Bad Form

Vocaloid Belong to Yamaha

Genre : Romance, Hurt/Comfort

Rate : K+

Character : Kagamine Len & Kagamine Rin

Summary : Aku bagaikan si buruk rupa disini. Tidak pernah ada pujian sedikitpun untukku. Yang ada hanyalah tuduhan atas kesalahan yang tidak pernah kuperbuat.


Aku membuka mataku dan melihat sosok gadis kecil berambut hitam, ah itu Rui adiknya Rin. Sepertinya aku ketiduran tadi. Dan aku sekarang sedang tergeletak di tempat tidur, di kamar Rin. Memalukan, aku menangis di depan seorang gadis, bahkan tertidur...

"Rui-chan, Rin mana?"

"Eh? Onii-chan udah bangun? Rin-nee lagi masak di dapur sama Okaa-chan. Rui panggilin ya?"

"Arigatou Rui-chan."

Rui-chan pun berlari pergi ke dapur sambil teriak-teriak memanggil kakaknya itu. Aku merasa kurang baik. Untunglah besok hari Minggu. Aku tidak mau tidak masuk sekolah hanya karena sakit seperti ini.

"Len sudah sadar? Kau istirahat saja dulu, sepertinya kau kurang sehat. Nanti pulangnya diantar sama ayahku kok!" tanya Rin yang tiba-tiba muncul.

"Tidak apa-apa, aku bisa pulang sendiri kok. Maaf sudah merepotkan." aku pun bangkit dari tempat tidur Rin.

"Tapi keadaanmu masih belum baik. Bahkan suhu tubuhmu tinggi sekali!" kata Rin.

"Biarlah, kalau aku mati juga tak akan ada yang peduli pada orang tak berguna sepertiku." tanpa sadar, kalimat itu terlontar dari mulutku.

"Tapi aku peduli!" kata Rin. Air matanya perlahan mulai turun.

Aku terdiam. Menatap wajah Rin yang basah akibat tangisannya. Aku merasa sangat bersalah. Gara-gara tingkah bodohku, ia jadi sedih dan menangis. Kali ini, silahkan salahkan aku. Aku tidak akan marah, karena ini benar-benar salahku. Rin langsung memelukku. Aku pun membelai lembut rambut blondenya itu.

"Jangan buat aku khawatir, Len..."

"Gomen, Rin..."

"Tak apa, jadi kau mau makan dulu atau langsung pulang?"

"Aku langsung pulang saja."

"Yakin? Dengan kondisi seperti ini? Aku akan bilang ayahku untuk mengantarmu."

"Tidak, jangan. Aku bisa pulang sendiri."

"Baiklah kalau itu maumu."

Aku pun berpamitan mau pulang, lalu Rin mengantarku sampai depan rumahnya. Aku pun berjalan menuju sekolahku. Aku sedang tidak mau pulang ke rumah. Kurasa aku akan menginap di rumah Mikuo. Kebetulan ada Kaito disana, mereka memang mengajakku menginap jadi aku sudah menyiapkan baju.

Aku pun mengirim pesan ke Mikuo untuk menjemputku di sekolah. Dan ia setuju.

Aku menunggunya sambil memainkan beberapa game yang menurutku tidak penting di ponselku. Yah, sangat membosankan untuk menunggu. Ditambah jarak rumah Mikuo yang lumayan jauh dari sekolah. Tiba-tiba aku mengingat Lily. Oh, itu membuatku ingin membuat suatu goresan lagi. Oh, kenapa terus saja begini?

Keinginan itu tak bisa lagi kutahan. Tapi tak mungkin 'kan kalau mereka nanti melihatku dengan tangan yang berdarah? Mereka akan tahu tentang apa yang kulakukan pada diriku selama ini, dan mereka bisa menasehatiku. Aku benci dinasehati, apalagi dimarahi. Aku sangat benci itu.

"Len! Gomen, tadi Kaito mau beli es krim dulu." kata Mikuo berlari ke arahku.

"Tak apa, aku menaikkan score di semua game di ponselku karena kau tidak datang-datang." kataku.

"Good job, Len! Aku tahu suatu hari kau akan suka game itu!"

Aku masuk ke mobil yang dikendarai oleh supir pribadinya Mikuo. Aku melihat Kaito sedang memakan es krimnya, ia tersenyum dan langsung memelukku. Mikuo tertawa melihatnya.

"Kaito lepaskan!" kataku.

"Ayolah, sudah lama aku tidak memelukmu seperti itu. Dan aku sangat suka jika poni-ponimu itu terangkat seperti ini. Kau terlihat sangat keren!" Kaito menyibakkan poniku dan ia juga memegang keningku.

"Hahaha... Bukannya aku memang keren?" kataku sambil tertawa.

"Siapa bilang, aku lebih keren kok!" kata Mikuo tiba-tiba.

"Len, kau sakit ya?" tanya Kaito.

"Tidak, aku tidak apa-apa."

"Tapi kau panas sekali! Mikuo coba kesini."

Mikuo menempelkan keningnya ke keningku, oke aku merasa tidak nyaman. Aku yakin orang yang melihat kami seperti ini akan salah paham, jadi aku mendorongnya. Lalu Mikuo bilang aku sakit, dan akhirnya aku pun menyerah. Aku hanya mengiyakan saja. Yah, lebih baik mengiyakan saja daripada harus berdebat dengan Mikuo. Berdebat dengan Mikuo, sama saja menghabiskan waktu luangku yang tersisa. Percayalah, jika berdebat dengannya, tak akan ada habisnya. Ia akan terus melawan sampai ia menang. Karena dia adalah 'King of Debate', begitulah kami menyebutnya. Bahkan, Meiko-sensei yang dijuluki 'Queen of Debate' pun dilawan.

"Tenang Len, sebentar lagi sampai." kata Mikuo.

"Ya..." kataku pelan.

Akhirnya kami sampai di rumah Mikuo yang bisa dibilang lumayan mewah. Rumahnya besar dan kamarnya banyak, itulah alasan aku dan Kaito sering menginap di rumahnya selain rumahnya paling sering kosong diantara kami bertiga. Itu membuat kami bebas disana. Yah, orangtua Mikuo terlalu sibuk bekerja. Kalau di rumahku selalu ada Lily dan Otou-san. Otou-san yang memiliki restoran kerjanya hanya melihat-lihat kerja anak buahnya itu, dan ia akan pulang sebelum aku pulang sekolah. Kalau Kaito, ada adiknya yang merepotkan. Adiknya sering membawa teman-temanya ke rumah dan mereka sangat berisik. Aku benci sesuatu yang berisik. Itu hanya akan membuat kepalaku sakit.

"Err... Kau mau makan?" tanya Mikuo padaku.

"Ada pisang?" tanyaku.

"Tidak sih.." kata Mikuo sambil melihat-lihat isi kulkasnya yang ternyata hanya berisikan daun bawang.

"Yasudah, aku tidak mau makan." kataku sambil langsung menyalakan TV.

"Dasar kekanakan." ejek Kaito.

"Aku cuma makan pisang kalau malam hari." kataku sambil menatap layar televisi.

"Kau jadi seperti siluman monyet..." kata Kaito pelan.

"Suka pisang bukan berarti monyet tau!" kataku setengah berteriak.

"Jangan-jangan kalau malam kau jadi monyet ya!" teriak Kaito.

"Enak saja! Jangan-jangan kalau malam kau jadi manusia salju! Jujur saja, Kaito!" teriakku lagi

Mikuo tertawa terbahak-bahak. Mungkin ia sedang memikirkan wujud Kaito dalam bentuk manusia salju. Yah, setidaknya aku masih memiliki sahabat baik seperti mereka. Kalau tidak ada mereka mungkin aku sudah tak tahu aku akan jadi apa nantinya. Mungkin sudah mati karena membusuk di kamarku, atau mungkin bunuh diri. Merekalah alasanku untuk hidup saat ini. Soal Otou-san dan Lily, aku tak begitu memikirkan mereka. Otou-san dengan bodohnya bisa jatuh cinta dengan wanita sepertinya. Aku sangat menentang pernikahan mereka waktu itu, tapi kemudian aku malah dikurung dikamarku.

Sudah pukul setengah duabelas malam. Tentu saja Kaito dan Mikuo sudah tidur. Kami tidur di satu kamar karena Kaito bilang ia ingin sekamar denganku. Kaito memang agak aneh kurasa. Aku tidak bisa tidur. Rasanya, aku ingin terus saja begini. Disini aku merasa lebih bebas. Tidak merasa tertekan seperti biasanya. Kaito dan Mikuo dengan baiknya selalu bersedia menemaniku disaat aku sedih. Mereka tahu soal ibu tiriku yang menyebalkan, tapi mereka tidak tahu soal luka-lukaku. Tidak ada yang tahu soal ini. Yah, aku selalu menutupinya. Aku tidak mau ada yang tahu soal ini. Terutama Rin.

Oke, aku memang pernah janji akan memperlihatkannya padanya. Tapi aku tidak pikir panjang waktu itu. Aku tidak mau memperlihatkannya pada Rin, aku takut dia akan berpikir hal buruk tentangku, lalu dia akan menjauhiku. Kalau boleh jujur, sebenarnya aku menyesal telah berjanji pada Rin. Padahal, aku sudah berusaha agar tidak terus-terusan berjanji. Karena, pasti kesal rasanya jika janji itu tidak ditepati. Aku tahu betul rasanya, jadi aku tak mau ada yang merasakan hal yang sama sepertiku. Tapi aku malah membuat Rin menanti-nanti apa yang kujanjikan. Dasar bodoh! Aku memang tidak berguna.

"Engh.. Len? Kau belum tidur?" kata Mikuo yang tiba-tiba bangun.

"Ah, aku membangunkanmu ya? Gomen, aku tak bisa tidur." kataku pelan.

"Tak apa. Udaranya sangat panas, aku tak bisa tidur. Aku mau menyalakan AC-nya dulu. Eh, tapi apa kau tidak kedinginan?" tanyanya.

"Tak apa, silahkan nyalakan saja." aku pun memejamkan mataku dan mencoba untuk tidur.

Setelah memejamkan mataku, aku tetap tak bisa tidur. Mikuo sepertinya sudah kembali ke tempat tidurnya. Kaito masih terlelap dan kadang ia mengigau dan bicara sesuatu tentang 'es krim' dan terkadang ia bicara seperti 'Hey! Jangan makan es krimku! Dia adalah pacarku', dan kemudian ia terdiam. Aku tertawa dengan pelan mendengar semua itu. Mikuo tiba-tiba ikut tertawa, ternyata ia belum tidur. Mikuo tiba-tiba pun turun dari tempat tidurnya dan menghampiriku lalu menggeser Kaito yang tidur disampingku. Kaito tadi memang merengek ingin tidur disampingku. Ia memang aneh.

"Len, apa kau sedang ada masalah?" tanyanya pelan.

"Tidak, aku baik-baik saja. Kenapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu?"

"Kau kelihatan beda. Kadang kau melamun dan kadang terlihat seperti ingin menangis. Kau lebih kurus, dan kau selalu memakai apapun yang berlengan panjang. Ada apa sebenarnya?" tanyanya cemas.

"Aku, baik-baik saja Mikuo. Jangan terlalu mengkhawatirkanku, oke?"

"Kalau ada masalah, cerita saja ya?"

"Iya, itu pasti. Sepertinya kau yang sedang ada masalah. Coba ceritakan padaku."

"Aku tahu ini mendadak. Kaito sudah tahu soal ini sejak kemarin. Aku.." ia tak melanjutkan kata-katanya.

"Cerita saja Mikuo, percayalah padaku." kataku mencoba meyakinkan Mikuo

"Yang jelas, aku akan pindah ke Osaka minggu depan. Onee-chan meninggal." bulir-bulir airmata mengalir dari matanya.

Aku terdiam sejenak dan langsung memeluk Mikuo. Mikuo memiliki seorang kakak perempuan. Namanya Hatsune Miku. Ia sangat menyayangi kakaknya, bahkan Miku pernah mendonorkan ginjalnya untuk Mikuo waktu Mikuo masih berumur 13 tahun. Sejak saat itu, Mikuo sangat menghargai kebaikan kakaknya. Jika bukan karena Miku, mungkin Mikuo sudah tak bisa berada disini lagi sekarang. Tapi ternyata Miku malah meninggal, tentu itu sangat menyedihkan. Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan. Aku kehilangan ibuku waktu aku masih kecil. Aku tahu perasaan Mikuo. Ia pasti sangat sedih kehilangan sosok orang yang sangat disayanginya.

"Tak apa Mikuo, menangislah sepuasnya. Aku tahu perasaanmu."

"Arigatou, Len.."

Kini aku sadar, tak hanya aku yang menderita disini, dan tak hanya aku yang membutuhkan mereka. Mereka pun membutuhkan aku, sama seperti aku membutuhkan mereka.