REVENGE PLEASURE

summary:

Sepanjang hidupnya, Hinata selalu hidup dalam kemudahan. Ia juga memiliki masa kecil yang menyenangkan, orang tua yang sangat mencintainya, sepupu yang selalu ada untuknya dan teman-teman yang baik. Dan saat ia menikah diusianya yang masih belia, hidupnya tetap berkecukupan tanpa kekurangan maupun kesulitan sekecil apapun. Saat itu, ia tidak akan ragu untuk menyatakan bahwa hidupnya sempurna. Sangat sempurna. Sampai pria bernama Uchiha Madara menghancurkannya.

.

.

DISCLAIMER : MASASHI KISHIMOTO

STORY BY AZALEA RYUZAKI

PAIR: MADAHINA

RATED : M

WARNING: AU, OOC,

DON'T LIKE DON'T READ

.

.

chapter 1

.

Jangan pernah berani berbohong.

Karena sekali berbohong, kau tidak akan bisa berhenti untuk terus berbohong agar bisa menutupi kebohonganmu sebelumnya. Dan meskipun kau lelah melakukan hal itu, kau tidak bisa berhenti.

Hinata Hyuuga jelas mengetahui aturan dasar itu, karena itulah ia disini sekarang. Terjebak bersama segerombol manusia dalam kumpulan orang-orang abstrak dengan tujuan mencurigakan.

"A-ano…Ino-san, kau yakin tempat ini aman?" tanya Hinata dengan tubuh gemetar. Tapi temannya itu malah mengabaikan ketakutan Hinata dan terus menariknya bergerak lebih jauh memasuki ruangan itu. Secara perlahan namun pasti, menerobos kumpulan orang-orang yang membuat nyali Hinata menciut.

Untuk gadis seperti dirinya yang terbiasa dengan jam malam yang sangat ketat, berada diluar rumah saat waktu telah menunjukan pukul sepuluh malam merupakan rekor yang mencemaskan. Dari sejak ia masih gadis kecil, Hinata tidak pernah keluar malam, karena saat matahari terbenam ia diharuskan sudah berada dirumah. Dan ia terus tumbuh dengan berpegang teguh pada peraturan itu.

Jadi rasanya wajar jika Hinata tidak terlalu pandai bersosialisasi. Teman-teman yang bisa dibilang dekat juga bisa dengan mudah dihitung dengan jari. Ia bahkan masih tergagap jika harus berkenalan dengan orang asing, entah rekan kerja keluarganya atau hanya orang yang ingin berkenalan.

Tapi meskipun hidupnya tidak terlalu berwarna, Hinata bahagia.

Darah bangsawan yang mengalir dalam tubuhnya, tidak membuat Hinata serta merta mendapat hak istimewa seperti pengawalan ekstra ketat ala anak-anak bangsawan yang biasa ia baca dalam novel romance, atau hobi berfoya-foya atau hal glamour semacam itu. Hinata jelas bukan salah satunya.

Memang ia dididik dengan keras, tapi selalu ada orang yang berada disampingnya entah untuk menghibur, memperingatkan atau hanya sekedar menemani. Seperti saat ia kecil, ibunya akan selalu ada untuk menghiburnya ketika sang ayah mengajarinya terlalu keras. Saat usianya menginjak remaja, ia merasa terlindungi dengan keberadaan sepupunya. Neji memang bukan sepupu menyenangkan yang pandai bicara, ia tegas, dingin dan sangat disiplin. Tapi berada didekatnya selalu membuat Hinata merasa aman.

Dan saat ia menikah diusianya yang baru menginjak 20 tahun, sang suami yang mengambil alih semua peran pelindung itu. Hinata memang memutuskan menikah muda, bukan karena terpaksa atau tuntutan keluarga, tapi karena ia menginginkannya. Lagipula suaminya pria yang sangat baik. Ia memiliki figure seorang ayah yang mampu membimbing Hinata, tidak memanjakannya namun tidak juga mengabaikannya.

Dan selama itu pula ia merasa hidupnya luar biasa mudah dan menyenangkan.

Hinata tidak harus merajuk atau merengek untuk meminta sesuatu, segalanya telah tersedia untuknya. Ia bahkan bebas pergi kemanapun, ketempat yang ia inginkan tanpa perlu khawatir tentang uang, penginapan, akomodasi, atau apapun. Yang perlu ia lakukan hanyalah menekan sederet angka dan tak perlu waktu lama, akan ada orang yang siap melayani semua keperluannya.

Lihat? Dengan kehidupan seperti itu, bagaimana mungkin Hinata tidak bahagia. Ia memiliki semua yang diimpikan oleh orang-orang: keluarga yang menyayanginya, teman-teman yang baik dan suami yang pengertian. Mereka bahkan hidup sangat berkecukupan meski tanpa bantuan orangtua.

Kehidupan mewah yang telah ia rasakan sejak masih kecil membuat Hinata berpikir bahwa kehidupan seperti itu memang sudah seharusnya. Semuanya terasa wajar hingga membuat Hinata terlena, ia selalu berpendapat bahwa kehidupan itu berbanding lurus dengan apa yang kau perbuat. Hinata mungkin diberikan kehidupan bak putri raja karena sejak kecil ia telah menjadi anak baik sehingga tuhan sayang padanya.

Ia juga sudah terlalu terbiasa dengan kehidupannya sekarang dan melupakan fakta bahwa kehidupan seperti roda yang berputar: kadang diatas dan kadang dibawah. Saat ia berpikir kehidupannya akan terus berlangsung seperti saat ini, keadaan justru perlahan berubah menjadi mimpi buruk yang menyeramkan.

Dan mimpi buruknya dimulai saat seluruh keluarganya mengalami kecelakaan pesawat terbang dalam perjalanan mereka berlibur keliling eropa. Entah apa yang salah, baru beberapa menit terbang landas, pesawat yang dtumpangi keluarga Hinata meledak begitu saja.

Dalam ledakan besar itu, tak ada seorang penumpangpun yang selamat. Dan seharusnya Hinata menjadi salah satunya. Mereka telah merencanakan liburan itu dua bulan lalu, namun karena sesuatu hal, Hinata memilih tinggal untuk menemani sang suami yang harus keluar kota. Ia berjanji akan menyusul keluarganya saat pekerjaan suaminya selesai. Tapi sekarang, janji itu tidak akan ada artinya lagi.

Kematian seluruh anggota keluarganya jelas membuat Hinata terpuruk. Hanya dalam hitungan detik, ia telah menjadi satu-satunya Hyuuga yang tersisa. Dan yang paling menyedihkan dari semua itu, ia tidak bisa melihat wajah keluarganya untuk terakhir kalinya. Ledakan yang terjadi membuat tubuh-tubuh tak bernyawa itu hangus terpanggang dan sulit dikenali. Suaminya yang takut Hinata semakin histeris melarang wanita itu melihat keluarganya dan memutuskan untuk melakukan proses pemakaman dengan segera setelah seluruh anggota keluarga teridentifikasi.

Belum sembuh dukanya karena kehilangan seluruh anggota keluarga, Hinata harus dihadapkan pada kenyataan bahwa kehidupan pernikahannya tidak akan pernah sempurna. Dalam usia pernikahan yang keempat, Hinata dihadapkan pada kabar bahwa suaminya mandul. Mengingat ego suaminya yang sangat besar, Hinata tahu keinginannya untuk menimang bayi tidak akan tercapai dalam waktu dekat. Dan ia tidak akan mengusik hal itu.

Sejujurnya Hinata tidak keberatan dengan kemandulan suaminya. Jika ingin, mereka masih bisa mengusahakan mendapat momongan dengan cara mengadopsi anak atau melakukan program bayi tabung atau cara medis lain untuk bisa mendapatkan seorang bayi yang akan meramaikan rumah kecil mereka. Kemandulan suaminya bukanlah masalah besar bagi Hinata, lagipula selama empat tahun hidup satu atap, mereka selalu rukun, jarang bertengkar, dan saling menyayangi. Lagipula Hinata telah memantapkan hati untuk tetap mencintai suaminya meskipun mereka hidup tanpa seorang anak.

Sayangnya, lelaki yang dicintai Hinata tidak berpikir hal yang sama. Ia mungkin seorang lelaki yang kuat, tapi tidak cukup kuat untuk menahan rasa malu mengetahui dirinya mandul. Terlebih rasa simpati yang diterimanya dari orang-orang terdekat membuat harga diri lelaki itu terluka. Ia menjadi pribadi yang kasar dan mudah marah sejak saat itu.

Dalam sekejap, Hinata telah kehilangan sosok lelaki yang dicintainya.

Tak ada lagi tegur sapa mesra atau percakapan santai menyenangkan atau kencan dengan makan malam romantis di restaurant mahal yang selalu Hinata rasakan dalam kehidupan berumah tangganya. Yang ada sekarang hanyalah Hinata yang harus berjuang sendiri menahan air mata ketika suaminya yang depresi mulai minum-minum.

Awalnya hanya dalam jumlah kecil, segelas atau dua gelas wiski setiap malam, sebelum akhirnya bertambah menjadi berbotol-botol. Belum lagi kebiasaan barunya yang mulai senang membawa wanita-wanita asing ke dalam rumah mereka. Melakukan sesuatu entah apa didalam ruang kerjanya.

Dan jangan lupakan kebiasaan berjudinya yang membuat Hinata pusing. Bukan tentang uang taruhannya yang Hinata permasalahkan, tapi APA yang dipertaruhkanlah yang membuat Hinata sakit hati. Mulanya hanyalah sejumlah uang yang tidak perlu diambil pusing karena kekayaan yang dimiliki Hinata dan suaminya jauh lebih besar dibandingkan uang taruhan itu. Sayangnya, dalam waktu singkat uang tidak lagi terlalu menarik dan taruhan yang tidak terlalu berbahaya itupun mulai menjadi mengerikan.

Suaminya mulai dengan gampang mempertaruhkan saham perusahaan, tanah warisan bahkan dirinya dimeja judi. Meskipun belum ada hal buruk yang menimpa dirinya, karena diluar dugaan suaminya jago berjudi, tapi Hinata tetap tidak bisa mengenyahkan rasa takut dan was-was yang terus menyerangnya setiap kali lelaki itu membuka taruhan dimeja judi bersama teman-temannya.

Hinata yang selalu dikelilingi kemudahan, tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk menghadapi semua itu selain mengajak suaminya bicara. Harapannya tidak muluk-muluk, ia hanya ingin pernikahan mereka yang menyenangkan kembali. Ia ingin semuanya kembali.

Jadi berbekal tekad dan harapan, ia memasuki ruang kerja suaminya disuatu siang dan menemukan lelaki itu tengah bergumul dengan seorang wanita yang tidak pernah Hinata lihat sebelumnya. Belum sempat Hinata membuka suara, pipinya telah terasa pedih akibat tamparan keras yang diberikan suaminya. Lelaki itu tampak sangat murka saat melihat Hinata masuk dan mengganggu kesenangannya, sementara wanita yang beberapa saat lalu ditindih lelaki itu menatap Hinata dengan tatapan mencemooh.

Saat itu, untuk pertama kalinya Hinata menangis. Ia menyadari hidupnya yang nyaman telah berubah menjadi neraka. Dan tidak ada hal lain yang bisa ia lakukan untuk menyelamatkan kehidupannya selain perpisahan.

Ia masih mencintai suaminya, masih mengharapkan kehadirannya, tapi melihat apa yang telah terjadi belakangan ini membuat Hinata menyerah untuk berharap.

Dengan tekad bulat, Hinata memberikan surat gugatan cerai yang didapatnya dari pengadilan dengan susah payah pada pria yang dinikahinya empat tahun lalu. Tapi hal yang terjadi selanjutnya jauh dari apa yang ia harapkan. Pria itu merenggut kertas yang diangsurkan Hinata dan merobeknya menjadi potongan-potongan kecil yang menyedihkan. Masih dengan tampang sangarnya, lelaki itu kemudian melayangkan tinjunya ke wajah hinata tanpa beban.

Dan tanpa merasa kasihan, ia memukuli Hinata hingga babak belur. Melampiaskan semua kekesalannya pada wanita lemah yang bahkan tidak punya tenaga untuk melawan.

Saat itu terjadi Hinata tidak menangis. Ia mungkin meringis dan mengaduh kesakitan tapi tidak menangis. Hinata mungkin bisa pasrah, namun tekadnya untuk menjauh dari lelaki yang dulu dicintainya lebih besar dari sebelumnya.

Pemberontakan.

Mungkin pemberontakan adalah kata yang tepat untuk menggambarkan kelakuan Hinata saat ini. Ia bukan lagi gadis kecil yang selalu menuruti perintah orang lain padanya, tapi ia tetap pendiam seperti biasa. Ia juga bukan lagi sosok lemah lembut yang ceria, tapi kelembutan masih terlihat dari perilakunya. Perbedaan paling jelas yang terlihat dari sosok Hinata sekarang adalah sikapnya yang mudah acuh.

Seperti saat ia melewati ruang tamu yang biasa dijadikan suaminya sebagai tempat berjudi. Dulu ia akan bergidik ngeri dan tidak mau turun sampai semua orang itu pergi. Sekarang, ia tidak terlalu peduli tentang mereka meskipun teman-teman suaminya dengan terang-terangan terus menatapnya tajam, seolah mereka ingin melucuti setiap helai kain yang dipakainya. Keinginan berbahaya yang Hinata tahu tidak akan terjadi dua kali, karena suaminya tampak sudah menyadari bahwa Hinata adalah pion emasnya. Lelaki itu tidak akan lagi bertindak ceroboh dengan menjadikan Hinata barang taruhan seperti dulu. Lagipula, teman-teman suaminya merupakan orang-orang besar, mereka dituntut berprilaku berdasarkan norma yang berlaku. Dan dengan dalih itu, mereka tidak akan berani macam-macam dibawah atap rumahnya.

Yah, setidaknya saat ini Hinata aman.

Hinata bahkan merasa harus mengucapkan selamat pada dirinya sendiri karena bisa dengan mudah mengabaikan kehadiran wanita-wanita yang memasuki rumahnya. Bukan tanpa alasan ia berhasil melakukan itu, tapi dengan keadaannya yang sekarang, dirinya tidak punya pilihan lain. Hinata memerlukan kehadiran mereka sebagai pengalih perhatian. Saat suaminya terlalu sibuk mengumbar nafsu dengan para wanita asing itu, Hinata bisa leluasa melakukan kontak dengan teman-temannya.

Mencari pertolongan, itulah yang ia lakukan. Dan untungnya ia berhasil mendapatkannya tanpa terendus suaminya.

Hinata memang masih tetap seorang perempuan canggung yang kikuk, tapi saat ada orang yang menyakitinya, ia tahu cara untuk melawan.

Sayangnya, apa yang ia harapkan tak sesuai dengan apa yang ia rencanakan, dan semua itu karena pria bernama Uchiha Madara. Salah satu pria dari keluarga Uchiha yang patut diwaspadai. Ia cerdik dan sangat kaya tapi terlalu rakus dan serakah hingga tega memanipulasi suaminya dalam berjudi. Lelaki itu baru berhenti saat korbannya sudah kehilangan segalanya. Dan terlihat sangat senang saat targetnya hancur.

Hinata sebenarnya tidak terlalu peduli jika lelaki Uchiha itu menghancurkan suaminya, ia bahkan akan berterimakasih sambil bersujud ASAL pria itu melakukannya disaat yang tepat. Saat Hinata telah resmi menjadi janda dan mengantongi harta gono-gininya dengan aman.

Sungguh, Hinata sudah tidak peduli lagi pada suaminya. Jadi kenapa si Uchiha brengsek itu harus merampok suaminya sekarang? Kenapa tidak nanti saja? Hinata membutuhkan uangnya tetap utuh untuk bisa memulai kehidupan barunya dari awal.

Tapi hanya karena seorang Uchiha semua rencana Hinata berantakan.

Proses perceraiannya sangat sulit dijalani hanya karena suaminya bersikeras mempertahankan Hinata. Bukan karena alasan romantis seperti: 'aku menyadari tak bisa hidup tanpamu.' atau 'aku menyesal, mari memulai semua dari awal.' atau hal manis semacam itu. Sama sekali bukan! Suaminya bersikukuh tidak ingin bercerai karena alasan praktis: Hinata masih memiliki warisan yang belum ia gunakan. Alasan yang cukup masuk akal mengingat hidup mereka yang kini berada diujung tanduk.

Rumah yang mereka tinggali selama empat tahun ini disita oleh pihak bank. Yang lebih parah, suaminya sudah tidak bisa lagi bekerja karena seluruh asset serta saham perusahaan telah berpindah tangan dan menjadi milik Uchiha. Kendaraan pribadi dan perhiasan milik Hinata juga tak luput menjadi barang taruhan yang kini aman dalam genggaman pria itu. Yang tersisa saat ini hanyalah uang dalam dompet yang tidak seberapa. Dan dengan uang itu mereka harus bisa bertahan hidup.

Demi apapun didunia!

Hinata seharusnya sudah hidup damai sekarang dengan menyandang status baru sebagai janda. Meskipun ia yakin harta gono-gini yang didapatnya tidak akan terlalu besar, mengingat taruhan-taruhan suaminya dimeja judi, Hinata cukup optimis ia mampu membeli rumah dari uang itu. Tidak perlu rumah besar dan mewah seperti yang biasa ia tinggali, rumah yang kecil namun nyaman sudah lebih dari cukup. Ia bisa menghidupi dirinya sendiri dengan melamar menjadi seorang guru, atau kasir di supermarket, atau membuka toko bunga dengan menjual warisannya yang pasti tidak seberapa karena sebagian besar telah dilempar ke meja judi.

Kehidupannya di masa depan jelas berbanding terbalik dengan kehidupannya dulu, bahkan mungkin akan lebih sulit dari yang pernah ia bayangkan. Tapi Hinata akan memastikan ia bahagia.

Dan sekali lagi, semua itu hancur karena satu Uchiha.

.

.

"Hinata, kenalkan ini sepupuku Deidara. Dei, ini Hinata. Dia temanku."

Suara Ino yang tertangkap jelas oleh indra pendengarannya membuat Hinata tersentak seketika. Ya tuhan, bagaimana ia bisa melamun di saat genting seperti ini?

Tapi mau bagaimana lagi, ia tidak terbiasa berada ditempat asing dengan orang-orang yang terus mendelik kepadanya dengan tatapan ingin tahu. Sementara Ino, orang yang mengaku sebagai temannya, terus merangsek maju tanpa peduli mereka telah menyenggol orang-orang bertampang brutal itu.

"Se-senang bertemu dengan anda," ucap Hinata sedikit tidak yakin. Orang yang diperkenalkan Ino sebagai sepupunya sangat…tidak jelas. Butuh waktu beberapa saat bagi Hinata untuk bisa menentukan apa jenis kelamin orang itu.

Meskipun sepupu, mereka cukup mirip. Selain mempunyai rambut pirang terang yang dibiarkan panjang, tubuh tinggi dan bola mata biru pudar, tangan yang menggenggam jemarinya saat bersalaman juga terasa halus. tidak kasar atau kapalan khas lelaki. Tapi jemarinya terlalu besar untuk ukuran seorang wanita. Lagipula, bahunya tidak terlalu lebar dan lengannya juga tidak berotot. Selain itu bentuk rahangnya tidak terlalu tegas.

Sederhananya Hinata bingung: yang didepannya cowok cantik atau perempuan tampan?

Barulah saat sepupu Ino itu membuka suara, Hinata bisa memastikan ia laki-laki karena suaranya yang terdengar dalam dan berat. Tidak ada perempuan yang memiliki suara sedalam itu.

"Jadi…ada apa kau kemari?" tanya Deidara sambil mengajak mereka duduk disudut ruangan yang cukup sepi. "Paman bisa membunuhku kalau tahu putri kesayangannya bermain disini."

"Aku sudah cukup umur untuk minum, lagipula aku tidak berniat main saat ini." sahut Ino tak terima. Ia kemudian melanjutkan ucapannya dengan nada yang lebih serius. "Kami membutuhkan bantuanmu."

"Bantuan?"

"Ya. Kau kenal Uchiha Madara?" tanya Ino tanpa basa-basi, sementara Deidara mengernyit bingung saat mendengar nama itu. Ayolah, tanpa ditanyapun semua orang tahu siapa Madara, dia pemilik tempat ini jadi bagaimana mungkin Deidara tidak kenal. Meskipun secara personal Madara lelaki murah hati yang tidak suka membebankan sewa tinggi padanya, tapi reputasinya sebagai pria bertangan besi cukup meresahkan. Dan sekarang tiba-tiba sepupunya menanyakan pria itu?

"Kau…bukan simpanannya, kan?" tanya Deidara hati-hati dan detik berikutnya sebuah gelas menghantam kepalanya dengan keras.

"Jaga ucapanmu! Aku bukan perempuan seperti itu."

"Jadi kenapa kau menanyakannya?" tanya lelaki berambut pirang panjang itu dengan sewot sambil mengelus benjolan besar dikepalanya. "Asal kau tahu, jarang ada perempuan yang menanyakan tentang Madara jika mereka tidak mempunyai hubungan asmara dengannya."

"Dia laki-laki seperti itu?"

"Tentu saja dia seperti itu, dia normal."

"Itu bagus Hinata," bisik Ino sambil bersorak pelan. Hinata yang mendengar ucapan Ino merasa wajahnya memanas. Ia tahu dengan pasti apa yang dimaksudkan dan direncanakan temannya itu. Dan Hinata jelas sangat tahu itu rencana bunuh diri terkonyol yang pernah didengarnya. Namun Deidara yang duduk didepan mereka justru mengernyit tak suka melihat sepupunya kegirangan.

"Kalian tidak bermaksud terlibat affair dengan Uchiha itu, kan?"

"Tentu saja tidak." balas Ino cepat seakan takut sepupunya akan berpikiran lebih jauh lagi. "Kami merencanakan sesuatu yang lebih dari sekedar affair."

"Dan apa itu?"

"Balas dendam." sahut Ino dengan penuh percaya diri sementara sepupunya tampak terdiam sebelum akhirnya tertawa terbahak-bahak. Melihat hal itu, Ino mengerucutkan bibirnya kesal dan tanpa pikir panjang menendang kaki sepupunya dari bawah meja tapi tetap tidak memberi pengaruh apapun. Lelaki dihadapan mereka masih tetap tertawa. Bahkan nyaris histeris.

"Balas dendam?" Deidara terbatuk untuk menyamarkan tawanya yang hampir meledak lagi. Ia tentu tidak akan segan untuk tertawa sepuasnya jika saja sepupunya tidak memasang wajah marah seperti itu. "Mustahil balas dendam pada orang seperti dia. Sebaiknya kalian pulang, tenangkan pikiran dan jangan kembali kemari."

"Tapi…"

"Kubilang pulang!" perintah Deidara dengan suara tak terbantahkan. "Kau bahkan tidak tahu apa yang bisa dilakukan laki-laki itu, Ino. Dia bukan lelaki yang bisa kau hadapi. Sekarang pulanglah, akan ku panggilkan taksi."

"A-aku tahu apa yang akan kuhadapi." ucap Hinata menghentikan langkah Deidara yang akan meninggalkan mereka. "Aku tahu siapa dia, aku tahu apa yang bisa ia lakukan padaku dan aku menerima semua resikonya. A-aku hanya membutuhkan satu kesempatan untuk membalas semua yang telah ia lakukan padaku."

"Memangnya apa yang sudah ia lakukan padamu?"

"Dia menghancurkan hidupku." jawab Hinata tanpa pikir panjang, matanya yang penuh tekad menantang Deidara yang masih menatapnya dengan pandangan meremehkan.

"Cih, hanya itu? Madara sudah biasa menghancurkan orang-orang. Kau saja yang sedang sial."

"Aku tidak peduli! Aku akan bercerai saat Uchiha itu dengan seenaknya masuk kedalam kehidupan kami, membuat suamiku makin suka bertaruh dan menghabiskan seluruh kekayaan kami dimeja judi hingga kami tidak memiliki apapun lagi. Bahkan saat tahu hal itu, dia masih terus mendesak kami membayar bunga hutang yang sangat tinggi." jerit Hinata frustasi. Ia tidak peduli jika kini mereka telah menjadi tontonan public, yang penting sekarang adalah meyakinkan cowok cantik didepannya agar mau membantu rencananya untuk balas dendam.

"Suamiku memaksaku menjual warisanku untuk melunasinya. Awalnya aku tidak mau melakukannya, tanah itu peninggalan orangtuaku, tapi melihat keadaannya sekarang, mungkin aku akan menjualnya. Setidaknya kami bisa tenang tanpa ada lagi yang menggedor pintu rumah meminta kami melunasi hutang."

"Jadi apa masalahnya?"

"Harga diriku. Itulah masalahnya. Harga diriku tidak bisa menerima kenyataan bahwa aku dan suamiku sudah tidak memiliki apapun, tapi Uchiha itu dengan bebas berkeliaran dan bersenang-senang dengan tenang. Harga diriku yang mencegahku mengiris pergelangan tanganku. Harga diriku juga yang membawaku sampai kemari. Aku tidak akan meminta banyak Deidara-san, aku hanya ingin kau memberikan pertolongan kecil dan setelah itu kau tidak akan pernah melihatku lagi."

"Kau tahu Madara pemilik tempat ini, kan?" tanya Deidara yang langsung dibalas dengan anggukan dari wanita berambut indigo itu.

"Jadi apapun yang kau lakukan, aku tidak akan mau terkena masalah. Dan kuperingatkan, dia akan tahu siapa kau dan akan memburumu."

"Dia tidak akan melakukannya." jawab Hinata dengan penuh percaya diri. "Karena aku sudah pergi jauh dari tempat ini sebelum dia menyadari apa yang terjadi."

"ck! Baiklah, jadi apa yang bisa kubantu?" tanya Deidara sambil meraih gelas berisi cairan berwarna keemasan dan menenggaknya dengan kesal.

"Mudah, aku ingin kau membantuku agar bisa tidur dengannya."

"APA?!"

.

.

.

"Istirahatlah," bujuk Hinata pada seorang lelaki yang duduk di sofa tak jauh dari tempatnya berdiri saat ini. Mereka baru saja selesai mengemas semua barang kedalam kardus agar bisa siap saat mobil pengangkut barang datang besok. Hinata sebenarnya cukup lelah setelah beres-beres seharian, tapi malam ini ada hal penting yang harus ia lakukan.

"Ini masih sore." gumam lelaki itu sedikit mengeluh saat tidak menemukan batangan tembakau dalam kotak yang terselip di sakunya. "Dan aku belum mengantuk."

"Aku tahu, tapi kau membutuhkannya. Besok kita sudah harus pergi pagi-pagi sekali." Hinata kembali memeriksa isi tasnya dengan seksama saat pria itu beranjak bangkit menuju dapur. Mulai mencari-cari ke setiap sudut dari dalam lemari.

"Jangan minum lagi," pinta Hinata yang tidak digubris sedikitpun oleh pria didepannya itu. "Kumohon."

"Aku perlu minum, sialan!" teriaknya dengan marah. Gelas dan piring bekas makan malam mereka yang belum sempat dibereskan Hinata, menjadi pelampiasan emosinya. Suara gaduh yang ditimbulkan dari benda pecah belah itu sedikit membuat Hinata tersentak, tapi perempuan itu memilih memakai sepatunya dan bergegas pergi dari suasana mencekam itu.

"Belikan aku minuman saat kau kembali!" perintah lelaki itu yang sepenuhnya diabaikan Hinata. Wanita itu mempunyai banyak hal yang harus dipikirkan dibanding memusingkan lelaki temperamental yang masih berstatus suaminya.

.

.

"Apa dia sudah datang?" tanya Hinata pada Ino yang telah menunggunya dengan gelisah dipintu belakang bar tempat Deidara bekerja. Ino menggeleng pelan, tapi raut wajahnya yang khawatir tetap tidak berubah.

"Dei sedang memasang handycam-nya sekarang, dan aku akan mendandanimu sebelum Madara datang." kata Ino sembari menarik tangan Hinata untuk bergegas. Mereka sampai disebuah kamar sempit yang penuh dengan pakaian, rambut palsu, macam-macam aksesoris dan ada cermin besar yang dihiasi lampu terang disetiap sudutnya tertempel didinding tak jauh dari tempat Hinata berdiri.

Berbeda dengan Hinata yang harus membiasakan diri dengan tempat mereka berada saat ini, Ino justru tampak luwes kesana-kemari, mengambil pakaian yang tergantung di rak, memilah aksesoris dan hal lain yang membuatnya terlihat sangat sibuk.

"Aku sudah memilihkanmu baju, kuharap kau tidak keberatan dengan warna hitam dan bisakah kau ganti baju dengan cepat? Kita diburu waktu." perintah Ino dengan panik. Hinata menurut tanpa membantah. Ia berusaha melepas pakaiannya secepat yang ia bisa meskipun ia masih tidak mengerti kenapa mereka harus terburu-buru seperti sekarang. Menurut yang didengarnya dari Deidara, Madara biasanya akan datang sekitar jam Sembilan malam, kadang lebih larut lagi dan sekarang bahkan belum jam delapan.

"Kalau sudah selesai, duduklah. Aku akan mendandanimu." perintah Ino lagi yang langsung dituruti Hinata tanpa membantah."

"Apa kau ingat rencananya?" tanya Ino ditengah kegiatannya mewarnai rambut Hinata menjadi merah gelap. Wajahnya masih terlihat cemas dan baru Hinata sadari tangan Ino dingin dan gemetar.

"Ya, aku ingat. Saat Madara datang, Dei akan memperkenalkanku sebagai orang baru kemudian aku akan tidur dengannya. Setelah selesai, kembali kemari dan berganti pakaian sementara Dei membersihkan kamar sambil mengambil kamera lalu menyerahkan kamera itu padaku besok pagi dan lusa aku akan menyebarkan video asusila kami ke dalam jaringan perusahaannya. Saat ia direpotkan dengan nama baik yang tercemar, aku dan suamiku sudah pergi dari sini dan menikmati kehidupan baru kami. Selesai."

"Benar, memang itu rencananya." gumam Ino sedikit lebih tenang. Ide gila itu datang saat mereka tengah berbincang disebuah kafe, atau lebih tepatnya Ino yang marah-marah karena Hinata membatalkan gugatan perceraian dengan tiba-tiba. Setelah penjelasan yang memakan waktu cukup lama, Ino yang tersentuh dengan cerita Hinata merencanakan aksi balas dendam ini.

Awalnya rencana yang terpikirkan hanyalah rancangan-rancangan bodoh cari mati yang terlalu konyol untuk dilakukan. Saat mereka sudah kehabisan ide, Hinata yang sudah pasrah menyatakan mereka tidak akan bisa menyentuh pria itu seujung jaripun. Dan dari perkataan yang diucapkan dengan niat bercanda itulah Ino menyadari satu hal: Madara adalah seorang yang perfeksionis. Dan sebagai seseorang yang terus mengejar kesempurnaan, lelaki itu tidak suka dipermalukan.

Jadi bayangkan betapa malunya Madara saat kegiatan seksnya bersama istri orang tersebar dan dilihat oleh semua orang khususnya pegawai diperusahaan yang dipimpinnya.

Mungkin hal itu tidak akan langsung menghancurkan sang Uchiha, tapi Hinata sudah cukup puas saat membayangkan bisa mempermalukan lelaki itu di depan khalayak ramai dengan tangannya sendiri.

"Tapi apa kau yakin sepupumu tidak akan terlibat masalah?" tanya Hinata tiba-tiba cemas dan mulai meragukan rencana gila mereka.

"Ia selalu terlibat masalah, jangan khawatir, ia sudah terbiasa."

"Lalu kenapa wajahmu terlihat cemas?"

"Kau. Aku mencemaskanmu Hinata." aku Ino pelan. "Anggap saja kita berhasil mempermalukan Madara, tapi bagaimana jika lelaki itu tahu? Dia akan membunuhmu. Apalagi setelah semua yang Dei katakan padaku tentang pria itu. Aku cemas sekali."

"Aku tidak akan apa-apa. Jangan terlalu khawatir, kita tidak akan ketahuan semudah itu." kata Hinata sambil tersenyum menenangkan. "Lagipula jika aku ketahuan, hal buruk apa yang bisa ia lakukan?"

"Dia bisa saja membunuhmu."

"Itu lebih baik, karena aku tidak punya semangat lagi untuk hidup." bisik Hinata sambil meremas tangan Ino pelan. "Bagiku lebih baik mati dibandingkan tahu dia bahagia diatas penderitaanku."

"Hinata…"

"Aku akan baik-baik saja Ino," gumam Hinata lagi. "Kita akan baik-baik saja."

.

.

.

Kemerlap lampu yang terlalu temaram dalam ruangan gelap yang penuh sesak oleh orang-orang yang menari gila-gilaan membuat kepala Hinata sedikit pusing. Ia tidak pernah suka ruangan gelap, dan lampu-lampu yang terus bergerak-gerak itu membuat semuanya jadi tidak lebih baik. Suara bising lagu yang diputar, sorakan yang terus terdengar dan bau alkohol yang bercampur keringat membuat Hinata mual seketika.

Ia ingin segera pergi dari sini.

"Dia akan segera datang, kau siap?" bisik Dei yang tengah berdiri disampingnya. Hinata hanya mengangguk kaku. Cocktail yang beberapa saat lalu dipesan untuk sekedar meringankan pikirannya, kini sudah terpuruk diatas meja. Ia tidak sanggup meminum minuman itu lagi, rasanya terlalu keras untuk Hinata yang memiliki toleransi terhadap alkohol sangat rendah, belum apa-apa kepalanya sudah terasa berat.

Dan saat Hinata memutuskan untuk membasuh wajahnya sebentar, ia melihatnya. Dalam ruangan yang remang-remang dan orang-orang yang saling berdesakan, lelaki itu berjalan kearah mereka dengan langkah santai tanpa terganggu dengan wajah kagum orang-orang yang memberi jalan padanya.

Ia masih sama seperti yang ada dalam ingatan Hinata: wajah yang keras tanpa ekspresi dan terlihat berbahaya dengan mantel hitam yang membungkus tubuh kekarnya. Untuk sesaat, Hinata terpaku. Ia tidak tahu harus berbuat apa? Jantungnya berdebar tak karuan dengan cara yang tidak menyenangkan. Dan disaat yang sama, Dei telah menggiringnya kearah lelaki itu. Lelaki yang merupakan mimpi buruknya.

Uchiha Madara.

Dan sesuai rencana, ia akan menghabiskan malamnya dengan pria itu. Hinata hanya tidak menduga hal ini terjadi dengan sangat cepat dan…mudah. Seakan tuhan berada disampingnya dan mempermudah jalannya untuk membalas dendam.

Pemikiran yang langsung dibantah otak kecilnya saat melihat seringaian Madara ketika jemari mereka saling bertautan dalam sebuah salaman yang kaku. Ia tidak tahu apa yang membuat Uchiha Madara menyeringai padanya, tapi jelas bukan sesuatu yang baik. Hinata tahu itu, ia bisa merasakannya.

Tapi sekencang apapun batinnya berteriak untuk segera pergi meninggalkan tempat bar-bar ini, Hinata memilih bergeming dan mengikuti permainan yang telah ia rancang.

.

.

"nnggghhhh…"

Hinata mengerang tertahan saat dirasakannya sepasang tangan kasar meremas payudara telanjangnya dengan terlalu kuat.

Saat ini ia berada dalam ruangan yang tidak terlalu luas dan didominasi warna merah gelap. Lampu yang menyala redup dalam ruangan tersebut menimbulkan kesan erotis, terutama saat mengingat tubuh telanjangnya tengah duduk dipangkuan pria yang dibencinya. Kedua tangannya memeluk leher pria itu erat, menjaga tubuhnya agar tidak jatuh meskipun ia meragukan hal itu. Bibir mereka saling beradu dengan cara yang belum pernah ia rasakan, saling melumat dan menghisap ditambah lidah mereka yang saling membelit satu dengan yang lain adalah hal baru baginya.

Hinata tentu sudah sering berciuman, tapi tidak pernah seliar ini. Ciuman yang selalu ia terima dari suaminya selalu lembut, hati-hati dan tidak pernah terburu-buru, membuat Hinata merasa nyaman dan terlindungi. Sementara dengan lelaki ini, dengan caranya yang menggebu-gebu tanpa ada sedikitpun kelembutan, secara mengejutkan Hinata menemukan dirinya…terangsang.

Tak berapa lama, bibir Madara mulai merayap menelusuri rahang, cuping telinga dan berlama-lama dilehernya sebelum bergerak turun menuju payudaranya. Dan Hinata tidak bisa berhenti mengerang ketika bibir yang panas dan basah itu melahap puting payudaranya yang telah menegang.

"aaaahhhhh…"

Hinata merintih pelan saat dirasakannya tangan kanan Madara membelai kewanitaannya yang sudah sangat basah. Sensasi yang ditimbulkan sentuhan lelaki itu membuatnya terbuai dan tanpa sadar kedua kaki Hinata melingkari pinggang Madara dengan erat, memberi akses yang lebih lebar untuk disentuh dengan leluasa oleh pria yang masih berpakaian lengkap itu.

"Kau sudah sangat basah." bisik Madara dengan suara serak tepat ditelinganya, dan Hinata kembali menjerit saat dirasakannya telunjuk lelaki itu memasukinya dalam sekali hentak. Sensasi yang dirasakannya sangat jauh berbeda dengan apa yang biasa ia rasakan ketika suaminya sendiri menggaulinya. Rasa aman yang biasanya selalu ia rasakan ketika bercinta tidak lagi ada ketika Madara menyentuhnya.

Hinata semakin mengeratkan pelukannya saat lelaki itu menambahkan satu jari lagi dan lagi kedalam tubuhnya. Tangan kirinya yang sejak tadi meremas payudara Hinata kini berpindah meremas bokongnya dengan gemas. Dan Hinata harus menggigit bibirnya dengan sangat keras ketika dirasakannya ketiga jari pria itu bergerak keluar masuk dengan sangat cepat.

Dan ditengah kesadarannya yang mulai menipis, lelaki itu kembali mengklaim bibir Hinata dalam ciuman panas yang membuat wanita itu kehabisan napas.

Malam ini baru saja dimulai, Hinata tahu itu, ia hanya tidak yakin apakah masih sanggup bertahan hingga akhir.

"aaaahhhhhh…."

Jeritan Hinata yang terdengar lepas, mengiringi klimaksnya yang terjadi dengan sangat cepat. Madara menyeringai melihat betapa kacaunya perempuan yang berada dalam pelukannya. Wajah gadis yang mengaku bernama Yuna itu terlihat merah dan basah oleh keringat. Tubuhnya lemas tapi lengannya tetap memeluk leher Madara erat. Dan napasnya yang terengah membuat Madara tidak sanggup menunggu lebih lama.

Dengan perlahan dan hati-hati, ia membaringkan tubuh wanita itu di sofa yang mereka duduki. Jemarinya dengan gesit menurunkan resleting celananya dan mengeluarkan kejantanannya yang telah tegak dan menegang sempurna. Ia tahu wanita itu masih kelelahan setelah klimaks pertamanya, tapi Madara tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Digerakannya kejantanannya memasuki lubang yang sudah sangat basah itu dengan perlahan, sedikit sempit tapi dengan sekali hentakan Madara berhasil memasukinya.

"a-ah!….Uchi…anggghhhh!"

Hinata kembali menjerit saat benda asing yang memasukinya kini bergerak keluar masuk dengan cepat, tanpa menunggu ia siap atau tidak. Kedua tangannya yang terkulai dikedua sisi tubuhnya terangkat mencengkram lengan Madara yang masih berpakaian lengkap. Butuh waktu beberapa saat bagi Hinata sebelum bisa beradaptasi dengan ukuran Madara yang jauh lebih besar dari suaminya ketika lelaki itu bergerak cepat dan lebih dalam didalam rahimnya.

Dan kemudian, tanpa peringatan, Madara membalikan tubuh Hinata, memaksa wanita itu bertumpu diantara lututnya dan menyeringai puas saat pantat yang tampak kenyal itu memperlihatkan celah lubang anus berwarna pink yang menggoda. Dengan berani Madara menyentuh lubang anus itu menggunakan telunjuknya sementara penisnya masih terus menghentak didalam lubang Hinata yang terasa panas dan sempit.

"akh! ja-jangan sen…a-aaahhhh."

Hinata tanpa sadar menggeliat menolak sentuhan Madara yang mencoba memasuki lubang anusnya. Tapi pria itu terlalu kuat untuk ia lawan, tanpa perlawanan yang berarti, jari telunjuk Madara mulai memasuki anusnya, mengabaikan penolakan Hinata yang tidak mau dianal. ujung jari pria itu bergerak-gerak didalam tubuhnya, menimbulkan sensasi bergidik yang membuat perut Hinata kembali bergejolak.

Tanpa mempedulikan reaksi Hinata, tangan kiri Madara merenggangkan kaki perempuan itu dan menahannya dengan kuat, memberi keleluasaan pada kejantanannya saat memasuki Hinata. Tidak seperti permainan awal mereka, kini Madara bergerak lebih brutal dan liar. Memasuki rahim Hinata dalam gerakan yang terlalu dalam dan kasar. Jari telunjuknya yang berada didalam anus perempuan itu juga ikut bergerak sama liarnya dengan kejantanan Madara sebelum pria itu menambahkan jarinya yang lain.

Tanpa ampun Madara terus bergerak, tidak peduli Hinata yang mulai kehilangan kesadarannya. Dan saat mencapai klimaksnya yang kedua, tubuh Hinata ambruk dengan napas terengah.

Ia sedikit lega saat Madara membebaskan kedua lubangnya dan membiarkannya menarik napas panjang dengan tenang. Tapi kesenangangannya segera berakhir saat benda tumpul besar tiba-tiba menyeruak memasuk lubang anusnya dengan paksa.

"Ti…tidak, ja…akh!"

Rasa sakit terasa jelas saat penis besar Madara berhasil memasuki lubang anusnya. tubuhnya terasa terbelah menjadi dua.

Sementara Hinata harus menahan sakit dibagian bawah tubuhnya, Madara mulai bergerak dengan hentakan liar ketika merasa nikmat saat lubang Hinata menjepit penisnya dengan sangat erat.

"ha-aakkhhh…hentikaaannn.."

Gerakan Madara yang sedikit brutal membuat Hinata merintih tak nyaman saat merasakan kejantanan pria itu terus menumbuknya dengan tidak berperasaan. Payudaranya yang menggantung diremas dengan brutal, menimbulkan rasa linu dan geli disaat yang bersamaan. Tapi itu belum seberapa, disamping harus menahan sakit dibagian bawah tubuhnya, Hinata harus rela menahan nyeri dibahunya akibat gigitan Madara yang tidak bisa dikatakan lemah.

Seumur Hidupnya, Hinata tidak pernah bercinta dengan cara seperti ini. Ia selalu diperlakukan lembut, dengan sentuhan-sentuhan ringan penuh perasaan yang membuatnya terbuai. Dan mereka selalu melakukannya dengan gaya vanila yang nyaman. Suaminya akan berusaha membuatnya terangsang dengan sentuhan dan ciuman mesra tapi tidak pernah menganalnya.

Dan mungkin karena tidak terbiasa itulah, Hinata sudah kelelahan saat mencapai klimaksnya yang ketiga dan tidak sadarkan diri ketika Madara masih terus menyetubuhinya.

.

.

Hinata terbangun saat mendengar dering ponselnya yang terus meraung disamping telinganya. Dengan mata berat dan nyeri luar biasa di sekujur tubuhnya, Hinata menggeliat bangun dan merogoh benda mini sialan yang telah mengganggu istirahat indahnya dari dalam tas tangannya.

Ada setidaknya dua puluh panggilan tak terjawab dari nomor yang sudah sangat ia hafal, lima pesan singkat dari suaminya yang menanyakan keberadaan Hinata, satu pesan dari jasa angkut barang yang menyatakan keterlambatan mereka esok hari dan satu panggilan tak terjawab dari nomor yang tidak ia kenal.

Hinata memutuskan tidak akan memusingkan semua itu sekarang saat ia menyadari dimana ia saat ini. Bukannya berada dalam ruangan remang-remang dengan nuansa merah dimana-mana, ia justru berada disebuah kamar feminim yang sangat asing. Nuansa ungu terasa kental menyemarakan kamar yang jelas milik seorang wanita yang menyukai kebebasan. Hal itu terbukti dari susunan barang dan pernak-pernik yang ditata seenaknya namun tetap terkesan rapi.

"Sudah bangun?" sapaan lembut yang terdengar sesaat sebelum pintu tertutup sedikit membuat Hinata terkejut sebelum akhirnya keterkejutan itu digantikan perasaan lega melihat temannya, Ino, memasuki kamar dengan senyuman ceria.

"Bagaimana perasaanmu?" tanyanya sambil menyodorkan segelas air putih yang diterima Hinata dengan senang hati.

"Sedikit pusing, jam berapa sekarang?"

"Tiga pagi." jawab Ino riang dan mengambil gelas kosong dari Tangan Hinata. "Aku tidak bisa tidur, jadi kuputuskan nonton koleksi drama picisan ibuku."

"Begitu," gumam Hinata sedikit merasa tidak enak hati, entah sudah berapa banyak ia telah merepotkan perempuan berambut pirang ini.

"Aku harus pulang, suamiku menunggu." kata Hinata sambil memeriksa penampilannya. Ia sudah kembali mengenakan blus biru muda yang sama seperti saat meninggalkan rumah, bukan dress mini berwarna hitam yang dipilihkan Ino untuk merayu Madara. Rambutnya juga tidak lagi berwarna merah, meskipun kini rambutnya masih terasa lembab.

"Bajingan itu pasti sudah tidur, lebih baik kau istirahat disini dan baru pulang besok pagi." kata Ino dengan dahi berkerut tak suka saat Hinata melepas softlens yang belum dilepas Ino . Perempuan itu memang tidak terlalu menyukai suami Hinata setelah tahu apa yang telah lelaki itu lakukan.

"Aku tidak bisa merepotkanmu terus, lagipula kami ada janji dengan perusahaan pengangkat barang pagi-pagi sekali." ucap Hinata dengan senyum dipaksakan menghiasi wajah pucatnya. Ino yang kecewa mendengar penolakan Hinata hanya bisa tersenyum pasrah dan membiarkan temannya itu pulang dengan menggunakan taksi.

.

.

Dugaan Ino terbukti benar.

Saat Hinata membuka pintu rumahnya, ia disuguhi pemandangan yang membuatnya kembali tersenyum miris. Lelaki yang masih berstatus suaminya kini terbaring dengan mata terpejam dilantai ruang tamu yang kosong. Ponsel yang tergeletak didekat lengannya bersama beberapa kaleng beer kosong membuktikan ia hendak atau telah menghubungi seseorang, dalam hal ini mungkin Hinata, sebelum alkohol mengambil alih kesadarannya.

Dengan perasaan pilu, Hinata mengambil sprei dan selimut dari kamar mereka kemudian menutupi tubuh tinggi yang kedinginan itu dengan kain tebal yang dibawanya.

Andai saja Hinata mempunyai tenaga yang lebih kuat, mungkin ia bisa menyeret lelaki itu ke kamar mereka. Menempatkannya dalam kasur empuk yang pasti tidak akan membuat mereka masuk angin.

Tapi Hinata tetaplah Hinata.

Tenaganya tak akan kuat untuk menyeret tubuh dengan berat dua kali lipat berat badannya. Dan dengan terpaksa ia membiarkan sang suami tidur dilantai ruang tamu yang dingin dan keras, karena membangunkan pria itu untuk pindah bukanlah pilihan bijak. Hinata pernah mencobanya dulu, dan hasilnya: mata kiri Hinata lebam akibat hantaman dari kepalan tangan suaminya.

Mengingat hal itu membuat Hinata makin kesal. Semua yang dilakukannya saat ini terasa serba salah, meskipun harus ia akui tidur dengan orang yang telah menjerumuskan suaminya memang bukan ide jenius, tapi tetap saja rasanya menyebalkan. Ia seakan-akan dituntut melakukan sesuatu tanpa diberi pilihan apa yang sebaiknya ia lakukan. Ia merasa…sendiri.

Tidak ada lagi ayah yang akan menghajar orang-orang yang berani mengganggu Hinata. Tidak ada lagi ibu yang menjadi tempatnya membagi beban, tidak ada sepupu yang menjaganya 24 jam, tidak ada suami yang mengemban bebannya. Tidak ada siapapun.

Menepis pikiran buruk yang terus melintas dibenaknya, Hinata mulai mengamati wajah suaminya dengan seksama. Dan kembali menghela napas saat melihat perubahan yang sangat drastis pada wajah lelaki itu. Dulu, suaminya merupakan pesolek sejati. Ia selalu rajin bercukur, selalu memangkas rambutnya sebulan sekali dan tidak pernah suka memakai pakaian kusut meskipun itu hanya garis-garis yang timbul dari pakaian yang terlipat.

Ia juga suka tersenyum dan sangat ramah. Hinata ingat dulu ia pernah cemburu pada seorang perempuan tua yang terpesona pada keramahan suaminya itu. Meskipun ia tahu bersikap ramah sangat dianjurkan saat pertemuan social, tapi tetap saja ia tidak terima suaminya dirayu dengan dalih sopan santun. Hasilnya, mereka bertengkar hebat yang berujung pada Hinata yang ngambek sampai berhari-hari dan memaksa suaminya berjanji untuk hanya bersikap ramah pada Hinata seorang. Sekarang ia berpikir betapa konyolnya tingkah kekanakannya saat itu.

Sambil menghela napas lelah, Hinata membaringkan tubuhnya disamping suaminya yang masih tertidur lelap. Merasakan dinginnya lantai marmer bercampur udara malam yang menggigit kulitnya. Mungkin besok ia akan masuk angin, pikir Hinata geli, tapi siapa peduli? Hidup masih terus berlanjut meski Hinata mati sekalipun.

.

.

Rasanya ada yang salah.

Entah mengapa Hinata merasa nyaman saat merasakan hangat sinar mentari yang mengenai wajahnya. Rasanya terlalu damai bahkan terlalu sepi jika mengingat bagaimana pagi Hinata yang selalu dimulai dengan keributan. Dengan sedikit usaha keras, Hinata membuka kelopak matanya yang berat dan memaksa tubuhnya untuk bangun. Meskipun ia tidak rela meninggalkan kenyamanan dari tempatnya berbaring saat ini, tapi ia harus menemui orang-orang pengangkut barang yang mungkin sudah menunggunya.

Ia juga harus segera mandi dan menyiapkan sarapan sebelum kemudian menelpon Deidara. Setidaknya ia harus tahu kapan lelaki itu akan memberian kamera berisi 'dosa Hinata' agar jangan sampai ketahuan suaminya.

Hanya saja ia tidak bisa melakukan itu sekarang, perasaan Hinata jadi tidak enak saat ia menyadari tempatnya tidur saat ini bukanlah tempat terakhir yang ia ingat. Hinata sangat yakin ia tidur diatas lantai ruang tamu bersama suaminya dan bukannya tidur diatas tempat tidur dalam kamar asing yang tidak ia kenal. Yang jelas kamar ini bukan salah satu dari kamar yang berada dirumahnya. Interiornya terlalu asing untuk Hinata.

Dan dimana tas tangannya, mantelnya yang berwarna coklat tua, sepatunya, dan yang terpenting dimana suaminya?

Saat ia mulai panik dengan berbagai kemungkinan terburuk, pintu kamar didepan Hinata terbuka, menimbulkan suara deritan pelan.

Terbangun ditempat asing memang sedikit menakutkan tapi bukan itu yang membuat Hinata terguncang, melainkan saat ia mengenali sosok yang memasuki tempatnya berbaring beberapa saat lalu.

Hinata mengenalnya, bukan sebagai teman yang harus disapa melainkan sebagai orang yang dihindari dan wajib dibunuh kalau bisa.

Sosok itu…Uchiha madara.

Hinata tidak tahu apa yang harus ia lakukan selain menciptakan jarak aman yang sejauh mungkin dengan pria itu. Dan meskipun ia tahu tidak ada gunanya berlindung dibalik selimut, tapi toh tidak ada salahnya dicoba. lagipula kamar ini hanya berisi lemari dan tempat tidur, dan ia tidak punya waktu memeriksa isi lemari yang terletak di dekat pria itu kini berdiri.

"Selamat pagi, hime. Tidurmu nyenyak?" sapa pria itu dengan senyum menyebalkan yang membuat Hinata muak. Baiklah, Hinata mengakui pria ini tampan, dan meskipun selama ini ia tidak pernah berlaku kurang seperti teman-teman suaminya yang lain, tapi mengingat apa yang sudah ia lakukan membuat semua kelebihan itu pudar di mata Hinata.

"Apa yang kau lakukan disini?" tanya Hinata mengabaikan sapaan ramah lelaki itu beberapa saat lalu. kaki mungilnya yang tidak terbalut apapun perlahan menuruni ranjang, menciptakan jarak teraman yang ia bisa. Dugaan-dugaan tentang apa dan bagaimana Madara bisa berada disini mau tidak mau meningkatkan kewaspadaannya. Walaupun sampai detik ini pria itu belum melakukan apapun dan hanya berdiri diam sambil menatapnya.

"Apa aku membuatmu takut?" tanya pria itu pelan, menikmati raut ketakutan dari wajah wanita yang berdiri dengan selimut menggulung tubuhnya. Dan Hinata sedikit berjengit mendengar nada parau dalam suara lelaki itu. suara yang mengingatkannya pada apa yang mereka lakukan kemarin malam.

"Apa yang kau lakukan disini?" tanya Hinata lagi, mengulang pertanyaan yang diabaikan Madara dengan sengaja. Bukannya menjawab, pria itu mendengus pelan sembari merogoh sesuatu dari dalam saku jasnya. Ia mengeluarkan benda kecil yang terlihat tidak asing bagi Hinata.

"Dei menitipkannya padaku." ucap pria itu sambil melangkahkan kakinya dengan santai menghampiri Hinata yang mulai gemetar ketakutan. Pikiran-pikiran buruk mulai berkelebat didalam kepalanya. Hanya ada satu kesimpulan bagaimana benda itu bisa ada ditangan Madara: mereka sudah ketahuan. dan Hinata tidak mau membayangkan apa yang terjadi pada cowok cantik yang sudah membantunya.

"Ide yang sangat bagus untuk merekam kegiatanku diranjang dan membeberkannya pada orang banyak. Aku tahu gagasan itu tidak akan pernah bisa kau tolak."

"A-apa maksudmu?" Hinata mulai merasakan firasat buruk saat melihat senyuman pria yang makin mendekat kearahnya.

"Yamanaka Ino, apa kau tahu siapa dia?" tanya Madara masih dengan nada puas yang mulai membuat Hinata kesal. Lagipula apa maksud pertanyaannya itu? Tentu saja Hinata tahu dengan pasti siapa Ino. Ia seorang pemilik toko bunga yang letaknya tak jauh dari rumah Hinata. Mereka bertemu dan berkenalan saat Hinata mencari bunga apa yang cocok saat menghiasi pesta pernikahannya nanti. Awalnya Hinata pikir pertemuan itu hanya sampai disana tapi ternyata, tidak sesuai dugaan Hinata, mereka justru makin sering bertemu berlanjut karena suaminya yang romantis tahu bahwa istrinya sangat menyukai bunga dan satu-satunya orang yang ia tahu bisa membantu hanya Ino. Dan Ino dengan baik hati mau mengirimkannya langsung pada Hinata. Biasanya saat itulah Hinata mengundang perempuan itu masuk untuk minum teh atau hanya ngobrol santai dan dari sanalah pertemanan mereka terjalin.

Melihat wajah bingung Hinata malah makin membuatnya terhibur.

"Dia salah satu bawahanku, Hinata. Orang yang bekerja atas perintahku." ucap Madara dengan nada puas saat melihat wajah tak percaya milik perempuan dihadapannya. kedua tangannya terulur memenjarakan tubuh Hinata yang masih tak bergeming dengan selimut yang melilit tubuhnya rapat. "Dia bukan pemilik toko bunga seperti kepercayaanmu selama ini, dia asisten pribadiku. Aku yang memerintahkannya mendekatimu, berteman denganmu. Dan aku juga yang menggagaskan rencana di bar itu padanya. Aku yang merencanakan semuanya."

"A-apa?"

"Kau benar-benar naïf, Hinata. Dan aku menyukainya." bisik pria itu pelan. Dan sebelum Hinata bisa menyadari apa yang terjadi, bibirnya telah berpagutan dengan bibir lelaki itu. Hinata menggelengkan kepalanya mencoba melepas ciuman yang membuat napasnya sesak. Tapi tangan pria itu sudah lebih dulu mencengkram rahangnya. Selimut yang membungkus tubuhnya terlepas saat Hinata menggunakan kedua tangannya untuk mendorong tubuh Madara menjauh. Dan saat bibir mereka terpisah, senyum Madara justru makin lebar dan memuakkan bagi Hinata.

"Kenapa? Kau tidak menolakku semalam, jadi apa yang berbeda sekarang?"

"Le-lepas!" jerit Hinata saat lelaki itu kembali mendekatkan wajahnya. "A-aku tidak menginginkan ini."

"Kau akan menyukainya seperti semalam."

"Tidak! A-aku tidak ingin melakukannya lagi. Aku ingin kembali pada suamiku." ucap Hinata dengan yakin. Benar, ia sudah bertekad akan memulai semuanya dari awal. Mereka akan kembali hidup bersama meskipun dalam kekurangan disuatu tempat yang belum terpikirkan oleh Hinata. Tapi rasa sakit yang timbul dari cengkraman lelaki ini membuatnya kesulitan untuk berpikir lebih jauh.

Napasnya makin tercekik saat Madara melumat bibir Hinata dengan rakus danpukulan-pukulan yang tercipta dari tangan mungil Hinata tidak sanggup melawan pria itu. Kepalanya terasa mulai pening saat Madara akhirnya melepas ciumannya, tapi disaat bersamaan, tubuh Hinata tersungkur pada tempat tidur disamping mereka.

"Jangan memikirkan laki-laki lain saat kau bersamaku." perintah Madara mutlak ketika pria itu menindih tubuh tak berdaya Hinata dibawahnya. Memojokkan tubuh mungil itu dalam kekangan tubuh besarnya. "Lagipula apa untungnya memikirkan lelaki yang sudah mati?"

"Ka-kau membunuhnya?" tanya Hinata tak percaya, dan seringaian yang menghiasi wajah Madara membuatnya makin ngeri.

Tuhan, ia memang tidak peduli jika suaminya hancur atau apapun yang membuat lelaki itu tidak bahagia. Tapi dibunuh jelas bukan hal yang diinginkan oleh Hinata. Ia bersumpah tidak pernah menginginkan hal itu terjadi.

"I-iblis!" maki Hinata sambil berusaha mencakar wajah lelaki brengsek yang kini justru tertawa terbahak-bahak diatasnya. Hinata makin kalap saat pria itu berhasil menangkap kedua tangannya dengan mudah dan mengangkatnya keatas kepala Hinata yang mulai menangis dengan tubuh gemetar.

"Benar, aku iblis. Dan mulai detik ini kau akan melayaniku."

"Tidak…"

"Ya! Dan kau tahu apa bagian terbaiknya Hinata?" tanya pria itu lagi, bibirnya yang lembut dan hangat mengecup tetesan air mata yang mengalir menghiasi pipi pucat perempuan itu.

"Aku tidak akan pernah melepaskanmu."

.

.

.

to be continue

.

terimakasih sudah membaca ^_^