Naruto tidak tahu, atau lebih tepatnya tidak mau tahu apa yang telah terjadi beberapa saat lalu. Entah apa yang telah dilakukannya pada dua orang teman Pain itu, tapi sekarang dia dapat melihat Deidara dan Hidan yang telah tergeletak tidak jauh darinya. Entah pingsan atau bahkan matipun, Naruto tidak mau tahu, dia berpikir mereka pantas mendapatkannya kerena telah berani menyakiti Hinatanya. Beruntung dia sampai pada waktu yang tepat, sebelum para bajingan tersebut membawa Hinata pergi dari sana. Naruto ingat bahwa dia telah menghajar habis-habisan kedua pemuda itu, tapi dia tidak ingat betul bagaimana detailnya. Lagipula itu tidaklah penting sekarang, sekarang yang menjadi fokusnya adalah pemuda Akasuna yang ada di depannya, atau lebih tepatnya di bawahnya.

Naruto dapat melihat dengan jelas wajah pemuda berambut merah yang biasanya bersih tanpa noda sedikitpun kini dipenuhi dengan memar dan luka di sana-sini. Tapi meskipun begitu tampaknya Sasori tidak akan menyerah dengan mudah. Dapat terdengar samar-samar suara tawa Sasori yang seakan mengejek wajah Naruto yang tampak begitu marah. Dan mendengar hal itu, Naruto tidak bisa mencegah dirinya untuk tidak menghadiahkan pukulan keras ke wajah putih Sasori.

"Kau pikir itu lucu hah?! Bukankah sudah kuperingatkan kau untuk tidak menyentuhnya! Urusanmu hanya denganku. Kau boleh memperlakukanku semaumu, tapi tidak dengannya!"

Sasori tertawa lagi, kali ini cukup keras dan terdengar benar-benar mengejek. "Dan kau pikir semua ini kulakukan karena mu?!" Sasori terbatuk, darah segar keluar dari mulutnya, tapi sepertinya hal itu tidak membuatnya untuk menghentikan ucapannya. "Tidakkah kau pikir kalau dia mempunyai 'aset' yang sangat bagus? Ah, kau pasti dapat melihatnya dengan jelas, karena itulah kau menahannya di sisimu. Gadis itulah yang terlalu bodoh untuk tidak menyadari akal busukmu!"

Terdengar sekali lagi hantaman dari tangan Naruto yang mengenai wajah Sasori. Sebuah pukulan keras yang dirasa Naruto cukup untuk membuat Sasori tidak mampu mengatakan sepatah katapun tentang Hinata. "Aku memang bukan orang baik, tapi aku juga tidak sebrengsek dirimu, Akasuna!" Naruto akan bersiap mendaratkan lagi pukulannya, ketika dia mendengar suara rintihan kesakitan dari Hinata.

Naruto berpindah, meninggalkan Sasori yang sudah tidak sadarkan diri, mendekati gadis yang saat ini menunjukkan ekspresi kesakitan. Dengan posisi seperti ini, dapat didengar dengan jelas suara rintihan kesakitan yang keluar dari mulut Hinata. Naruto dapat melihat tubuh gadis mungil itu bergetar. Gadis yang biasanya tegar itu menangis dalam keadaan tidak sadarkan diri. Hinata pasti sangat menderita, pikirnya. Entah apa yang sudah dilakukan Sasori padanya, yang pasti sekarang keadaan gadis itu tidak baik-baik saja. "Sshh.. Sshh... Tenanglah. Tenanglah Hinata." Melihat Hinata yang seperti ini membuat Naruto menjadi panik. Tangannya yang bergetar menyetuh pipi Hinata yang lebam dengan lembut, menghapus air mata sang gadis, berharap dengan tindakan kecilnya mencoba membuat Hinata lebih tenang. "Kau aman sekarang. Hinata, kau dapat mendengarku? Kau aman, aku di sini, semuanya akan baik-baik saja." Naruto berucap lirih, berharap Hinata dapat mendengarnya.

Dan entah Hinata dapat mendengarnya atau tidak, tapi nyatanya Hinata berangsur-angsur menjadi tenang, tubuhnya tidak lagi bergetar dan rintihan-rintihan kesakitannya tidak lagi terdengar. Melihat hal itu Naruto bernafas lega. Sebenarnya dia sama sekali tidak tahu cara menanggani hal seperti ini. Ini pertama kali baginya. Dan dia sangat bersyukur kalau usahanya berhasil. Namun walaupun begitu, tetap saja keadaan Hinata saat ini cukup membuatnya khawatir.

Dengan sangat hati-hati, Naruto mengangkat tubuh Hinata, membawanya dalam dekapannya. Manik Shappire itu menatap wajah Hinata yang tampak pucat. "Maafkan aku, tapi kau masih harus menunggu. Kumohon bertahanlah!" Naruto tahu kalau Hinata harus diobati sesegera mungkin, tapi sebelum itu, dia juga harus memastikan keadaan Menma. Walaupun hubungan mereka tidak berjalan baik tapi Naruto juga tidak bisa mengabaikan keselamatan pemuda berambut gelap itu, bagaimanapun, apapun yang terjadi dia tetap saudaranya.

.

.

DON'T LIKE DON'T READ!

.

.

My Fox Devil

Desclaimer: Masashi Kishimoto

Pairing: NaruHina

Genre: Romance, Hurt/Comfort

Rated: T

Warning: Bad Naru x Strong Hina, OOC, AU, School life, gajeness, typo(s), abal, amatir, mainstream, ide pasaran! Little bit Hinata-centric, flat, DLL

.

.

Naruto baru akan melangkah ketika mendengar suara derap kaki mendekatinya. Pemuda berabut pirang itu, bersiaga, berpikir kalau Pain dan anggotanya kembali akan menyerangnya. Tapi alangkah terkejutnya dia melihat siapa gerangan yang datang.

"Nii-san!" panggilnya.

Dapat dilihat oleh Naruto, Menma yang tengah berlari ke arahnya. Tapi bukan kedatangan Menma yang membuatnya terkejut, keadaan pemuda itulah yang membuatnya terkejut. Naruto tidak bisa untuk tidak menatap lekat pada Menma, mata pemuda berkulit tan itu mengamati Menma dari atas sampai bawah dengan teliti. Tidak ada yang berubah darinya, Menma masih terlihat sama seperti saat terakhir dia meninggalkannya dengan Pain dan lainnya. Dapat dilihatnya, wajah adik kembarnya itu tanpa luka sedikitpun, tapi walaupun begitu Naruto dapat melihat buku-buku jari tangannya yang tampak kebiruan, namun dapat dipastikan kalau luka tersebut bukan karena serangan, tapi karena menyerang. "Kau? Bagaimana bisa?" Naruto bertanya kebingungan.

"Ada apa? Apa ada yang salah?" Menma mengernyit, tidak paham maksud dari perkataan Naruto.

"Kau berhasil mengalahkan mereka? Sendirian? Tanpa luka sedikitpun, bagaimana bisa?" Naruto memberikan pertanyaan bertubi-tubi. Untuknya yang selama ini tahu kalau Menma tidak bisa berkelahi, melihat Menma kembali dengan keadaan sangat baik-baik saja apalagi setelah melawan orang sekelas Pain dan anggotanya, membuat Naruto merasa takjub.

"Ah, itu..." Menma terlihat gugup, tapi sesegera mungkin dia dapat menanganinya. "Mereka sudah kelelahan karena melawanmu, jadi aku bisa mengatasinya." Kemudian manik birunya beralih menatap Hinata yang berada di gendongan Naruto. "Dia? Apa dia baik-baik saja?"

"Tidak! Bagaimana dia bisa baik-baik saja setelah apa yang telah dilakukan para bajingan itu padanya." Ada nada amarah yang jelas terdengar dari ucapan Naruto. Bagaimana dia tidak marah kalau melihat keadaan Hinata yang seperti ini.

Menma tersenyun maklum. Sedikit banyak dia tahu bagaimana perasaan Naruto. "Biar kubantu membawanya, kau pasti sangat kelelahan," tawar Menma sembari bersiap mengambil alih tubuh Hinata dari Naruto. Menma dapat melihat raut kelelahan dari wajah Naruto. Dia salut pada kakak kembarnya itu, setelah apa yang dialaminya dia masih mampu untuk menggendong Hinata.

Bukannya memberikan Hinata pada Menma, Naruto malah mengeratkan dekapannya pada tubuh Hinata. Raut wajahnya juga berubah setelah mendengar ucapan Menma. "Tidak perlu!" tolaknya keras. "Aku bisa menangganinya sendiri!"

Naruto kembali, pikir Menma. Naruto kembali pada 'mode kakak kembar' seperti biasanya. Kembali pada sikapnya yang kasar, sarkastik dan dingin kepadanya. Dari dulu memang sudah seperti ini bukan? Kenapa Menma harus merasa kecewa? Padahal dari awal dia juga tidak berberharap kalau sikap kakaknya ini akan berubah setelah apa yang dilakukannya hari ini. "Sampai kapan kau akan memperlakukanku seperti pencuri, Naruto!"

Menma selama ini sudah cukup bersabar. Dan kali ini dia tidak bisa menahannya lagi. Kalau ada yang mengira dia tidak pernah sakit hati pada sikap Naruto terhadapnya, itu adalah salah besar. Dia sakit hati. Tentu saja! Siapa yang tidak sakit hati diperlakukan seperti orang asing oleh saudaranya sendiri? Bahkan Menma berani bertaruh kalau Naruto bersikap lebih baik pada orang asing dibandingkan dengan sikapnya terhadapnya.

Sedangkan Naruto terbelalak. Terkejut oleh apa yang didengarnya. Ini pertama kalinya setelah sekian lama dia mendengar Menma memanggilnya hanya dengan namanya saja. Mungkin semua orang berpikir kalau sejak kecil Menma sudah memanggilnya dengan sebutan 'Nii-san', tapi sebenarnya tidak. Sewaktu kecil mereka hanya memanggil dengan nama masing-masing, hanya Naruto dan Menma, karena itulah yang diajarkan oleh ibu mereka, Kushina beranggapan bahwa tidak ada istilah kakak-adik diantara mereka, walaupun Naruto lahir lebih dulu dibandingkan Menma, tapi tetap saja mereka kembar, mereka satu. Kalau diingat-ingat lagi, Menma memanggilnya dengan sebutan Nii-san saat hubungan mereka menjadi buruk.

"Sampai kapan kau akan memperlakukanku begini?" Menma berucap lelah. "Asal kau tahu, aku sama sekali tidak berniat untuk merebutnya darimu," ucapnya jujur.

Naruto masih diam, tidak tahu harus mengucapkan apa untuk membalas perkataan Menma.

"Tapi..." Kali ini mata Menma yang menatap Naruto menunjukkan ekspresi yang berbeda. Ekspresi yang ditunjukkan penuh dengan kesungguhan. "Bukan berarti aku tidak bisa melakukannya. Aku bisa saja merebutnya darimu kalau aku mau." Setelah mengatakan itu, Menma pergi meninggalkan Naruto yang masih diam terpaku.

.

~[My Fox Devil]~

.

Hinata terbangun dengan kepala terasa pusing. Hal pertama yang terlintas di kepalanya adalah dimana dia sekarang ini? Ini bukan rumah sakit ataupun kamarnya. Hinata dapat merasakan handuk basah yang menempel di kepalanya dan di bawah kakinya.

"Kau sudah bangun tukang tidur?"

Hinata menoleh kearah sumber suara, dan dia dapat melihat Naruto berjalan ke arahnya sambil membawa nampan. "Apa yang terjadi?" tanyanya. Hinata mencoba untuk bangkit, tapi diurungkannya ketika merasakan sakit kepalanya bertambah parah.

"Apa Akasuna itu juga memukul kepalamu, sampai-sampai kau hilang ingatan?"

Mendengar nama Akasuna disebut membuat Hinata mengingat kejadian kemarin. Dia ingat betul bagaimana pemuda brengsek itu menyiksanya. "Menma?!" serunya saat teringat pemuda berambut gelap itu. "Dimana dia? Apa dia baik-baik saja?" tanya pada Naruto.

"Kau tidak lihat bagaimana keadaanmu?! Kenapa masih mencemaskan orang lain sedangkan keadaanmu sendiri yang harusnya perlu dicemaskan," sindir Naruto sarkastik. Lihat apa yang didapatkannya setelah merawat gadis itu seharian, malah orang yang pertama ditanyakannya adalah Menma.

"Waktu itu aku menghubunginya untuk meminta bantuan. Dia datangkan? Apa dia baik-baik saja? Dimana dia sekarang?" Hinata bertanya tanpa henti. Dia benar-benar menghawatirkan keadaan Menma. Kenapa juga waktu itu dia harus meminta bantuan kepada Menma bukan kepada polisi atau orang lainnya? Padahal dia tahu betul kalau Menma tidak ahli dalam hal ini dan mungkin saja dengan datang Menma ketempat itu malah membahayakan Namikaze bungsu itu.

Lihat, tanpa perlu susah payah mencari tahu, Naruto sekarang sudah tahu dengan sendirinya bagaimana Menma bisa muncul tiba-tiba di saat waktu yang tepat. Tapi yang tidak dimengerti Naruto, kenapa Hinata harus meminta bantuan kepada Menma, padahal ada ratusan orang lain yang dapat Hinata mintai pertolongan selain Menma. Naruto benci memikirkan ini, tapi apa cuma Menma yang hanya dipikiran Hinata?

"Hey, kau mendengarku?" panggil Hinata karena Naruto tidak kunjung menyahut.

"Bisakah kau diam!" hardik Naruto tegas. "Dia baik-baik saja! Dan kau, bisakah berhenti bertingkah sok pahlawan!"

"Apa?"

"Kemarin, bukankah kau sudah kusuruh untuk pergi?! Kenapa kau malah datang hah?!" Naruto menatap Hinata tajam, tampak marah dan kesal.

Sedangkan Hinata yang ditanya merasa kebingungan. Ini adalah pertanyaan yang juga ditanyakannya pada dirinya sejak kemarin. 'Kenapa dia nekat untuk datang?'

"Kau tahu, karena sikap sok pahlawanmu itu keadaan semakin memburuk?!"

Dalam keadaan normal, Hinata pasti tidak akan diam dimarahi, atau mungkin menurutnya diolok-olok oleh Naruto, tapi kali ini dia tahu betul kalau tindakan cerobohnya berdampak buruk baik bagi dirinya ataupun Naruto. Hinata tidak buta untuk melihat luka di wajah Naruto yang bertambah parah dibandingkan terakhir kali dia melihatnya, dan bukan hanya di wajah saja, mungkin hampir diseluruh tubuhnya, Hinata tidak tahu pasti, tapi yang dia tahu keadaan Naruto lebih parah dari keaadaannya. "Maaf," ucapnya sembari menatap Naruto sunguh-sungguh. Hanya kata itulah yang terlintas dipikirannya setelah dia menyebabkan begitu banyak masalah untuk Naruto.

Semua umpatan dan kemarahan Naruto seakan sirna setelah mendengar ucapan Hinata. Gadis itu benar-benar bisa membuatnya untuk diam. Naruto menghembuskan nafas lelah, sebenarnya dia juga tidak punya tenaga lagi untuk berdebat dengan Hinata setelah apa yang dilakukannya. Menghadapi tujuh orang sekaligus, sampai semalaman tidak tidur demi merawat Hinata padahal dirinya sendiri yang harusnya perlu dirawat, semua itu sudah lebih dari cukup untuk menghabiskan energinya. "Makanlah! Kau belum makan dari kemarin." Naruo menyerahkan nampan berisi makanan yang sejak tadi sudah dibawanya kepada Hinata.

Hinata menatap nampan itu dan Naruto secara begantian, dia dapat melihat dengan jelas raut lelah dari wajah Naruto. "Terima kasih," ucapnya pelan, tapi cukup keras untuk didengar Naruto. Hinata dapat melihat Naruto yang menatapnya entah dengan ekspresi terkejut ataupun tidak percaya. Naruto hanya diam sembari menatapnya lekat, dan hal itu sukses membuat Hinata merasa canggung.

"Aku memang tidak tahu apa yang sudah terjadi, ataupun bagaimana kita bisa sampai di sini. Kau juga tidak perlu menceritakannya, tapi aku yakin ini semua berkatmu. Terima kasih, Naruto."

Kalimat terakhir Hinata terdengar sangat tulus yang mampu membuat Naruto tanpa sadar tersenyum dengan sendirinya. Tapi sayang sekali Hinata tidak melihatnya karena terlalu sibuk menyembunyikan wajahnya karena malu, siapa juga yang tidak merasa malu apabila dia diselamatkanb berulang kali oleh orang yang selalu dianggap sebagai musuh utamanya.

"Kau tahu, ini tidak adil!" lanjut Hinata dengan nada kesal. "Aku terlalu banyak berhutang padamu!"

"Lupakan..."

"Tidak bisa!" sela Hinata sebelum Naruto melanjutkan ucapannya. "Ini terlalu banyak. Aku mungkin tidak bisa membayarnya dengan uang ataupun barang, karena kau pasti sudah punya semua itu. Tapi kalau kau butuh bantuan ataupun ada sesuatu yang kau ingin aku lakukan katakan saja."

"Begitukah? Bisakah kau melakukan satu hal untukku?"

Hinata tidak menyangka kalau Naruto akan memintanya sekarang juga, tapi walaupun begitu Hinata juga akan senang hati kalau bisa melakukannya, bagaimanapun dia sendiri yang menawarkan dan lagipula ini akan menjadikan hutangnya kepada Naruto berkurang. "Tentu."

Naruto tersenyum tipis kemudian menatap Hinata lekat. "Berjanjilah padaku." Naruto dapat melihat Hinata mengernyitkan alisnya dan menunjukkan ekspresi tidak paham. "Berjanjilah padaku untuk tidak melakukan hal bodoh seperti itu lagi."

Ini adalah salah satu dari sekian banyak hal aneh yang pernah di dengar Hinata, apa lagi ucapan itu muncul dari bibir Naruto, tapi selain itu dia juga dapat melihat ada yang aneh dari Naruto. Dari sejak dia sadar sampai sekarang ini, sikap Naruto terasa janggal bagi Hinata. Hinata sempat akan bertanya apa yang terjadi pada Naruto dan apa maksud dari permintaan aneh itu, tapi Hinata mengurungkannya ketika matanya menatap mata Naruto. Entah benar atau hanya ilusinya saja, tapi Hinata dapat melihat kesungguhan dari mata Naruto ketika dia memintanya untuk menggucapkan janji itu. Hinata tidak berani berharap kalau Naruto memintanya karena dia memang perduli pada keselamatannya, tapi ada satu hal yang membuat hatinya seperti dicubit ketika dia menatap mata Naruto, ada pandangan terluka yang samar terlihat dari matanya. Hinata tidak tahu maksud dari pandangan itu, dia ingin bertanya, tapi karena beberapa alasan dia tidak bisa menanyakan hal itu oleh karena itu dia hanya bisa mengangguk singkat sebagai jawaban untuk Naruto. "Aku berjanji tidak akan pernah melakukan hal itu lagi."

Menurut Hinata ini adalah hal tercanggung yang pernah dibicarakannnya dengan Naruto, tapi sepertinya pemikiran itu sirna ketika dia melihat Naruto tersenyum ketika mendengar ucapannya. Senyum yang jarang dilihat atau bahkan mungkin pertama kali yang dia dapatkan dari Naruto.

"Bagus!" Naruto berucap singkat kemudian menepuk pelan kepala Hinata yang kebingungan melihat tingkahnya.

Hinata merasa aneh, tentu saja! Tapi semua yang dilakukan Naruto terasa benar baginya. Dia tidak bisa menolak ketika Hinata dapat merasakan hatinya menghangat karena perilaku Naruto padanya. Kalau boleh jujur, ini sudah sekian kalinya dia merasakan hal seperti ini, mungkin sejak kejadian dirumah sakit waktu ayahnya harus melakukan operasi, dan sejak saat itu perasaan seperti ini sangat sering dia rasakan dan semakin lama semakin menguat. Hinata menggelengkan kepalanya pelan demi mengusir pikiran-pikiran anehnya kemudian kembali fokus kepada Naruto yang akan meninggalkan kamar. "Tunggu!" cegahnya cepat. "Ini ada dimana?" Hinata akhirnya menanyakan pertanyaan yang sedari tadi belum sempat dia tanyakan.

"Apartemenku," jawab Naruto yang dibalas oleh anggukan kecil Hinata. "Apa ada yang kau butuhkan lagi?" Setelah menerima gelengan dari Hinata, Naruto segera meninggalkan ruangan dan menyisakan Hinata sendirian di sana.

Hinata kembali mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Sebenarnya dia sudah melihatnya tadi, tapi hanya sekilas karena Naruto tiba-tiba datang dan kali ini dia ingin melihatnya dengan lebih jelas. Apartemennya sendiri? Kenapa Naruto butuh apartemen sedangkan dia punya rumah yang begitu besar? Hinata tidak habis pikir oleh kelakuan pemuda itu. Ketika matanya menjelajah ke seluruh ruangan, ada satu sudut yang membuat dadanya tiba-tiba merasa sesak. Sudut dimana terdapat beberapa foto Naruto dan Shion yang terpajang rapi di dinding.

Hinata memang tahu kenyataan bahwa Shion adalah mantan kekasih Naruto, tapi dia tidak mengira kalau dulu mereka terlihat seperti ini, seperti pasangan kekasih yang bahagia dan saling mencintai. Ya, tentu saja mereka akan terlihat seperti itu, semua pasangan kekasih memang terlihat seperti itu bukan? Tapi kenapa Hinata sangat terkejut mengetahui kenyataan seperti ini? Dia seharusnya sudah tahu dari awal, atau memang Hinata tidak mau tau atau bahkan dia mencoba mengelak dari kenyataan bahwa mereka memang seperti sepasang kekasih pada umumnya? Sekarang yang menjadi pertanyaan, kenapa Hinata harus merasakan sakit ketika mengetahui kenyataan itu? Kenapa sakit yang dirasakannya lebih sakit daripada saat Sasori menyiksanya?

Cemburu! Itu adalah kata yang sedari tadi muncul di otaknya. Kata yang dapat dengan pasti menggambarkan isi hatinya sekarang ini. Kata yang membuatnya tidak mampu mengelak. Hinata menggeleng keras. Tidak mungkin! Tidak mungkin dia cemburu pada Namikaze sulung itu! Hinata berusaha dengan keras untuk menampiknya.

Baru beberapa saat tadi dia merasakan perasaan hangat karena sikap Naruto padanya, dan selang beberapa menit kemudian dia merasakan sesak di dadanya saat melihat foto Naruto dan Shion yang membuatnya mengingat kembali ucapan Ryota, "Tapi kata Menma-nii, Onii-chan sangat menyayangi Nee-chan itu.", dan jujur saja itu membuat hatinya bertambah sesak. Bukannya hanya itu saja, kalau diingat-ingat dia juga merasakan khawatir, marah, bahagia, nyaman dan berbagai perasaan lainnya ketika dia bersama Naruto, perasaan yang hanya didapatnya dari pemuda itu.

Ini terdengar gila, tapi sejujurnya Hinata tahu pasti alasan kenapa dia bisa merasakan semua perasaan itu, CINTA! Tanpa disadarinya selama ini diam-diam dia telah jatuh cinta pada pemuda berambut pirang itu. Ya, terdengar sangat gila bukan? Tapi itulah yang terjadi, Hinata tidak mampu lagi mengelak perasaannya pada Namikaze Naruto. "Tidak bisa," bisiknya pelan nyaris tak terdengar. "Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi."

.

~[My Fox Devil]~

.

"Bisakah kau ulangi lagi? Namikaze-Menma-membantumu-melawan-Pain?" Shikamaru kembali bertanya pada Naruto, dengan ekspresi seakan mendengar berita bahwa diam-diam-Sasuke-dan-Gaara-menjalin-hubungan-asmara-di-belakang-mereka.

Naruto hanya memberikan cibiran karena terlalu lelah untuk mengulang ucapannya yang dianggapnya sudah sangat jelas. Sebenarnya dia juga sudah terlalu lelah untuk masuk ke sekolah hari ini setelah apa yang dialaminya kemarin, tapi karena Hinata bersikeras untuk masuk, dengan terpaksa dia juga harus masuk karena Naruto tidak bisa membiarkan Hinata sendirian. Naruto tidak habis pikir, kenapa gadis itu bersikeras untuk masuk padahal Hinata sendiri bahkan tidak bisa berjalan dengan benar.

"Tapi aku baru saja bertemu dengannya beberapa saat lalu dan dia baik-baik saja. Malah sangat baik-baik saja untuk orang yang baru saja melawan Pain dan anggotanya." Shikamaru mengernyit bingung memikirkan dua premis yang menurutnya tidak masuk akal. Otaknya yang biasanya berkerja dua kali lebih cepat dari kebanyakan orang, entah kenapa kali ini tidak dapat memproses kedua informasi tersebut dengan cepat.

"Bukan hanya kau saja yang terkejut Shika, bahkan aku mengira ini sebuah keajaiban," timpal Naruto sambil memejamkan matanya. Andai saja teman-temannya tidak sedang mengintrogasinya, sekarang mungkin dia dapat tidur dengan nyenyak.

"Siapa yang akan mengira Menma bisa menghadapi mereka sendirian? Bahkan mereka sama sekali tidak berhasil memukulnya." Sasuke mulai ikut ambil suara. Jujur saja, dia sangat terkesan pada Menma setelah apa yang didengarnya. Dia tidak akan terkejut seperti ini kalau orang yang mereka bicarakan adalah Naruto, Gaara, Shikamaru, atau bahkan Kiba, tapi ini Menma?! Siapa sangka pemuda pendiam itu sangat hebat.

"Aneh." Gaara bergumam. "Bukankah waktu itu dia langsung sekarat hanya karena satu tinju dari Kiba?" Pemuda berambut merah itu mencoba mengingat kejadian saat Naruto mengajaknya dan Sasuke untuk berduel dan malah berakhir dengan Menma yang terkena tinju nyasar dari Kiba.

Naruto mengangguk, menyetujui ucapan Gaara. "Aku bahkan harus menggendongnya pulang," ucapnya disertai suara tawa kecil dari mulutnya. Naruto ingat betul kalau itu adalah pertama kalinya dia menggendong Menma saat mereka sudah besar.

BRAKK!

Terdengar suara meja yang digebrak dengan keras, dan hal itu membuat para pemuda yang berada di sana langsung saja menolehkan kepalanya ke arah sumber suara. Dapat dilihat Kiba yang sedari tadi di sana dan diam saja, sekarang berdiri sambil menatap mereka marah.

"Ada apa Kiba?" Naruto bertanya sambil menatap bingung ke arah teman coklatnya.

"Bisakah kalian diam?!" Shikamaru dapat melihat Kiba tengah meremas kedua tanganya sendiri. "Kalian tahu apa tentang dia hah?! Apa yang kalian tahu tentang Menma?!" Kiba yang sedari tadi diam saja, tiba-tiba meledak. Ya, tak bisa dipungkiri kalau dia juga terkejut mendengar berita bahwa Menma membantu Naruto melawan Pain CS, karena Menma juga sama sekali tidak mengatakan apapun padanya dan Kiba bisa memakluminya, dia tahu betul sahabatnya itu lebih suka menyimpan hal besar seperti ini. Dan hal itu membuat siapapun, bahkan dirinya sendiri tidak bisa mengenal sosok Menma dengan baik. Sebenarnya Kiba sangat ingin tahu banyak tentang pemuda Namikaze itu, tapi sepertinya Menma tidak mau membiarkannya lebih jauh mengenalnya.

"Dan kau!" Kiba menunjuk ke arah Naruto dengan pandangan nanar. Sebenarnya dia tidak ingin ikut bicara saat para temannya yang lain mulai bicara tentang keterkejutan mereka mengenai Menma, tapi dia tidak bisa tinggal diam saat Naruto terus menerus berbicara tentang Menma, dan apa itu?! Dia sama sekali tidak suka mendengar tawa Naruto yang terakhir, bagaimana bisa Naruto menertawakan adik kembarnya sediri?! "Aku tahu kalau hubungan kalian tidak baik, tapi aku sama sekali tidak menyangka kalau kau bahkan tidak tau apapun tentangnya." Kiba dapat memahami kalau baik Sasuke, Shikamaru, sampai Gaara tidak mengenal Menma, tapi Naruto?! Mereka bukan hanya saudara, mereka kembar! Bagaimana bisa dia tidak mengenal saudara kembarnya sendiri.

"Kalau kau berbicara tentang bagaimana bisa aku tidak tahu kondisi dan kemampuan Menma, bukankah kau sendiri adalah orang yang paling khawatir saat tahu kau memukul dia?" Naruto berbicara dengan nada mencibir. Dia tidak suka saat Kiba bersikap seolah Kiba lebih mengenal Menma daripada dirinya. Bagaimanapun yang menjadi saudara Menma adalah dirinya, dan bukan Kiba. Dan jelas Naruto jauh lebih dulu mengenal Menma daripada Kiba.

"Dan kau percaya itu?!" jawab Kiba dengan nada tinggi. Kiba memberikan pandangan seolah Naruto orang paling bodoh di dunia.

"Aku tidak paham maksudmu."' Naruto mengernyitkan alisnya. Sebenarnya dia sangat ingin menutup mulut Kiba saat ini, tapi dia tidak ingin menambah masalah lagi, apalagi mengingat luka yang didapatnya kemarin saja belum sembuh.

"Kau percaya?!" Kiba tertawa pelan memberi pandangan tidak percaya pada Naruto. "Kau percaya kalau Menma orang yang lemah?! Kau percaya sandiwara yang selama ini dibuatnya?!"

.

.

~[To be Continue]~

.

.

Hola... Akhirnya ketemu lagi dengan saya, setelah sekian lama. Oke, saya mau minta maaf karena sudah menelantarkan fic ini selama lebih dari setahun. Dan saya juga meminta maaf karena tidak bisa membalas PM atau komen mengenai kelanjutan fic ini karena jujur saja saya juga belum tahu pasti apa yang akan saya lakukan pada fic ini. Terima kasih juga untuk orang-orang yang mau terus mengingatkan saya untuk melanjutkan ini bahkan sampai memberikan review berkali-kali. Terakhir, saya mau minta maaf untuk orang-orang yang tidak berkenan dengan fic saya.

Special Thanks for review and PM to:

durarawr, syafirakamilar, Firda Amelia N, A-Chan, ana darren shan, Asobi Kotori, Senjie484, chan, Guest, Reza Mizuki, aizawa, hanayuki no hime, Ms. Yeremia, Durara, misheru2, Mao-chan, sakura uchiha stivani, Bakagami Erika, geminisayank-sayank, F-Hyuzumaciha, Namaki Shidota, Intan LavOrGirl, Ore no Hana, ana darren shan, SHU, MeV, Guest, A-k-a Rizky Namikaze, Hinatalevendercitrus14, hikari mafuyu, Hanachan L, ORIKX-NSLI, reyvanrifqi, ita-indah-777, Zombie-NHL, Dragon Hiperaktif, TeamChitoge, Ndul-chan Namikaze, Gilang363, Riyuzaki namikaze, Guest, Beetha, Eigar alinafiah, Amu B, sahwachan, Saus Kacang, hanazonorin444, Guest, HinaHimeLovers8, hanafid, uzumaki, FressyaSH-HFYJ, Yasuna Katakushi.

.

.

REVIEW PLEASE?