A/N : Yohou! Fanfic ini dilanjut setelah penulisnya sempat mengalami bingung, mual, pusing, geger otak ringan dan jari kaku saking tak sanggupnya menyiksa karakter yang dipakai. #digaplok

Balas review :

Ahn Ryuuki :

Vulgar? Jujur?

Ah, bisa aja. Hanya menyalurkan isi otak(?)–ku yang mesum. /lah dia ngaku/

Hmm, Gaara dan Sasuke... baca aja, semoga feel-nya dapet ya!

Dewi15 :

Ok~

Naminamifrid :

Hmm~ aku juga gak tau.. kan masih polos. *kedipkedip* #dilempar sumur

Arevi. are. vikink :

Psico nggak ya? *mikir-mikir* /woi!/

Tentang hubungan Kyuubi sama Naruto, semoga aja sempat aku bahas nanti.

Lebay maksudnya? Soalnya deskripsiku tentang posisi Gaara itu kudapat dari google. :/

Oh EM! Google adalah tempat yang bisa membuat tingkat kemesuman seseorang bertambah. #plak!

Yamashita Miko :

No comment! :X

Iya, udah kucari digugel. Hasilnya cukup mencengangkan. -,-d /apanya?!/

AyaKira SanOMaru :

Sasuke nggak bisa kabur~ #smirk

rylietha. kashiva :

Hohoho... Iya, ada kekerasan lain. Sedikit nyinggung psicologic genre-nya. Dikit sih.

Nggak usah ngeri-ngeri, aku yang bikin aja blank pas ngetik. *Whot?*

langit. cerah. 184 :

Ok~

Guest (1) :

Ah.. di bawahlah jawabannya ^^

Mmm... mungkin kakaknya mungkin juga bukan. Iya, #plakk Kyuubi kakaknya Naruto

Iya, Babang Tachi nggak tau kalo Sasuke itu begitu. Dia taunya Sasuke sudah sembuh dari rasa traumatik. Yah... Itachi sendiri belum sembuh-sembuh sih. ^^

Guest (2) :

Ok~ nih sudah dilanjut ^^

EthanXel :

Semuanya pertanyaan, -,-a

Baca aja ya~

tie :

1, mungkin ya~ mungkin tidak~

2, ...

3, ...

Dan... kamu nih kenapa jadi tahu banyak tentang alat-alatnya ya... -,-a /pan elu yang minta saran, nak!/

dokbealamo :

Hmm... Nanti kujelaskan di bawah ^^

yuka chan :

Wahaha.. udah apdet, maaf udah setaon lebih baru nongol T^T

uchiha. enji. 1 :

Sudah lanjut, maaf lama.

Jasmine DaisynoYuki :

Udah kodratnya Sasu jadi maso :V

justin cruellin :

Aye!

xiaoHimeLu :

Maaf lama!

Dmila86E :

Yo!

Guest(3) :

Sip! Siap santap!

Guest(4) :

Iya maaf, udah lanjut nih ~

gembel :

Yosh!

FriendShit :

Ada dikit nih scenenya, tapi ngga nganu sih,.. cuma nyerempet XD

chika sasulover :

Wkwkwk, tapi ada darahnya nih. Gimana dong, Chi-chan? XD

J'TrimFle :

Lanjut kok, lanjut,. Nih udah dilanjut~

D (Guest)(5) :

Sip! Kamu review langsung apdet nih! Ternyata reviewmu bawa berkah ! XD #dihajarreaderslaen

...

Untuk yang review, follow ataupun fave cerita ini. Arigatou gozaimasu!

Sorry for Long Time no Update~ T^T

.

.

.

So, lets enjoy ttebayo!

.

.

.

.

.

Disclaimer : Masashi Kishimoto desu!

Genre : Hurt/Comfort, Romance, Psicological

Pair : NaruSasu

Slight : dunno...

Rated : M for this chapter

Warning!

Naruto & Sasuke's POV

Sexual content, Homosex, Yaoi, +/- BDSM, Rape, Lemon, Typo, Ejaan Yang (T)idak Disempurnakan, and this Warning's for chapter alert...

Yang jelas bukan bacaan anak-anak!

Nick Say FuckerShit For Kagari's present

Can I Teach You, Sensei?

Chapter 5 : You are Sick, Like Me

.

.

.

Naruto : 18 Tahun/172 cm

Sasuke : 23 Tahun/178 cm

.

.

*********************** Kagari Hate HerSelf ************************

.

.

Sasuke's POV

Tidak tahu lagi, aku harus bagaimana saat ini. Pikiranku dipenuhi banyak pertanyaan yang sama sekali tak bisa kusuarakan. Setidaknya tidak sekarang, karena tidak akan ada yang bisa menjawabnya saat ini. Aku hanya seorang diri di ruangan ini. Mataku menatap gelisah keseluruh ruangan, ruangan di mana dinding-dinding berwarna biru gelap dan tidak ada barang lain di sini selain sebuah lemari besar di depan tempat tidur yang kutempati.

Aku menekuk kaki kiriku dan menumpu tangan kiriku pada lutut, telapak tanganku menutup hampir seluruh wajah. Kenapa bisa berakhir di sini, juga kenapa kedua pergelangan tanganku terbelenggu oleh lingkaran besi yang masing-masing terhubung oleh rantai. Rantai panjang yang dipasang melingkari bawah tempat tidur.

Mengerang pelan, aku menolak untuk percaya ini bukan mimpi. Sudah dua jam berlalu –kulihat dari jam di dinding kanan- dari saat aku terbangun dan keadaanku sudah seperti ini. Aku ingat sebelumnya aku datang kesebuah rumah yang ditunjukan anak itu. Masuk dan melihat hal memuakan layaknya mimpi buruk. Setelah itu, aku berakhir di sini. Di atas tempat tidur, terbangun dengan perasaan buruk.

Tanpa ponsel, kuyakin anak itu mengambilnya saat aku tidak sadar. Tapi untuk apa dia menahanku seperti ini.

Klek!

Aku menegakan tubuhku begitu mendengar suara pintu terbuka. Pandanganku memicing tajam melihat orang yang membuatku seperti sekarang. Dia berjalan masuk dengan sebuah nampan berisi air dan piring. Aku menatapnya dingin.

"Ohayou, Sasuke-sensei,"

Dia menaruh nampan ditangannya di atas tempat tidur. Aku mengikuti setiap pergerakannya namun dia sepertinya tidak peduli dengan sikap diam waspadaku.

"Makan ini, aku tahu kau lapar," ucap pemuda itu.

Aku diam saja hingga dia menatapku, matanya terus mengarah padaku selama beberapa detik sebelum kembali menatap nampan yang dibawanya tadi. "Kau harus makan,"

"Apa maumu?" tanyaku dingin. Menutupi perasaan lain yang membuat pelipisku berkeringat saat ini.

Dia tidak menjawab.

Cukup.

Dengan cepat aku menyambar kaus depannya, rantai yang menahan pergelanganku berdenting karena pergerakanku. Aku menatap langit biru dimatanya. Aku sudah cukup mengikuti permainan bodoh bocah ini. Sejak awal ini tidak lucu.

"Apa maumu, Uzumaki?" tanyaku penuh penekanan.

Tatapanku dingin, menatap tepat dimatanya. Remasanku mengerat saat dia tak juga menjawab pertanyaanku. Dia diam, membungkam mulutnya. Ekspresiku mengeras, membuang topeng tanpa ekspresi Uchiha yang selalu kupakai. Bocah pirang ini menguji kesabaranku.

"Kau dipenuhi kegelapan," rambatan napas hangatnya menyentuh kulit wajahku saat dia bicara. Aku menekuk alisku. Kegelapan? Apa maksud pemuda ini?

"Kau sudah lama berada dikegelapan, Sasuke-sensei,"

"Jangan bercanda denganku, Uzumaki!" aku berucap dengan marah. Berada dikegelapan? Ucapan yang benar-benar tak kumengerti. Cukup dengan semua sikap seenaknya yang dia lakukan terhadapku.

"Lepaskan aku," ucapanku barusan terdengar sangat dingin, bahkan ditelingaku sendiri. Nada perintah di sana sangat jelas kugunakan. Tapi pemuda di hadapanku sekarang hanya diam dan terus memandangiku dengan ekspresi yang tak bisa kutebak. Cengkramanku mengerat.

"Aku bertanya sekali lagi. Apa. yang. kau. inginkan. dariku!" ucapku penuh penekanan.

"Kau –"

Plak!

Aku menyingkirkan tangan yang menyentuh wajahku dengan cepat. Menatapnya semakin dingin.

"Aku ingin Kau,"

Tiga kata dan tanpa perubahan sama sekali dari suaranya yang tetap terdengar datar. Menginginkanku. Dia menginginkanku. Untuk apa? Ucapan tidak masuk dalam akalku. Cengkramanku pada kerah bajunya mengendur. Membawa tubuhku kembali untuk bersandar pada kepala tempat tidur tanpa sekalipun melepaskan pandanganku darinya.

"Kau gila," tanggapku sinis. "Kau menginginkan aku untuk ditahan seperti ini? Dirantai? Di atas ranjang besar dan rumah yang kulihat sangat terkucilkan dari keraimaian. Lepaskan aku Uzumaki. Perbuatanmu sudah sampai pada tahap kriminal penculikan," ucapku kembali dengan suara datar.

Pemuda itu terdiam lama setelah mendengar ucapanku. Menatapku dengan biru langitnya sebelum sepasang warna itu beralih memandangi tirai tebal berwarna biru di samping kanan tempat tidur.

"Ini," suara itu terdengar pelan mengalun dari mulutnya. "Apa kau tidak bisa melihatnya dariku, Sasuke?"

Perasaan tidak nyaman datang saat dia memanggil nama kecilku lagi. Perasaan yang membuatku merasa semakin tidak ada baiknya berdekatan dengan pemuda pirang ini.

"Apa kau tidak melihat sesuatu yang tidak asing bagimu?" sepasang biru melirikku dari ekor matanya.

Aku diam. Menatap datar pada wajah tanpa ekspresi di depanku. Tidak asing. Aku sangat tahu apa yang pemuda itu maksud. Semuanya tidak asing bagiku, karena setiap hari aku melihatnya, ekspresi itu, bagaimana ia menggunakan kedua matanya untuk melihat, bagaimana keseluruhan dari caranya menyembunyikan emosi. Aku melihat bagaimana ekspresi itu sama saat aku memandangi cermin dipagi hari.

Aku melihat aku dalam dirinya.

"Aku tidak mengerti maksudmu," ucapku datar.

"Tidak mengerti?" ulangan kata itu terucap olehnya. Tubuh yang perlahan mendekat padaku membuatku semakin bersikap protek.

Cring!

"Apa –" –Brugh! Manik hitamku membulat saat rantai yang membelenggu kedua tanganku ditariknya. Tubuhku tersungkur ke depan, menabrak fabrik halus dari serat pakaian bagian depan tubuh pemuda itu. Dengan cepat aku berusaha untuk menyingkir tapi tarikan pada pinggangku malah membuatku semakin menempel padanya.

Aku menggeram marah dan mendorongnya menjauh dariku. Tangan kananku terkepal, melayangkan pukulan cepat pada sisi rahang wajahnya.

Duagh!

Saat rengkuhan pinggangku melonggar, aku beringsut menjauhinya. Mataku menatap nyalang pemuda pirang itu. "Jangan pernah menyentuhku!" suaraku semakin bertambah dingin. Melihatnya yang kini tengah memegangi bekas pukulanku diwajahnya dengan penuh amarah.

"... jangan menyentuh?"

Dadaku seperti ditekan oleh sesuatu yang sangat berat saat mata birunya menatapku. Tanpa sadar punggungku merapat pada permukaan padat di belakangku. Berbeda, aku tak lagi melihat tatapan datar yang mengarah padaku. Saat ini, mata itu menatapku dengan pandangan lain. Lebih tajam, lebih menekan.

Pemuda itu kembali mendekat, aku melihat tangannya masuk ke dalam kantung celana sebelum kembali menatapnya dengan pandangan dingin.

"Naa, Sensei. Apa setelah ini juga kau akan bilang jangan menyentuh, padaku?"

Mataku memicing saat tangan itu keluar dari kantung celananya. Memperlihatkan benda semacam suntikan ditangannya. Kedua tanganku terkepal, bersiap untuk menyerang jika saja anak itu kembali berusaha menyentuhku.

Tubuhnya bergerak cepat kearahku. Memberikan beban tubuhnya untuk menekanku diantara tubuhnya dan kepala tempat tidur. Aku terkesiap. Mendorongnya dengan keras hingga dia terjungkal menjauhiku bersamaan dengan ringisanku saat rasa kebas menyergap bahu. Refleks, aku menyentuhnya dan terkejut merasakan sebuah alat suntik menancap di sana. Menusuk hingga kebagian dalam kemeja yang kupakai.

Aku mencabut benda itu. Mataku menatap orang di hadapanku dengan nyalang, "Apa yang kau masukan ke dalam tubuhku?" tanyaku cepat. Alat suntik yang kupegang kuremas dengan erat. Aku tahu dia memasukan sesuatu ke dalam tubuhku dengan alat ini, karena benda itu sudah kosong sekarang.

Pemuda pirang itu beranjak dari tempat tidur dengan nampan berisi makanan yang di bawanya tadi. Dia berjalan menjauhi tempatku berada dan melangkah mendekati pintu. "Ne, Sensei?" kepala pirang itu menoleh.

"Aku menunggu saat kau membalikan semua ucapanmu," ucapan itu disertai dengan lirikan sepasang biru yang menatapku tanpa emosi.

Aku melempar alat suntik ditanganku sembarangan. Menatap pintu yang baru saja ditutup oleh anak itu dengan geram. Aku tahu ucapannya bukan sekedar gertakan. Apapun yang dia masukan ke dalam tubuhku adalah bukti dan jawaban yang pasti akan ucapannya. Aku berdecih dan memukul dinding dengan kepalan tanganku. Apa yang sebenarnya anak itu inginkan dariku?

.

.

.

.

Naruto's POV

Pintu coklat kayu mahoni kututup pelan. Memblok pandangan terhadap apa yang ada di baliknya. Aku menatap kayu berserat halus itu tak bergeming, tak ada yang kupikirkan saat ini. Aku hanya ingin diam sejenak tanpa peduli apa jadinya nanti.

"Naruto,"

Tubuhku berbalik saat namaku disebut, memaku mata pada seseorang di depan sana. Gaara berdiri di ambang pintu dapur. Pakaian dan penampilan luarnya terlihat begitu rapi dimataku. Kutebak dia sudah membersihkan dirinya.

"Antar aku pulang,"

Tungkai kaki Gaara yang bergetar di balik celana seragamnya tak bisa terabaikan olehku. Gaara menumpukan sebagian beban tubuhnya pada kusen pintu. Meski terdengar datar, tarikan napas dan bulir keringat dipelipisnya masih menandakan bagaimana keadaannya saat ini.

Aku tidak lupa dengan apa yang kulakukan pada Gaara. Tentu tidak mungkin lupa. Dia karya pertamaku. Anak konglomerat pemegang ekonomi Suna. Kekasihku saat ini. Berhubungan dengannya setelah masuk sekolah untuk pertama kalinya setelah aku bangun dari koma. Kenapa kubilang dia karya pertamaku? Gaara adalah orang sempurna yang begitu dielu-elukan oleh orang-orang disekelilingnya.

Namun hanya aku yang tahu dia yang sebenarnya. Gaara itu masokis. Tak perlu untuk melihat seluruh tubuh penuh sabetan cambuk yang dia buat sendiri untuk aku memastikannya. Menemukan orang yang tidak keberatan untuk disiksa sangatlah jarang. Dia menolakku saat pertama kali aku mengetahuinya. Lari seperti perawan yang tak mau hilang kesucian. Memutuskan hubungan secara sepihak. Tapi tidak ada yang bisa membuangku hanya karena alasan konyol penuh kebohongan.

Pemuda sempurna juga memiliki kecacatan. Sempurna yang tidak sempurna. Gaara bahkan tak melawan saat aku mencekiknya hingga sekarat kemarin.

"Baiklah,"

Menuruti maunya, aku menaruh nampan ditangan di meja hias terdekat. Kemudian berjalan ke pintu depan. Gaara menyusul dengan langkah terseok kesusahan namun tetap diam tak minta bantuan. Akupun tak perlu membantunya. Gaara tahu aku tidak semanis itu.

"Naruto,"

Panggilannya kembali terdengar. Kali ini aku tak menanggapi dan terus berjalan.

"Apa yang akan kau lakukan pada Uchiha Sasuke?"

Yang akan kulakukan pada Uchiha Sasuke. Itu bukan urusanmu Gaara. Aku membuka mobil samping kemudi begitu Gaara sudah ada di belakangku. Dia masuk tanpa berucap ataupun menatapku. Aku tak peduli. Pintu kututup, aku sendiri masuk untuk mengemudikan mobil Gaara. Mengemudikan mobil yang menjadi trauma bualanku selama berbulan-bulan ini.

Mobil melaju dalam kendaliku, kecepatan enam puluh kilo meter. Membelah udara dingin malam yang kurasakan dari jendela mobil yang terbuka. Gaara hanya diam dengan menutup mata. Tak berniat sama sekali untuk memulai percakapan, tepatnya aku yang menutupnya tanpa berkata. Aku tahu dia tidak akan memulai jika aku tak memberi gestur ngizinkan.

Mencapai jalanan kota, mobil kupelankan untuk mengikuti arus padatnya kendaraan. Sudah setengah jam sejak aku pergi dari rumah itu. Tetapi aku tak bisa menampik apa yang ada dipikiranku sejak tadi. Apa orang itu sudah mulai bereaksi?

"Kau tersenyum,"

Aku melirik Gaara, wajah pemuda itu menghadapku dengan sempurna. Ucapannya membuatku melihat kaca spion mobil. Bibir melengkung, ujungnya tertarik masing-masing ke atas. Lihat, seperti yang Gaara katakan. Aku tersenyum.

"Khu...hahaha..."

Tanganku meremas setir. Senyum yang kutunjukan berubah menjadi tawa seketika. Apa ini? Rasanya tawaku benar-benar baru pertama kali kulepaskan. Aku tak peduli saat orang-orang di sebelah yang kulewati menatap dengan heran atau bahkan menganggapku gila. Tanggapan Gaarapun aku tak peduli. Aku hanya ingin tertawa saat ini.

Sasuke. Apa yang membuatmu menarik perhatianku?

.

.

Sasuke's POV

Selimut putih acak-acakan sudah terjatuh lima belas menit lalu dari tempat tidur. Teronggok di atas lantai. Penghangat dan penutup badanku yang menggigil. Aku memeluk kedua lengan, tidur meringkuk layaknya orang sakau mencoba berhenti dari obat-obatan. Keringat dingin mengucur deras dari setiap lubang pori tubuhku. Ada yang salah denganku, itu aku sudah tahu.

Apapun yang disuntikan orang itu padaku, kini mulai bereaksi. Aku kedinginan, sekaligus merasa begitu panas. Bagian vitalku membengkak dan mengeluarkan precum dibalik celana. Pakaian yang kukenakan basah oleh keringat. Merambatkan dinginnya AC ruangan dua kali lipat pada kulitku. Semakin meremangkan tubuh yang bergesekan dengan kain basah. Napas yang memburu memperburuk keadaan.

Aku menggigit bibir dalam, keras menghalau erangan. Kedua tangan meremas erat lengan, sakit mengingat kuku jariku cukup panjang untuk menorehkan luka dikulit di balik pakaian. Setidaknya masih lebih baik dibandingkan keinginanku untuk meremas gembungan kain diselangkangan. Tidak sudipun aku melakukannya, karena itu artinya aku sudah melakukan hal yang orang itu inginkan.

Perangsang. Sayangnya hanya itu yang ada dalam pikiranku begitu dengan sadar tubuh ini bergejolak menginginkan pemuasan diri.

Perutku terserang mual memikirkannya. Anak itu sudah terlalu keterlaluan untuk disebut kenakalan. Membuatku seperti ini. Aku memegangi perutku yang semakin menggelegak ingin mengeluarkan isinya. Tangan satunya menahan air asam dari lambung yang sudah mencapai kantung mulut. Aku mencoba untuk kembali menelan muntahan air yang tanpa sadar sudah melewati tenggorokan.

Ini menjijikan.

Kenapa aku merasa sangat ingin menyentuh diriku. Pikiranku yang dibayangi hal-hal menjijikan semakin memperkuat dorongan mual. Tidak tahan. Mulutku yang sudah terbekap telapak tangan tak mampu lagi menahan dorongan perut. Muntahan air asam berbau memusingkan menyerang indera penciumanku. Sprei dan ranjang yang kutempati kotor dan basah. Tak hanya oleh keringat, namun muntahanku menambahkan.

Ini sangat menjijikan.

Kakak... ini menjijikan...

Gemetaran tubuhku begitu hebatnya. Jari-jariku bergetar-getar terlihat buram dimataku. Hentikan. Aku ingin cukup untuk saat ini. Dadaku sesak menandakan aliran udara yang tak beraturan. Aku. Sejak kapan lupa untuk bernapas.

"... sei! Sensei!"

Tubuhku berguncang keras.

"Bernapas!"

Aku mengerjap dan terbatuk hebat saat mengambil napas pertama. Mataku mengeluarkan air mata yang lama tergenang sebelum melihat seseorang yang mencengkram bahuku begitu kuat. Napas yang baru kurasa beberapa detik lalu kembali lenyap.

"Kau sungguh parah."

Bukan kata-kata itu yang membuatku membeku, tapi pemilik suara itu, orang yang telah membuatku seperti ini. Tubuhnya menjulang bertumpu sebelah lutut pada ranjang. Menatapku dengan mata dingin es biru berkilaunya.

Aku kembali terbatuk saat wajahku merasakan air dingin menerpa cepat. Guyuran air dari segelas bening ditangan orang itu menyiramku.

Cengkraman pada bahuku menghilang bersamaan dengan beranjaknya pemilik surai pirang dari ranjang. Suara pecahan gelas mengagetkanku setelahnya. Keramik putih terbentur gelas pecah sedikit bercodet karena kerasnya benturan. Aku melihat punggung yang menghadapku dengan mata buram-buram. Kedua tanganku kembali memeluk lengan, tubuhku masih menggigil.

"Untuk terakhir kalinya, Uzumaki. Lepaskan aku."

Perkataanku terdengar lugas dan jelas setelah kupaksakan mulutku untuk berucap. Aku menyembunyikan ketidaknyamananku jauh-jauh dari orang dihadapanku. Kondisiku yang buruk tidak menjadi alasan untuk tetap menginginkan kebebasan. Aku semakin waspada saat kepala itu menoleh dengan lirikan tajam.

"Sensei tidak mengerti ya?"

Aku menatapnya setenang mungkin meski aku tahu yang terlihat jauh dari bayangan. Kenyataannya aku benar-benar diposisi tak berdaya dengan tubuh lemah seperti ini.

Pemuda itu berbalik menghadapku. Kakinya melangkah mendekat. Pecahan gelas mengenai telapak kanannya namun tak sekalipun kulihat ekspresi kesakitan diwajah datarnya. Entah mengapa, perasaanku benar-benar buruk akan hal ini.

"Apa Sensei merasakannya?"

Belaian pada lenganku membuat seluruh tubuhku meremang. Aku tak bisa menepis tangannya yang menyentuhku, ada perasaan asing yang membuatku tak bisa melakukannya meskipun aku mau. Mata yang kubiarkan untuk bicara, picingan tajam menatapnya yang bergeming menaiki ranjang.

Tangan bergetar menyentuh jaket jingga yang dikenakannya. Kepalaku bertumpu pada dada pemuda itu karena tak lagi sanggup untukku tegakkan. Tubuhnya hangat kurasakan, membuatku semakin mendekat tanpa sadar. Perangsang menumpulkan kewaspadaanku. Aku tahu yang saat ini kuinginkan. Sentuhan. Tetapi sampai matipun rasanya aku tidak akan pernah mau memintanya.

Bibirku bergetar, aku mengerang merasakan rambutku disisir oleh jari-jarinya yang menelusup dari tengkukku yang meremang. Gigiku bergemeletuk. Akalku serasa hilang ditelan keinginan mendapatkan sentuhan.

"Sensei,"

"Nh..."

Remasanku pada jaketnya menguat, leherku meremang mendengarnya bicara ditelingaku. Hembusannya yang hangat menerpa leher basahku. Mataku menutup rapat menahan keinginan untuk meremas selangkangan.

Rambutku diremas dari belakang, menariknya, jemarinya menahan helaian rambutku. Kepalaku mendongak karenanya. Untuk saat ini, tidak ada tenaga yang tersisa untuk sekedar menepuk nyamuk pengganggu, apalagi menyingkirkan orang ini dari hadapanku. Aku benar-benar kepayahan. Wajahku mungkin sudah sangat lusuh, keringat dan air yang disiram oleh pemuda itu membuatku semakin terlihat kuyu. Aku menatapnya dengan mata setengah terbuka dan napas putus-putus tak beraturan. Sesekali meneguk ludah membasahi keringnya tenggorokan.

Wajah pemuda itu mendekat tanpa bisa kutampik.

Naruto's POV

Tubuh lusuh basah oleh keringat kuangkat dengan kedua tanganku. Bau muntahan menyengat merasuk indera penciumanku sejak tadi. Aku melihat wajah pasrah dan jelas-jelas berusaha untuk tak menunjukan keinginannya saat ini. Obat yang kumasukan ke dalam tubuhnya sudah bereaksi, mungkin sepuluh atau dua puluh menit sebelum aku kembali. Siksaan keinginan untuk digerayangi mungkin membuatnya sepayah ini.

Sensei sangat keras kepala ini masih menyimpan kewarasannya untuk tidak memohon-mohon padaku. Tapi aku tahu itu hanya akan semakin menyiksanya. Celananya yang menggembung diarea selangkangan membuktikan betapa kerasnya kedua tangan yang mencengkram jaketku untuk tidak meremas daerah itu.

Aku membopongnya keluar kamar, menggendongnya di depan seperti seorang pengantin wanita dihari pernikahan. Biarkan aku tertawa atas pemikiranku barusan. Karena kenyataannya yang kubawa adalah seorang laki-laki dengan hormon seks bergejolak akibat perangsang.

Napas putus-putus dengan liur keluar dari sela bibirnya yang membengkak menjadi perhatianku. Ia sudah terlalu banyak menggigitnya karena kulihat beberapa luka dibagian dalam bibirnya. Alisnya menekuk-nekuk saat aku membenarkan posisinya dalam gendonganku. Wajahnya sudah seperti orang pesakitan.

Pintu putih yang menjadi tujuanku kudorong dengan kaki, menahan daun pintunya dengan tubuhku yang masuk melewatinya. Aku menatap sekeliling ruangan, kamar mandi lengkap dengan kloset di sebelah kanan dan penyekat kaca transparan di kiri, tepat dimana sebuah bathtub besar berada di baliknya. Kakiku melangkah pada sekat kaca, mendorong pintu geser dengan sisi lenganku disela menahan tubuh Sensei.

Tubuhnya semakin banyak mengeluarkan keringat, jaketku ikut basah karena menyerap keringatnya. Aku masuk ke dalam bathtub. Mendudukan diri dan bersandar pada sisiannya. Tubuh Sensei kubiarkan menyandar padaku. Aku tahu kesadarannya sedang kacau dan ia tidak bisa melihat situasi bahkan dimana dia berada sekarang. Dia hanya terus meremas jaketku dengan kuat. Menahan gejolak tubuhnya yang gemetaran hebat.

Aku memutar keran di belakang punggungku, mengatur suhu air yang keluar dari lubang-lubang kecil di dalam keran menjadi hangat. Punggungku merasakan air mengucur deras. Membasahi punggung jaketku, kemudian celana yang kukenakan.

Kembali aku menatap Sensei. Dia membuka matanya, setetes air kulihat jatuh dari ujung matanya, mengaliri pipi. Mengalir kesela kerah dan lehernya. Tanganku mengangkat dagunya. Membuatku bisa melihat lehernya dengan jelas. Ada yang menarik perhatianku.

Ada tiga sampai empat sayatan dan dua lebam di bagian tulang belikatnya. Apa yang membuat luka itu? Lirikan mataku mengarah pada wajahnya. Ia menatapku dengan lesu namun tetap terasa tajam menusuk. Aku menatapnya terus dengan kepala yang bergerak rendah, menyusupi lehernya. Dia mengerang saat bibirku menyentuh permukaan lehernya. Naik turun jakunnya terlihat lebih cepat.

Mulutku terbuka, memberikan akses bagi lidahku untuk menyentuh kulit berkeringat dilehernya. Menjilatnya lurus ke atas hingga pangkal leher dan kepala. Kulit di sana sedikit lebih lentur. Aku menggerakan gigiku untuk menggigit kulitnya. Menariknya diantara gigi yang mengapit kulit leher itu. Bagaimana jika aku menggigit kulit ini lebih keras?

"Ahk –"

Baru saja kupikirkan, tapi sepertinya aku sudah melakukannya. Aku melepaskan gigitanku dan melepaskan dagunya. Darah sedikit keluar dari bekas gigitanku dilehernya. Aku sendiri bisa mengecap rasa darah di dalam mulutku. Kenapa aku melakukannya? Sebelumnya aku tidak pernah merasakan hal seperti ini. Setiap aku melihatnya, wajah datar Sensei, wajahnya sekarang. Saat aku memikirkannya. Aku semakin ingin membuatnya –

–seperti apa.

Aku menatap Sensei yang sepertiga tubuhnya sudah tergenang air hangat. Apa yang kupikirkan? Aku ingin membuat orang ini seperti apa? Alisku menekuk dalam kebingungan. Ketidak mengertianku membawaku pada pemikiran buntu.

Ini semua hanya karena orang ini mempunyai mata yang sama denganku.

Hanya itu.

–Benarkah?

Tapi semakin coba untuk aku mengabaikannya. Aku semakin ingin mengetahui alasannya.

Alasan mengapa ia memiliki mata itu. Mata yang tak sekalipun menunjukan kehidupan dalam dirinya.

"Uzumaki –apa yang –akan kau lakukan –padaku?"

Napas tak beraturannya membuat kalimat yang terlontar dari mulutnya seperti dengungan tak berarti. Aku mengubah posisi tubuhnya, kaki yang menumpu di atas kugeser hingga berselonjor lurus hampir menyentuh sisian lain bathtub. Kedua tangannya yang masih setia mencengkram jaketku kubiarkan tetap begitu. Kedua tanganku sendiri membuka kancing kemeja putih yang dikenakan Sensei. Kemeja lepas menuruni bahu hingga siku tangannya.

Aku meliriknya menutup mata. Sepertinya kata-kata tadi adalah terakhir untuknya sebelum habis sudah kesadaran akalnya. Kaus hitam di balik kemejanya sudah basah sepenuhnya, bukan hanya keringat, air dalam bathtub juga menyerap cepat pada serat kain kaus itu.

Jari-jariku menelusup bawah kausnya, bersentuhan langsung dengan kulit punggung dan perut yang kurasakan banyaknya guratan tak rata disepanjang tanganku mengangkat kausnya ke atas. Aku menatap kulit terbuka perut Sensei dengan mata menyipit. Banyak sekali bekas luka kering diperutnya, yang paling mencolok adalah bekas jahitan disisi kiri pinggang, memanjang horizontal sekitar lima senti.

Begitu rupanya. Sekarang aku mengerti kenapa ia memiliki banyak luka seperti ini. Kenapa ia sangat anti untuk berdekatan dengan orang lain dan kenapa ia selalu memakai pakaian yang hampir-hampir menutupi seluruh tubuhnya.

"Kau self-injury*."

Kelopak matanya terbuka dalam sekejap setelah aku berucap. Iris hitam kelamnya menatapku penuh keterkejutan. Aku bisa melihat wajahnya yang semakin memucat. Napasnya lama sekali untuk diambil. Tubuhnya semakin bergetar hebat, namun matanya tak fokus padaku lagi saat ini. Mata hitamnya bergerak kesekeliling ruangan. Tentu aku tahu kenapa ia tiba-tiba terlihat panik meski tubuhnya sedang dalam kondisi lemas.

"Dan kau claustrophobia*."

Meski transparan. Sekat kaca yang saat ini menjadi dinding pemisah bagian luar bathtub baginya seperti kurungan kecil penyiksaan.

Aku menangkup wajahnya. Dia terlihat tak peduli dengan yang kulakukan karena panik yang dialami. Bibirku tertarik membentuk senyum –atau mungkin seringai saat ini. Aku mendekatkan bibirku pada telinganya.

"Aku akan mengajarimu cara untuk melupakan ketakutanmu –"

Aku menyentak tangan yang mencengkram jaketku, menariknya ke atas beserta kaus hitam dan kemeja putih yang dikenakan Sensei. Kedua tangannya menyatu karena gulungan baju pada pergelangan. Tubuh atasnya yang polos mengingatkanku pada kertas putih penuh coretan. Lukanya sebagai goresan tinta.

Aku memerhatikan. Pinggangnya terlalu ramping untuk seorang laki-laki, dadanya yang sedikit memperlihatkan tulang rusuk dibalik kulit justru mengarah pada porsi kurus. Pantas tubuhnya sangat ringan waktu kugendong tadi. Apa orang ini juga menderita penyakit anoreksia*?

Tangannya kubawa untuk mengalung dileherku. Tubuhnya sendiri mau tak mau menghadap ke depan, memunggungiku. Dada naik turun cepat dengan puting merah muda mengeras menjadi pemandanganku. Aku menarik napas dalam disisi bahunya. Suara erangan Sensei jelas sekali terdengar ditelingaku.

"Pilih Sensei. Kau lebih takut pada tempat ini –"

Aku menyentuh puting tegangnya dengan jari telunjuk. Ia mengerang.

" –atau takut padaku."

Aku mengakhiri ucapanku dengan gigitan keras dibahunya. Sensei berteriak dan meronta. Kedua tangan yang terkalung dileherku menghalangi perlawanan. Hanya kedua kaki yang menendang-nendang air dalam bathtub.

Kupuntir puting kirinya searah jarung jam. Tangan kanan meraba perutnya yang ikut naik turun selaras dengan dada. Luka cakar dan luka lainnya terasa nyata ditelapak tanganku. Serat kain celana dan ikat pinggang menjadi pembatasku menelusuri kulit batas perutnya. Aku menekan perutnya, membuat celah celana sedikit lebih lebar untuk memasukan jariku ke dalam. Bisa kurasakan rambut-rambut halus diselangkangannya menyentuh jariku. Rambut-rambut halus itu kuapit disela jari dan sedikit menarik-nariknya. Sensei menengadah dan mendesah. Kepalanya terlempar ke kiri.

Kutarik tanganku keluar dari celana. Ikat pinggang terlalu kencang untuk tanganku masuk lebih jauh. Mengendurkan ikatannya akan lebih mempermudahku, begitu pula dengan kancing dan resleting celananya. Aku membukanya dan memelorotkan celana itu hingga bawah panggul.

Aku mengelus fabrik tipis berwarna hitam yang tersisa untuk menutupi selangkangan. Sisian karetnya kutarik dan kulepas hingga menimbulkan cipratan kecil air disekitarnya. Sensei terus saja mengerang dan mendesah di sebelah telingaku. Tanpa sadar kau menyukainya, bukan? Apa yang kulakukan pada pucuk dadamu yang kini semakin menegang dan tanganku yang mengelus milikmu. Meski mungkin dalam keadaan sadar dia jelas akan berkata tidak, namun saat ini Sensei sedang dikuasai hasratnya. Nafsunya yang besar.

Celana dalam turun hanya dengan tarikan jari telunjuk. Miliknya menampar punggung tanganku begitu terbebas dari kungkungan kain. Mengucap halo pada air hangat yang dia cemari dengan precumnya. Aku menjilat luka yang kubuat bahunya saat tanganku mengelus dan menggenggam miliknya.

"Ahk –hn!"

Miliknya menyemburkan cairan putih sedetik setelah aku menyentuhnya. Sesensitif inikah Sensei saat ini? Tapi miliknya yang masih menegang dalam genggamanku sepertinya belum terpuaskan hanya dengan sekali orgasme.

Aku melepas kejantanannya dan merapatkan jari. Tanganku membentuk cekungan untuk menahan air tetap berada di antara telapak tanganku saat aku mengangkatnya. Aku menumpahkan air itu ke dalam mulutnya yang terbuka. Dia segera terbatuk dan ingin memuntahkannya namun aku menahannya dengan membekap mulut dan hidungnya. Dia mengerang mencoba untuk lepas.

"Telan spermamu, Sensei." satu kataku membuatnya menelan air dalam mulutnya dengan sedikit paksaan. Aku melepas bekapanku dan melihatnya yang begitu pasrah menyandar pada bahuku. Lehernya terekspose jelas di depan mataku. Luka gigitanku dibahu dan dipangkal lehernya memerah.

Dua luka baru ditubuhnya, dan itu dibuat olehku. Bukan oleh tangannya.

Aku pernah mendengar jika seorang self-injury sangat melindungi dirinya dari orang lain. Tapi saat ini, seorang self-injury telah kulukai. Reaksi seperti apa yang akan kau tunjukan saat mengetahuinya nanti, Sensei?

Tanganku kembali menggenggam kejantanannya yang masih tegak berdiri. Mungkin masih memerlukan dua sampai tiga kali lagi orgasme untuk membuatnya benar-benar lemas. Aku memikirkan sesuatu yang sepertinya akan menarik.

"Sensei, lihat ini."

Aku berhenti bermain dengan putingnya dan beralih menyentuh kening, jari-jari menelusup disela rambut lepek di sekitarnya. Kepala itu kutundukan sedikit, matanya yang sedikit terbuka mengerjap-erjap lelah.

"Lihat selangkanganmu." bisikanku membuatnya membuka mata lebih lebar.

Aku melihatnya. Mata itu membulat. Lingkaran obsidian hitam yang terkejut dengan apa yang dilihatnya.

"Lihat baik-baik, Sensei."

"Ahh!"

Desahan itu mengalun dari mulutnya yang menganga. Aku melirik tanganku yang terus mengocok miliknya di bawah air. Miliknya yang semakin menegang ditanganku. Desahnya tak bisa lagi dia tahan. Aku tidak bisa mengabaikan raut wajahnya yang menunjukan rasa jijik dengan jelas. Sungguh sangat menarik.

"S –stop! Ah –hentikan!"

Sensei menutup matanya saat gerakan tanganku semakin cepat mengocok miliknya. Jangan Sensei, saat kubilang lihat baik-baik. Maka lihatlah baik-baik sampai selesai.

Aku meremas kejantanannya cukup keras sampai dia kembali membuka matanya. Kali ini matanya sudah basah oleh air mata, mengalir membasahi pipinya.

"Ahh –ah!"

Dia berteriak. Aku merasakan kepanikan dan ketakutannya disetiap teriakan yang dia keluarkan. Sensei tidak menyukai apa yang kulakukan.

Kau sangat menarik Sasuke. Sangat menarik untuk dimainkan.

Sasuke's POV

Tolong hentikan ini... hentikan kegilaan ini!

Tolong bunuh aku!

.

.

.

Naruto's POV

Apartemen Shikamaru terasa sangat luas meskipun nyatanya ruangan ini benar-benar tak sebanding dengan kamarku. Tapi jika sendirian seperti ini memang terasa luas. Aku membaringkan tubuhku di tempat tidur. Menatap langit-langit biru dengan lukisan awan putih, terasa menenangkan. Kapan Shikamaru menggambarnya? Terakhir kali aku kemari, awan-awan itu tidak ada di sana.

Mendengar pintu apartemen dibuka, aku melirik ke arah pintu. Seperti yang kuduga, Shikamaru masuk dengan pakaian semi formal rapi dan rambut yang biasanya dia kuncir tinggi kali ini dia biarkan terurai dengan sebelah kanannya di tahan penjepit rambut ke belakang. Lupakan lembaran uang yang terselip dikantung kemeja hitamnya. Yang pasti dia baru saja menyelesaikan pekerjaannya.

"Kenapa denganmu hari ini?"

Shikamaru berjalan masuk, lemari pakaian menjadi tujuannya. Aku mengabaikan pertanyaan yang dia ajukan dan memilih untuk terus menatapnya. Dia melepas kemejanya, beberapa titik merah membekas dipunggungnya sebelum Shikamaru menutup aksesku untuk melihat dengan kaus abu-abu yang dipakainya. Aku kembali menatap langit-langit saat dia akan melepas celananya.

"Kurasa itu tidak akan hilang dalam dua hari." ucapku. Tidak perlu untuknya mengerti atau tidak.

Tempat tidur yang kutempati sedikit merendah, beban lain di sampingku menjadi penyebab. Sepertinya Shikamaru sudah selesai. Mataku menatap datar, Shikamaru bergerak mensejajarkan diri. Kedua tangan menjadi tumpuan, ia berada di atasku.

"Klienku sedikit pemaksa. Sekarang katakan padaku, apa yang membuatmu sesenang ini?"

Senang. Dari mana ia melihat aku yang sedang senang? Aku bahkan tidak tersenyum, mengatakan hal-hal tidak wajarpun tidak. Aku menatap Shikamaru mencari jawabanku sendiri namun aku tahu itu mustahil. Shikamaru adalah satu-satunya orang yang terlalu rumit untukku baca.

"Hanya sedikit hal yang membuatku tertarik."

"Gaara tidak masuk tiga hari dan hari ini datang dengan biasanya."

Aku menutup mataku dan bergumam untuk menanggapi ucapan Shikamaru. Apa yang akan ia bahas mungkin berujung pada ceramah panjang atau ketidaksetujuannya dengan apa yang kulakukan.

"Kau bolos selama lima hari."

"Dan Uchiha Sasuke tidak hadir di sekolah selama tiga hari."

Mataku kembali terbuka. Wajah Shikamaru terlihat ubahnya orang malas untuk bicara satu katapun. Tapi tatapannya padaku menelisik apapun yang bisa dia lihat. Aku menggerakan tangan kananku. Menangkup lehernya dengan jariku.

"Kau sangat suka berada di atasku, Shikamaru?" tanyaku. Jari tanganku sedikit menekan lehernya, layaknya ingin mencekik. Aku memang mencekiknya.

"Apa kau juga akan suka saat berada di bawahku?"

Aku melihatnya terdiam setelah mendengar pertanyaanku. Setelah itu Shikamaru menghela napas, dia menyingkir dengan beralih merebahkan diri di sampingku.

"Haah. Sudahlah. Aku bukan baby sittermu. Terserah dengan apapun yang kau lakukan."

Shikamaru menutup matanya. Namun kembali membukanya dengan kelereng mata yang melirik padaku. "Tapi kau juga harus tahu akibat dari apa yang sedang kau lakukan." matanya menutup kembali seusai bicara. Aku tak menanggapi.

Akibatnya? Shikamaru, seharusnya kau tahu dengan melihatku yang sekarang. Inilah akibatnya.

.

.

.

Sasuke's POV

Tiada yang kutakutkan di dunia ini selain dia. Ketakutan yang melebihi bayang-bayang kematian bagi setiap orang. Bagiku, aku sudah berkali-kali mati. Setiap tidurku yang dihantui akan dirinya merupakan kematian dari sedikit demi sedikit jiwaku. Mimpi terburuk sepanjang hidupku. Lebih tepatnya, satu-satunya mimpi yang selalu singgah disetiap malamku terlelap. Melihat berpuluh-puluh kali potongan demi potongan kejadian yang ditunjukannya seolah telah melahap rasa kemanusiaan yang tersisa dari tubuhku.

Kali pertama, kedua, ketiga. Kesepuluh, kesekian kalinya tubuh ini menjadi raga tak berdaya ditangan kuasa dirinya. Jeritan dan tangis tak bisa lagi kuhitung jumlahnya. Aku lemah. Kelemahanku membuatku dijadikan mainan pemuas nafsunya dengan mudah. Boneka porselen yang dianggap masih baik-baik saja meskipun sudah banyak bagian yang mengelupas, berubah lapuk, tak lagi semulus dikala baru. Boneka itu terus dimainkan hingga rusakpun tak dipedulikan.

Aku yang ingin dibuang. Rasa yang ingin diabaikan olehnya. Namun apalah aku yang hanya sekedar mainannya. Kesayangan yang sampai rusak diseluruh bagianpun akan tetap disimpannya. Aku, mustahil untuk bebas. Mustahil untuk mati.

Aku yang selalu memimpikan perlakuan dia padaku. Tapi, sekarang, saat ini. Aku terbangun dengan keringat mencucuri pelipis dan pipi, tubuh gemetaran, ketakutan, histeris karena buruknya mimpi yang dialami. Untuk pertama kalinya setelah belasan tahun, mimpiku tak menampilkan dia sebagai penguasa. Aku melihat orang lain. Menarik bajuku. Menjambak rambutku. Menyentuhku. Seseorang dengan rambut pirang, menatapku dengan sepasang mata biru yang menyamai langit dunia.

Entah ini kenyataan yang harus kusyukuri ataukah keadaan buruk yang sampai membuatku tak bisa mengendalikan diri membenturkan kepalaku pada dinding. Sadar. Sadar. Sadarlah. Aku ingin tersadar jika yang barusan adalah mimpi. Hanya mimpi kosong tak berarti. Tapi seberapa keraspun aku mencoba, aku tak bisa mengabaikan mimpi itu.

Kepanikan membuat tubuhku jatuh dari tempat tidur. Kepala membentur lantai cukup keras. Pusing kurasakan, mataku buram-buram. Untuk sekarang aku menyesal karena telah menggunakan kepalaku untuk memulihkan kesadaran. Beberapa menit kubiarkan tubuhku duduk menyandar pada sisian tempat tidur. Pundakku keram dan aku merasakan denyut sakit berkali-kali dibahuku.

Mataku membulat. Tanganku bergerak cepat meraba bahu kananku yang terasa sakit. Sakitnya semakin terasa dikala tanganku menyentuh diantara perbatasan leher. Aku baru menyadari jika pakaianku sudah berubah menjadi kaus hitam kebesaran. Bagian leher dan bahu terekspose jelas. Sejelasnya bagian bawahku yang tak tertutupi apapun, kakiku meremang karena merasakan dingin secara langsung. Tapi bukan itu yang membuatku terkejut saat ini, melainkan perban yang ada dibahuku. Aku –apa aku terluka? –kapan?

Aku menggeleng pelan. Tidak mungkin.

Aku akan mengajarimu cara untuk melupakan ketakutanmu.

Aku menahan napas. Tak bergerak. Membeku ditempat. Dia yang melukaiku. Anak itu yang membuat luka ini.

Menoleh kesegala arah, aku melihat ruangan yang kutempati sekarang. Mencari-cari apapun yang bisa kugunakan untuk melihat jelas bahuku. Ruanganku berada saat ini berbeda dengan ruangan terakhir yang kutempati. Dibagian samping tempat tidur, dihadapanku terdapat lemari besar bercat putih senada dengan warna dinding. Aku menoleh ke kanan. Tubuhku segera bangun saat melihat sebuah cermin tergantung di dinding. Memantulkan sosokku yang terburu-buru mendatanginya.

Wajahku pucat, nyaris tanpa rona. Aku tak ubahnya seperti jombi baru bangun. Melirik bahuku, dengan tangan gemetar membuka perban di sana. Aku meneguk ludah, sakitnya tenggorokan meradang. Ada luka berbaris, dua baris putus-putus, ini luka gigitan. Rasa mual bergejolak diperut dan tenggorokan. Aku duduk tak dapat menahan berat badan. Mengingat semuanya seolah memaksaku melihat penyiksaan.

Dia menyentuhku. Dia yang membuat luka ini.

Napasku memburu tak karuan, pikiran kacau memutus kesadaran.

"Haah... Haa... –Aaaaaaaah!"

Aku berteriak. Wajah pucatku semakin memucat. Tak kulihat sekalipun aliran darah dibaliknya. Tak ada warna lain.

Aku mencoba tenang. Namun dentuman jantung tak dapat kukendalikan. Dug. Dug. Dug. Mencoba mendobrak rongga dadaku.

Bukan hanya sekedar luka, bukan pula hanya sentuhan. Sampai saat ini aku tak pernah mengizinkan siapapun menyentuhku. Kontak fisik sederhana pun hampir tak pernah kulakukan. Tapi dia menyentuhku seenaknya. Shock. Mungkin itu yang kualami saat ini.

Cermin sepanjang dari setengah tubuhku kembali menjadi pandangan. Aku menghapus keringat dikening dan pelipisku. Baru menyadari jika tak ada rantai yang mengikat dipergelangan. Aku melihat kakiku, tak ada juga yang mengikatnya. Gerak tubuhku tak lagi dibatasi.

Dengan segera aku mengangkat tubuhku. Kewaspadaanku bertambah, ini kesempatanku untuk keluar dari rumah ini. Akan semakin baik jika dia tidak ada di sini. Aku berjalan ke pintu yang tertutup rapat, menyentuh kenopnya dan memutarnya dengan berharap pintu itu tak dikunci.

Klik!

Namun pintu itu terkunci. Aku berjalan melawan arah, menuju lembaran kain putih yang tergantung menutupi jendela dibaliknya. Kusibak kasar kain tirai itu. Mataku menyipit ketika cahaya dari luar masuk keretina. Begitu aku melihat jendelanya, kungkungan tralis besi berbentuk kotak-kotak kecil memutuskan harapan untuk keluar.

Aku menggeram. Memukul tralis itu dengan kepalan tangan.

Sial. Sial. Sial.

Ini tak ada bedanya dengan saat kedua tanganku dirantai di atas ranjang.

Kenapa aku harus mengalami hal seperti ini?

Jika terus seperti ini, lambat laun akan ada yang menyadari jika aku tidak ada. Orochimaru. Juga Itachi. Aku meremat tralis besi dengan kencang. Tidak ada yang boleh tahu tentang ini. Terlebih lagi Kakakku.

Apa yang harus kulakukan?

Naruto's POV

Hari terasa sangat membosankan. Sekolahpun sama. Tak ada yang menarik dari setiap percakapan murid-murid lain ataupun guru terabaikan yang terus menjelaskan. Tak tahu jika anak didiknya sama sekali tak tertarik dengan pembahasan sejarah perang dunia kedua yang dia terangkan.

Shikamaru yang terang-terangan tidur sambil duduk membuktikan ucapanku. Tidak ada yang menarik dari sekolah ini. Aku ingin cepat-cepat pergi dari sini dan menemuinya. Mungkin Sensei sudah bangun sekarang. Aku ingin melihat bagaimana wajah paniknya. Mungkin dia akan sangat terguncang dengan keadaannya. Apapun itu, pasti lebih menarik dari pada duduk diam tak melakukan apapun seperti ini.

Aku menyandarkan kepalaku dibahu Shikamaru. Dia sepertinya menyadari gerakanku dan mengubah posisinya lebih rendah, mempermudahku. Aku menyamankan diri dibahunya. Mengacuhkan berpasang mata yang melihatku dengan tatapan tidak suka. Aku memang tidak disukai di sini dan aku tak peduli. Tapi tatapan mereka kali ini mungkin dikarenakan kedekatanku dengan anak jenius pemalas di sebelahku ini. Bisikan berisi celaan dan ejekan kuabaikan begitu saja. Shikamaru juga tak ambil pusing dengan mereka.

Mencoba untuk mengurangi polusi suara, aku memakai headphone ditelinga. Musik kumainkan dari ponsel. Aku menekan icon galeri diponsel, menekan satu gambar yang kemarin kuambil. Sensei yang terlelap, bajunya basah, wajahnya kelelahan. Dia tak sadarkan diri setelah orgasme untuk kesekian kalinya ditanganku. Aku menatap foto itu, pikiranku terus memutar bagaimana wajah datar tak berekspresinya berubah menjadi berbagai ekspresi yang membuatku ingin terus melihatnya.

Ponsel ditanganku raib kemudian. Aku melirik pemilik tangan yang mengambilnya. Biji mata hitam kecil menatapku dengan bosan dan kantuk-kantuk. Shikamaru mengotak-atik ponselku yang diambilnya sebelum dia memasukannya pada saku jaketku.

"Jangan perlihatkan sesuatu yang bisa menjadi masalah untukmu." ucapnya seraya menyingkirkan kepalaku dari bahunya.

Aku tak menanggapi. Memilih untuk menaikan tudung jaketku, menutupi kepalaku, membenamkannya diantara tangan dan meja. Datang kemari memang tidak ada gunanya.

.

.

.

Waktu pulang sudah ditandai dengan bel diseluruh kelas. Aku mengangkat tas ranselku, berdiri dan melangkah keluar dari kelas. Kuyakin Shikamaru menatapku dari belakang, setidaknya sebelum beberapa anak mendatanginya dan bicara entah apa. Lagi pula aku tak peduli.

Beberapa anak perempuan yang kulewati di koridor terlihat tersenyum penuh godaan padaku. Tak bisa kupungkiri jika penampilan luarku memang cukup menarik bagi mereka. Lipstik pemulas bibir mencolok mata, penampilan yang menunjukan bagian atas belahan dada. Calon-calon pelacur murahan. Sangat memuakan. Aku mengabaikan mereka.

Langkahku baru terhenti begitu seseorang berambut merah melintasi simpangan koridor. Dia dan seseorang, wanita berambut pirang pendek tergerai. Aku ingin mencela. Apa putra bungsu Kazekage sekarang diasuh langsung kakak tertuanya?

Aku berjalan mendekat. Gaara yang melihatku menggeleng pelan, hampir-hampir terabaikan mata jika aku tak jeli. Namun aku tetap mendatanginya. Wanita di samping Gaara menatap kearahku begitu aku berada di sampingnya. Meneliti dari ujung sampai ujung.

"Naruto."

Gaara memanggilku. Nadanya datar. Tapi aku tahu dia panik. Status kami memang berpacaran, tapi Gaara tidak pernah tahu sejauh apa perangaiku. Mungkin dia takut aku mengatakan jika dirinya yang sempurna ini ternyata cacat dari dalam.

Aku merangkul pinggang Gaara, dia jelas terkejut namun aku melanjutkan perbuatanku dengan mencium pipinya.

Kakak Gaara terlihat begitu terkejut dengan apa yang kulakukan. Terlebih lagi, aku tahu Gaara selalu dimanja. Kakaknya adalah salah satu orang yang selalu memanjakannya meski adiknya sendiri tak menginginkan perlakuan itu. Aku tahu. Semua tentang Gaara. Karena itu dia tak mungkin kulepaskan. Dia itu milikku.

"Naruto, ini Anee-sama. Temari –"

"Gaara. Siapa orang ini?"

Pertanyaan yang memotong ucapan Gaara itu datang dari wanita di depanku. Dia menatap Gaara dengan pandangan menuntut penjelasan. Matanya menerangkan ketidaksetujuannya denganku. Aku meyakini dia sedang terguncang mengetahui adik kesayangannya seorang gay.

Aku melirik Gaara, kekasihku itu menatapnya dengan pandangan tenang. Memang hanya aku yang bisa merubah ekspresi wajah orang ini. Keluarganyapun tak bisa melakukannya.

"Nee-sama pulanglah lebih dulu. Aku akan pulang dengan Naruto."

"Gaara-"

Sampai jumpa untukmu. Gaara menarik tanganku menjauhi Kakaknya. Aku dan dia berjalan menjauh, yang terakhir kulihat adalah tatapan tak sukanya yang terarah padaku. Sekarang aku lebih penting dari siapapun yang Gaara kenal. Lebih penting dari hubungan darah sekalipun. Jadi Gaara tidak akan mungkin memilih.

Mobil Gaara adalah salah satu mobil termewah sepanjang masa. Lamborghini berkekuatan ratusan kuda yang mampu memacu ratusan kilo meter hanya sekejap memejam mata. Kebebasan adrenalin melaju cepat, mobil membablas jalan gelap gulita. Mata terpaku ke depan, kerasnya suara angin terbelah laju kendaraan merasuk gendang telinga. Aku menoleh kekursi samping, tak cukup peduli pada jalanan depan. Otakku menghafal jalanan bukan lagi dengan mata.

Gaara duduk dengan mata tertutup. Lingkaran hitam matanya bertambah parah dibagian bawah. Kurasa tidur menjadi hal yang sulit untuknya di istana megah Sabaku. Pandanganku kembali ke depan.

"Kemari."

Ucapanku membuatnya membuka mata. Satu kataku, itu perintah baginya. Gaara bergerak mendekatiku. Satu kakinya melewati pahaku sebelum kurasakan beban dari tubuh Gaara yang yang mendudukiku. Aku membanting setir ke samping jalan. Tubuh Gaara tersungkur kearahku.

"Katakan."

"Ukh –"

Jari-jariku mencekik leher Gaara. Menekan kuat otot kanan dan kiri leher. Aku mendorong tubuhnya membentur setir. Mata Gaara sudah digenangi air.

"Apa yang kau katakan pada wanita itu?"

Wajah Gaara kesakitan, pipinya merona merah layaknya stroberi matang baru dipetik. Kesulitan bernapas juga rasa sakit dilehernya. Tapi aku tau Gaara menikmati perlakuanku. Dia memang punya pesona lain saat aku menyakitinya.

"A –aku tidak bi –lang apa-apa."

Cengkramanku pada lehernya bertambah kuat.

"Lalu kenapa?" tanyaku lagi.

Kurasa Gaara ingin menggeleng, tapi tak bisa. Tanganku yang mencekiknya mencegah dirinya untuk tidak terlalu banyak bergerak. Air matanya sudah meleleh menuruni pipi. Tapi aku tak melepas tanganku dari lehernya.

"Aku pi –pingsan saat pulang –dan me –reka me –melihatnya –ukh –Naruto –"

Melihatnya hampir kehilangan kesadaran, aku melepas cekikanku. Gaara terbatuk dengan tangan memegangi lehernya yang hampir putus napas. Wajahnya masih kemerahan, karena sesaat lalu dia hampir pucat pasi jika kuteruskan cekikanku. Bibir yang terbuka mencari udara membiarkan beberapa tetes liur keluar, jatuh membasahi punggung tangannya. Aku mencengkram pipi Gaara dan mencium bibir itu. Merebut waktunya memulihkan tubuh kekurangan oksigen.

Gaara pasif dalam tindakan. Dia hanya menerima apapun yang kuperbuat padanya. Termasuk memberinya gigitan dibibir. Cukup keras sampai bibirnya mengeluarkan darah. Aku menyudahi ciumanku, darah dibibir Gaara mengalir kedagu seketika. Ibu jariku mengelapnya dan memasukannya ke dalam mulutnya. Gaara menurut tanpa perintah. Dia menghisap jariku hingga licin.

"Naruto,"

Aku menarik tanganku, sejenak dia bingung tapi cepat-cepat Gaara menyingkir dari atasku dan kembali duduk dengan benar. Kepalanya mengarah keluar jendela. Dari merahnya telinga Gaara, kurasa dia tidak mau menunjukan merah lain diwajahnya padaku. Gaara juga punya rasa malu ternyata.

Mobil kembali melaju, kedua tanganku kembali memegang kendali setir. Mengacuhkan Gaara yang tiba-tiba bersikap malu-malu. Bukankah aku sudah melakukan hal yang lebih jauh dari yang tadi?

"Aku akan memesan kamar untukmu, pulanglah begitu malam tiba. Aku punya urusan, tidak bisa mengantar." kataku.

Gaara hanya mengangguk kecil dan menutup matanya. Sepertinya dia memang butuh tidur saat ini.

.

.

.

Pagar besi menjulang kudorong dengan tangan. Pintu luar masih terkunci serapat saat aku meninggalkan rumah. Tidak ada tanda-tanda jebol atau dibobol dari luar, tidak juga dari dalam. Aku membuka kunci pintu, masuk ke dalam rumah dalam diam. Beberapa bagian rumah terlihat gelap tanpa lampu. Aku hanya menyalakan lampu ruang tengah, dapur dan kamar dimana Sensei berada. Meminimalisir keberadaan orang di dalam rumah ini.

Kantung plastik berisi makanan dan barang lain yang kubeli di jalan sebelum ke sini kutaruh dimeja dapur. Beberapa kukeluarkan dari plastik. Piring, gelas, sendok dan garpu plastik termasuk yang kukeluarkan. Aku membuang bungkus steak ke tempat sampah. Daging panggang itu kuletakan di atas piring. Kupotong-potong dengan pisau kecil yang kubawa sebelum kusiramkan saus di atasnya.

Jam dinding berwarna putih gading sudah menunjukan pukul lima sore. Cukup lama rentangan waktu yang kuhabiskan di luar rumah. Aku menyudahi acara potong-potong dengan meletakan piring berisi steak siap makan di meja persegi di dapur. Dua kursi tertata rapi di kanan kirinya.

Aku berjalan meninggalkan dapur. Tujuanku berada di ruangan paling belakang. Satu-satunya pintu yang terkunci rapat. Tempat dimana orang yang kutinggalkan di rumah ini berada.

Pintu masih tertutup rapat di depanku saat ini. Tidak ada goresan ataupun paksaan untuk membukanya. Itu artinya dia masih di dalam, tahu jika usahanya akan sia-sia untuk membuka pintu ini. Aku mengambil kunci pada lemari kaca di sebelah kanan. Kunci itu ada di dalam vas pajangan berbentuk dua mangkuk saling menumpuk berwarna gading. Kunci perak ditangan kumasukan ke lubang kunci di pintu. Melanjutkan dengan membukanya. Pintu coklat tua kudorong pelan hingga setengah terbuka.

Duagh!

Hantaman keras menerpa pipi kiriku dengan cepat. Dinding dalam mulut membentur barisan gigi, ada rasa asin besi yang langsung mengecap dilidah. Tubuhku terhuyung hilang keseimbangan. Lantai dingin berciuman dengan bokongku, keras. Pukulan diwajah cukup keras sampai-sampai membuat kepalaku pusing sejenak. Bersamaan, langkah kaki terburu-buru keluar dari ruangan, berjalan melewatiku dalam sekejap. Aku berdecih, membuang darah bercampur liur. Tanganku menjulur ke belakang, menangkap pergelangan sebelah kaki yang siap melangkah seribu.

Bunyi bugh jatuh cukup keras kudengar setelahnya. Ringisan membarengi kemudian. Aku menoleh dengan bibir memerah mengeluarkan darah. Sensei tersungkur karena aku menahan kakinya. Dia sedang memegangi keningnya, memerah bulat setelah membentur lantai.

Kaki dalam genggaman kutarik lebih dekat, memaksa tubuh tersungkur untuk mengikutinya. Tubuh itu kembali pada posisinya semula, menempel di lantai saat tanganku memaksanya. Tengkurap, pipi mencium lantai, kaki tertekuk sedikit mengangkat bokong. Kaus sebatas menutupi sepertiga paha ke atas terangkat. Paha putih dan bokongnya sedikit terlihat. Aku merangkak ke atas.

Mata hitam kelam menatapku dengan sinis. Marah. Kesal. Merasa direndahkan. Aku menunjukan raut tak tertarik. Tangan penahan punggung kuganti dengan lutut, lebih kuat untuk menahannya. Tanganku sendiri kugunakan untuk menahan kepala Sensei.

"Ini balasanmu saat aku tak lagi merantai tangan ataupun kakimu, Sensei?"

Dia mendesis. Mungkin menyamai ular yang merayap diam-diam di tanah. Mirip sekali kurasa, terutama matanya yang saat ini menatapku dengan tajam.

"Apa artinya lepas dari rantai jika aku masih dikurung di sini tanpa alasan yang jelas, Uzumaki?"

Tegas. Sepertinya dia sudah kembali pada sifatnya lagi. Kemarahan yang kulihat sangat berbanding terbalik dengan apa yang kudengar. Sensei sangat tenang. Meski tubuhnya yang terus gemetaran ini tak bisa membohongiku.

"Aku tidak akan melepaskanmu. Tapi kau boleh mengelilingi rumah ini sesukamu, Sensei."

Kuncianku pada tubuhnya merenggang. Melepaskan kaki dan kepala yang ditahan dua tangan. Aku bangun berdiri, melihatnya yang masih melata di depan kaki. Tidak buruk dimataku.

Sebenarnya aku tidak ingin melakukannya sekarang. Tapi perasaanku sedang buruk saat ini. Dan aku butuh hiburan. Aku menurunkan resleting jaketku setengah badan, menarik map coklat berisi kertas-kertas foto yang baru beberapa menit lalu kucetak. Foto ditangan kusebar diudara, di atas Sensei yang menatapku.

Srak!

"Aku masih punya banyak, jika kau mau Sensei." bibirku tertarik ke atas.

Sungguh, apa yang kulihat saat ini sangatlah menyenangkan. Orang dihadapanku duduk tergugu dengan mata membulat penuh kekagetan. Sangat terkejut. Sangat ketakutan. Apa beberapa lembar foto sudah membuatnya jatuh ke dasar sampai seperti ini?

Aku tidak tahan untuk menahan seringaian. Sensei, wajahmu sudah sangat pucat seperti mayat.

"Bukankah dia orang yang sangat kau kenal, Sensei?" tanyaku.

Aku berjongkok di depannya. Memiringkan kepala dengan senyum mengembang kegirangan. Wajahnya pucat pasi. Bahkan tubuhnya tak bergerak sedikitpun. Napaspun tak bisa kulihat dia lakukan.

"Dia keluargamu bukan?"

Kau sangat menarik untuk dimainkan.

"Uchiha... –Madara."

.

.

To be continue ~

A/N : Maaf adalah kata pertama yang mau kuucap di bawah sini. Aku memang terlalu labil untuk Acc ffn yang bahkan aku tinggalkan lebih dari setahun. Aku fakum cukup lama, bahkan dari yang namanya baca Fanfik orang. Paling nengok cuma liat barisan fik yang ga aku tahu karena baru semua. Authornya pun baru semua. Pan sayah bingung, rasanya ketertarikan sama Fanfikson dot net mulai memudar. Tapi tenang -jangan tenang-tenang juga- aku akan selesaikan fik ini -tapi pasti lama sangat- jadi kalau mau meneruskan untuk membaca cerita abal ini, silahkan. Aku sangat berterima kasih.

Maaf, aku sedang tertarik hal lain dari Anime, yaitu kosple XD.. maaf ya, sekali lagi maafbanget karena lama nggak apdet. Waktu tersita banyak untuk hal-hal lainnya selain nengok Acc ffnku T^T

Kalian yang setia menunggu, TERIMA KASIH BANYAK!

.

.

.

Selasa, 02/11/2015 Jam 19. 15 malam