chapter 2. Awal Mula

.

.

Tidak ada ketakutan yang perlu ditakuti selain ketakutan itu sendiri.

.

Tanpa bisa melawan, ia meringkuk diatas kasur sambil mencengkram selimut yang membungkus tubuh telanjangnya dengan kuat. Mekipun telah berusaha menenangkan diri dengan menarik nafas panjang, tapi tubuhnya tetap terasa sedikit menggigil dan gemetar seiring dengan langkah lelaki itu yang mendekatinya. Menghapus jarak diantara mereka sedikit demi sedikit.

Belaian halus yang tercipta dari jemari kasar di pipinya makin membuat napasnya tercekat. Ia sudah sering mengalami ketakutan ini, tapi bukannya terbiasa, rasa takut yang dirasakannya justru semakin besar. Dan ia tahu, lelaki ini juga menyadarinya.

"Gadis kecilku yang malang," bisik lelaki itu dengan penuh perhatian. Tapi Hinata lebih tahu, tak ada kepedulian dalam diri lelaki ini. Uchiha tidak terkenal dengan kebaikannya. Mereka dikenal sebagai pebisnis bertangan besi yang sanggup melakukan tindakan apapun untuk mencapai tujuannya.

Apapun.

Tak peduli cara yang mereka lakukan adalah cara kotor dan kejam, asal tujuan mereka tercapai, mereka tak akan segan melakukannya. Semua orang tahu tentang hal itu. Atau mungkin, para anggota keluarga Uchiha memang memastikan hal itu menjadi rahasia umum yang harus diketahui semua orang. Dan karena itu pulalah mereka dihormati sekaligus disegani dengan penuh rasa takut, bukan dengan kekaguman.

Jemari yang beberapa saat lalu menyentuh pipi Hinata kini digantikan dengan bibir tipis yang terasa hangat saat menelusuri setiap inci wajah pucat Hinata dalam sebuah kecupan lembut.

"Aku kasihan padamu."

Kecupan lembut itu terhenti saat lelaki dihadapannya memutuskan menjauhkan diri, sedikit memberi jarak pada tubuh mereka yang terlalu dekat. Dalam keremangan, Hinata bisa melihat bagaimana lelaki itu melihat kearahnya dengan tatapan puas yang memuakan.

"Ayo kita buat kesepakatan," ucap lelaki itu setelah beberapa saat terdiam. Suaranya yang terdengar senang di telinga Hinata, seketika membuat gadis itu waspada.

"Kesepakatan?"

"Ya, kesepakatan yang sangat mudah dan menguntungkan." Lelaki itu kembali terdiam, tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya kembali melanjutkan dengan lebih santai, "Untukmu."

"Menguntungkan… untukku?" tanya Hinata sedikit sangsi. Ia sangat mengenal seperti apa lelaki yang saat ini berada di depannya, dan kata baik tidak pernah bersanding dengan diri lelaki ini. Firasatnya mengatakan sesuatu yang buruk akan terjadi. Tapi rasa penasaran membuatnya menyingkirkan perasaan yang tidak enak itu dan kembali menantang tatapan sang Uchiha dengan berani. "Apa itu?"

"Mudah, kau hanya perlu membuatku puas. Dan saat kau berhasil melakukannya, kau bebas."

"Bebas?"

"Benar, bebas. Hidup sesukamu tanpa gangguan dariku. Kau suka itu?"

Suka?

Tentu saja ia suka jika dirinya terbebas dari lelaki ini. Lelaki yang terus menggunakan tubuhnya sebagai pemuas nafsu bejatnya setiap malam. Bedebah tak tahu malu yang masih berani menyentuhnya setelah ia menghabisi nyawa suami Hinata.

Tapi Hinata perlu beberapa saat untuk mencerna ucapan lelaki itu barusan. Ia harus memastikan segala sesuatunya sebelum menyetujui apapun yang ditawarkan lelaki itu. Betapapun menggiurkannya kesepakatan itu, ia tidak ingin kembali terjebak dan terjatuh dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya.

Tapi…apa ini memang jebakan lain yang dirancang lelaki itu? Atau hanya ekspresi kebosanan sang Uchiha yang nyeleneh? Atau hanya sebuah tipuan kotor untuk mempermainkannya?

Dan memikirkan semua kemungkinan itu membuatnya makin tertekan.

Hinata sangat ingin pergi dari sini, ia ingin bebas, jauh dari jangkauan Madara Uchiha yang telah mengurungnya selama hampir tiga minggu. Dan ia rela melakukan apapun untuk bisa mewujudkannya. Ia bahkan rela memberikan semua yang ia punya agar bisa kembali hidup normal seperti orang kebanyakan meski dalam kondisi kekurangan.

Ia hanya ingin hidup bebas.

Dan meskipun Hinata lebih suka mengiris nadinya, ia menyadari apa yang saat ini ditawarkan lelaki itu padanya merupakan satu satunya jalan agar ia bisa kembali meraih kehidupannya lagi.

"Jadi kita sepakat?"

Pertanyaan itu menyentakan Hinata dari pikirannya yang mulai melantur. Dan saat tangan lelaki itu terulur didepannya, Hinata tahu ia tidak punya lagi hal lain untuk dipikirkan selain mengatakan 'ya'.

Saat tangan mereka saling berjabatan, Hinata tidak tahu dengan pasti apa yang kini tengah ia rasakan. Ia hanya bisa berharap dirinya tidak kembali melakukan kesalahan yang sama.

.

.

DISCLAIMER : MASASHI KISHIMOTO

STORY BY AZALEA RYUZAKI

PAIR: MADAHINA

RATED : M

WARNING: AU, CHARA DIPASTIKAN OOC, ALUR MAJU-MUNDUR

.

.

"Pastikan kau melakukannya dengan benar. Aku tidak ingin mendengar ada kesalahan."

Perintah itu berasal dari seorang pria paruh baya yang tengah duduk menghadap jendela yang terbuka. Menikmati suasana menentramkan dari indahnya pemandangan saat cakrawala mulai berhiaskan warna jingga, sebelum akhirnya warna terang itu meredup dan digantikan gelapnya langit malam.

Sang pria tua menarik napasnya perlahan dengan susah payah.

Pemandangan menenangkan diluar sana, yang biasanya selalu bisa membuat dirinya nyaman, kali ini gagal mengusir rasa penatnya. Dalam ruangan luas yang didominasi warna putih miliknya, ia merasa telah melakukan sebuah kesalahan.

Ada sesuatu yang ia lupakan.

Ia yakin telah melupakan sesuatu, tapi sekeras apapun ia berusaha menggali ingatannya, ia tak pernah berhasil mengetahui apa itu.

Orang kebanyakan mungkin akan berpikir hal penting yang terlupakan itu akan teringat kembali seiring berjalannya waktu. Tapi Uchiha bukanlah orang kebanyakan. Mereka terencana, tanpa cela. Dan mereka tahu, hal kecilpun bisa menjadi besar jika dibiarkan.

Dalam kamus mereka, tidak pernah ada masalah kecil. Yang ada hanyalah orang-orang yang mengecilkan masalah. Dan biasanya orang seperti inilah yang mereka hancurkan pertama kali.

Sederhananya: kebodohan bukanlah hal yang bisa mereka toleransi.

Sang pria tua yang kini memasuki usia pertengahan enampuluhan memutar kursi tempatnya duduk, menghadap pada pria muda yang masih berdiri diam ditempatnya.

Pria muda yang merupakan kaki tangannya, orang yang paling ia percaya, sekaligus merupakan cucu kebanggaannya.

"Apa ada yang mengganggu pikiranmu?" tanya pria yang lebih tua saat melihat pemuda itu masih belum beranjak dari tempatnya padahal perintah telah ia berikan.

Di hari biasa, hal ini jelas merupakan tindakan kurang ajar dan patut mendapat hukuman. Ketidakpatuhan tidak pernah sesuai dengan kedislipinan yang senantiasa ia terapkan.

Tapi Madara bukanlah seorang pembangkang. Ia tidak pernah menolak sebuah perintah sebelumnya. Tugas yang diberikan selalu dikerjakan tanpa banyak bertanya. Hasil kerjanya selalu bersih dan selesai dalam waktu singkat.

Dan meskipun kewarasannya selalu dipertanyakan, mengingat cara berpikirnya yang membingungkan, tidak pernah ada seorangpun yang berani meragukan kemampuannya.

Jadi jika ini bukan sebuah pembangkangan, pasti ada sesuatu yang menggangu pemuda itu. Dan hal itu membuatnya sangat penasaran pada penyebab tingkah tak biasa cucunya.

Sementara pemuda yang menjadi pusat perhatian sang kakek hanya mendengus tak suka menyadari ketertarikan terselubung sang pria tua.

"Aku hanya sedang berpikir," sahut Madara akhirnya, wajahnya yang tanpa ekspresi menatap sang kakek dengan santai. "Kapan saat yang tepat untuk menghabisimu."

Kalimat itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan. Saat ini Madara tidak sedang main-main dan sang pria tua tahu betul hal itu.

"Mungkin sekarang waktu yang tepat."

"Lancang!" teriak sang pria tua dengan geram, kedua tangannya terkepal erat menahan amarah. "Kau tahu apa yang baru saja kau katakan?"

"Aku tidak perlu tahu apa yang baru ku ucapkan, aku hanya perlu mengerti." Jawaban kurang ajar itu makin membuat si kakek murka, dan Madara menikmati saat-saat dimana wajah yang biasanya putih pucat itu kini berubah warna menjadi merah gelap menjijikan. "Kita semua tahu kau sudah terlalu lama memimpin. Kini saatnya kau mengambil masa pensiunmu, kakek."

Dan dalam gerak cepat, Madara meraih senjata api yang selalu terselip dipinggangnya dan langsung mengarahkannya tepat ke jantung si pria tua.

Dalam hitungan detik, tubuh renta itu ambruk menghantam lantai keras dibawahnya. Matanya yang terbelalak terus melihat kearah pria muda yang selama ini ia banggakan kini berjalan dengan santai meninggalkannya sendiri. Seakan ia memang tak punya beban. Tidak peduli lelaki tua yang merupakan kakeknya itu kini tengah meregang nyawa diatas lantai marmer yang dingin.

Saat sang pria tua menghembuskan nafas terakhirnya, saat itu pulalah dinasti Madara terbentuk dan berdiri dengan kokoh. Mengancam semua yang berada didekatnya.

Disaat yang bersamaan, putaran takdir memiliki sebuah rencana tersendiri untuk mengacaukan seorang Uchiha Madara dalam permainan rumit tanpa akhir.

.

.

Di lobi sebuah hotel, seorang gadis memacu langkahnya dengan tergesa dalam hentakan kesal penuh amarah menuju lift yang berada tak jauh dari meja resepsionis di depan mereka. Wajahnya makin terlihat kesal saat seorang pria muda menyusul kemudian berusaha mensejajarkan langkah mereka.

"Hentikan Hinata, tingkahmu ini hanya akan mempermalukan kita." tegur pemuda itu, sekaligus berusaha menenangkan si gadis yang kini menghantamkan jari mungilnya kearah tombol lift, namun lift yang ditunggu tidak juga terbuka.

"Aku? Kau yang yang terlalu berlebihan. Dan siapa yang menilai perbuatan kita memalukan atau tidak, selain diri kita sendiri. Jadi berhentilah mengaturku!" jerit gadis itu. Jarinya dengan tak sabar memukul tombol lift keras-keras, berharap pintu sialan itu segera terbuka.

"Kubilang hentikan, Hinata. Sikapmu ini sama sekali tidak membantu, orang-orang mulai melihat kearah kita." tegur pemuda itu lagi. Hinata yang menyadari kebenaran perkataan pemuda itu kemudian menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Setelah ia sedikit merasa lebih tenang, ia kembali menghadap pemuda yang tak lain adalah calon tunangannya dengan sikap yang lebih terkendali.

"Kau benar, maafkan aku. Aku hanya tidak mengerti kenapa kau begitu marah? Itu hanya sepotong roti. Kenapa harus mempermasalahkan hal sepele seperti itu?" gerutunya pada lelaki muda yang berdiri disampingnya. Wajah mereka berdua menyiratkan kekesalan pada satu sama lain, namun keduanya masih memiliki rasa malu yang cukup besar hingga tidak ingin meluapkan emosinya didepan umum. Setidaknya, mereka hanya harus bertahan beberapa menit lagi sampai keduanya telah berada di dalam kamar yang memiliki privasi dan tertutup dari kuping-kuping para penggosip.

"Bukan rotinya yang kupermasalahkan Hinata, tapi bagaimana kau memberikannya. Demi tuhan, kita sedang bersama rekan bisnisku. Bisakah kau sedikit bertingkah anggun saat kita tengah berada dalam pertemuan bisnis?" tanya pemuda itu, tak menyadari bahwa ucapannya barusan cukup membuat Hinata merasa terluka. "Aku tidak meminta lebih padamu, Hinata. Aku hanya ingin kau duduk manis disana, menikmati makan malammu dengan tenang, seperti gadis terhormat lain yang kita kenal. Bukannya keluyuran sambil menenteng makan malammu dan membawanya keluar lalu menyerahkannya pada gelandangan tua yang kebetulan lewat. Itu berlebihan."

"Persetan dengan anggun dan rekan bisnismu. Wanita itu kelaparan dan aku punya roti. Kenapa aku harus…" Ia segera menghentikan ucapannya saat melihat pintu lift terbuka dan menemukan sosok tinggi melangkah keluar dari ruangan sempit itu.

Sebenarnya Hinata ingin segera masuk dan melanjutkan perdebatan mereka yang belum selesai, namun sepertinya ia harus kembali menahan diri saat calon suaminya malah menegur pria yang baru keluar dari lift tadi dengan penuh sopan santun.

Hinata yang memang tidak begitu kenal dengan pria itu, hanya menyapa sekadarnya. Ia masih sangat kesal, tapi kesopanan yang diajarkan keluarganya sejak kecil menuntutnya untuk tetap bersikap ramah.

Hanya saja hal itu lebih sulit dilakukan saat kau menyadari dirimu tengah diremehkan.

Hinata mengakui pria yang baru keluar dari lift itu sangat menarik. Dengan postur tinggi dan wajah rupawan, ia yakin tak sulit membuat wanita manapun tergila-gila pada wajah seperti itu. Dan kenyataan bahwa lelaki ini kaya raya, mengingat bagaimana tunangannya begitu menaruh hormat, menjadi poin tambahan yang sangat menggiurkan. Tapi tatapannya yang terkesan merendahkan selama perbincangan kecil mereka, membuat amarahnya kembali naik. Dan itu menghancurkan semua kelebihan yang tadi ia sebutkan.

Hinata putuskan ia benar-benar tidak menyukai pria ini.

Untungnya acara saling menyapa itu hanya memerlukan waktu beberapa menit, sepertinya pria itu termasuk orang yang tidak suka diajak basa-basi, sehingga Hinata tidak perlu menunggu lebih lama untuk menahan amarahnya dan memilih kembali melanjutkan perdebatan yang tadi sempat tertunda.

"Bisakah kita berhenti membahas masalah ini? Aku ingin istirahat." ujar lelaki itu dan langsung membaringkan tubuhnya yang terasa penat diatas ranjang hotel yang emput sesaat setelah mereka sampai kekamarnya. Dan dalam hitungan detik, nafas tenang yang teratur mulai terdengar dan itu cukup membuktikan bahwa ia sudah jatuh tertidur.

Hinata hanya bisa menghela nafas lelah melihat semua itu, sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali ke kamarnya sendiri.

Selalu seperti ini.

Setiap kali mereka bertengkar, lelaki itu akan mengakhiri perdebatan mereka secara sepihak lalu bertingkah seakan tak terjadi apapun. Tak peduli Hinata suka atau tidak. Dan itu benar-benar menyebalkan.

Dengan seluruh keputusan yang seenaknya itu, Hinata merasa ia tidak punya hak untuk mengeluh. Mungkin jika usianya sudah beberapa tahun lebih tua, ia bisa berbuat sesuatu entah apa yang membuat segalanya lebih baik. Tapi saat ini, dengan dirinya yang tidak memahami apapun, ditambah usianya yang masih sangat muda, Hinata hanya bisa menuruti arus. Berharap dengan sikapnya yang penurut, keadaan ini tidak akan berlangsung lama.

Melelahkan, tapi ia tidak punya pilihan lain, kan? Masa depannya tengah dipertaruhkan, dan ia terlalu mencintai lelaki yang kini menjadi calon suaminya.

Ia tidak mau mengambil resiko.

.

.

.

Tidurnya tidak nyenyak.

Matanya terasa berat, tapi tak satu detikpun kelopak matanya mau dipejamkan. Ia mencoba mengubah posisi tidurnya agar bisa sedikit lebih nyaman, namun tetap tidak berhasil. Dengan sedikit putus asa, ia mencoba metode kuno yang diajarkan turun temurun pada setiap generasi: menghitung domba.

Dan ia menyerah dihitungan kedua ratus limapuluh empat.

Akhirnya setelah melakukan berbagai cara yang ia tahu untuk bisa tidur namun tidak membuahkan hasil, Madara memutuskan untuk menikmati udara malam di balkon kamar tempatnya menginap. Udara malam ini memang cukup dingin, tapi langit cerah dengan bulan yang bersinar terang cukup memberikan kenyamanan tersendiri sehingga ia tidak keberatan berdiri ditengah dinginnya malam.

Dan bicara tentang bulan, ia jadi mengingat kejadian saat dirinya bertemu dengan gadis manis yang memiliki bola mata berwarna terang. Terlalu terang dan terlalu jernih. Seakan kau langsung terpikat pada pesona matanya tanpa perlawanan hanya dengan sekali lihat.

Rasa terpesona dan ketidakberdayaan ini sama sekali tidak disukainya, seakan-akan ia baru saja ditelanjangi dengan hanya merasakan kedua perasaan itu.

Suara tawa gadis itu yang terdengar menyenangkan, tidak membuat semuanya menjadi lebih baik.

Tidak seperti perempuan lain yang biasa ia temui, yang selalu bersikeras bersikap sopan dengan keangkuhan khas kalangan atas, gadis itu memilih untuk bersikap…lepas.

Ia mengabaikan semua peraturan dan pandangan orang-orang dengan memunculkan sikap anggun versi dirinya sendiri.

Ia akan kesal saat seseorang mengkritik pola pikirnya dan membalas dengan kritikan yang lebih pedas pada lawan bicaranya. Hal itu jelas merupakan tingkah tak sopan dan pasti mengundang hujatan dari orang-orang sekitar. Tapi gadis itu terlihat tidak gentar dan menolak untuk disudutkan.

Saat perempuan lain mencari pria berpotensial untuk dirayu, gadis itu akan mundur dan memilih bergabung dengan para lansia.

Dalam memilih busana, gadis itu sepertinya tidak bisa diharapkan. Ia memilih gaun berpotongan panjang yang terkesan menutupi hampir semua bagian tubuhnya, disaat perempuan seusianya memilih tampil modis dengan gaun kekurangan bahan. Tapi justru hal itulah yang membuatnya makin menarik. Ia seperti barang mahal yang harus dilindungi dengan berlapis-lapis pelindung agar tetap terjaga. Dan seperti barang mahal lain, Ia tidak suka dipamerkan.

Dan sepertinya sangat mudah membuat gadis itu tersenyum bahagia.

Dalam 20 menit, Madara menemukan dirinya sedikit terkejut saat ia tahu hal-hal sepele yang tidak penting mampu membuat gadis itu tersenyum dengan rona merah dipipinya.

Biasanya Madara harus membeli sebuket bunga disertai sekotak perhiasan mahal dan makan malam mewah agar bisa melihat ekspresi itu dari teman kencannya. Tapi dengan gadis itu, ia tak yakin cara yang sama akan berhasil.

Rasanya begitu mudah membuat gadis kecil itu bahagia. Ia akan tersenyum senang saat seseorang membukakan pintu untuknya, atau saat seorang pria tua menceritakan sebuah lelucon, atau saat tunangannya mengajaknya berdansa.

Padahal selama ini Madara selalu berpikir perempuan itu sama. Lebih mudah menganalogikan mereka dengan seekor lintah. Lintah yang akan terus menghisap darah inangnya sedikit demi sedikit dan baru berhenti saat mereka sudah terlalu kenyang.

Dan penampilan merekapun sama.

Dibalik semua kecantikan dan keanggunan yang menjadi topeng mereka, tersembunyi sosok perempuan binal yang mengerikan. Mereka tidak malu bertingkah liar saat diranjang, meminta untuk dipuaskan. Tapi saat kedoknya terbongkar, mereka akan kembali bertingkah layaknya gadis kecil yang membutuhkan perlindungan.

Tapi gadis itu berbeda.

Ia tidak pernah terlihat merayu lelaki manapun sepanjang pesta berlangsung, bahkan tunangannya sendiri. Ia juga dengan tegas menampik ajakan para pria muda yang ingin mengenalnya lebih dekat, meskipun tahu gadis itu sudah bertunangan.

Dan untuk sesaat, Madara mempunyai keinginan aneh untuk membawa gadis itu ke ranjangnya dan melihat apakah gadis itu sama binalnya seperti perempuan yang biasa ia temui.

Ia benar-benar sudah gila.

Kenyataan bahwa gadis itu sudah menjadi milik orang lain dan akan melangsungkan upacara pernikahan dalam waktu dekat tidak menghalangi Madara untuk merasa tertarik pada gadis itu.

'memikirkan perempuan milik lelaki lain,' keluhnya dalam hati, sedikit merasa tidak percaya kenyataan itu cukup mengganggunya. Ia perlu mengecek tingkat kewarasannya lagi dalam waktu dekat.

Tapi mengingat ini pertama kalinya ia tertarik pada seorang perempuan, Madara merasa bisa mentolerir ketidakwarasannya untuk saat ini.

.

.

.

Hinata menatap kecewa pada barisan bunga potong dihadapannya.

Semua bunga ini indah, tapi tidak ada yang ia inginkan untuk dipajang di pesta pernikahannya nanti.

Lili putih sangat cantik dan pasti akan cocok dengan gaunnya nanti. Bayangkan, resepsi pernikahannya yang khidmat, akan makin indah dengan rangkaian bunga lili disetiap sudut. Tapi sayangnya Hinata tidak bisa melakukan hal itu. Ayahnya tidak terlalu menyukai lili. Hinata tidak tahu kronologi lengkapnya, tapi yang ia tahu, lili adalah bunga terakhir yang diberikan sang ayah pada ibunya sebelum wanita itu menghembuskan nafas terakhir.

Hinata tidak terlalu mengenal sosok neneknya itu, tapi membuat sang ayah sedih adalah hal terakhir yang ingin dilakukan Hinata.

Ada bunga lain yang sama cantiknya, seperti: anyelir, mawar, tulip, anggrek, bakung... Tapi sepertinya semua itu bukan sesuatu yang Hinata cari. Ia menginginkan bunga istimewa yang tak hanya cantik dan sesuai dengan gaun yang akan ia pakai, tapi bunga itu juga harus memiliki kesan kuat yang akan diingat para tamunya tentang pernikahan Hinata.

Hanya saja mencari bunga yang tepat, saat kau sendiri tidak tahu bunga apa yang kau inginkan, ternyata benar-benar sulit. Dan sangat melelahkan. Ini sudah toko ketiga yang ia datangi tapi ia belum bisa memutuskan bunga apa yang ingin ia pilih.

Dan sebenarnya hal itu tidak akan sesulit ini jika wedding organizer yang disewa calon suaminya tidak sangat menyebalkan. Mengingatnya saja sudah membuat Hinata kesal.

Mereka cerewet, tukang ngatur dan alasan utama mengapa Hinata tidak suka adalah kenyataan bahwa perempuan itu dengan terang-terangan mencoba mendekati calon suaminya.

Dimana sikap profesionalisme mereka?

Dan fakta bahwa mereka akan berada dalam satu 'atap' untuk beberapa hari ke depan membuatnya kesal. Ia tidak mungkin bisa bekerjasama dengan seseorang yang jelas-jelas ingin merayu calon pengantin pria dan mengabaikan sang pengantin wanita. Hal itu terbukti dengan banyaknya hal sepele yang mereka ributkan tanpa menghasilkan solusi apapun.

Oh, sebenarnya ada satu solusi yang ia ajukan: pecat wedding organizer itu dan ganti dengan yang baru!

Tapi dengan sisa waktu yang tersisa, jelas solusi itu terabaikan begitu saja. Sebagai ganti keinginannya yang tidak terpenuhi, Hinata diberi kuasa penuh untuk menentukan bunga apa yang ia inginkan untuk resepsi.

Dan sekarang Hinata hanya bisa menyesal sambil memijat kakinya yang pegal. Ia tidak akan setuju jadi pemilih bunga, seandainya ia tahu memilih bunga bisa sesulit ini. Jika begini terus, Hinata ragu apa ia sanggup melangsungkan pernikahan idamannya dengan selamat.

Mungkin seharusnya ia menyetujui ide sepupunya yang memilih menikah dicatatan sipil. Kedengarannya sangat mudah dan praktis, tanpa harus mengalami penderitaan dulu seperti dirinya.

"Selamat datang."

Suara sapaan ramah itu terdengar ketika ia baru saja melangkahkan kakinya ke dalam toko keempat. Hinata harus memandang berkeliling sebelum akhirnya melihat seorang perempuan muda berambut pirang panjang muncul dari balik pintu kaca. Senyum hangat dan tatapan bersahabat yang menghiasi wajah perempuan itu membuat Hinata tahu, ia kembali memulai semuanya dari awal lagi.

"Aku mencari bunga untuk resepsi pernikahanku, boleh aku melihat-lihat?" tanyanya seramah mungkin. Dengan menahan sakit yang disebabkan lecet dikakinya, Hinata mulai mengamati setiap bunga yang dipajang. Berharap kali ini ia akan menemukan sesuatu.

.

.

.

"Dia benar-benar manis," komentar perempuan itu sembari meletakan tumpukan berkas yang dibawanya beberapa saat lalu. Ia kembali melanjutkan komentarnya saat tak ada tanggapan dari pria yang masih terlihat sibuk memeriksa kertas-kertas yangmenumpuk dimejanya. "Dia juga terlalu baik untuk disukai pria sepertimu."

Kali ini seringaian mengerikan terukir diwajah angkuh Uchiha Madara saat mendengar komentar kurang ajar dari asisten pribadinya.

"Dan maksudmu 'pria sepertiku'?" tanya Madara dengan raut wajah terhibur. Dilihatnya perempuan dari keluarga Yamanaka itu hanya mengedikan bahu, menolak menjelaskan lebih lanjut. Sepertinya perempuan itu cukup pintar untuk tidak memancing emosi lelaki yang memberinya penghasilan.

"Pernikahannya akan dilangsungkan 2 minggu lagi, kau ingin aku mengawasinya?" tanyanya sembari mengambil kembali berkas yang telah selesai ditandatangani oleh sang atasan. Dan pengalihan pembicaraan itu cukup berhasil, lelaki itu menyandarkan tubuhnya dengan santai dan menatap perempuan didepannya dengan penuh perhitungan.

"Aku punya rencana yang lebih baik."

.

.

.

"Aku merasa gemuk," keluh Hinata sambil menatap bayangan tubuhnya dicermin. Pipinya terlihat lebih chubby dan perutnya sedikit buncit dari yang terakhir ia lihat. Apa ia makan terlalu banyak? Mungkin seharusnya ia mulai berdiet seperti teman-temannya yang terkadang datang menemuinya untuk sekedar bertukar kabar. Dan mereka selalu terlihat kurus. Mungkin diet memang ide bagus, tapi dengan waktu sesempit ini, apa bisa berhasil? "Bagaimana jika gaunnya jadi tidak muat lagi?"

"Kau tidak gemuk. Jangan terlalu melebih-lebihkan, Hinata."

"Aku tidak melebih-lebihkan, perutku buncit," Keluh Hinata lagi dengan bibir cemberut. Ia mengalihkan perhatian pada kakak sepupunya yang masih sibuk dengan Koran sorenya, merasa dukungan yang ia inginkan tidak didapatkan, akhirnya Hinata memilih pergi dari ruang baca itu dan mencari ibunya. Wanita itu selalu punya solusi untuk semua masalahnya.

Perlu waktu beberapa menit sampai akhirnya ia menemukan sang bunda tengah berada diteras depan, sedang asyik mengobrol dengan seseorang tentang sesuatu yang sepertinya seru. Dengan langkah kecil ia menghampiri ibunya dan cukup terkejut saat melihat Yamanaka Ino, pemilik toko bunga yang berbaik hati menolongnya memilih bunga untuk resepsi, tengah duduk disamping ibunya.

Melihat kedatangannya, perempuan berambut pirang itu berdiri dan menyapa Hinata yang masih terdiam. Untuk beberapa saat suasana menjadi sedikit canggung sampai akhirnya berubah ramai ketika topik pembicaraan beralih pada pernikahan.

.

.

"Aku ingin kau menjadi temannya, buat dia percaya padamu. Dan setelah itu, biar aku yang ambil alih."

.

.

.

Hinata tersenyum bahagia saat melihat ribuan kelopak bunga mawar yang seakan-akan berguguran dari langit menutupi pandangannya.

Hari ini adalah hari pernikahannya. Hari dimana ia memulai lembar baru sebagai seorang wanita. Ia bukan lagi seorang gadis kecil yang berada dalam perlindungan kedua orang tuanya, melainkan seorang istri yang kini menjalani kehidupan bersama seorang lelaki, suaminya, sampai maut memisahkan.

Dan ia tak sabar memulai perjalanan hidupnya yang baru.

Ditengah sorakan para tamu undangan yang masih terus menghujani mereka dengan kelopak bunga, Hinata bisa merasakan rangkulan suaminya mengerat seiring langkah mereka.

Ya, ia siap memulai hidup baru.

.

.

Amarah yang tak pernah ia tahu bisa dirasakannya kini mulai menggerogoti jiwanya saat ia melihat seberkas warna kebiruan menghiasi pelipis perempuan itu.

Ia tahu semuanya mulai memburuk bagi perempuan itu, kecelakaan yang merenggut nyawa seluruh keluarganya, ditambah perekonomian yang akhir-akhir ini tidak menentu, membuat segala sesuatu menjadi lebih rumit.

Tapi meskipun Madara sangat ingin menyentuhnya, memeluknya, dan memberi apapun untuk bisa membuat perempuan itu merasa aman, ia belum bisa melakukannya.

Tidak saat ini.

Selain karena perempuan itu tampaknya tidak menyukai kehadiran dirinya, tindakan spontan hanya akan menghancurkan semua rencana yang telah susah payah ia susun sejak bertahun-tahun lalu. Ia tidak mau semuanya berantakan hanya karena keinginan sesaat.

Benar, ia hanya harus menunggu sebentar lagi sebelum bisa mengambil hadiahnya.

.

.

.

Hinata terbangun dari tidurnya yang tidak nyenyak.

Kepalanya masih terasa pusing dan berdenyut menyakitkan. Ia ingin sekali kembali berbaring di kasurnya yang empuk dan nyaman, apalagi saat ini masih tengah malam, tapi matanya sama sekali tidak mau di ajak kerja sama. Dengan kesal ia menyingkirkan selimut yang membungkus tubuhnya dan terduduk sebentar di tepi tempat tidur sebelum memutuskan untuk membuat segelas susu hangat. Minuman itu biasanya cukup ampuh membantu membuatnya mengantuk, dan mungkin ia bisa membaca novel lama sampai kantuk itu datang.

Dengan langkah pelan dan hati-hati, Hinata berjalan kearah dapur yang terlihat gelap. Telinganya memang tidak mendengar sesuatu yang mencurigakan, tapi ia tidak ingin mengambil resiko bertemu pria mabuk yang dengan kurang ajar mencoba menyentuhnya seperti beberapa hari lalu.

Untungnya ia bisa melarikan diri meski harus dipenuhi sedikit rasa khawatir mengingat lelaki itu mengalami cedera dikepala setelah dipukul Hinata menggunakan kursi dapur. Kabar terakhir yang ia dengar, pria itu harus mendapat 7 jahitan di kepala. Dan sejak saat itu, si brengsek itu tidak berani lagi menampakan batang hidungnya dirumah ini.

Tapi meskipun kejadian tersebut cukup menghebohkan, Hinata tetap tidak merasa tenang saat tahu suaminya masih sering membawa teman-temannya untuk berjudi dan berpesta. Membuat kegaduhan bahkan setelah lewat tengah malam. Dan hal itu juga yang membuatnya tidak bisa tidur nyenyak.

Biasanya disaat seperti itu Hinata akan membaca beberapa novel kokoleksinya atau menonton drama di televisi atau hal lain semacam itu untuk mengusir kebosanan karena ia tidak pernah berani keluar kamar saat suaminya sibuk berpesta. Hal yang tidak mengenakkan selalu terjadi saat kita berada didekat orang mabuk.

Dan itu cukup menyedihkan: didalam rumahnya sendiri, ia merasa terancam.

Untungnya saat ini rumah benar-benar sepi sehingga Hinata leluasa menggerakan kakinya menuju dapur. Ia memang sedikit merasa curiga pada keadaan yang tidak biasa ini, tapi memilih mengabaikannya. Ada hal lain yang jauh lebih penting yang harus ia lakukan dibanding memikirkan masalah sepele seperti rumah sepi. Lagipula ia masih bisa memikirkannya lagi setelah berada dikamarnya yang aman.

Hinata segera mencari kotak susu di lemari es saat ia telah berada didapur yang sangat berantakan, dan sedikit bingung saat menemukan benda itu hanya dipenuhi berbotol-botol minuman asing yang ia duga sebagai minuman beralkohol koleksi suaminya. Dan itu aneh. Lelaki itu tidak pernah menaruh minuman di lemari es, biasanya ia akan meletakan semua botol beralkohol miliknya di lemari khusus diruang kerjanya. Ia baru akan menambahkan beberapa bongkahan es jika ingin minumannya dingin.

Atau ini semacam kebiasaan baru?

Jika memang begitu, lalu kemana semua bahan makanan mereka? Ia tidak bisa menemukan sayur atau buah yang biasa nangkring di dasar kotak pendingin itu, bahkan sekotak susupun tidak ia lihat. Yang ada hanyalah botol-botol berisi cairan kuning kecoklatan yang disusun rapi memenuhi semua ruang.

Dengan kesal Hinata membanting pintu lemari es itu dan mulai mencari ke setiap sudut ruangan. Ia mulai dengan lemari diatas wastafel tempat mencuci piring. biasanya pengurus rumah yang mereka sewa akan meletakan sebungkus roti atau makanan kering disana. Tapi saat Hinata melongok kedalamnya, lemari itu kosong. Ia mulai menjelajah membuka setiap lemari yang ada dan tidak menemukan apapun selain beberapa botol beralkohol yang tidak muat dimasukkan ke dalam lemari es dan beberapa bungkus sosis basi, terselip diantara bumbu rempah.

Sebelum amarahnya memuncak, Hinata memutuskan kembali kekamar. Dengan gusar ia menyambar ponsel miliknya dan menghubungi orang yang ia pikir bisa menjelaskan semua kekacauan yang terjadi: pengurus rumah. Baru dua hari ia pergi dari rumah, dan sekarang ia terancam kelaparan?!

What the…

Mungkin memang sebaiknya ia menuruti saran Ino ketika wanita itu mengajak Hinata menginap dirumahnya lebih lama, ketika Hinata memutuskan pulang setelah menghabiskan dua hari ditempat perempuan itu. Dua hari yang ia akui sebagai dua hari terbaik yang pernah ia rasakan sejak menikah. Setidaknya ia bisa merasa aman dan tidak kekurangan sesuatu apapun.

Tapi seindah apapun hal itu, ia harus kembali ke tempat dimana ia seharusnya berada, kan? Suaminya mungkin bisa bertahan hidup hanya dengan sebotol alkohol, tapi itu tidak akan bertahan lama. Lelaki itu akan butuh makan dan Hinata yang harus bertanggung jawab mengenai semua itu. Sekarang ini ia seorang istri. Dan begitulah seorang istri menjalani hidupnya, kan? Mengurusi suami meski lelaki itu tak segan memukulinya.

Rumah Ino memang menyenangkan, tapi tempat itu bukan miliknya. Hinata tidak berhak tinggal dan mengganggu kehidupan perempuan baik itu hanya demi menghindari masalahnya sendiri.

Itu tidak adil.

Jadi Hinata pulang, langsung tidur dan melewatkan makan malam, kemudian terbangun karena merasa terganggu oleh kesunyian yang tak biasa.

Dan sekarang ia harus kembali menelan kekesalan saat mengetahui pengurus rumah yang disewanya ternyata telah mengundurkan diri. Pantas saja dapurnya tidak terurus.

Sekarang apa yang harus ia lakukan?

Saat ini sudah terlalu malam untuk mencari pengurus rumah yang baru, tapi disisi lain, fajar akan segera datang dan Hinata yakin suaminya sudah kelaparan saat itu tiba. Sebenarnya ia bisa memasak menu sarapan yang sederhana, seperti: sereal, roti panggang dan telur mata sapi. Masalahnya ia tidak yakin makanan itulah yang diinginkan suaminya untuk sarapan.

Hinata ingat suaminya pernah bilang ia tidak bisa mengkonsumsi susu dan giginya pernah patah saat memakan roti panggang buatan sendiri yang ternyata terlalu keras. Telur mata sapi bukan pilihan. Terakhir kali Hinata membuatnya, bentuknya dipenuhi warna hitam legam yang terasa pahit saat digigit.

Sambil menghela nafas lelah, Hinata menyambar mantel dan tas kecilnya. Ia berharap masih ada supermarket yang buka. Meski ia tidak yakin bisa melakukan sesuatu mengingat menu sarapan yang paling sederhana saja gagal ia buat.

Dan memang sangat sulit menemukan toko bahan makanan yang masih buka di waktu yang sangat larut seperti saat ini. Jadi dengan sangat terpaksa ia memutuskan mampir ke sebuah rumah makan yang buka 24 jam, memesan beberapa makanan untuk di bawa pulang. Ia hanya berhenti sebentar untuk mengisi bensin dan membeli surat kabar.

Hinata sampai dipintu rumahnya tepat jam 4 pagi dan menemukan suasana di dalam rumah masih sama sepinya seperti semalam. Ini makin aneh saja.

Dengan penasaran Hinata menaruh barang belanjaannya di meja depan dan mulai memeriksa seluruh ruangan di dalam rumah. mulai dari lantai atas, kamar tamu, ruang kerja, balkon, tempat yang biasa dipakai suaminya sebagai arena judi, dan semua tempat lain. Tapi tetap saja ia tidak menemukan seorangpun.

Baiklah, ia mulai berlebihan.

Mungkin suaminya diundang kesebuah pesta dan kebetulan lupa mengabarinya. Mungkin juga pesta yang ia hadari sangat seru hingga membuat lelaki itu betah berlama-lama disana dan lupa pulang.

Ya, mungkin itu yang terjadi.

Setelah perasaannya lebih baik dengan pemikiran itu, Hinata kembali ke ruang depan. Mengambil barang bawaannya kedapur dan memulai aktivitas paginya lebih awal.

Satu hal yang pasti, ia harus mendapat pengurus rumah sebelum tengah hari.

Dengan secangkir teh hangat dan beberapa keping biscuit yang di taruhnya di dalam piring, Hinata mulai meneliti halaman surat kabar yang dibelinya, khususnya bagian agen rumah tangga. Tapi sebelum ia bisa meneliti semua tulisan di tumpukan kertas itu, ia mendengar suara mesin dari kendaraan yang dikenalnya.

Saking penasaraannya, Hinata segera beranjak ke ruang depan dan mengintip dari sela-lela kaca jendela yang tertutup gorden tebal. Dan benar saja, suara itu memang berasal dari mobil milik suaminya.

Hinata baru saja akan pergi menyambutnya, mengingat lelaki itu selalu dalam keadaan mabuk. Siapapun yang telah berbaik hati menyetir dan membawa suaminya pulang, pasti membutuhkan bantuan untuk membawa lelaki itu memasuki rumah.

Tapi sebelum Hinata melakukan niatnya, ia terkejut saat melihat yang turun dari kursi pengemudi bukanlah orang asing yang mengaku sebagai teman suaminya, melainkan suaminya sendiri. Dan melihat langkahnya yang tegap, ia tahu lelaki itu tidak dalam pengaruh alkohol.

Kecurigaannya kian bertambah saat dilihatnya lelaki itu tidak sendiri. Ada lelaki lain yang turun dari mobil itu. Tubuhnya yang tinggi serta rambut hitamnya yang sedikit panjang dibiarkan berantakan. Hinata merasa mengenali orang itu, tapi karena suasana yang masih temaram membuatnya kesulitan melihat dengan jelas. Entah kenapa wajahnya yang terlihat angkuh sangat familiar dibenaknya.

Dan saat Hinata mengenali sosok asing itu, ia memilih segera kabur dan bersembunyi di dalam kamarnya. Ia lebih senang mengurungkan niat menyambut sang suami dibandingkan bertemu lelaki itu.

Mungkin Hinata sedikit menghakimi tapi ia memang tidak ingin terlalu dengan dengan pria itu.

Secara personal, ia mengakui bahwa selain menarik, Uchiha Madara adalah pria yang cukup sopan. Hingga saat ini, pria itu tidak pernah berlaku kurang ajar atau melontarkan lelucon kotor mengenai dirinya. Tidak seperti teman-teman suaminya yang lain, yang selalu mencari kesempatan dalam kesempitan, Madara lebih suka menutup mulutnya rapat-rapat dan duduk dengan tenang.

Dia juga tidak terlalu suka minum.

Hinata pernah memperhatikan pada suatu malam bagaimana pria itu akan menyesap minumannya perlahan dan kemudian membiarkan minuman itu terabaikan. Bahkan sampai ia memutuskan pergi setelah mengantongi kemenangannya, minuman itu tetap tak tersentuh lagi.

Saat itu Hinata berpikir bahwa ia hanya ingin menghormati pemilik rumah, tanpa berniat sedikitpun untuk menikmati minuman keras itu.

Secara keseluruhan, tidak ada yang salah dari pribadi Madara selama ia berada dirumahnya. Tapi tatapan pria itu yang seolah ingin menelanjangi dirinya, membuat Hinata merasa tidak nyaman.

Dan sekarang pria itu ada disini, dirumahnya, dihari yang sangat pagi untuk sebuah temu bisnis. Yang lebih parah, Hinata tidak sempat membawa surat kabar dan cangkir tehnya.

Semoga mereka tidak akan lama.

.

.

.

"Dia memakan umpannya." Suara perempuan bermarga Yamanaka itu terdengar sangat puas saat melaporkan keberhasilannya. Perempuan itu bahkan tak bisa menyembunyikan senyum lebarnya tatkala mengingat bagaimana hebatnya saat ia berakting tadi. Mungkin seharusnya ia melamar menjadi pemain film dibandingkan terkurung di gedung besar ini dengan kertas-kertas yang harus ia periksa setiap hari. Dan mengingat kejadian tadi siang membuatnya berpikir, menjadi seorang aktris bukanlah sesuatu yang sulit diraih. Ia punya bakat membohongi orang.

Berbeda dengan Ino yang masih sibuk berpuas diri, Madara hanya merespon dengan senyuman tipis dan kembali menghirup kopinya yang mulai mendingin, tidak terlihat ekspresi apapun diwajah datarnya saat mendengar laporan itu. Lagipula sebenarnya keberhasilan Ino bukan sesuatu yang mengejutkan, ia sudah memperkirakan idenya akan berhasil. Dan ia tahu bagaimana perempuan itu.

Lugu dan mudah ditipu.

.

.

Hari sudah beranjak senja.

Angin yang membelai wajahnya mulai terasa dingin dan tidak bersahabat, namun Hinata belum ingin beranjak dari tempatnya. Ia masih ingin disana, bersama keluarganya.

Dengan lembut ia mengusap batu nisan yang bertuliskan nama ibunya dengan sayang. Ia sangat merindukan wanita ini. Wanita yang selalu memeluk dan membelai rambutnya saat ia di jahili sepupunya, atau ketika ayahnya menegurnya dengan keras. Dan perempuan itu tetap akan memeluknya sambil tertawa senang saat Hinata hanya ingin bermanja-manja.

Bagaimana tangan yang kurus itu melingkar dipunggungnya, bagaimana jemari halusnya membelai rambut Hinata dan bagaimana ia menyemangati Hinata yang sedang terpuruk.

Ia sangat merindukan semua itu.

Saat matahari mulai tenggelam, Hinata memutuskan untuk pulang. Meskipun sedikit tidak rela, tapi ia harus bersiap-siap. Ada rencana yang harus ia lakukan. Dan meskipun rencana itu akan membuatnya terbunuh, itu lebih baik dibandingkan pasrah dan berdiam diri.

Lagipula semakin cepat ia mati, semakin cepat ia bersama keluarganya.

Sambil menghela napas lelah, Hinata menyesali sikapnya beberapa hari lalu. Seharusnya ia tidak bersembunyi didalam kamarnya ketika pria itu datang. Seharusnya saat itu ia menyambut kepulangan suaminya, menyapa sang tamu, kemudian bergabung dengan mereka meskipun ia tidak akan mengerti pada perbincangan yang berlangsung. Dengan begitu ia bisa mencegah kehancuran yang menimpa kehidupannya.

Tapi tidak, Hinata memilih bersembunyi didalam kamarnya sepanjang hari karena takut pada sosok Madara yang begitu mengintimidasi. Dan kini ia merasakan akibatnya.

Nasi sudah menjadi bubur.

Lagipula ia tidak tahu, bahkan tidak mempunyai firasat apapun bahwa suaminya akan menggadaikan seluruh saham dan rumah mereka dimeja judi. Dan Hinata makin geram saat mengetahui perjudian itu didalangi oleh Uchiha ini, terlebih saat mendengar desas-desus bagaimana Madara menyabotase perjudian yang ia gelar dan bagaimana suaminya bisa tertipu mentah-mentah.

Dan sekarang ia harus meniduri lelaki itu.

Hinata terkadang jijik saat mengingat bagaimana ia akan menggunakan tubuhnya untuk membalas sakit hatinya. Merelakan tubuhnya dinikmati oleh lelaki yang sudah menghancurkan suaminya, bukanlah sesuatu yang ia inginkan. Ia bahkan tidak sanggup membayangkan akan membiarkan rahimnya dimasuki lelaki itu. Dan ia benci memikirkan, saat ia harus memasrahkan tubuhnya dijamah oleh pria asing yang sangat ia benci, suaminya tengah tidur nyenyak karena terlalu banyak minum di rumah mereka, yang kini bukan milik mereka.

Satu pertanyaan yang terlintas: Apa semua pengorbanan itu layak?

.

.

Madara menatap tak suka pada dua sejoli yang tengah tidur dilantai ruang tamu dengan saling berpelukan. Ditengah dinginnya lantai marmer tempat mereka berbaring, Madara bisa melihat dengan jelas rona merah dipipi perempuan itu saat sepasang tangan kekar memeluk tubuh mungilnya. Seakan ia tahu pria yang tengah memeluknya adalah suaminya sendiri, pria yang dicintainya.

Pemikiran itu seakan mengejeknya dengan sangat telak.

Perempuan sialan itu lebih suka dipeluk oleh pria tak berguna yang membuat mereka jatuh miskin dibandingkan memilih Madara yang akan memberikan apapun yang diminta perempuan itu.

Sial.

Perempuan ini lebih bodoh dari dugaannya.

Ia sudah mengira akan mengalami kesulitan saat menaklukan Hinata, tapi ia tak pernah tahu kesulitannya ada pada diri perempuan itu sendiri.

Dengan geram ia menyingkirkan selimut yang membungkus tubuh sepasang sejoli itu. Dengan kesal ia melepaskan pelukan keduanya, mengangkat Hinata ke dalam pelukannya dan membawanya pergi. Sesaat sebelum kakinya meninggalkan rumah itu, ia melirik sekilas pada bawahannya yang masih setia berdiri didekatnya.

"Singkirkan dia." Perintah Madara mutlak, pandangannya kini beralih pada lelaki yang masih tertidur tanpa sedikitpun terusik oleh kehadirannya. "Bawa dia ketempat kumuh, tinggalkan beberapa lembar uang dan pastikan ia tetap hidup disana."

"Anda tidak ingin kami membunuhnya?" tanya salah satu diantara mereka dengan heran. Hal itu sedikit mampu menghasilkan sebuah seringaian tipis diwajah adonisnya.

"Tidak," sahut Madara tenang. dengan santai ia kembali melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu.

"Aku punya firasat ia akan lebih berguna saat masih bernapas."

.

.

.

Hinata berdiri didepan jendela kamarnya, mengawasi dengan tidak tertarik pada sosok Madara yang sedang berbicara serius pada dua orang lelaki yang Hinata duga adalah bawahan pria itu.

Setelah menyetujui kesepakatan yang ditawarkan pria itu, Hinata sempat mengira tubuhnya akan dijadikan bulan-bulanan, mengingat bagaimana pria itu saat berhubungan dengannya. Dan keabsenan pria itu dikamarnya cukup…tak terduga. Awalnya Hinata sangat gugup saat memikirkan malam yang akan mereka lalui. Ketidaktahuannya mengenai cara memuaskan pria sedikit membuatnya terganggu.

Tapi kenyataan bahwa Hinata menyanggupi tawaran itulah yang sebenarnya lebih mengganggu lagi. Otaknya mungkin sudah tidak waras saat mengambil keputusan itu.

Ia kembali teringat bagaimana tersiksanya saat masa awal hidup disini.

Hari pertamanya ia menginjakan kaki dirumah ini, Hinata telah digauli lebih dari dua kali olehnya, dan semua itu terus berlanjut hingga berhari-hari kemudian. Hal itu jugalah yang membuat Hinata selalu menggigil ketakutan jika pria itu berjarak 5 kaki dari tempatnya berdiri. Gaya bercinta lelaki itu terlalu liar untuk bisa ditangani Hinata, membuatnya kalap dan tidak siap. Dan ia makin takut berhubungan dengan pria itu ketika teringat lagi bagaimana tubuhnya terasa linu setiap kali Madara 'menyerang'nya.

Tapi sekarang…Hinata tidak terlalu yakin.

Ini sudah hari ketujuh, tepat seminggu setelah kesepakatan itu disetujui, dan mereka belum melakukan apapun. Sebenarnya apa yang direncanakan lelaki itu? Ia tidak lagi datang kekamarnya, tidak lagi berbicara dan tidak ada kontak lain selain melihat satu sama lain dari jarak jauh seperti yang kini ia lakukan.

Mungkin pria itu memang sedang sangat sibuk. Pria dengan perusahaan besar yang harus diurus biasanya tidak punya waktu untuk bersantai. Dan jika memang itu yang terjadi, Hinata bisa menarik nafas lega. Ia bebas walaupun sesaat, meski dirinya masih terkurung dikamar ini. Tapi itu masih lebih baik dibandingkan harus merendahkan dirinya untuk melayani Madara.

Atau ada hal lain yang ia tidak tahu?

Dengan sifat ingin tahu yang sulit dikendalikan sejak lahir, Hinata harus berusaha keras untuk tidak menghampiri lelaki itu dan bertanya kenapa ia belum menyentuhnya? Namun saat memikirkannya lagi, ia memutuskan untuk terus diam sampai lelaki itu datang padanya dan menjelaskannya sendiri.

Jangan harap Hinata mau mendatangi pria itu dan membuat seolah dirinya haus akan sentuhan seorang lelaki.

Tidak, hal itu tidak akan pernah terjadi.

Cuaca diluar sana kembali membuat Hinata menghela nafas frustasi. Pasti akan menyenangkan berada diluar dan berdiri dibawah sinar matahari yang menghangatkan kulitnya. Menggerakan seluruh ototnya yang kaku dengan berjalan-jalan sambil menikmati pemandangan. Itu pasti akan sangat menyenangkan. Dan tempat mana yang lebih baik untuk meregangkan sendinya selain taman?

Tapi Hinata juga tidak akan menolak jika diajak kepantai. Disana mungkin sedikit berangin, tapi pemandangannya tak kalah indah. Ia mungkin bisa menikmati es serut sambil jalan-jalan disekitar bibir pantai, menikmati butiran-butiran pasir di sela-sela jarinya ketika ia berjalan.

Atau berenang. Hinata sangat suka bermain air. Ia bisa menghabiskan sepanjang hari dengan bermain dan berenang. Ia sangat suka sensasi ketika tubuhnya mengambang diatas air, berandai-andai ia tengah terbang diangkasa.

Semua pemikiran itu nyaris membuatnya menjerit frustasi.

Kondisinya saat ini tidak memungkinkan untuk keluar dan berjalan-jalan dengan bebas seperti dulu.

Dengan Madara yang menugaskan penjaga terbaik untuk mengawasi kamarnya selama 24 jam, Hinata sama-sekali tidak punya ruang untuk bergerak. Jangankan jalan-jalan di taman, keluar dari kamarnya sendiri saja ia tidak mungkin sanggup.

Lama-lama ia bisa gila.

sembari menghela nafas untuk kesekian kalinya, Hinata kembali melongokan kepala melihat langit biru dari balik jendelanya dengan tatapan penuh harap.

Ia merasa seperti burung kecil yang terkurung dalam sangkar emas.

.

.

"Kita pergi."

Itu adalah kalimat pertama yang diucapkan Madara setelah lebih dari seminggu lelaki itu tidak mengunjungi kamarnya. Ia hanya datang, melihat Hinata sekilas dan tanpa kalimat pembuka, ia langsung menjatuhkan bomnya.

Hinata mencerna kalimat itu dengan kening berkerut dan ia makin bingung saat menyadari pria itu sudah sangat rapi. Bukan berarti sebelumnya pria itu tidak pernah rapi, hanya saja saat ini penampilannya sedikit berbeda. Ia lebih rapi dari biasanya.

Rambutnya yang biasa dibiarkan berantakan, kini tersisir rapi. Jasnya pun telah dikancingkan dengan dasi yang terikat rapi.

Entah kenapa Hinata merasakan firasat buruk.

"Kita mau kemana?" tanyanya pelan, antara ragu dan penasaran. Sebagian dari dirinya sedikit tertarik, terlebih saat menyadari penampilan tak biasa lelaki itu. Tapi disisi lain, ia tidak ingin tahu. Kemanapun ia pergi, jika bersama Madara, pasti sesuatu yang buruk akan menimpanya.

"Korea," jawab Madara singkat. "Aku ada pertemuan bisnis disana, hanya sebentar," katanya cepat saat melihat keraguan gadis didepannya. "Kita bisa jalan-jalan setelahnya."

"Kenapa?"

"Kenapa apanya?"

"Kenapa kau mengajakku? Jika pertemuan bisnis itu memang sebentar, kau biasanya tidak mau membuang waktumu meski sekedar untuk jalan-jalan," ucapnya menjelaskan. Hinata berusaha keras agar saat bicara, suaranya tetap terdengar datar sehingga ucapannya barusan tidak terdengar menuduh. Tapi tampaknya hal itu tidak terlalu berhasil. Ia bisa melihat, meski sekilas, wajah pria itu sedikit terusik. Mungkin ia terganggu, hanya saja Hinata tidak tahu apa yang menyebabkannya begitu.

"Aku tahu kau bosan, dan jalan-jalan selalu membuatmu senang. Sekarang bersiaplah, kita berangkat 15 menit lagi."

Dan Hinata hanya bisa tertegun cukup lama, saat pria itu meninggalkan kamarnya begitu saja setelah memberi perintah yang sangat memaksa. Bersiap-siap dalam waktu kurang dari 15 menit? Hanya militer yang bisa melakukannya.

Dan apa halusinasinya saja, atau memang ekspresi pria itu sedikit melembut saat mengatakan jalan-jalan akan membuat Hinata senang? Dari mana Madara tahu tentang itu?

Seandainya pria itu tidak mengurungnya disini dan menjadikannya 'teman tidur', Hinata berpikir bahwa apa yang dikatakan pria itu sangat…manis. Dan untuk beberapa saat yang membingungkan, Hinata merasa senang.

Tapi hal itu tetap saja tidak menjelaskan kenapa pria itu mengajaknya jalan-jalan di hari-hari menjelang akhir musim gugur. Terlebih lagi ke Korea dan entah untuk berapa lama.

Rasanya memang ada yang salah dengan pria itu.

.

.

"Jaga dia tetap ditempatnya selama aku pergi," perintah Madara pada seorang pria muda yang masih setia berjalan dibelakangnya. "Dan jangan berbaik hati padanya."

"Saya mengerti," gumam pemuda itu pelan. Namun beberapa saat kemudian ia kembali berkomentar, "Akan lebih mudah jika ia dilenyapkan."

"Tepat sekali," sahut Madara cepat. Ia menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap pada pemuda yang telah ia rawat sejak masih sangat kecil. Saat itu, pemuda dihadapannya hanyalah anak kurus menyedihkan yang telah hidup bertahun-tahun dengan mengais sampah dijalan. Dan Madara hanya sedang iseng ketika mengambil anak itu dan memberinya pendidikan yang layak. Pendidikan yang mengubahnya menjadi seperti dirinya.

Dan kini anak itu tumbuh menjadi sosok yang jauh melebihi dari apa yang Madara perkirakan sebelumnya.

"Melenyapkannya memang akan menyederhanakan masalah, tapi membiarkannya hidup adalah langkah yang lebih tepat."

Madara kembali melanjutkan langkahnya saat ia merasa pemuda itu telah paham dengan ucapannya barusan. "Biarkan dia hidup sampai tiba saat yang tepat untuk membunuhnya. Kau mengerti, Itachi?"

"Ya, saya mengerti." Itachi terdiam sesaat sebelum melanjutkan, "Sensei."

.

.

to be continued.

.

special thanks for:

Eigar alinafiah, Moku-Chan, .faris, aiko megami, Rikuma, justread, Ailla-ansory, Dee chan-tik, mamamiaoZumi, .777, roro, you, nInEtAILfoX, Kaoru Mouri, Rhe Muliya Young, payung biru, pororo90, abrakadabrak, imoe, dnri, uchihapachira, seerstella, , LadyRuru, hinatauchiha69, Vampire Uchiha, chan, Hilda9Achilius9Fitra, woo1113840, ryuki, CahyaLavenderHyUchiha, Anahinanaru, NindaK98,

author notes:

sebenarnya suami Hinata itu OC. dan karena malas cari nama, jadi aku hanya sebut 'suaminya' aja. semoga ceritanya masih bisa diikuti.

Trus, maaf juga bagi yang bingung dengan pergantian poin of view di chapter ini yang sangat cepat. time plotnya juga berantakan lagi. harap maklum ya, aku masih newbie, jadi tulisannya masih menyakiti mata ^^

dan meskipun aku punya bayangan seperti apa ending fanfic ini, tapi aku masih belum bisa menentukan mau pilih happy atau sad untuk ending. bener-bener dilemma.

oh ya, aku nulis fic ini setelah begadang semalaman nonton konser. pas mau tidur, kepikiran nulis chapter 2 fic ini dan rencananya cuma buat kerangka cerita dulu biar gak lupa. eh malah bikin cerita utuh (-_-;)

so, if you find some weird, hole, or irrational plot, please tell me, ok. kepalaku masih sakit buat ngecek ulang.

and last, thanks for reading.