Naruto © Masashi Kishimoto

Buram © marduk 789

Warnings are applied. It's a rate M fanfict for swearing words.

Chapter I—

Dan aku membenci semua orang yang menyepelekanku. Hidan bukan nama yang sulit diingat, tapi mereka selalu lupa namaku. Bahkan pukulan tidak cukup untuk memberi pelajaran pada otak bodoh mereka. Ah, ini artinya aku harus melakukan lebih dari sekadar memukul. Aku juga harus meretakkan kedua belas pasang rusuknya. Jika ada waktu, tulang keringnya juga perlu berkenalan dengan tendanganku.

"Hentikan, Hidan! Kau akan membunuhnya!"

Aku beralih. Suara itu seharusnya tidak seberisik biasanya—aku tahu itu. Hei, seharusnya kau tidak perlu memberontak. Ikatan itu akan melukai pergelangan tanganmu, Bodoh!

"Lebih baik kau diam saja. Atau kau ingin melihat pertunjukan yang lebih kolosal dari ini?"

Persetan dengan air mata itu, aku hanya mengerti pada gelengannya. Bagus.

Aku kembali pada sekujur tubuh kemerahan di bawah sol sepatu kulitku. Tendangan terakhir untuk memberi pelajaran pada orang terakhir.

"Ingat baik-baik. Namaku Hidan. H-I-D-A-N. Bilang itu pada boss kalian yang sama bodohnya dengan kalian. Jangan lagi membuatku tertawa dengan membawa orang-orang gila ke depan hidungku!"

Aku lantas menarik seragam hitam mereka satu per satu, mengambil benda berharga beserta uang. Tas sekolah mereka juga tidak luput dari jarahanku. Aku selalu bahagia ketika melakukan bagian ini.

"Kau seharusnya tidak membuntutiku. Tapi jika pertunjukan tadi dapat memberimu pelajaran, aku tidak masalah jika kau ingin terus melihatnya," gumamku sambil terkekeh pada perempuan yang kuikat.

Aku menghampirinya. Baru dibiarkan sepuluh menit saja, kedua pergelangan tangannya sudah semerah ini. Setipis itukah kulitnya?

Aku melihat ketakutan di rautnya. "A-aku hanya ingin melihat kematianmu!"

"Sayang sekali kau tidak bisa melihatnya malam ini," kataku sambil membuka dengan kasar sabuk yang kuikatkan padanya. Ia meringis pelan. "Butuh kekuatan yang lebih besar dari yang kukeluarkan untuk dapat membuatku meringis. Baru kuremukkan rusuk mereka saja, kau sudah menangis begini. Aku dapat melihat dengan jelas sesedih apa tangisanmu jika aku yang mati."

Ia menatapku dengan kebencian yang terkumpul di pelupuknya. Rona merah berkumpul di wajah. "Aku tidak akan menangis untukmu!"

"Jika sudah begini, kau dapat berisik juga, ya. Hapus air matamu, kita pulang."

Ia tidak langsung melakukan apa yang kuperintahkan. Tatapan itu masih sama dengan lima bulan lalu, bahkan aku melihat bayangan kelam itu masih ada padanya. Aku tahu ia benar-benar membenciku setelah aku membunuh keluarganya dan memaksanya untuk ikut bersamaku. Setidaknya, ia dapat sedikit berguna untuk mebereskan kekacauan apartemenku. Walaupun untuk hari-hari pertama, ia sama sekali tidak berguna seperti halnya mesin rusak yang harus dihancurkan.

Hinata namanya. Dia tidak mau bicara awalnya—aku harus terus memaksanya makan—dan aku harus menunggunya hingga seminggu lebih untuk mendapatkan namanya. Lumayan cepat dari yang kuperkirakan, memang—yang kupikir itu wajar karena ia kesal dipanggil "Perempuan" di setiap aku meneriakinya.

Setelah ia menyapukan telapak tangan pada jejak yang ada di wajahnya, aku menarik pergelangan tangannya untuk segera menyingkir dari gedung tua itu. Suara ringisan tidak aku acuhkan saat itu. Setidaknya dengan meringis ia tidak akan mati, 'kan?

Sore yang kutahu masih terasa sedikit hangat kini berubah drastis. Jelas tercetak pada pecahan kaca yang mengembunkan udara luar. Dinginnya musim gugur membekuk tubuhku yang hanya terbalut kaos hitam. Bulu di punggungku sedikit meremang sebagai respons kilat.

Ketika kusadari banyak orang yang berlalu bersama kami, aku memperlambat langkahku. Dengan sakali tarikan, aku merangkul bahunya. Bergerak senormal mungkin seolah kami sedang berkencan. Namun jelas ia tidak ingin kesan itu terlihat pada kami.

Ia menatapku tajam sebelum tangannya bergerak menurunkan rangkulanku. Aku merangkulnya kembali. Ia menurunkannya lagi. Begitu terus hingga aku muak. Persetan dengan kesan!

Aku kembali menggenggam kuat pergelangan tangannya, memaksanya untuk mengikuti ritme langkahku yang berubah cepat. Orang-orang yang melihat kuhadiahi dengan tatapan menusuk dan itu cukup berhasil membuat mereka mengalihkan pandangan segera.

Hinata tidak akan berani berteriak di tempat penuh dengan mata ini. Itu akan membuatnya malu sendiri. Aku tahu rasa malunya lebih besar daripada rasa takutnya. Ah, mungkin harusnya aku mengatakan, "Ia takut pada rasa malunya."

marduk 789—

Aku tersentak dari tidurku ketika ponselku berdering kencang. Aku tidak pernah ingat telah mengatur nada dering sekencang itu. Di layar tertera sebentuk surat. Aku membukanya. Aku tergelak saat membaca pesan di dalamnya. "Hanya ancaman murahan." Lalu kulempar ponselku di atas nakas. Dan itu meluncur mulus hingga terjatuh ke bawah. Sama sekali tidak keren.

Berterimakasihlah pada deringan tadi, aku kini tidak dapat melanjutkan tidurku. Sinar matahari yang masuk melalui jendela kaca di samping ranjangku juga begitu terang menginvasi kamarku. Seperti ada yang berdenyut kencang menyempitkan kepalaku ketika aku bangkit untuk duduk di tepi ranjang.

Semalam, dalam perjalanan pulang, aku membeli banyak minuman beralkohol dari uang yang kurampas dari siswa-siswa itu. Bau menyengat hidung dapat terasa begitu pahit di lidahku dan itu berhasil mengaduk-ngaduk perutku. Dengan kesadaran yang belum sepenuhnya pulih, aku berlari ke luar kamar menuju wastafel di dapur. Segala makanan yang terlarut di lambung meluncur begitu saja. Aku merasa lebih baikan sekarang.

Beberapa botol dan kaleng masih berserakan di atas meja, juga ada yang terbujur di lantai. Kuyakin tidak ada yang berpindah seinci pun sejak kutinggal semalam. Masih tetap berantakan dan aku menggeram kesal karenanya. Bukan hal yang parah sebenarnya karena aku memang malas membereskan apartemenku, tapi setelah aku memberi ruangan padanya, harusnya keadaan ini dapat lebih baik dari sebelumnya.

"Hinata!" teriakku yang cukup untuk mengisi segala sudut ruangan. Kutunggu beberapa detik, namun yang kupanggil tidak kunjung datang. "Ke sini sekarang atau aku akan memutuskan nadimu!"

Dengan ancaman begitu cukup membuatnya takut. Terbukti dengan suara pintu terbuka yang sempat menyambangi pendengaranku. Aku tersenyum penuh kemenangan. Ia tidak akan mau mati sebelum membalaskan dendamnya, kurasa.

Ia muncul dari belokan dengan seragam sekolah lengkap beserta tasnya. Ia tidak bicara, namun tatapan kebencian dan ketakutan saling berbagi dominasi di setiap pancaran matanya.

"Tiga kesalahan yang kau perbuat hingga pagi ini. Pertama, mengatur ulang nada dering ponselku; kedua, tidak membereskan kekacauan ini; dan ketiga… mana sarapanku?!"

"A-aku memang melakukannya, lalu kau mau apa? Untuk botol dan kaleng bodohmu akan kubereskan sepulang sekolah. Lalu, kau harusnya melihat isi kulkasmu sebelum meminta sarapan!" bentaknya tidak kalah, namun masih terdengar getaran dari suaranya. Pun begitu, semakin hari, ia semakin berani beradu sengit denganku. Apa pengaruhku berhasil menggerakkan pikiran kakunya?

Di atas segalanya, aku lupa hal vital terakhir itu. Tapi bukan berarti aku begitu saja mengalah. Mau dikemanakan raut sangarku jika aku memperlihatkan kekalahan di depannya.

"Kau harusnya mengingatkanku!"

Ia mengabaikan perkataanku ketika kutahu ia melangkah menuju pintu. Aku membiarkannya. Walau awalnya mengesalkan, soal nada dering itu dapat sedikit dimaafkan karena menghibur pagiku, lalu botol dan kaleng dapat dibereskan setelah pulang sekolah, namun menahannya untuk membuatkan sarapan tanpa persediaan apa pun, aku tidak akan beda gilanya dengan ketiga siswa semalam.

Aku kembali ke kamar untuk mengambil kaos yang terlihat olehku lalu memakainya. Aku melihat keadaan di luar dari jendela kaca kamarku. Cukup sulit bagiku untuk melihat dengan jelas trotoar di depan apartemen jika tidak membuka jendela lalu menekur ke bawah dengan teropong. Apartemenku lebih dekat dengan jalur terbang kawanan burung daripada daratan. Karena itu hal pertama yang kudapati ketika memandang keluar adalah awan gelap yang bertumpuk jauh di sana.

Hinata baru saja keluar. Ia berjalan menaiki jembatan penyeberangan. Sekolahnya hanya berbeda tiga blok dari sini. Bahkan aku dapat melihat atap gedung sekolahnya dari kamarku.

Sebenarnya aku tidak mau ia sekolah. Tapi kurasa tidak begitu menguntungkan terus mengurungnya di ruangan ini hingga stres mengacaukan pikirannya dan malah bunuh diri. Mayat di kamarku tentu akan sangat merepotkanku, apalagi jika situasi tidak mendukung. Berbeda jika aku yang langsung membunuhnya. Akhirnya aku memasukkannya ke sekolah menengah atas yang jaraknya cukup dekat dengan tempat tinggalku. Hei, aku tidak ingin menghambur-hamburkan uang untuk biaya transportasinya, cukup dengan biaya sekolahnya saja.

Aku mengunci rapat jendela yang tadi sempat kubuka. Tidak ada orang asing yang dapat mengancam reputasiku di bawah sana. Aku yakin itu setelah melihat wajah-wajah individualitas yang terpantul di teropongku. Raut yang sering kulihat.

marduk 789—

Aku kembali memasuki apartemenku dengan tangan penuh dengan kantong belanjaan. Tidak ada yang aneh awalnya ketika pintu menutup. Tapi anggapanku menguap bersama udara lembap yang terkurung di dalam. Aku dapat merasakan urat-urat di sekujur tubuhku menegang bersama napasku yang mulai memberat. Pasti ada orang di sini.

Kedua tanganku penuh. Terlalu berisiko jika aku menurunkan kantong. Suara sekecil apa pun dapat terdengar nyaring di suasana seperti ini. Otakku bergerak cepat memikirkan kemungkinan orang yang berada di apartemenku. Hinata menjadi nama pertama yang kucoret karena jika ia sudah pulang tiga jam lebih awal, jelas instingku akan segera menerima keberadaannya. Apa orang asing ini yang mengirim surat elektronik pagi tadi?

Lucu sekali. Si pengirim e-mail pastilah mantan pencuri ulung hingga tidak merusak knop pintuku. Ah, benar juga. Walaupun aura ini tidak kusukai, tapi aku sempat mengenalnya. Ia pernah tinggal di sini bersamaku sebelumnya. Tidak salah lagi.

"Apa yang kaulakukan di kamarku, Kakuzu?"

Aku melihatnya jongkok di sebelah ranjangku. Ia mendongak lalu mengangkat satu tangannya. Ponselku. Kulihat layarnya meredup dua detik kemudian.

"Aku kira kau mati." Ia bangkit. Dapat kulihat ia juga memegang ponsel di tangannya yang satu lagi. "Aku dapat melakukan sambungan ke ponselmu, tapi kau tidak kunjung menjawab. Ponselmu juga tidak berpindah. Makanya—"

"Maksudmu 'berpindah'? Kau melacakku?!" Aku menarik kerah mantel hitamnya. Untuk yang satu ini aku baru mengetahuinya.

"Yah, hanya untuk memastikan."

"Memastikan aku mati?!"

"Aku tidak bilang begitu. Hanya untuk memastikan," ulangnya lagi. Aku melepaskan genggamanku. "Aku tidak yakin ini apartemen yang pernah kita tinggali dulu karena aku mencium bau yang berbeda. Tapi ponselku—" ia memberi kode pada ponsel di tangannya, "—mengatakan ini memang kamarmu. Kau menyimpan perempuan di sini, bukan?" Ia terkekeh dan itu membuatku semakin kesal.

Aku menyambar ponselku dengan kasar. Peduli apa ia selain kematianku. "Kenapa kau menghubungiku?" tanyaku. Ia tidak pernah lagi menghubungiku sejak setengah tahun lalu.

"Sejak kutinggal, pembencimu semakin banyak. Kau membunuh dan melukai orang tanpa sebab, bahkan kuyakin tidak ada lagi yang menyewamu—"

"Bagus. Aku tidak butuh kuliahmu. Sudah cukup aku mengecapnya selama setahun. Langsung saja, Kakuzu! Kau membuang waktuku."

"Kau satu-satunya yang membuang waktumu. Aku ada pekerjaan untukmu. Kukira ini berhubungan dengan hobi anehmu itu. Bagaimana?"

Aku menatapnya tajam, mencoba mencari kebohongan lain dari kalimatnya. Namun itu semakin membuang waktuku.

"…Apa yang harus kulakukan?"

"Mudah saja… tapi sebelumnya kau harus menyetujui perjanjian yang kubuat."

"Cepat saja, Kakuzu!"

"Kau hanya mendapatkan tiga puluh persen saja."

Aku mendelik. Angka yang sangat tidak adil. Namun tidak terlalu buruk juga. Aku tahu ia terlalu kikir untuk memotong sepersen saja harga yang ia patok kepada pelanggannya.

"Cukup aneh mengetahui kau mencariku. Pasti pekerjaan ini akan benar-benar mengurangi stok nyawaku dan itu yang kauinginkan."

"Jangan berpikiran kita ini musuh, Hidan. Kita sudah kenal lama. Kau mungkin akan memukulku jika tahu pekerjaan yang kuberi ini terlalu mudah untukmu."

Seringai muncul di wajahku. Aku tidak sabar untuk memukul wajahnya. "Aku pegang kata-katamu. Jadi—siapa?"

bersambung—

Author's Note: Ini hanya cerita yang, jujur, saya tidak tahu bagaimana cerita ke depannya. Saya menulis semua ini tanpa plot yang harusnya udah ada di setiap otak penulis. Judul mewakili otak saya untuk cerita ini. Sewaktu-waktu, mungkin judul dapat berubah. Haha.