Notes: Ini sebenarnya terispirasi dari sebuah fic Naruto tapi disini aku bikin tentang EXO dan aku lupa judulnya apa, bagi autor yang udah nulis fic-nya maaf ya kalau rada mirip. Tapi aku usahain ini bakalan beda koq. Kalau ada yang mau protes disini aku udah bilangkan MAAF! meskipun itu tidak akan membantu sebenarnya.

Terus kalau ada yang gak suka sama pairnya,gendre atau yang lain-lainnya jangan ngebas atau semacamnya gitu. Aku tahu kesukaan orang itu beda-beda yang semua orang menyukai hal yang sama dengan aku. Gak ada manusia yang tanpa dosa. Gak ada juga manusia yang tampa kesalahan. Karena gak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Kalau kalian gak suka YAOI-Shounen-Ai, Yuri – Shoujo-Ai lebih baik jangan dibaca. kalaupun mau baca terus review yang pedes sekalipun aku gak akan marah karena aku gak mau buang-buang energiku untuk ngeladenin yang kesukaannya beda sama aku.


Warning:

Yaoi, OOC, Typo's, Gaje, Aneh, Abal, dll

.

.

Don't Like, Don't Read

.

.

.

Angin malam berhembus.

Malam masih sunyi.

Dan rembulan bersinar terang diatas sana.

Di atas container besi tinggi berwarna hitam yang di terangi cahaya rembulan, dua orang itu berdiri tegak, berhadapan. Sangat dekat. Hanya jarak beberapa meter saja yang memisahkan mereka.

"Kau tak kan bisa lari lagi dariku, Oh-sajangnim. Dengan ini, Aerokinesis-mu akan mati," kata pria berjas abu-abu itu sambil mengacungkan pistolnya. Rambut hitam dan mata onyxnya tampak begitu serasi dengan gelapnya malam.

"Oh ya?" balas pria yang dipanggil Oh itu, pria berambut pirang bermata coklat yang menggenakan kemeja hitam berlapis jas hitam-pakaian serba hitam- itu masih tetap menatapnya tanpa gentar, "Kau bisa membunuhku saat ini juga, Komandan Kim. Tapi Aerokinesis. tak akan mati." Tangan itu pun sama, mengacungkan senjata kesayangannya pada sang komandan.

Masih dalam posisi itu, mereka saling menatap dan berdiam diri. Hening. Kesunyian malam juga tak membantu. Hanya angin kencang saja yang terus menerpa kedua rival lama itu. baru beberapa puluh detik berlalu dalam kesunyian, namun rasanya sudah berjam-jam mereka berdiri di sana.

Mereka menunggu. Menunggu salah satu dari mereka mulai menekan pelatuknya. Jarak mereka memang hanya beberapa meter saja. Dengan jarak itu, jika tak berhasil mengindar ataupun lambat untuk memulai, bisa dipastikan salah seorang dari mereka akan mati.

Tapi mereka menunggu. Hanya menunggu.

Jauh dalam hati, tak ada seorangpun dari mereka yang ingin kehilangan rival sejatinya.

Pria bermarga Kim itu ragu. Bertahun-tahun ia menunggu kesempatan ini. Bertahun-tahun ia mengejar pria berambut pirang ini. Pria muda yang umurnya beberapa tahun di bawahnya, namun begitu sulit untuk ia tangkap. Terlalu licin untuk bisa ia dapat. Dan kini, kesempatan itu berada di depan mata. Tapi ia ragu. Sudah bisa dipastikan ia tak ingin membunuh orang ini. Tapi… apa jadinya jika ia menangkapnya? Dunia akan berlaku lebih kejam lagi pada pria bermarga Oh itu. ia telah berada berpuluh tahun di kepolisian. Ia tahu persis apa yang akan mereka lakukan pada penjahat setaraf pria dihadapannya ini…

Secara sembunyi-sembunyi ia menalan ludah, tak ingin pria dihadapannya tahu apa yang ia pikirkan. Tapi pria itu tahu. Pria itu tahu apa isi otak sang rival saat ini.

Pria muda pirang itupun tersenyum. ia berikan senyum terbaiknya. Sama dangan semua senyum yang pernah ia beri. Bukan senyum mengejek, tapi senyum penuh percaya diri dan juga ketulusan, hanya untuk sang rival. Gara-gara senyuma ini, sang komandan tak pernah habis pikir, mengapa pria pirang ini masih saja bergelut di dunia itu. dunia gelap itu. dunia gelap yang mengharuskannya diburu oleh polisi di seluruh dunia.

Tapi… gara-gara senyum itu pula, pria bermata onyx itu bisa menyakinkan dirinya untuk mengambil inisiatif terlebih dahulu.

Jari telunjuk sang komandan menekan pelatuk pistolnya.

0,01 detik kemudian, insting liar pimpinan Aerokinesis membuatnya ikut menekan pelatuk senjatannya.

Suara tembakan terdengar hampir beriringan.

Lalu sunyi lagi.

Sang komandan yang tadinya berdiri tegap, tiba-tiba jatuh berlutut. Kemeja putih dalam jas abu-abu yang ia gunakan telah berboda merah. Darah merembes dari lukanya. Sebelum ia kehilangan kekuatan terakhirnya untuk tidak terkulai lemas, mata onyxnya sempat melihat sang pimpinan pria pirang yang masih berdiri tegak itu.

"Sial…" lirihnya, ia lalu jatuh tertelungkup. Tak ada lagi kata yang keluar dari bibirnya, tapi ia masih bisa menjaga kesadarannya.

"Kau tidak gagal membunuhku komandan." Kata sang pimpinan itu sambil tersenyum. tangan kanannya menyentuh dadanya sendiri yang kini basah akan darah. Meski darah di kemejanya sendiri tak begitu terlihat, karena ia mengenakan kemeja merah dan jas hitam kesayangannya. Detik demi detik berlalu, sedikit demi sedikit, sang Komandan Kim mulai kehilangan kesadaran. Tapi dengan mata tertutup, ia masih bisa mendengar apa yang Pemimpin Aerokinesis itu katakan padanya.

"Kau tak gagal membunuhku. Tapi…" pria itupun ikut jatuh tersungkur, "…Aerokinesis tak akan mati. Tidak akan."

Hening.

Angin malam berhembus lagi. Malam masih sunyi, dan rembulan pun masih bersinar terang diatas sana.

Tapi ada yang berbeda kini.

Dua sosok itu tak lagi berdiri tegak.

Tuhan telah mengambil nyawa dua rival sejati itu…


Still You

Pair: ...? (belum tahu)

Rate: T akan naik sewaktu-waktu


Siang itu, tak terasa seperti siang. Tetes-tetes hujan terus membasahi bumi. Seolah langit juga ikut menangisi kepergian dua rival yang dimakamkan pada hari itu.

seorang bocah itu duduk disana, di kursi duduk ayahnya.

Pakaian serba putih masih melekat di tubuhnya. Ia masih belum melepas pakaian tanda dukanya itu… Mulai saat ini warna hitam akan menjadi seragamnya-yang tentu saja sangat kontras dengan apa yang ia kenakan sekarang juga kulit pucatnya itu. Sama seperti seragam organisasi sang ayah, jas hitam dan kemeja hitam.

Rambut pirangnya masih terkulai lemas, masih basah karena sisa tetesan hujan yang mengenainya saat ia mengantar ayahnya ke peristirahatan terakhir beliau. Mata coklat itu tak lagi basah, tapi sinar terang yang biasa ada disana telah menghilang sama sekali. Berganti dengan mata yang memerah karena terlalu banyak menangis. Sudah habis air matanya. Ia tak mampu terus-terusan menangisi ayahnya. Toh ia paham, tangisannya tak akan bisa mewakili seluruh kesedihan di dalam hatinya. Kini ia tak punya orang tua lagi. Ibunya meninggal ketika melahirkannya. Ayahnya pun kini telah pergi. Dan diumurnya yang kesembilan ini, ia sudah harus mewarisi pekerjaan ayahnya.

Ya. Ia duduk di kursi ayahnya, bukan karena ingin. Tapi karena ia memang harus melakukannya. Ia di sana, bukan sekedar duduk menggangikan posisi ayahnya di ruangan itu. tapi juga menggantikan posisi sang ayah di bisnis yang digelutinya.

"Tuan Muda, katakanlah perintah pertama anda," kata pria berparas bak malaikat itu yang kini berlutut di hadapannya.

Bukan hanya pris itu. semua orang yang ia kenali di rumah besar ini tengah berlutut di depannya. Semua orang yang mengenakan pakaian serba hitam itu sedang memberi hormat kepada sang pewaris. Ia baru saja disahkan menjadi pemimpin mereka yang baru.

Yang ada dipikirannya kini bukanlah rasa heran ataupun aneh, mengingat sebagian besar dari mereka yang tengah menghormat kepadanya justru orang-orang yang sudah dianggapnya keluarga. Justru orang-orang yang selama ini sering bercanda dan meremehkan kemampuannya.

Mata coklat itu menerawang. Kini hanya ada satu hal yang terus terngiang di otaknya.

Bagaimana cara membalaskan dendam ayahnya.

Ia tahu. Ia tahu sang pembunuh ayahnya telah mati. Mati bersamaan dengan ayahnya. Tapi rasa dendam dan sedih tidak hilang dari dirinya. Ia tetap ingin membalaskan dendamnya.

Setan dan iblis mulai menari-nari di dekatnya. Membisikkan hasutan-hasutan jahat mereka di telinganya. Sementara otaknya sendiri belum bisa berpikir jernih. Ia hanya anak Sembilan tahun yang baru saja kehilangan ayahnya. Juga anak Sembilan tahun yang tiba-tiba saja harus menjadi pemimpin Kyuubi, organisasi kejahatan terbesar di Negara itu.

Dan jika ditanya apa perintah pertamanya… hanya ada satu yang akan ia katakan sekarang.

"…bunuh," katanya dingin, "…bunuh semua anggota keluarganya."

Still You

Langit mendung. Matahari rupanya masih enggan menunjukan wajahnya hari itu. Di sebuah rumah sederhana terlihat seorang anak kecil kira-kira berusia delapan tahun, sebut saja Kim Jongin tengah menangis dan meminta agar ibunya tidak pergi. "Ibu jangan pergi! Jangan pergi!" ujarnya, Ibunya tidak mempedulikan tangaisan Jongin dan terus mengemasi pakaiannya kedalam koper.

"Ibu jangan tinggalkan aku! Jangan pergi!"

"Aku akan kembali. Kau main saja sana. Aku akan segera kembali." Ibu Jongin mengelurakan sebuah kalung dan memakaikannya pada Jongin.

Jongin menggeleng keras, "Tidak. Jangan pergi! Jangan pergi!" teriaknya dengan berurai air mata. Namun sang ibu tidak peduli, ia pura-pura tidak mendengar tangisan sang putra, ia bangkit dan membuka pintu rumahnya dengan tergesa. Namun sebelum tangannya menyentuh knop pintu, pintu itu segera terbuka menampilkan seorang pria, ayah Jongin.

Ayah Jongin terlihat bingung dengan kepergian istrinya itu, "Yeobo! Kau mau kemana" ucapnya, ia melihat penampilan sang istri yang sudah rapi dan melihat sang putra yang kini menangis dilantai. Pandangannya terhenti pada koper yang dipengang sang istri.

Namun sang istripun tak menghiraukan sang suaminya yang melihatnya heran, bukankah ia baru pulang dari penerbangannya. Sang istri yang merupakan seorang pramugari di salah satu pesawat, baru saja tiba dirumahnya semalam. Namun, sekarang ia akan pergi lagi terlebih sekarang sang istri pergi dengan membawa koper besar yang diperkiran itu adalah semua barang-barangnya. Bingung, tentu saja. Biasanya sang istri hanya akan membawa beberapa pakaiannya, tapi sekarang?

Ia melangkah dengan tergesa meninggalkan sang suami yang masih kebingungan diambang pintu, dan putranya yang kini telah bangkit dan segera mengejarnya keluar.

"Ibu! Ibu! Ibu! Jangan pergi!" teriak bocah itu yang masih menangis. Ia memegang tangan sang ibu bermaksud untuk menahannya agar tidak pergi meninggalkannya. Namun tak pernah disangka sang ibu malah menghempaskan tangan itu dengan kasar, hingga bocah itu jatuh terduduk sambil terus memanggil sang ibu.

"Ibu jangan pergi! Izinkan aku ikut! Izinkan aku ikut denganmu!"

Ia segera bangkit mengejar sang ibu yang berjalan didepannya, ia berlari tanpa menghiraukan jalan hingga ia terjatuh akibat jalan yang licin. Ia menahan sakitnya dan mengejar sang ibu kembali sambil terus berteriak.

"Ibu!"

Sang ibu mempercepat langkahnya, ia menghembuskan nafas lega ketika dilihatnya taxy yang ia pesan sudah menunggunya tidak jauh darinya. Ia segera memasuki taxy tersebut tanpa memperdulikan sang putra yang menangis dan terus berteriak memanggilnya.

Hingga taxy itu berlalu dari pandangan sang putra. "Ibu! Izinkan aku ikut!" teriaknya sekali lagi.

Still You

Siang itu cuaca cukup cerah. Matahari pun memedarkan sinarnya dengan angkuh. Cukup panas hanya untuk keluar rumah, orang-orang memilih berteduh atau semacamnya namun tidak dengan seorang bocah lelaki berambut hitam itu berjalan menuju rumahnya. Ia memandangi semua orang dengan tatapan sinis. Beberapa orang dewasa yang sedang asyik mengobrol, sampai anak-anak kecil yang tertawa ria.

"Kenapa? Kenapa mereka bisa tertawa di saat ibuku telah pergi? Kenapa, kenapa bukan keluarga mereka saja yang pergi? Biar hilang tawa mereka! Sial!" makinya dalam hati.

Ia terus berjalan dan sampai di depan pintu rumahnya, ia pun membuka pintu rumahnya itu. mulutnya terbuka, berniat mengatakan sebuah kaliamat yang selalu diucapkannya ketika sampai di rumah.

"Aku pu… appa!" teriaknya, ketika mendapati sang ayah tergeletak di lantai ruang tamu dengan berlumur darah. Dengan sebuah pisau yang tak jauh dari posisi sang ayah. Jongin kecil segera berlari menghampirinya dan menguncang tubuh ayahnya.

"Appa! Bangun!" teriaknya kedua tangannya telah ternoda darah sang ayah yang masih mengalir dari pergelangan tangan kirinya.

"A-appa jangan tinggalkan Jongie sendiri! Hiks…" isaknya, "Hiks… appa bangun," raungnya, namun tidak ada jawaban dari seseorang yang ia panggil appa itu.

Jongin menggeleng,

Ibu…"

Setelah ibu, kini giliran ayah?

Lalu…"

Air matanya mengalir deras. Kenapa ayahnya kini meninggalkannya, setelah ibunya yang pergi entah kemana. Kini ayahnya yang pergi dengan cara yang mengenaskan, ia tidak ingin percaya akan kenyataan ini. Ia berharap ini semua mimpi, ia berharap saat ia terbangun ibunya akan datang dari tempat kerjanya dan membawakan makanan kesukaannya juga sang ayah masih memeluknya.

Namun tidak, semua ini bukan mimpi. Semua ini nyata.

Jongin kecil, berkabung atas kematian sang ayah, ia menangis, kenapa? Kenapa semua orang yang ia cintai meninggalkannya sendirian di dunia ini?

Sekali lagi ia menangis, menangis karena kepergian sang ayah.

Hingga akhirnya ia di bawa oleh sang tetangga untuk di titipkan di sebuah petugas panti asuhan. Bukan. Bukan karena ia tidak ingin merawat bocah manis itu, tapi keadaanlah yang tak memungkinkan. Tetangganya bukan dari kalangan mampu, jadi ia tidak mampu untuk membiayai segala keperuan Jongin, untuk hidup sehari-hari saja ia susah.

Karena ia tidak lagi memiliki keluarga yang mampu mengurusnya. Tidak mungkin bocah kecil seperti dirinya mampu hidup di dunia ini sendiri tanpa orang yang merawatnya. Tetangganya yang mengantarkannya langsung ke panti asuhan itu.

Biarawati yang menjadi petugas panti asuhan itu tersenyum menyambut Jongin.

"Hallo. Lama tidak berjumpa, suster." Sapa seorang wanita yang membawa Jongin kesebuah panti asuhan, tempat dimana ia akan tinggal sekarang. Jongin kecil memandang malas pada anak-anak seusianya yang yang kini tengah bermain di lapangan.

"Namamu, Jongin, kan?" tanya suster itu. "Namaku, Cecilia." lanjutnya sambil membungkuk menyamakan tingginya dengan Jongin.

Jongin diam, tidak menjawab. Ia mengarahkan pandangannya pada seorang bocah manis yang tengah duduk disebuah bangku tidak jauh dari tempatnya berdiri sekarang. Bocah itu tersenyum padanya dan segera bangit berjalan perlahan sambil melaimaikan tangannya.

Jongin membuang muka, membuat senyum itu hilang. Kecewa, karena bocah kecil itu merasa Jongin tidak menyukainya.

"Beri salam padanya Jongie," ujar bibi Jung yang mengantarnya sambil mengelus pundaknya lembut. Jongin berdecak, ia menglihkan mata onyxnya kearah suster Cecilia itu. "Dia akan jadi suster yang akan merawatmu mulai sekarang." Lanjutnya.

"Semua anak disini sama sepertimu…" Jongin mendongak, "mereka tidak punya orang tua. Jadi…"

Jongin memotong dengan cepat, "Aku berbeda. Ibuku belum mati." Ujarnya tegas, "Aku bukan yatim piatu." Dan setelahnya ia pergi menghampiri bocah tadi yang melaimbaika tangan padanya.

.

.

.

END

kekeke...

Aku sebel penyakitku kumat Insomnia akut jadilah aku bawa fic dengan judul baru dan dipublish di jam-jam segini padalah hutangku masih ada 3 ff yang belum ku lanjut dan malah dianggurin gitu aja.

Untuk yang nunggu Love is maaf belum di publish coz aku masih nulis NC-nya dan itu belum selesai samapi sekarang, itu bener-bener menyusahkanku, aku nggak bisa tidur gara-gara tu nulis NC, hidupku tidak tenang lagi, coz itu adalah pertama kalinya aku nulus Rate M, NC, YAOI pula. gerah sendiri jadinya harus cepat nyari suami#plak kuliah aja belum kelar. Mungkin minggu depan kalau tidak ya secepatnya aku update.

udah dulu cuap-cuapnya mau coba tidur karena aku butuh tidur sekarang meski mata gak mau terpejam juga hiks... hiks... padahal air mataku gak keluar juga sampai detik ini, itu membuat mataku perih.