." Nagato bangkit dari duduknya. "Pria itu yang berhasil meyakinkanku untuk membujukmu."

"Pria? Pria yang mana?"

"Pria sulung putra keluarga Uchiha." Kushina segera mencatat nama Izuna untuk dikiriminya surat panjang berisi komplain untuk tidak merecoki adik-adiknya. "Dan juga pria pirang yang sedang duduk di ruang tamu."

"A-apa?"

"Dia datang setengah jam lalu dengan kereta kuda."

Kushina memincingkan matanya curiga pada sang adik. "Kau membohongiku. Bukan Karin yang menyuruhmu datang. Dan kau tak mendapatkan iming-iming apapun darinya. Dia lah yang menyuruhmu menemuiku."

"Sebenarnya dia membawakan sebuah dokumen dari tanah baru yang aku inginkan."

"Kau ini… mengapa kau sudi melakukannya?"

Nagato tersenyum kecil dan melenggang keluar dari ruangan. "Bohong putih. Kurasa itu tak masalah."

"Tidak masalah bagimu. Tapi masalah bagiku."

"Kukatakan jika kau akan menemuinya dalam dua puluh menit. Dan itu lima menit lagi."

"NAGATO!"

.

…*…

.

"Izuna…"

"Aku tahu apa yang akan kau katakan, Mikoto." Pemuda yang namanya dipanggil tak menoleh dan terus berkutat dengan dokumen-dokumen yang tengah dikerjakannya. "Dan aku akan sangat menghargai jika kau tak mengatakannya."

"Jika begitu, silakan kau tak menghargaiku." Mikoto mengambil posisi berdiri tepat di hadapan kakaknya dan memasang wajah sendu. "Surat itu…"

"Harus ada yang mengatakan hal itu pada Kushina, gadis bebal itu tak akan dapat mencernanya sendiri." Mata yang masih tetap fokus pada gulungan di hadapannya, mengecap dengan stempel keluarga, sebuah kesibukan yang dilakukan hanya untuk menghindari pembicaraan tidak menyenangkan dengan sang adik.

Mikoto tersenyum kecil. Jari-jarinya memainkan renda pada gaunnya sebagai pelampiasan gundah. "Kau jatuh cinta pada Kushina. Aku tak mengerti mengapa kau terus menolak perjodohan ini."

"Karena aku tak ingin Kushina menilaiku sebagai pria yang hanya mengincar hartanya…"

"Kushina tak akan menilamu begitu!" Mikoto menutup mulutnya, tanpa sadar dia telah mengeluarkannya dengan suara keras—tidak sopan bagi seorang gadis terhormat. "Maaf…"

Izuna hanya tersenyum kecil dan mengangguk. "Tak apa-apa. Aku kakakmu, aku sudah mendengar tiap sisimu. Kau yang menangis menjerit-jerit saat bayi, kau yang terisak saat aku merusakkan bonekamu, kau yang mengalah tiap kali ayah membelaku, kau yang gundah saat membicarakan perjodohan, segalanya. Dan kini mendengarmu berteriak karena kau kesal padaku sudah melengkapi kebahagiaanku sebagai kakak."

"Izuna, kau terlalu baik. Kau pantas mendapatkan apa yang kau inginkan. Tapi…"

Pria muda itu mendongak menatap wajah adiknya. Diraihnya tangan sang adik erat. "Keinginanku hanya satu, melihat Kushina bahagia. Sama seperti aku ingin melihatmu bahagia, Mikoto."

"Tapi keinginanmu padanya dan padaku berbeda," bisik Mikoto lirih. "Aku adikmu, kebahagiaanku yang kau inginkan adalah kebahagiaan di mana kau bisa melihatnya dari jauh. Sementara Kushina, aku tahu, kau ingin menjadi orang di sampingnya yang terus mencurahkan kebahagiaan. Teman hidupnya."

"Aku bukan teman hidupnya. Aku adalah temannya seumur hidup."

"Izuna…"

Genggaman pada tangan Mikoto mengerat. Gadis itu dapat merasakan ada gelegar-gelegar kecil yang menjalar dari tangan kakaknya. Izuna gemetar. "Kau lihat sendiri bukan, bagaimana seorang putri bertemu pangerannya semalam. Sebuh cinta pada pandangan pertama. Hah, aku tak menyangka akan mengatakan hal bodoh semacam ini."

Ah ya, pria pirang yang semalam berhasil membawa sahabatnya ke lantai dansa setelah beberapa belas tahun Kushina meninggalkannya. Pria pirang yang dikenalkan oleh tunangannya sebagai sahabat selama di pelayaran. Minato Namikaze, Mikoto mengingatkan dirinya sendiri untuk terus mengingat nama itu.

"Kushina sudah menemukan teman hidup sejatinya. Dan itu bukan aku."

"Izuna… andaikan aku dapat melakukan sesuatu untukmu, pasti akan kulakukan apapun itu."

"Yang bisa kau lakukan hanya satu." Izuna tersenyum, meski di mata adiknya senyum itu terlihat sangat menyedihkan. "Bantu Kushina untuk jatuh cinta pada pria itu. Hanya itu yang bisa kau lakukan untukku."

"Tapi…"

"Tak ada yang harus kau khawatirkan, apalagi jika itu ditujukan untukku. Masih banyak gadis lain di luar sana, salah satunya pasti jodohku. Aku masih punya banyak waktu untuk mencari dan mencintainya. Tapi Kushina… dia perempuan di akhir usia muda, lingkungan sudah mendesaknya untuk menikah. Jika tidak maka… aku tak bisa membayangkan apa yang mungkin terjadi padanya."

Mikoto menunduk. Kehidupan memang berat untuk wanita, dipenuhi aturan dan adat yang wajib dituruti tanpa bantahan, dia menggeleng pelan. "Aku tahu."

"Lagipula sebentar lagi kau akan menikah." Izuna berdiri dan mengacak pelan rambut adiknya yang disanggul seperti wanita-wanita bangsawan lainnya. "Uruslah dirimu sendiri sebelum mengurus orang lain. Buat pernikahanmu menjadi pernikahan yang sempurna, Mikoto."

Ah, dilahirkan, tumbuh dengan merawat diri agar kelak menjadi wanita yang cantik, menikah dengan seseorang yang telah dijodohkan sebelumnya, memiliki anak dan meninggal. Kehidupan yang dilakoni oleh seluruh wanita, tanpa terkecuali. Mikoto mulai berpikir jika apa yang dikatakan Kushina ada benarnya juga.

Wanita adalah salah satu bentuk keganjilan adat.

.

…*…

.

"Untuk apa kau datang ke rumahku?"

Mata biru itu bersinar terang, sambutan yang tak terlalu ramah bukan jadi masalah, rona merah yang melekat di wajah adalah jawaban sesungguhnya dari gadis berambut merah. Ia tersenyum kecil. "Tentu saja untuk mengeluarkanmu dari sangkarmu kan?"

"Apa?"

.

…TBC…

.

A/N:

Aku sampai lupa punya tagihan FF jahe ini kalau nggak ada yang PM dan kasih tahu #ditendang. Karena sibuk ujian, mau nggak mau karir (?) di FFn harus ditunda dulu, dan begitu ujian selesai, aku malah banyak melupakan karya lama dan terpaku sama ide-ide baru. Salahku memang…

Dan ternyata beda dari rancangan awal, FF ini bakal lebih dari 2 chapter… mungkin 4 atau 5, dan aku harap aku bisa segera menuntaskannya sembari menyelesaikan Primadona dan satu proyek MC baru. Hahaha, derita seorang pengidap tabestry sindrom ya seperti ini…

Balas review dulu ya ^^

Nanase-chan: Iya, maaf lama, tapi aku lanjutkan kok ^^

han mi kyong: Ahahaha, niatnya begitu, tapi ternyata di luar perkiraan…

ridoru-chan: Sengaja aku deskripsikan biru kok, untuk menambah dasar dari salah satu legenda tanah britania ^^

namikaze zahra: Ah ya, nanti aku tambahin lagi kok, setelah UTS ya…

Bagi yang login, nanti aku balas via PM ya, sekalian ngobrol-ngobrol kalau sempat. ^^

Terima kasih yang sudah baca dan review serta fave dan follow. Lalu, jangan lupa kritik dan sarannya ya. Seorang penulis bukan apa-apa tanpa pembacanya.