Vocaloid © Crypton Future Media, Internet, Yamaha, et cetera. I gain no commercial advantages.
Warning very cliché, possibly typo(s), plot rushed, et cetera. Kesamaan ide harap di maklumi.
Tirai malam sudah sempurna menutup langit dan kota baru akan memulai geliat aktifitas malam yang penuh gempita dan kepalsuan kerlap-kerlip. Di salah satu sudut kota, sebuah skenario paling klise dimulai berbarengan dengan ratusan pasang kaki yang berseliweran di atas aspal hitam.
Tubuh tegap sedikit terhuyung, barang bawaannya hampir jatuh jika saja ia tak memegangnya erat. Ketika ia menoleh, yang tertangkap mata rubinya hanya sekelebat bayang helai pirang diikuti sebuah pekik dengan nada menyesal ("Ups...! Maafkan aku!"), kemudian sosok pirang itu berlalu. Hilang di balik keramaian.
Tadayuki Yohio, yang sudah sifatnya jarang mau ambil pusing, hanya mengedikkan bahu tak acuh. Pastilah orang barusan sedang terburu-buru hingga menabraknya. Dia tak berniat memanggil apalagi menegur. Toh, kejadian tadi hanya tidak sengaja. Kemudian dia melangkah pergi dan melupakan apa yang baru saja terjadi.
Lunar
—Primarily refers to the Latin name for the Moon; Earth's only natural satellite—
#1
Dua hari berlalu begitu saja. Yohio baru keluar dari supermarket sambil menenteng kantong plastik berisi belanjaan ketika seseorang menabraknya. Tidak seperti kemarin, kali ini semua barang bawaannya jatuh ke aspal.
"Ups! Maaf aku tidak—" nada menyesal terhenti di tengah jalan, berganti dengan nada terkejut bercampur rasa tak percaya, "—hei! Kau 'kan yang waktu itu!"
Yohio menelengkan kepala. Sebelah alis terangkat. Angkuh. "Apa kita pernah kenal sebelumnya?" tanggap pemuda itu. Suaranya datar namun nadanya menusuk.
Seketika, atmosfir berubah canggung. Deru mesin mobil yang lewat mengisi keheningan suasana.
"Ah, kalau dibilang pernah kenal, sih … tidak."
"Lalu?"
"Aku pernah menabrakmu juga. Kemarin—dua hari yang lalu kalau tidak salah," katanya. Sebuah cengiran terentang dan deretan mutiara putih mengintip dari baliknya. Kemudian dia melanjutkan sembari mengulurkan tangan, hangat. "Namaku Ikurumi Aria!"
Sepasang bola mata merah menatap tangan yang terulur ke arahnya datar. Dia berpikir sejenak, kemudian memutuskan untuk mengabaikan tangan yang masih menggantung. Sama sekali tak menemukan koneksi dan alasan untuk menyambut uluran tangan itu.
"Tidakkah orangtuamu pernah bilang," Yohio berucap dengan nada sedingin es, "untuk tidak memberitahu nama lengkapmu kepada orang asing?" Pemuda dengan helaian pirang itu berjongkok, memungut satu persatu belanjaannya yang tercecer di jalan.
"Lagipula," katanya lagi, "saat ini rasanya ada hal yang lebih baik—dan lebih masuk akal, kupikir— untuk kaulakukan ketimbang memperkenalkan diri padaku." Dia berhenti sejenak. Menatap Aria dengan sepasang mata merah yang menyala. Dia melanjutkan, "Meminta maaf, misalnya?"
Aria terdiam. Namun, pada detik berikutnya, langsung mengeluarkan tawa berdering seraya ikut berjongkok di samping sosok Yohio dan memunguti beberapa barang.
"Kau benar juga. Tidak seharusnya aku memberitahu namaku pada orang asing sepertimu," sahut Aria. "Yah, walau kupikir itu sama sekali tak masalah. Maksudku, walau aku memberitahu namaku, kau juga tidak mungkin akan menculikku, 'kan?"
Yohio memberi tatapan like-hell-I-will-do-that.
Lagi, si pirang tertawa tanpa dosa. Dia kemudian menyerahkan beberapa barang yang barusan dia ambil kepada Yohio. "Yah…. Intinya, aku minta maaf karena sudah menabrakmu dua kali, juga karena seenaknya memperkenalkan diri." Diam sejenak. "Maafkan aku, ya?"
"Hnn…." Yohio mengambil barang yang disodorkan kepadanya, kembali memasukkannya ke dalam plastik, lalu menegakkan tubuh.
Pemuda itu baru saja akan berlalu, ketika tiba-tiba saja sebuah tangan kurus menarik lengannya. Dia menoleh, mendapati Aria tengah memperhatikannya dari atas sampai bawah dengan alis saling bertaut.
"Kautahu, aku seperti pernah melihatmu di suatu tempat," ujar Aria sembari memasang pose berpikir.
Yohio memutar bola mata. Tak terlalu terkejut dengan pernyataan barusan. Hampir setiap orang di kota ini mengenal Yohio. Bukannya mau sombong atau apa, tapi kenyataannya memang begitu.
Yohio adalah seorang pengacara muda yang namanya sedang melambung lantaran beberapa minggu lalu berhasil menangani sebuah kasus yang lumayan besar. Waktu itu, kliennya adalah seorang wanita paruh baya. Wanita itu dituduh membunuh suaminya sendiri.
Klien Yohio sendiri adalah istri kedua dan beberapa waktu sebelum pembunuhan terjadi, hubungannya dengan sang suami memang sedang tidak terlalu baik. Karena itu, wajar jika kecurigaan langsung mengarah kepada wanita itu. Namun, Yohio bisa dengan mudah membuktikan di depan hukum bahwa kliennya tidak bersalah. Dia kemudian balik menguak fakta bahwa pelaku pembunuhan sesungguhnya adalah adik kandung korban sendiri. Motif perebutan harta warisan adalah latar belakang peristiwa tersebut.
Setelah kasus selesai, publik mulai menyorot sosok Tadayuki Yohio.
Yohio kini menjadi sosok yang dikagumi karena kecerdasannya. Disegani karena perangainya yang tenang. Dipuji karena kesuksesannya. Wartawan dan sorot kamera saat ini bukan hal asing buatnya. Ditambah, belum lama ini nama Yohio juga terdaftar sebagai—
"Ah! Aku ingat! Aku pernah melihat wajahmu di internet!" Plok. Aria berseru sambil menepuk tangannya. "Di halaman utama bagian polling sebuah web. Kalau tidak salah … polling untuk menentukan pria seksi bulan ini, eh?"
Dan Yohio hampir saja membenturkan kepalanya ke tanah. Kenapa dari sekian banyak hal bagus yang ada padanya, justru polling nista itu yang disebut?
Ya, nama Yohio memang—secara sepihak— dimasukkan ke dalam polling; Pria Seksi Bulan Ini di sebuah situs internet. Tersangka utama di balik keikutsertaan Yohio dalam polling itu—tak lain dan tak bukan— adalah adik perempuan kesayangannya, Rin.
Rin mengunggah foto Yohio yang diam-diam ia ambil melalui kamera ponsel ke situs hina tersebut. Foto—yang menurut Yohio— memalukan itu ia ambil ketika kakaknya tengah duduk di sofa ruang kerja sambil mengamati berkas-berkas kasus yang tengah ia tangani.
Waktu itu Yohio hanya mengenakan kemeja putih polos, itu pun dengan empat kancing teratas terbuka dan mengekspos bagian dadanya yang bidang. Pose sempurna dengan kostum yang sempurna pula, para gadis tentu akan menjerit dan semaput di tempat ketika melihatnya. Dan ternyata, foto itu berhasil. Buktinya, Yohio menempati posisi kedua (kalah 15 suara dari orang yang menempati urutan pertama) dalam polling itu.
"Benar, 'kan, kau yang ada di polling Pria Seksi itu?" suara Aria menarik Yohio dari lamunan singkatnya.
Yohio mendengus kesal kemudian menatap gadis di hadapannya dengan alis berkedut. "Jangan bicara soal polling bodoh itu di depanku!"
"Kenapa?"
"Aku tidak suka!"
"… Aa…. Aku mengerti. Tapi, kau tidak perlu marah-marah begitu, Pria Seksi."
Yohio berbalik dan berlalu. Kesal dipanggil Pria Seksi oleh seseorang yang bahkan namanya saja baru ia ketahui sekitar lima menit lalu. Menghiraukan gadis aneh yang masih memanggilnya ("Hei, Pria Seksi! Kenapa kau malah pergi?") dengan setengah berteriak.
Tadayuki Yohio sedang menikmati kopi paginya yang hangat ketika seseorang tiba-tiba mengetuk pintu kantornya.
Yang datang adalah sepasang suami istri. Jika dilihat-lihat, umur mereka sekitar 40-an. Wajah mereka sendu dengan awan depresi menggantung di masing-masing pelupuk mata. Raut muka mereka menyiratkan sebuah kesedihan yang bercampur dengan sebuah kekecewaan dan rasa frustasi.
"Jadi … ada yang bisa saya bantu?" Yohio langsung bertanya, alih-alih basa-basi. Dia benci dengan segala jenis penguluran waktu.
Akita Neru adalah nama angkat kedua pasangan tersebut. Mereka mengangkat Neru ketika umurnya masih 8 tahun dari sebuah panti asuhan. Anak itu cantik dengan helaian helaian rambut selembut sutra warna kuning-keemasan.
Tahun-tahun berlalu dan Neru tumbuh menjadi seorang gadis yang menawan. Cantik bak bunga matahari yang baru mekar. Ia selalu punya banyak cerita yang setiap hari ia bagi pada orangtuanya. Dia menebar tawa di dalam rumah dengan canda hangat.
Layaknya gadis normal, dia punya banyak keinginan dan cita-cita. Dia ingin keliling dunia. Dia ingin berteman dengan semua orang. Dia ingin menjadi fotografer. Dia ingin mengabadikan setiap momen indah ke dalam kertas Polaroid, menyimpan kebahagiaan ke dalam setiap pixel yang membentuk sebuah peristiwa tak terlupakan. Ia ingin pacaran dengan cowok paling tampan satu sekolah. Ia ingin drama indah khas anak perempuan menghias setiap jengkal lekuk masa mudanya.
Usia Neru sudah genap enam belas tahun ketika menginjak SMA. Kedua orangtuanya masih bisa dengan jelas mengingat senyuman Neru yang cerah seperti mentari pagi ketika anak angkatnya itu melambaikan tangan, hendak berangkat. Terlalu bersemangat karena ketika itu adalah hari pertamanya sebagai siswi SMA.
Orangtuanya tersenyum, mengira hari itu akan jadi hari menyenangkan bagi Neru—seperti biasanya. Sorenya, Neru pulang. Senyum masih terpasang di wajah manisnya, hanya saja panjangnya sedikit mengulur. Orangtuanya berpikir Neru terlalu lelah.
Tiga bulan berlalu dan senyum Neru makin mengikis setiap harinya. Hingga, suatu hari, senyum itu benar-benar hilang dan tak bersisa. Seperti debu yang tertiup angin senja. Matahari yang selalu bersinar hangat, kini menutup diri di balik awan mendung. Enggan berbagi kehangatan.
Pasangan itu bingung dengan perubahan sikap Neru yang begitu drastis. Lagi, mereka tak punya petunjuk apa pun yang mengarah pada penyebab perubahan sikap anak itu. Neru semenjak masuk SMA menjadi pribadi yang berbeda. Tak pernah ada cerita yang dibagi pada orangtuanya. Dia lebih sering mengurung diri dalam kamar. Dia tertutup. Dia seperti … bukan Neru yang mereka kenal.
Dua minggu yang lalu, ketika kedua pasangan itu baru pulang dari sebuah jamuan makan malam atasannya (sang suami bekerja di sebuah kantor sebagai staff HRD dan bosnya sering mengajak dia dan istrinya makan malam), mereka menemukan Neru di dalam bath-up kamar mandi. Matanya terpejam dan mulut sedikit terbuka. Helaian kuning menutupi wajah sebelah kanan. Tangan kiri anak itu menggantung di pinggir bath-up. Darah segar menetes di atas lantai dari bekas nadi yang disilet.
Neru bunuh diri.
"Polisi sudah menyatakan jika kematian Neru adalah murni bunuh diri dan kami juga tidak menampiknya," ayah angkat Neru berujar pelan. Suaranya parau, seperti menahan duka yang teramat sangat.
Yohio mengangkat sebelah alis. "Jika penyebab kematiannya sudah jelas dan kalian puas akan itu, lalu sekarang apa?"
"Neru mungkin bunuh diri, tapi … aku tidak yakin Neru kami akan melakukan tindakan bodoh seperti itu begitu saja!" Mata sang ibu angkat menatap Yohio dengan kilatan yang sulit untuk ditafsirkan. Semacam campuran antara kemarahan, kekecewaan, kesedihan, juga … kehilangan.
Yohio memandang pasangan itu dalam diam. Mulai mengerti dengan keinginan mereka. "Jadi, kalian ingin saya mengungkap peristiwa di balik kematian anak angkat kalian?" suara bariton Yohio memotong udara dengan kejamnya.
Kedua orang itu bergeming.
"Sayang sekali, tapi saya adalah seorang pengacara bukan detektif." Yohio menyandarkan tubuhnya pada kursi. "Sekedar mengingatkan saja, tugasku adalah melakukan atau memberikan nasihat dan pembelaan yang sifatnya mewakili bagi klienku yang berhubungan dengan penyelesaian suatu kasus hukum. Selama kasus kalian belum jelas dan tidak berhubungan dengan hukum … itu sama sekali bukan tugasku."
"Tapi bukankah seorang pengacara yang handal dalam menangani suatu kasus selalu mengambil peran untuk menyelamatkan ketidakadilan atau bahkan membenarkan pemahaman Hakim atau peraturan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum?" pria yang duduk di hadapan Yohio menanggapi.
Pemuda bermata merah itu mengeluarkan suara yang seperti campuran antara tertawa geli dan dengusan. Seringai khas di sudut bibirnya muncul, dan ia mengerling pasangan tersebut dengan tatapan menantang. "Baiklah." Dia menyerah. "Apa yang kalian inginkan?"
"Kami sudah memikirkan untuk membawa kasus kematian Neru ke pengadilan."
"Tapi, bukankah barusan Anda bilang ini murni kasus bunuh diri?"
"Memang."
"Lalu mengapa harus membawanya hingga ke pengadilan? Apa untungnya? Anda mau menuntut silet yang sudah memotong nadi anak Anda?"
Pasangan itu mengabaikan sarkasme yang ada di dalam kalimat pengacara muda tersebut, kemudian menatap Yohio dengan yakin. Yohio bisa melihat sebuah tekad yang bulat di kedua pasang mata itu.
Ada hening yang melantun sebelum sang istri berujar, "Neru menderita dan memilih mengakhiri hidupnya karena anak-anak itu. Kami ingin penyebab sebenarnya bunuh diri Neru diungkap. Kami ingin menuntut anak-anak itu!"
Alis Yohio naik satu. Mulai mengerti kemana arah pembicaraan ini sebenarnya. Kekerasan di dalam sekolah, eh?
Yohio duduk sendirian di salah satu sudut sebuah restoran. Mata oniksnya menatap lekat laptop yang menyala di hadapannya, membaca email yang dikirim oleh Yukio Yuuma, asistennya.
Beberapa saat yang lalu, ia pergi dari kantornya sembari membawa laptop. Dengan terpaksa meninggalkan Hatsune Mikuo, asistennya yang lain, dan Rin berdua di tempat itu dan memutuskan untuk mengerjakan pekerjaannya di tempat lain.
Ia agak sedikit sedikit trauma dengan peristiwa yang lalu—ketika Rin memotretnya saat tengah tenggelam dalam pekerjaan— kemudian bertekad untuk mencari tempat lain yang lebih menyenangkan dan aman—maksudnya adalah jauh dari jangkauan Rin— untuk bekerja. Dan pilihan Yohio jatuh pada sebuah restoran yang berjarak lumayan jauh dari kantornya.
Restoran itu memiliki tempat yang luas dan para pelayan yang ramah. Tempatnya nyaman dengan musik klasik yang setia mengalun pelan untuk mewarnai suasana dan … tentu saja, akses internet gratis bagi pengunjung. Sebagai tambahan, Yohio selalu mencari restoran yang memiliki fasilitas Wi-Fi dengan alasan untuk mempermudah pekerjaannya.
Bicara soal pekerjaan, dia sudah menerima permintaan pasangan tadi untuk mendampingi mereka dalam menempuh jalur hukum dalam kasus tewasnya anak angkat mereka. Dalam hal ini, pasangan itu sudah terlebih dahulu melaporkan kasus ini kepada pihak polisi. Yang kurang tinggal barang bukti. Dan saat ini, Yohio sudah memerintahkan Yuuma untuk mencari barang bukti—berupa informasi, data, maupun dokumen penting lainnya baik dari instansi Pemerintah maupun pihak lain— yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan Kliennya.
Yukio Yuuma adalah satu dari beberapa orang kepercayaan Yohio. Dia selalu memercayakan pencarian informasi pada pria berambut sewarna bunga musim semi tersebut dan hasilnya tak pernah mengecewakan. Begitu pula saat ini.
Lima belas menit yang lalu, Yohio baru saja mengirim pesan singkat pada Yuuma. Menyuruhnya mencari informasi mengenai Utau Academy, tempat Neru menuntut ilmu. Lima menit kemudian, Yohio sudah menerima sebuah email berisi informasi mengenai sekolah itu.
Ponsel Yohio bergetar saat ia hendak membuka email tersebut. Satu pesan masuk.
Dari: Yuuma
Sudah kukirim semua yang kauminta lewat email. Ada lagi yang kaubutuhkan?
Jemari Yohio mengetik balasannya.
Untuk: Yuuma
Ya, aku baru saja menerima email darimu. Selanjutnya, bisa kau masuk ke dalam sekolah itu?
Pesan terkirim.
Tak sampai satu menit, ponsel Yohio kembali bergetar. Pesan balasan dari Yuuma.
Dari: Yuuma
Kau tidak sedang menyuruhku menyamar jadi anak sekolahan demi mendapat informasi, 'kan? FYI, I am 24 years old now. Tidak ada anak sekolah yang umurnya 24.
Yohio memutar bola mata.
Untuk: Yuuma
Seriously, kau benar-benar berpikir aku akan memintamu menyamar menjadi anak SMA?
Pesan kembali dikirim.
Satu balasan datang kemudian.
Dari: Yuuma
Hanya memastikan otakmu sedang dalam kondisi baik. Jadi, aku harus apa?
Untuk: Yuuma
Aku ingin kau bertanya pada para siswa yang bersekolah di sana. Tanyakan apa mereka pernah mendapat perlakuan tidak menyenangkan selama bersekolah di sana. Oh, dan … terima kasih sudah mengkhawatirkan otakku. Kau perhatian ternyata.
Pesan balasan dari Yuuma datang tak sampai satu menit.
Dari: Yuuma
Perhatian? Padamu? Jangan bercanda. Aku bukan homo. Soal tugas darimu…. Beri aku waktu 3 hari.
Yohio mengetik balasannya tanpa melihat—tidak perlu repot-repot melihat ke layar ponsel jika cuma sekedar mengetik balasan berisi satu kata, 'Oke'— kemudian meletakkan ponselnya di atas meja.
Mata rubi pemuda itu fokus pada deretan rangkaian kata dalam email Yuuma.
Utau Academy adalah salah satu sekolah menengah atas swasta terbaik yang berdiri di kota X. Didirikan pada tahun 19xx dan diresmikan oleh walikota yang menjabat saat itu. Sekarang, sekolah itu memiliki jumlah murid aktif sebanyak 4.8xx siswa.
Utau Academy, dalam satu dekade terakhir ini, selalu masuk dalam daftar sekolah favorit. Segudang prestasi yang dimiliki oleh sekolah tersebut seolah menjadi magnet yang sangat kuat untuk menarik minat anak-anak yang baru lulus dari sekolah menengah pertama. Hal ini ditambah dengan fakta jika beberapa tahun yang lalu, sekolah ini telah membuka Layanan Program Sertifikasi Internasional A/AS Level yang mengacu pada University of Cambridge International Examination (kelas internasional).
Namun, di balik semua prestasi dan nama besarnya, Utau Academy juga punya catatan buruk. Delapan tahun yang lalu, orangtua dari salah satu siswa melaporkan kasus kekerasan yang terjadi pada anaknya pada pihak kepolisian. Beberapa siswa senior dituding menjadi pelaku. Sayangnya, kasus tersebut tidak berlanjut ke pengadilan dan menghilang begitu saja. Tidak ada penjelasan yang akurat mengenai hal ini. Beberapa surat kabar menulis jika orangtua siswa tersebut mencabut tuntutan mereka, namun ada juga yang menulis jika sebenarnya siswa tersebut sama sekali tidak mengalami tindak kekerasan dan hanya mengarang cerita.
Tiga tahun setelah kejadian menggemparkan itu, kembali, salah satu orangtua siswa melaporkan sekolah itu ke polisi. Tuduhannya sama; tindak kekerasan, hanya saja kali ini disertai dengan pemerasan. Pelaporan itu tentu kembali menjadi perhatian khalayak ramai. Dua hari setelah berita pelaporan itu menyebar, Kepala Sekolah Utau Academy muncul di depan publik untuk memberikan komentarnya. Di hadapan para pers, dia dengan lantang berkata—
"Hei, Pria Seksi! Ternyata kita bertemu lagi!"
Yang barusan itu jelas bukanlah teriakan lantang kepala sekolah Utau yang ada di dalam email Yuuma.
Yohio mendengus. Setengah kesal karena ada seseorang yang mengganggunya—setengahnya lagi karena mendengar kata Pria Seksi merambat di udara dan masuk dengan mulus di kedua telinganya.
"Now what?" geramnya. Dia sudah susah payah meninggalkan kantor dan mencari tempat nyaman yang ideal untuk bekerja. Tapi, sepertinya tempat ideal itu cuma ada dalam impian.
Pemuda itu kemudian berbalik dan sedikit terkejut ketika mendapati mendapati seorang gadis cantik sedang tersenyum tanpa dosa sambil melangkah ke arahnya. Kedua tangan kurus gadis itu memegang nampan berisi pesanan miliknya kemudian—dengan seenaknya— duduk di kursi kosong, berhadapan dengan Yohio.
"Haha…. Tidak kusangka kita bertemu lagi di tempat ini. Apa yang kaulakukan, Pria Seksi?" perempuan itu bertanya dengan memperlihatkan sikap sok kenal yang berlebihan.
Yohio, yang segera tersadar dari keterkejutannya, langsung membiarkan sebuah rengutan kembali ke wajahnya. "Bukankah sudah kubilang, berhenti memanggilku dengan sebutan Pria Seksi!"
Tawa gadis itu kembali berdering. "Habisnya aku, 'kan, tidak tahu namamu, Pria Seksi."
"Namaku Yohio, Tadayuki Yohio! Persetan dengan sebutan yang kaudapat dari polling internet sialan itu, tapi namaku Yohio!"
"Dan namaku Ikurumi Aria. Senang berkenalan denganmu, Tadayuki Yohio si Pria Seksi!" Aria kembali tertawa saat Yohio menggeram.
"Sudah kubilang, berhenti memanggilku seperti itu!" Yohio membentak keras. Kali ini berusaha keras menekan semburat merah tidak muncul di kedua pipinya. Sebutan Pria Seksi itu benar-benar memalukan! "Dan aku sudah tahu namamu saat di depan supermarket kemarin!"
Ada kilatan kaget murni yang muncul di mata Aria, tapi kilatan itu menghilang secepat kedatangannya. Ia menelengkan kepalanya ke samping dan mengangkat bahunya. Tersenyum main-main. "Wow. Aku tersanjung orang sepertimu bisa mengingat namaku, sungguh. Padahal, aku ini benar-benar orang asing yang namanya bahkan tidak penting untuk kauingat."
Siapa yang tidak akan ingat pada orang yang seenaknya memanggil nama orang lain dengan sebutan aneh begitu, Yohio ingin sekali menjawab. Namun ia memilih untuk menahan komentar sinisnya dan membiarkannya menggulung kasar di ujung lidah. Tidak seharusnya ia menanggapi omongan orang yang namanya saja bahkan tidak ada di daftar temannya.
"Ngomong-ngomong, apa yang sedang kaulakukan di tempat ini?"
"Kau sendiri?" Yohio mengerling cepat pada Aria. "Apa yang sedang kaulakukan di tempat seperti ini?"
Aria tertawa. "Selalu membalikkan pertanyaan. Apa itu sudah menjadi kebiasaanmu, hm?" Yohio memberikan sebuah gedikkan bahu singkat dan Aria kembali berkata, "Aku hampir setiap hari ke tempat ini, kok." Dia menancapkan garpu pada sandwich tuna ekstra pedas pesanannya, lalu memotongnya menggunakan pisau. "Makanan di tempat ini enak," komentarnya.
Yohio hanya menanggapi dengan ber-"hnn" ria.
Mata biru Aria mengerling pada laptop yang bergeming di hadapan Yohio. Dahinya membentuk sebuah kerutan. "Kau sedang bekerja, atau cuma meng-abuse koneksi internet gratis di tempat ini?"
Yohio mengalihkan pandangannya dari laptop, menatap Aria dengan alis mata yang naik satu. "Apa aku terlihat seperti orang yang gila menggunakan koneksi internet?"
"Hmm…. Lalu? Kau sedang mengerjakan pekerjaanmu?"
"Ya," Yohio kembali fokus pada layar laptopnya, "ngomong-ngomong, itu juga jawaban dari pertanyaanmu yang sebelumnya."
Aria memberikan sebuah anggukan singkat meski ia tahu lawan bicaranya tak akan melihat karena terlalu fokus dengan sesuatu di dalam laptopnya. "Kalau boleh aku tahu, pekerjaanmu sebenarnya apa?" tanya Aria.
"Pengacara."
Aria mengeluarkan siulan panjang. "Jangan-jangan kau Tadayuki Yohio si pengacara yang sering disebut-sebut jenius oleh media itu, ya?"
"Media terlalu melebih-lebihkan." Yohio menanggapi datar. "Aku masih belum pantas disebut jenius. Lagipula, jam terbangku sebagai pengacara juga belum terlampau sering."
Aria menaikkan alisnya, tertarik. Belum pernah melihat seorang pengacara yang sengaja merendah seperti ini. Kebanyakan pengacara yang sering ia lihat di televisi wataknya keras, suka menyombong, dan seperti memiliki fetish yang tidak sehat dengan untaian kalimat sarkastik. Tentu Aria tidak menampik jika Yohio juga punya fetish dengan kalimat sarkastik—yang ini sudah tidak perlu diragukan lagi. Dua kali Aria bertemu dengannya, dua kali pula Yohio kedapatan melempar umpan sarkasme yang pedas dan begitu menggoda di telinga Aria— tapi, setidaknya itu lebih baik karena dia tidak punya ketertarikan untuk menyombongkan sesuatu yang ia punya.
"Jadi," Aria menaruh garpu di atas piring, menimbulkan bunyi denting kecil antara pertemuan garpu dan permukaan piring, menatap Yohio dengan pandangan tertarik, "yang sedang kaubaca itu adalah informasi untuk kasus baru, eh?"
Yohio menarik napas. "Ya. Kasus baru."
"Aa. Boleh aku tahu kasus apa yang sedang kaukerjakan?" tanya Aria. Ketika Yohio merengutkan alisnya curiga, ia mau tak mau memutar bola matanya. "Tidak apa- apa, 'kan, sedikit memberitahu pekerjaanmu padaku? Toh, aku ini hanya seorang penulis novel dan sama sekali tidak punya ketertarikan untuk menyebarkan rahasia pekerjaan temanku kepada orang lain." Aria menaikkan bahunya singkat.
Yohio mengerjap sekali. "Kau tadi bilang apa?"
"Err…. Aku tidak tertarik menyebarkan rahasia pekerjaan temanku?" dia tersenyum canggung dan buru-buru menambahkan, "Tidak masalah, 'kan, kalau aku menganggapmu teman? Toh kita saling tahu nama dan—"
"Bukan itu," potong Yohio. Ketika dia melihat Aria mengerjap pongo, dia mendesah. "Maksudku, sesuatu tentang pekerjaanmu. Tadi kaubilang profesimu apa?"
"Oh!" Aria menepuk tangannya, terlihat antusias. Yohio bisa melihat senyum gadis itu merekah sempurna, seperti bunga matahari yang riang menyambut musim panas. "Aku ini penulis novel."
"Penulis novel? Kau?"
Aria mengangguk. Poninya yang panjang bergoyang ke depan dan ke belakang akibat gerakannya yang cepat. "Pernah dengar novel berjudul Another Hole in The Head?"
"... Yang best-seller itu?"
Lagi, gadis kelewat ceria itu mengangguk. Senyum masih tersungging lebar di wajahnya—Yohio sampai menerka-nerka, sampai selebar apa dia bisa menarik senyumnya. "Aku adalah penulisnya."
Kemudian pengacara muda itu mengerjap, sekali. Satu hal nyata yang saat itu Yohio sadari adalah; dunia ternyata sempit. Sangat, sangat sempit.
Tiga hari yang lalu, Rin datang ke kantornya sambil membawa sebuah novel dengan tebal kira-kira 542 halaman. Another Hole in The Head adalah judul yang tercetak di cover depan.
Tadinya Yohio tidak peduli dan malah mengeryit ketika pertama kali membaca judul novel yang, menurutnya, cukup tidak biasa untuk dibaca oleh seorang gadis puber seperti Rin. Namun, adiknya bilang, novel itu sangat bagus.
"Ini adalah novel best-seller, Kak!" jelas Rin ketika datang ke tempat kakaknya. Mata gadis itu berbinar.
Yohio membuka laptop.
"Sulit sekali mencari novel ini, sekalinya ada, langsung sold out!"
Rin mulai curhat. Yohio bermain Counter Strike.
"Aku sudah memesan novel ini sejak seminggu yang lalu, tapi baru dapat sekarang."
Yohio berhasil menembak teroris. Headshot.
Ketika itu, Yohio mengabaikan semua informasi yang diberi oleh Rin. Sama sekali tidak pernah merasa ingin tahu mengenai novel itu ataupun tentang si penulis. Tapi, saat ini dia malah bertemu dengan penulis novel best-seller tersebut, bahkan dia duduk di hadapannya. Rencana buatan semesta memang tidak pernah terduga.
To Be Continued
halo, di sini datlostpanda yang pada tahun 2014 ini ganti penname jadi nastar keju—well, sebenernya rada nggak penting juga sih saya ngasih tau ini. kayak ada yang kenal aja ohohoho UvU /tengkurep/
saya mau buat pengakuan. ini sebetulnya bukan fic baru, melainkan fic lama yang udah pernah saya publish di fandom sebelah dan udah mencapai chapter 4 tapi saya hapus dan saya putuskan untuk dipindahkan ke sini. kenapa? well, ada banyak alasan, tapi saya punya 1 alasan kuat yang mendasari keputusan ini.
saya udah membuat karakter di fandom itu jadi OOC banget di fic ini. saya emang bukan tipe author yang peduli chara di suatu fandom IC atau OOC, asal ada batasan. dan... anggaplah menurut saya batas OOC karakter yg saya pake di fandom lama tsb udah OOC parah. rusak. sampe pas saya baca ulang, saya langsung ngerutin dahi dan bilang, "da hell. serius gue nulis ini? kok karakternya melenceng parah?" berikutnya bisa ditebak, saya gatel-gatel dan ilfeel sama tulisan saya sediri. tapi berhubung saya udah nyusun plot sampe end, kayaknnya sayang juga kalo ditinggalin gitu aja. jadi, yaudah deh saya pindahin ke sini aja, ke fandom yang bisa dibilang lepas dari kekangan canon, IC, OOC, and all that stuffs.
... saya bener-bener... minta maaf, kesannya fic ini kayak nyampah di sini... maafin saya ;;;A;;;
uh, masih adakah yang sudi mereview benda ini? kritik dan saran yang membangun amat dinanti u_u
ps; saya lagi nyari beta reader buat ngebeta semua fic saya di sini, terutama Role. eng, adakah yang bersedia? QAQ)/