Hanya untuk mengusir kebosanan aja...

.

.

.

Eager

Disclaimer : Naruto © Masashi Kishimoto

Main Pair : Naruto x Sasuke

Genre : Romance & Friendship

Warning! : BL, Shounen ai, Slash, Action, Crime, Supernatural, AU, OOC, dll.

.

.

.

.

.

Story by Ivy Bluebell

.

.

.

"Heeii..."

Seorang pemuda bersurai raven dengan model rambut melawan gravitasi dan poni panjang di kedua sisi wajahnya itu, menaikkan sebelah alisnya ketika mendengar gumaman malas dari kawan yang duduk di hadapannya. "Hn?"

Pemuda berambut durian pirang itu mendengus sebel. "Aku bosan tahu," jawabnya ketus pada kawannya. Bibirnya mengerucut kekanakkan.

Pemuda raven berkulit putih bernama Sasuke itu mendesah pelan, "Hhh, kau sudah mengatakannya 17 kali, Dobe," ujarnya sebelum meminum coklat panas yang dipesannya dari cafe terbuka tempat mereka berada sekarang ini.

"Bosaaan, Teme..." eluh pemuda pirang berkulit tan yang bernama Naruto itu. Dia menyandarkan dagu dan setengah tubuhnya di meja yang memisahkan tempat duduknya dan Sasuke di hadapannya. Kedua tangannya dilentangkan ke depan malas.

Sepasang iris Onyx hitam Sasuke berputar. "Sabar dikit kenapa? Kau ingat tujuan kita berada di sini, 'kan?"

Naruto menegakkan badannya, Shappire birunya memandang pemuda itu sengit. "Tapi sampai kapan kita harus menunggu? Lama banget tahu. Duduk manis tanpa melakukan apapun, sama sekali bukan sifatku," elaknya bersidekap dada.

"Yah, benar. Kau itu sangat hyperaktif dan tidak bisa diam tanpa mengoceh," sarkas si pemuda raven yang memakai kaus putih dipadukan dengan mantel biru tua dan celana jean abu-abu. Dia mengambil buku daftar menu cafe yang ada di atas meja.

Naruto mengangkat segaris alisnya, "Kau mau pesan makanan lagi?" tanyanya mengingat orang itu sudah makan tortilla ekstra tomat kesukaannya dua jam yang lalu. Karena mereka berdua sudah duduk di cafe ini sejak sore hari.

"Makan malam perlu penutup, Dobe," jelas Sasuke. Matanya menelusuri daftar menu di buku yang dibukanya.

"Tumben kau makan banyak, Teme. Nanti jadi gendut lho," ejek Naruto menyeringai yang langsung dibalas tendangan kaki oleh Sasuke dari bawah meja.

Sasuke cuek saja saat Naruto meringis sakit sambil memegangi kakinya. Pemuda pirang berpakaian jaket hitam orange dengan aksesoris rantai dan celana yang banyak kantung hitam itu mendengus, sebelum memandang sekeliling.

Cafe terbuka ini semakin ramai hingga larut malam. Banyak pelanggan yang sebagian besar sepasang kekasih dan wanita. Para pelayan pun sibuk mondar-mandir melayani tamu. Kelihatannya benar-benar laris mengingat makanan di sini enak serta harganya terjangkau.

Naruto mengerjap saat matanya menangkap beberapa perempuan yang melirik malu ke arahnya dan Sasuke. Apalagi berbisik ria sambil senyam-senyum sendiri. Lagi. Kemana pun dia dan Sasuke pergi, pasti ada saja gadis yang menjadi fans dadakan mereka. Membuat Naruto memutar matanya bosan. Tahukah mereka jika dirinya dan Sasuke sama sekali tidak tertarik pada gadis berlagak manis sepertinya? Menyebalkan.

Ketika Sasuke akan memanggil pelayan, dia membatalkan niatnya kala mendapati seseorang yang baru saja datang ke cafe.

"Dia datang."

"Hee? O—Oi Teme!" panggil Naruto kaget waktu tahu Sasuke langsung melengang pergi dari tempatnya.

Sasuke berjalan menghampiri orang tadi yang ternyata seorang gadis berambut pirang pucat sepunggung. Wanita berdress coklat susu selutut dengan tas tangan putih tulang itu, duduk di bangku single tak jauh darinya.

"Hai, boleh bergabung?" sapa Sasuke ramah dengan senyuman tipis begitu sampai di samping bangkunya.

gadis bermata Ametrish itu terkejut. Mukanya berubah memerah malu sekaligus senang. Beruntung rasanya dia didatangi pemuda berparas tampan seperti Sasuke. "A—ah, si—silahkan," gagapnya serambi menganggukkan kepala.

Sasuke mendudukkan diri di kursi hadapannya. Naruto lalu datang seraya menghentakkan kakinya kesal.

"Beraninya kau meninggalkanku, Teme!" sergah Naruto. Sebelah tangannya berkacak pinggang tidak suka.

Gadis tadi menatap Naruto berbinar. Dalam satu malam, dia didatangi kedua pemuda gagah nan tampan seperti mereka? Ooh, rasanya dewi keberuntungan memberi anugrah spesial padanya saat ini. Lihat saja, para perempuan yang ada di cafe ini melihat mereka bertiga sambil bisik-bisik jengkel. Mungkin cemburu.

"Kau yang lelet, Dobe," ujar Sasuke.

Pelipis Naruto berkedut, "Apa?!"

"Diamlah, kita sedang bertamu," perintah Sasuke mendelik tajam.

Naruto menoleh ke samping, melihat gadis itu menatapnya resah dan malu-malu, "Uum, sorry, aku nggak bermaksud kasar kok," jelasnya menggaruk pipi bertanda lahir kumis kucingnya salah tingkah.

Gadis berkulit putih itu mengangguk mengerti.

Naruto menarik kursi dan segera duduk di dekat Sasuke, "—Teme, jangan-jangan dia orang yang menjadi klien kita?—" bisiknya di telinga sang raven.

"Hn," gumam Sasuke mengiyakan. Mereka berdua kembali memfokuskan diri pada gadis di hadapannya.

"Aku Sasuke, dan di sampingku ini Naruto," kata Sasuke mengenalkan diri, "Kau yang bernama Shion, 'kan?"

Gadis itu membelalakkan mata tercengang, "Ba—bagaimana kau bisa tahu namaku?" tanyanya yang memang benar bernama Shion.

Naruto menyeringai lebar, Shappirenya berkilat senang yang tidak biasa, "Kau yang memanggil kami, bukan?"

"Eeh?" Shion agak bergidik ketika merasakan atmosfer asing yang dikeluarkan Naruto. Sebutir keringat tanpa sengaja keluar dan menggantung di sisi wajahnya.

Sasuke melirik tajam pemuda yang lebih tinggi darinya itu, "Dobe," ingatnya.

"Okay..." beo Naruto malas.

Seketika, Shion merasakan perubahan udara di sekitarnya menjadi tenang lagi, "Ngg, ma—maaf, apa maksud kalian kalau akulah yang memanggil kalian?" gugup Shion memandang mereka tidak mengerti.

Onyx Sasuke menatap dalam ke mata Shion, "Kau yang mengirimkan permintaan pada 'Satana', bukan?"

Ametrish Shion membola terkejut. Tanpa sadar, kedua matanya dan tangannya bergetar takut, "...ja—jangan-jangan, kalian—"

"You're right, lady," bibir Naruto kembali menyeringai senang.

"Kamilah 'Satana'," ucap Sasuke tegas.

.

.

.

.

.

Jika kalian membuka situs internet di tengah malam tepat jam 12 –apapun itu—, kalian akan menemukan sebuah alamat web asing yang tertera di pojok kanan atasnya. Sebuah iklan yang sangat mencengangkan bagi orang yang membacanya. Di iklan itu tertulis sebaris kalimat dengan huruf segoe script yang tercetak tebal berwarna merah darah, berbunyi—

"Ingin balas dendam? Ingin membunuh seseorang? Tapi takut terlibat hukuman kriminal bila ketahuan? Di sinilah jawabannya. Kami bisa melakukannya untuk kalian."

Tertarik? Kalau berminat bukalah situs itu, dan kalian akan melihat profil webnya. Di situs itu terdapat sebuah judul yang ditulis dengan huruf Vampire, yang berbunyi—

"Satana sang Dewa Kematian."

"Siap menjalankan permintaan membunuh untukmu dengan segala cara tanpa jejak dan bukti yang tertinggal."

Situs itu hanya bisa diakses selama 15 menit saja. Setelahnya kalian tidak akan bisa membukanya lagi hingga tengah malam tiba. Menurut desas-desus yang beredar, orang yang meminta bantuannya akan dikabulkan sepenuhnya. Bahkan kalian bisa memilih cara membunuh yang ditawarkan olehnya. Bila ingin korbannya dibunuh dengan cara mengenaskan, dibakar hidup-hidup, dipenggal kepalanya, diambil jantungnya, di mutilasi, atau di ambil bola matanya, semuanya bisa dilakukan. Tinggal menulis nama identitas kalian, nama korban yang ingin dibunuh, dan cara membunuhnya. Lalu, kirim dan tunggu balasan. Jika permintaan diterima, kalian akan mendapat email untuk melakukan pertemuan dan transaksi.

Kemudian, kalian hanya duduk manis menunggu hasil kerjanya. Keesokkan harinya, kalian akan menemukan berita hangat di headline news tentang pembunuhan korban yang kalian inginkan mati. Pembunuhan itu sangat rapi dikerjakan dan bersih tanpa jejak atau bukti apapun.

Para pihak kepolisian bahkan militer negara tidak berkutik bila dihadapkan dengan kasus ini. Kemana pun mereka menelusuri hal-hal yang berkaitan dengan kasusnya, pasti ujung-ujungnya jalan buntu yang didapat. Sampai sekarang lebih dari 50 kasus pembunuhan yang sangat mengenaskan terjadi karenanya. Mulai dari pejabat tinggi negara, tokoh politik, artis, aktor, sampai mafia. Teror berkepanjangan itu terus berlanjut menghantui masyarakat awam.

Dan di sinilah, di mulailah kisah dari orang-orang yang menjalankan pekerjaan haram tersebut.

.

.

.

.

.

"A—aku mendapatkan alamat web itu dari temanku. Awalnya aku tidak percaya, tapi rupanya benar, ya," Shion tersenyum kaku sambil menyelipkan anak rambut pirangnya di belakang telinga. Tangannya masih gemetaran.

"Yah, itulah yang sering dikatakan oleh klien kami," jawab Naruto sebelum menyeruput orange shake yang baru dipesannya.

"Ha-ha, tentu saja. Mana mungkin langsung percaya jika Satana ternyata orang-orangnya tampan seperti kalian ini," kekeh Shion canggung.

"Well, sekarang kau percaya," balas Sasuke cuek.

Shion tersenyum kaku kembali. Sebenarnya dia masih takut berurusan dengan kenyataan ini. Tapi sudah terlanjur. Mereka telah berada di hadapannya sekarang. "Bisa kita pindah lain tempat?" pintanya seraya berdiri dari duduknya. "Aku takut bila ada yang dengar, terlalu banyak orang di sini."

"As you wish, lady," Naruto nyengir lebar.

"Hn."

Naruto, Sasuke, dan Shion, berjalan keluar cafe setelah membayar makanannya. Mereka bertiga menelusuri jalanan berpaving panjang yang berdampingan dengan jalan raya besar. Melintasi banyaknya orang dan kendaraan yang lewat di sana.

"Kita akan kemana?" tanya Naruto yang masih setia meminum orange shake-nya.

Shion yang berjalan canggung di tengah-tengah Naruto dan Sasuke berkata, "Ki—kita akan ke rumahku."

"Rumahmu?" Sasuke menaikkan alisnya tanya.

Shion mengangguk, "Uum, aku akan menjelaskannya sambil berjalan saja," ujarnya bersuara pelan.

Naruto dan Sasuke terdiam mendengarkan.

"Aku tinggal berdua dengan ibuku, Miroku, setelah ayahku meninggal 2 tahun lalu," kata Shion memulai. "Kami hidup berkecukupan. Ibuku punya butik yang mana semua pakaiannya adalah hasil rancangannya. Banyak orang yang berminat dengan baju desain ibuku. Apalagi mereka rela membayar mahal untuk membeli satu pakaian saja. Makanya, butik kami tidak pernah sepi pengunjung."

"—tapi karena suatu kejadian, semua berubah."

Tangan putih Shion meremas dress selututnya kuat-kuat. Hal itu tidak luput dari mata Naruto dan Sasuke.

"Sebulan lalu, ibuku berhasil membuat beberapa desain baju yang sangat indah. Ibuku sangat antusias, dia ingin segera menjahitnya dan memamerkannya ke masyarakat luas. Tapi tiba-tiba saat malamnya, kertas-kertas bergambar desain miliknya itu, raib tak tersisa dari atas meja kerjanya." Mata Shion berkabut tipis. "Ibuku panik. Padahal dia sudah susah payah membuatnya, dan akan dipamerkan di acara pentas model 2 minggu setelahnya. Apalagi dia juga sudah memesan kain-kain yang diperlukan. Malah jadi sia-sia. Akhirnya dia harus membuatnya ulang."

"Dengan model desain baju yang baru, ibuku siap membuatnya lagi. Dia kerja siang malam tanpa beristirahat. Bahkan sampai jarang makan. Sayangnya, waktu acara pentas model sudah tiba dan dia belum selesai mengerjakannya. Akhirnya, ibuku pupus harapan, dia berniat hanya menonton acaranya saja."

Sebutir air mata Shion menyeruak keluar membasahi pipinya.

"Di acara itu, aku dan ibuku dibuat terkejut tidak percaya. Salah satu pesertanya, memamerkan baju-baju berdesain yang sama seperti yang digambar ibuku yang hilang itu. Ibuku kaget setengah mati. Sampai di rumah dia langsung pingsan. Aku panik dan membawanya ke rumah sakit. Namun ternyata, ibuku terkena koma karena serangan batin, dehidrasi, dan kelelahan bekerja,"

Naruto melirik Shion iba.

"Kemudian, beberapa hari setelahnya ketika aku menjenguk ibuku, aku bertemu dengan pria yang dikenal sebagai senpai kesayangan ibuku di universitas dulu, namanya Moryo. Begitu datang, dia langsung melempar kasar sekeranjang buah-buahan ke tubuh tidur ibuku. Aku memarahinya, tapi dia malah tertawa keras," mata Shion memerah kesal. "Dia mengejek, memandang kami sambil menyeringai remeh. Dia bilang ingin berterima kasih karena berkat rancangan ibuku, dia berhasil jadi juara 1 dan banyak yang berminat dengan desainnya sekarang. Akhirnya aku tahu jika Moryo-lah dalangnya. Dengan kejamnya, dia bahkan mengatakan jika ibuku lebih baik mati saja, ibuku sangat menganggu hidupnya."

Sasuke diam menunggu lanjutannya.

"Aku kesal, aku benar-benar marah. Dan itu semakin menjadi saat tahu-tahu, ibuku diseret paksa keluar dari rumah sakit oleh dokter-dokter di sana. Katanya, ibuku tidak berhak mendapat pelayanan lagi karena uang administrasinya kurang. Rupanya itu adalah kerjaan Moryo," Shion menangis sesegukkan. "Sa-sangat keterlaluan."

Mereka bertiga berhenti di depan taman kosong yang sepi pengunjung. Naruto dan Sasuke membisu melihat Shion menangis. Mereka berdua tidak melakukan apapun untuk menenangkan gadis itu. Membiarkan gadis itu melepas kesedihannya hingga tenang sendiri. Bagi mereka, ini sudah biasa terjadi.

"Karena itu, aku ingin balas dendam," Shion mengusap kasar air matanya dengan punggung tangannya. "Dia yang telah membuat ibuku menderita. Aku ingin dia mati," ucapnya mantap dengan pandangan mata tajam penuh amarah.

Naruto dan Sasuke menatap datar gadis bertubuh pendek di hadapannya. Mereka bisa melihat jelas kesungguhan yang tercantum di mata Shion.

"Kau yakin?" tanya Sasuke bernada dingin.

Shion mengangguk.

"Dosa itu bukan hanya kami yang menanggungnya, tapi kau juga," kata Naruto.

"Aku rela sekalipun aku berdosa besar," lirih Shion. "Apapun akan kulakukan demi ibuku," ungkap Shion tersenyum sedih.

Naruto menatapnya dingin tanpa ekspresi. Sasuke terdiam sebentar sebelum menghela nafas kecil.

"Soal harga—"

"Aku akan berikan sertifikat kepemilikan villa di Sapporo, Hokaido," sangah Shion memotong ucapan Sasuke.

Sasuke mengerjap sebelum berpindah pada Naruto yang mengangguk tersenyum setuju.

"Alright, we will grant your wish, my lady," ucap Naruto sambil membungkukkan badannya bersikap layaknya pelayan.

.

.

.

.

.

Naruto, Sasuke, dan Shion pergi menuju rumah Moryo yang terletak di timur kota Tokyo. Mereka mengubah tujuan setelah Shion mengatakan jika dia mau keinginannya segera terlaksanakan. Dia juga bersi keras ingin melihat kematian Moryo dengan mata kepalaya sendiri. Alhasil, Naruto dan Sasuke terpaksa membawa klien mereka yang masih berumur 22 tahun itu.

"Ingat Shion, jangan bergerak sembarangan di sana. Aku tidak mau kau membuat pekerjaan kami terhambat," tegas Sasuke bersuara dingin pada Shion setelah mereka turun dari bus.

Shion mengangguk ragu.

"Oh, ayolah Teme. Jangan buat Shion-chan ketakutan, wajahmu mengerikan lho," kekeh Naruto yang langsung dibalas death glare oleh Sasuke.

"Diamlah, Dobe."

"No way, paling nggak rilekskan wajah datarmu. Nanti bisa muncul kerutan seperti Itachi, lho," kata Naruto.

"Yah, seperti kumis kucing milikmu," ejek Sasuke memutar matanya bosan.

"What?! Ini tanda lahir tahu!" teriak Naruto menujuk pipinya sendiri. "Seperti punya Gaara dan Kiba."

"Itu tato asli, bukan tanda lahir, Dobe."

"A—ano, boleh aku bertanya?" gagap Shion yang membuat Naruto dan Sasuke menoleh padanya bersamaan. "A—adakah orang lain yang menjadi Satana seperti kalian?" lanjutnya yang agak penasaran soal Satana.

Sasuke menautkan alisnya tajam, "Buat apa kau ingin tahu?"

"Ha—hanya pe—nasaran. Tidak ada maksud apa-apa, kok," jelas Shion cepat. Takut Sasuke salah paham.

"Hei, nggak apa, 'kan?" tangan Naruto menepuk bahu Sasuke. "Nggak ada salahnya memberi tahu orang yang penasaran," katanya sambil mengedipkan sebelah matanya.

Sasuke mendengus kesal, "Sesukamu sajalah," ucapnya seraya memasukkan kedua tangannya di dalam saku celana dan berjalan duluan.

Naruto nyengir. Dia menjajarkan langkahnya pada Shion di belakangnya. "Jadi, Shion-chan, memang di Satana bukan hanya aku dan Teme saja. Tapi ada beberapa orang lagi, semuanya bergender laki-laki. Umur kami pun tidak lebih dari 23 tahunan," terangnya.

Shion kaget, ternyata mereka tidak lebih dari kumpulan remaja sebayanya, "Ja—jadi berapa umurmu dan Sasuke-san?"

"Umurku 21, kalau Teme 19. Kakaknya Itachi, 23 tahunan," ungkap Naruto menunjuk Sasuke di hadapannya.

"Jangan bawa-bawa Itachi!" desis Sasuke melirik Naruto tajam dengan aura gelap di sekitarnya.

Naruto cengengesan. Shion terperanggah seraya menelan ludah paksa. Tidak menyangka jika kedua lelaki ini lebih muda darinya. Secara fisik, mereka sama sekali tidak terlihat berumur segitu. Apalagi saling memanggil dengan nama ejekan.

"Ka—kapan kalian memulai pekerjaan ini?"

"Hmm, sekitar 3 tahun lalu," pikir Naruto.

Shion meremas kedua tangannya tegang. Rupanya sudah lama, pantas kalau kasus yang diciptakan Satana sangat banyak. Apalagi, kepolisian tidak bisa memecahkannya sampai sekarang. Sebenarnya sekuat apa mereka sampai tidak terlacak sama sekali?

Dan— yang lebih penting, untuk apa mereka melakukan semua ini?

"Ke—kenapa ka—lian melakukannya?" gugup Shon bersuara pelan.

Naruto menatap heran. Sasuke hanya melirik datar.

"Se—sebenarnya apa tujuan kalian?" ucap Shion menatap mereka secara langsung.

"..."

"..."

Keheningan itu mengisi ketiga orang yang tanpa sengaja menghentikan langkahnya.

Shion menunggu jawabannya dengan perasaan gundah. Dia benar-benar ingin tahu apa tujuan Satana. Karena, untuk apa melakukan semua ini bila tidak punya tujuan yang jelas?

"...Untuk balas dendam," ungkap Naruto tersenyum dingin. Wajahnya mendatar dengan sinar mata Shappire-nya yang meredup.

Ametrish Shion melebar terkejut.

Balas dendam? Sama seperti dirinya?

"Begitulah kira-kira," Naruto menyengir lebar kekanakan. Mencoba mencairkan suasana.

Onyx Sasuke menatap gadis itu dingin tanpa ekspresi, sebelum mengalihkan perhatiannya kembali ke depan.

"Kita sudah sampai," katanya.

Naruto dan Shion melihat ke arah pandang Sasuke. Mereka sekarang berdiri di depan komplek perumahan elit. Perumahan itu luas, berbukit, dan penuh pepohonan lebat yang asri. Berbagai macam rumah modern dengan cat beraneka warna dibangun di sana. Sinar-sinar lampu, memberikan penerangan yang cukup di jalanan yang sudah sepi malam itu.

Shion mengerjap, "Ba—bagaimana Sasuke-san tahu kalau Moryo tinggal di perumahan ini?" tanyanya mengingat dia belum memberikan petunjuk arah.

"Dari data yang diberikan teman kami," balas Naruto tersenyum sambil menunjukkan hp flip orange yang dibukanya.

"Ayo," ajak Sasuke berjalan memasuki pintu gerbang. Diikuti Naruto dan Shion di belakangnya.

Mereka melewati penjagaan gerbang itu tanpa halangan. Sebab, satpam yang berjaga di pos pintu masuk ternyata sudah tertidur lelap. Tak berapa lama, mereka sampai di sebuah rumah berlantai dua yang megah dengan pagar besi tinggi. Tertulis nama Moryo di papan penunjuk marga yang dipasang di tembok depan rumahnya. Lagi-lagi Shion dibuat terkejut oleh keakuratan data yang dimiliki Satana.

"Okay, let's begin," kata Naruto menyeringai senang.

Pemuda pirang itu membuka pagar besi di hadapannya dengan mudah. Shion merasa aneh, padahal sekilas dia melihat pintu itu dikunci gembok. Tapi dia tidak bertanya, karena mereka sudah melangkah memasuki halaman rumah.

"Hum, tipikal orang kaya," komentar Naruto bosan melihat taman mawar yang tumbuh di depan rumah beserta sebuah paviliun kecil di tengahnya.

Mereka berhenti setibanya di depan pintu masuk. Mata Shion menangkap sebuah kamera pengintai di pojok atas pintu berdaun kayu besar itu.

"Temee, ada kamera..." ucap Naruto bernada kekanakan.

"Hn," Sasuke menatap tajam kamera yang menyorot mereka bertiga. Kilatan aneh nampak di sepasang irisnya sebelum kemudian mengerjapkan kelopaknya. "Kita masuk," perintahnya.

"Okay."

"E—eh?" kejut Shion. "Bu—bukannya kita sudah ketahuan? Apa tidak apa-apa masuk begitu saja?" paniknya.

"Tenang saja," ujar Naruto menyengir lima jari. Tangannya bergerak santai membuka hendel pintu.

Naruto menapakkan sepatu fantofel orange putihnya di atas lantai beralaskan karpet kuning gading. Dia berjalan masuk mendahului Sasuke dan Shion di belakangnya. Lagi. 'Bagaimana bisa Naruto dengan gampangnya membuka pintu itu? Harusnya terkunci, 'kan?' batin Shion.

Mereka bertiga berjalan di ruangan luas yang terang dan berperabotan mahal. Namun beberapa langkah setelahnya, mereka dikejutkan oleh munculnya para pria berbaju hitam dari segala arah. Mereka berkumpul di ruangan mewah itu sambil mengepung ketiganya.

"SIAPA KALIAN?!" teriak salah seorang dari mereka yang bermata tajam. Tangannya membawa sebuah pisau lipat.

Orang-orang yang lain bersiaga mengikutinya. Mereka mengeluarkan pistol dan pisau lipat dari dalam bajunya masing-masing.

Tubuh Shion bergetar ketakutan. Sementara Naruto dan Sasuke hanya memandang mereka datar. Keduanya berdiri santai seolah tidak ada gangguan.

"Heran, seorang desainer punya pengawal sebanyak ini? sekaya apa sih dia?" gumam Naruto malas.

"Kau sudah melihatnya, Dobe," dengus si pemuda raven.

"Bagaimana kalian bisa masuk ke rumah ini! Kalian tidak punya ijin masuk, 'kan?!" teriak orang itu lagi.

"Ijin masuk?" tanya Naruto serambi menelangkan kepalanya innocent. "Memang ada ya, Teme?" tolehnya pada Sasuke yang menghela nafas kecil.

"Maksudnya, kau punya janji dengan pemilik rumah atau tidak, Dobe," jelas Sasuke.

"Hah? Tentu saja tidak," balas Naruto. "Makanya, kita akan membuatnya sekarang," tambahnya menyeringai dengan sorot mata yang senang mengintimidasi.

Para lelaki berjas hitam itu sempat bergidik melihat tatapannya. Aura yang dikeluarkan Naruto juga mulai terasa. Mereka segera mengacungkan senjatanya bersamaan ke arah tiga orang yang masih berdiri di tengah-tengah kepungannya.

"SERANG PENYUSUP INI!"

Serempak, mereka yang bersenjatakan pisau lipat, maju menyerang Naruto yang berdiri selangkah lebih depan dari Sasuke dan Shion.

"Shion-chan, jangan jauh-jauh dari Teme, ya," kata Naruto tersenyum.

Shion mengangguk lamat-lamat. Dia bergerak ke belakang punggung Sasuke.

"Selesaikan dengan cepat. Aku mau segera tidur di kasur empukku," perintah Sasuke datar.

"You're going to get it, Sasuke," jawab Naruto nyengir.

Naruto merentangkan kedua tangan tannya. Shappire-nya menatap tajam pada para pengawal yang akan sampai di hadapannya. Mereka siap menusukkan pisau lipatnya.

"Let's dance."

Kedua tangan Naruto terayun ke depan. Menggerakkan udara di sekitarnya untuk menyapu para pengawal yang mengelilinginya. Hembusan angin yang kuat tercipta. Menabrak tubuh depan orang-orang itu dan menerbangkannya ke belakang. Membuat punggung mereka membentur keras ke dinding dan perabotan mahal lainnya. Ruangan yang semula rapi, jadi rusak berantakan.

Shion dan para pengawal yang tersisa membulatkan mata terkejut tidak percaya melihat kejadian tersebut. Apa itu tadi?!

"Hanya segitu saja?" tanya Naruto innocent. Angin di sekitarnya membuat jaketnya yang tidak dikancingkan berkibar. Menampakkan kaus merah tipis yang pas di badannya yang berotot.

Para pengawal yang jatuh tadi berlahan bangkit berdiri. Sedang yang tersisa mulai menarik pelatuk pistolnya.

"TEMBAAKK!"

Mereka semua menembakkan timah-timah panas itu ke Naruto, Sasuke, dan Shion. Shion menjerit ketakutan. Tanpa sadar, dia memeluk lengan Sasuke sambil menutup kedua matanya rapat-rapat.

"Sorry, aku nggak akan membiarkan kalian menyentuh mereka," ucap Naruto bersuara berat.

Dengan kaki tergagah, Naruto menggerakkan kedua tangannya ke depan untuk membentuk tabir pelindung yang kasat mata. Tabir itu melindunginya bersama Sasuke dan Shion dari hujan tembakan tersebut. Peluru-peluru itu memantul secepat kilat saat bertabrakan dengan dinding udara Naruto. Mengubah haluannya menjadi melukai para pengawal sendiri yang secara langsung menembus tubuh mereka.

"UWWAAA!"

"AARRGGHHH!"

Teriakan kesakitan terdengar sebelum ajal menjemput mereka, membuatnya mati di tempat. Lantai berkarpet kuning gading yang semula bersih, menjadi berwarna merah karena darah yang meresap ke kainnya.

"Brutal seperti biasa Dobe," desah Sasuke yang memegangi bahu Shion yang bergetar ketakutan.

"Kau tahu 'kan Teme, aku nggak bisa mengontrol anginku," ucap Naruto tersenyum tanpa dosa.

Sasuke memutar mata Onyxnya mendengar kebohongannya.

"Tetaplah tutup matamu Shion. Jangan dibuka sebelum aku berkata 'ya'," titah Sasuke yang langsung dibalas anggukkan cepat dari Shion.

Naruto bersama Sasuke yang menuntun Shion, berjalan melintasi ruangan itu sambil menghindari tubuh-tubuh mati di bawah kakinya. Mereka bertiga menaikki tangga menuju lantai dua. Bergerak ke arah ruangan yang diyakini sebagai tempat Moryo bersembunyi. Tapi, lagi-lagi para pria berjas hitam yang lain menghalangi jalannya.

Si pemuda pirang mendengus. Dia menyerang duluan sebelum para pengawal itu sempat menyerang mereka. Tangannya membuat gerakan cepat menyabet ke sembarang arah. Alhasil, angin kuat itu membentuk sabetan lancip layaknya mata pedang yang tajam. Menebas ganas badan para pengawal yang terpekik kesakitan hingga tergeletak tak bernyawa. Darah berhamburan menghiasi lorong bercat putih tersebut.

Sasuke tidak ambil pusing. Dia dan Shion melangkah mendahului Naruto yang bersiul sombong.

"Kayaknya percuma, ya. Padahal kau sudah menghilangkan gambar kita dari kamera pengintai tadi, Teme," kata Naruto menyeringai tipis.

"Hn," gumam Sasuke tanpa minat.

Saat mereka sampai di sebuah pintu yang dijaga 4 pengawal, Naruto kembali menebas mati mereka dengan anginnya. Mereka bertiga melewati pintu itu dan masuk ke dalam ruangan kerja yang luas. Para pengawal yang berkumpul di sana telah siap mengarahkan moncong pistolnya ke mereka bertiga. Di tengah-tengahnya, berdiri Moryo yang menyeringai lebar dengan tatapan mata sengit.

"Wah, wah, aku tidak menyangka kalau remaja seperti kalian yang telah menghabisi para pengawalku di bawah sana," ucap Moryo mengejek.

Shion terhenyak kaget. Dia membuka matanya dan melepas pelukannya dari lengan Sasuke. Menatap orang tua itu tajam naik pitam. "KAU— MORYOO!"

Moryo terkejut kecil, "Ooh, anaknya Miroku. Untuk apa kau datang kesini?" tanyanya sebelum menatap Naruto dan Sasuke yang berdiri diam secara bergantian, "Hoo, jangan bilang kau datang untuk balas dendam dengan bantuan mereka berdua."

Kedua tangan Shion mengepal erat, "Memang itu tujuanku," desisnya. "Kau sudah membuat ibuku menderita. Kau harus mati!" pekiknya.

"HAHAHAHA! Mati?! Apa tidak salah?! Ibumulah yang harusnya mati," tawa Moryo mengelak sambil memegangi perutnya. Para pengawalnya hanya terkekeh kecil mengikutinya.

"KAULAH YANG TIDAK PANTAS HIDUP, MORYO!" teriak Shion dengan mata berembun.

"GAH, menyebalkan. Kau cerewet seperti ibumu. Lebih baik kau juga mati saja," Moryo mengertakkan giginya kesal. "HABISI MEREKA!" perintahnya.

Hujan peluru mulai dimuntahkan. Meluncur cepat ke arah mereka bertiga. Sasuke menarik Shion untuk bersembunyi di balik tubuhnya. Naruto maju ke depan membuat tabir pelindung kembali. Peluru-peluru itu terpantul. Berganti arah dan menyerang para pengawal.

"GAAHHKK!"

Teriakan kesakitan dari mereka terdengar mengisi ruangan itu. Darah terciprat memenuhi lantai disusul tubuh mati yang tumbang tak berdaya.

"A—Apa yang terjadi?!" gagap Moryo yang terbelalak terkejut tidak percaya. Dia selamat berkat anak buahnya yang melindunginya dari hujan peluru itu.

Masih terbayang di benaknya tentang kejadian barusan. Dimana ketiga orang tanpa senjata sama sekali, berhasil membunuh para pengawalnya dengan gampangnya.

"SIAPA KALIAN SEBENARNYAA?!"

Naruto berdiri tegap, memandang angkuh orang tua di hadapannya, "Kami hanya manusia yang memiliki kelebihan," ungkapnya menyeringai sambil bersuara berat mengintimidasi.

"—Kami adalah Satana."

DEG!

Moryo terperanggah. Satana? Pembunuh kejam yang berakar dari internet ilegal tengah malam?

"SATANA?! Mana mungkin Satana itu ada?!"

"Yah, itulah yang sering orang-orang katakan," kata Naruto memutar matanya bosan.

Shion memandang Moryo tajam dengan matanya yang menahan tangis. Tidak peduli lagi pada rasa ketakutannya yang melihat adegan pembunuhan tadi. Baginya hanya Moryo seorang yang ada di matanya.

Sasuke melangkah ke sebelah Naruto. Menatap dingin dan datar pada musuhnya yang tersisa tersebut. "Kami datang untuk memenuhi permintaan klien kami, Shion. Permintaannya adalah membunuhmu, Moryo."

Jantung Moryo terpacu cepat. Matanya membulat. "Tu—tunggu! Jangan bunuh aku!" keringat dingin mengucur di wajahnya. Tubuhnya bergetar ketakutan. "Aku akan melakukan apapun Shion! Aku akan kembalikan kejayaan ibumu! Itu yang kau inginkan, bukan?! Apapun akan kulakukan asal jauhkan aku dari manusia laknat ini!" teriaknya seraya mengibaskan tangannya cepat-cepat.

Gigi Naruto menggeretak. Aura membunuh keluar dari tubuhnya. Wajahnya mengeras. Matanya menajam seolah siap menghabisi apapun di hadapannya. Kata-kata itu. Dia sangat membencinya, "KAAUU—!"

"Naruto," tahan Sasuke yang mencengkram lengan Naruto agar tidak hilang kendali. Onyxnya menatap Shappire pemuda itu teduh. Berusaha menyampaikan kata-kata yang tersirat dari tautan mata mereka.

Naruto terdiam. Dia menarik nafas berkali-kali berupaya mengontrol emosinya. Tangannya balas menggenggam lembut jemari putih pemuda yang lebih pendek darinya. "Aku tahu...," lirihnya paham.

Sasuke tersenyum tipis. Dia menoleh pada Shion di belakangnya.

"Bunuh dia," titah Shion yang masih mengepalkan tangan menahan amarah yang berkecamuk di dada.

Pemuda raven itu mengangguk. Dia melepas tautan tangan Naruto dan berjalan mendekati Moryo yang mundur ketakutan.

"Tidak! Tidak! JANGAN BUNUH AKU!" sergah Moryo yang akhirnya jatuh terduduk gemetaran.

"Maaf, sayangnya permintaan itu mutlak," ucap Sasuke bersuara dingin. Dia terus berjalan hingga tiba di hadapan Moryo. "Dan lagi, kau sudah mengatakan kata-kata keramat. Kau harus diberi pelajaran."

Berlahan-lahan, mata Onyx hitam Sasuke berubah menjadi mata berukir yang membentuk iris berbeda. Bentuk oval yang bersatu dalam segi enam berwarna merah darah. Mangekyo Eternal Saringan. Mata yang diwariskan secara turun temurun dalam darah yang mengalir di tubuh Sasuke.

"Sebelum kau menjemput ajalmu, aku akan memberikan siksaan yang terindah untukmu," kata Sasuke memandang langsung ke mata Moryo.

Moryo terbelalak. Tidak berkedip melihat iris mata Sasuke yang mulai berputar. Cepat. Sangat cepat. Membuat kepalanya pening dan berkunang. Saat tersadar, dia telah berada di dunia abu-abu yang berbeda dari tempatnya tadi.

Moryo memandang sekeliling bingung. Nampak langit abu-abu dengan awan-awan hitam yang menggantung di atasnya. Air hitam membasahi kakinya yang menginjaknya. Dia bahkan tidak bisa melihat ujungnya tempat di mana dia berada sekarang.

"Di-dimana ini?"

"Kau berada di dunia ilusi buatanku."

Moryo tersentak. Dia menoleh ke asal suara. Menemukan Sasuke yang berdiri tenang tak jauh darinya.

Sasuke menatap pria tua itu tanpa ekspresi, "Di sini, aku akan membunuhmu sesuai dengan keinginanku."

Tiba-tiba, sekumpulan rantai hitam muncul dari dalam air hitam yang dipijak Moryo. Rantai-rantai itu membelit tubuh Moryo dengan cepat. Tanpa bisa bertindak apapun, rantai itu mengencang erat hingga rasanya meremukkan tulang.

"GGYYAAAA!"

"Sakit?" Sasuke menyeringai tipis. Matanya menyorot rendah. "Baru segitu kesakitan? Dasar orang kaya."

Sebelah tangan Sasuke merentang ke kanan. Memunculkan sebilah pedang hitam dari air di bawahnya. "Kira-kira sesakit apa lagi rasanya kalau kutusukkan pedang ini ke tubuhmu?" katanya berjalan mendekati Moryo yang tengkurap tak berdaya.

Nafas Moryo terenggah. Keringat mulai tampak lebih deras di wajahnya. Matanya menatap pedang di tangan Sasuke horor. "Ja—jangan—"

"Hn? Kau mengatakan sesuatu?" tanya Sasuke innocent sebelum menusukkan pedangnya di punggung Moryo.

"AAARRGGHH!"

Darah mengucur deras dari luka Moryo. Diiikuti mulutnya yang juga mengeluarkan darah.

"Tenang saja. Lukamu tidak akan muncul di tubuhmu yang ada di dunia nyata. Jadi kau tidak perlu khawatir," ujar Sasuke yang makin mendalamkan tusukan pedangnya.

Moryo menggelak hebat. Kesakitan yang amat sangat, terasa membakar di dada kanannya. Sepertinya ujung mata pedang menembus hingga keluar tubuhnya. Sasuke kembali memunculkan pedang hitam yang lain.

"Kutambah, ya?" tanya Sasuke tersenyum keji.

"GRRAAAHHH!"

Tusukkan pedang berpindah ke tengah punggung Moryo. Moryo berteriak keras tak kuasa menahan sakit.

"Ini adalah dunia yang kuciptakan di alam bawah sadarmu. Dunia yang memberikan serangan batin yang luar biasa tanpa terlihat di dunia nyata," terang Sasuke mengeluarkan pedang yang lain. "Kekuatanku adalah dapat mengendalikan apapun dengan pikiran. Aku juga bisa memanipulasi pikiran dan batin seseorang yang melihat ke dalam mata Mangekyo milikku. Aku bisa membunuh orang itu dari dalam sesuka hatiku," lanjutnya sebelum menusukkan pedang ke punggung bagian perut Moryo.

Moryo kembali memuntahkan darah lebih banyak. Teriakkannya sama sekali tidak didengar Sasuke, "HARGG—Ja—ngaan—"

"Terlambat Moryo," potong Sasuke yang mengeluarkan dua pedang sekaligus. "Gara-gara dirimu, Shion dan ibunya harus menderita. Apalagi karena kata-katamu, kau hampir membuat Naruto hilang kendali," dia bersiap menusukkan pedangnya lagi. "Siksaanmu akan segera berakhir. Aku tidak mau berlama-lama mengurusi orang materialis sepertimu."

"—adakah kata-kata terakhir?"

Moryo mengerjapkan mata berkabutnya lamat-lamat. Rasa sakit yang makin menderanya, membuatnya lelah bersuara. Lagipula, apapun yang dikatakannya tidak akan mengubah keadaan. Sudah terlanjur. Sejak awal, semua adalah kesalahannya.

"Tidak ada?" Sasuke menaikkan sebelah alisnya ketika tidak mendapatkan sebuah jawaban. "Baiklah."

"—Sampai bertemu di neraka."

Dengan itu, kematian Moryo telah menjemputnya.

.

.

.

.

.

"Arigato, aku sangat berterima kasih atas apa yang kalian lakukan," ucap Shion serambi membungkukkan badanya. Sekarang, mereka berada di halaman depan rumah yang telah menjadi lautan darah itu.

"Hehe, nggak masalah, Shion-chan. Kami hanya melakukan pekerjaan kami," balas Naruto menyengir lebar.

"Aku masih belum percaya dengan kejadian yang kulihat barusan," kata Shion menegakkan badan kembali. "Bagaimana kalian bisa memiliki kekuatan seperti itu?"

"Kekuatan kami diwariskan secara turun-temurun di keluarga kami," jawab Naruto. Sedang Sasuke yang iris matanya sudah kembali ke semula, hanya terdiam memperhatikan mereka berdua. "Sebenarnya, kami bukan manusia yang seharusnya hidup di dunia ini."

"Eeh?" Shion mengerjapkan mata Ametrish-nya.

"Naruto," sanggah Sasuke yang menatap pemuda pirang itu tajam.

Naruto tersenyum maklum. Dia mengenggam hangat sebelah tangan Sasuke. "Nggak apa."

Sasuke menatap keteduhan di iris mata kawannya. Dia menghela nafas panjang sebelum beralih menatap Shion. "Shion—"

"Aku tahu, aku akan segera mengirimkan surat kepemilikan villa di Sapporo pada kalian nanti," kata Shion yang tidak melihat tautan tangan Naruto dan Sasuke.

Sasuke mendengus, dia tidak suka ucapannya dipotong. Naruto terkekeh kecil.

"Baiklah, tapi ada satu hal yang harus kami lakukan padamu," kata Sasuke.

Shion memandang pemuda itu heran.

Sasuke menutup kedua matanya, sebelum membukanya kembali dengan iris matanya yang berubah menjadi Mangekyo Eternal Sharingan. Shion tercengang melihat ke dalam iris mata Sasuke yang berputar cepat. Lalu pandangannya menggelap dan jatuh pingsan.

"Maaf Shion, aku harus menghilangkan ingatan tentang kami dari kepalamu," jelas Sasuke menatap Shion yang tergeletak tak sadarkan diri di tangan Naruto yang menolongnya. "Mungkin kau akan mengingat kejadian ini. Tapi tidak seluruhnya, karena kau tidak akan bisa mengingat wajah kami dan apapun yang telah kami lakukan, termasuk cerita Naruto tentang Satana," lanjutnya seraya merubah matanya jadi Onyx hitam lagi.

"Baiklah, kita harus segera pergi dari sini sekarang," kata Naruto yang mulai menggendong Shion bridal style. "Aku yakin polisi akan datang nggak lama lagi."

"Hn," gumam Sasuke.

Naruto memiringkan kepalanya heran. "Kau baik-baik saja, Teme?" tanyanya bernada khawatir.

Sasuke mengerjap, "Aku baik, hanya— agak lelah."

"Wajar, ini sudah jam 2 malam. Setelah ini kau bisa tidur sesukamu," angguk Naruto mengerti. "Akan kupastikan kau nggak terganggu oleh apapun."

"Aku bukan tukang tidur seperti Shika, Dobe," elak Sasuke.

"Hahaha, sesekali menjadi seperti dia nggak ada salahnya, Teme," kekeh Naruto.

Dengan itu, mereka berjalan keluar komplek perumahan itu. Menembus kegelapan malam yang merajai kota Tokyo.

.

.

.

.

.

"Berita utama, sebuah rumah mewah yang terletak di perumahan elit sebelah timur kota Tokyo, menjadi tempat pembunuhan. Para korbannya dibunuh dengan cara mengenaskan. Beberapa tebasan benda tajam nampak memenuhi tubuh mereka. Korban-korban tersebut adalah para pengawal dan sang pemilik rumah sendiri. Yaitu Moryo, seorang desainer yang baru naik daun. Tapi anehnya, Moryo meninggal dengan cara tak wajar. Tidak ditemukan sedikitpun luka di tubuhnya. Insiden ini diperkirakan terjadi tengah malam waktu setempat. Belum diketahui bagaimana dan siapa yang membunuhnya, karena dari hasil penyelidikan, tidak ditemukan petunjuk apapun. Bahkan dari kamera pengintai yang dipasang di rumah itu, tidak ada gambar sang pelaku. Sungguh bersih tanpa jejak,"

"—apakah ini kasus yang disebabkan oleh Satana? Pembunuh kejam dari situs internet tengah malam yang sedang populer saat ini?

Suara televisi yang menyiarkan berita pagi, terdengar memenuhi ruang keluarga yang berukuran luas itu. Ruangan yang didominasi warna putih bersih dengan sofa dan meja, serta perabotan lainnya, dipenuhi oleh 7 orang bergender sama. Mereka duduk di sofa sambil meminum teh hangatnya masing-masing.

"Hee, heboh juga ya kasusnya," kata pemuda berambut coklat landak dengan tato segitiga merah terbalik di pipinya. Inuzuka Kiba.

"Semua yang dilakukan Satana pasti masuk ke berita tv," tambah pemuda berambut merah dengan sepasang iris mata rubi. Kurama Kyuubi.

"Merepotkan," gumam pemuda berambut hitam berkuncir tinggi yang duduk di samping Kiba. Dia menyandarkan punggungnya malas seraya menutup matanya. Shikamaru Nara.

"Sepertinya kita harus melakukan sesuatu tentang kepopuleran Satana. Bisa gawat kalau terlalu mencolok," ujar pemuda berambut merah bata dengan tato Ai di dahinya. Mata Jadenya memandang kawan-kawannya. Sabaku Gaara.

"Lho, bukannya kalau mencolok itu lebih baik?" tanya pemuda berambut hitam panjang dengan kerutan di dekat hidungnya. Mata Onyxnya terlihat senang yang tidak biasa. Uchiha Itachi.

"Ya, dengan begitu, 'mereka' akan penasaran soal kita," dukung pemuda berambut coklat gelap panjang dengan mata Lavender keperakkan. Hyuuga Neji. "Benar 'kan, Naruto?" liriknya pada pemuda terakhir.

Naruto berdiri di belakang Itachi yang duduk di sofa single. Dia menyeringai, "Tepat sekali."

"Oh ya, dimana Sasuke?" ucap Itachi yang tidak melihat keberadaan adik semata wayangnya.

"Masih tidur," jawab Naruto setelah menegak tehnya, "Kelihatannya dia kelelahan. Jadi aku biarkan saja."

"Wajar, kekuatan yang dimilikinya butuh tenaga ekstra," kata Kiba mengangguk.

"Lagipula, misi kalian sudah berhasil sukses," lanjut Itachi tersenyum maklum. "Arigato," liriknya pada pemuda pirang yang dibalas senyuman lebar.

"Mision complete"

"Berita selanjutnya, desainer Miroku yang dikabarkan jatuh koma beberapa minggu yang lalu, telah bangun dalam keadaan sehat. Beliau disambut dengan bahagia oleh putrinya, Shion."

.

.

.

.

.

=+=+=+=+=+Chapter One End+=+=+=+=+=

.

.

.

REVIEW MINA-SAN! ^o^