#kaisoo #exo #gs #t
Full Moon
20
Pagi terbit dengan cerah. Langit membentang biru, burung-burung terbang sambil berkicau riang, dan angin berhembus pelan membawa segar pucuk daun yang basah oleh kristal embun. Di trotoar nampak para remaja berseragam sekolah berjalan bergerombol sembari saling bertukar sapa, tertawa, bercanda, bergantian memperlihatkan hal menarik di layar ponsel mereka membuat gantungan boneka lucu yang terpasang di sana bergoyang membunyikan lonceng mungil tepat di pitanya.
Bel tanda jam pelajaran dimulai baru saja berbunyi namun kondisi kelas masih tidak berubah, tetap ramai dan riuh dengan seluruh penghuninya tersebar di luas ruangan, duduk di meja, lantai, bahkan ada yang sedang mempraktikkan goyangan perut buncit entah untuk tujuan apa. Di baris paling belakang terlihat empat sekawan; Chanyeol yang sedang asik membaca buku komik, Tao yang meluruskan kaki ke atas meja dengan kepala bergerak dan telinga ditutup headphone, Kai yang meletakkan kepala ngantuk di meja, dan Sehun sang ketua kelas yang harusnya mengkondisikan teman-temannya sekarang tapi malah asik menekuni buku novel di tangannya.
"Ketua!" seorang pemuda berseru dari sudut ruangan memanggil Sehun. "Tidakkah kita akan membahas piknik kelas kita?" tanyanya membuat para siswa lain langsung riuh menyahut.
"Iya, Ketua. Katanya akhir pekan ini kita akan membuat keputusan," timpal yang lain.
Sehun menghela napas. Sebenarnya dia malas mengungkit agenda satu itu. Dia sudah kehilangan minat. Setelah semua hal yang terjadi selama seminggu terakhir, rasanya Sehun hanya ingin diam dan menenangkan diri untuk setahun ke depan. Dengan berat hati pemuda berambut perak itu menutup buku novelnya dan berdiri dari kursi. Ia berjalan ke depan kelas diikuti tatapan teman-temannya yang dengan tertib kembali ke bangku masing-masing tanpa diminta.
"Untuk piknik kelas..." kalimat Sehun berhenti membuat hening menggantung sejenak di atmosfir kelas.
"Kita akan tetap melakukannya 'kan?" celetuk seorang siswi.
"Benar, Ketua. Kita harus melakukannya. Aku sudah terlanjur ijin ke orang tuaku," sahut yang lain.
"Aku sudah berhasil membuat orang tuaku memberi uang saku banyak sekali! Kita harus berangkat piknik! Aku tidak mau uangnya diambil lagi!"
"Benar, benar! Kita belum pernah bepergian bersama-sama. Kita harus melakukannya!"
Sehun menggaruk kepala yang tidak terasa gatal. Rasanya kejam kalau ingin membatalkan event itu sekarang. Teman-temannya sudah berharap terlalu besar dan keluguan mereka membuat orang lain—bahkan werewolf sekali pun—merasa tidak tega mengkhianatinya.
"YOSH!" suara keras Chanyeol menggelegar mengagetkan seisi kelas.
"KAMPRET JANGAN TERIAK! KAGET GUA!" sebuah buku melayang mengenai tepat di kepala Chanyeol.
"Karena semua orang sudah setuju—" Chanyeol tidak menggubris protes temannya barusan. "—pertama-tama kita harus membuat daftar pengikut!"
"Maksudmu, daftar 'orang yang ikut'?" koreksi para murid.
"Ne, itu maksudku." Chanyeol menjentikkan jari. "Daftar nomor satu adalah XI LUHAN!"
Telinga Sehun langsung tegak mendengar nama yang disebut kakaknya barusan.
"Menurutku wali kelas wajib ikut sebab kita pasti butuh pendamping dan orang dewasa yang akan bertanggung jawab serta lebih dapat dipercaya polisi jika kita mendapat masalah," jelas Chanyeol.
"Memangnya KAU INGIN MEMBUAT MASALAH apa?" pertanyaan barusan terdengar lebih mirip seperti tuduhan.
"Dan kemungkinan satu pendamping tidak akan cukup, jadi aku merekomendasikan Pak Kim Kibum untuk ikut bergabung juga!" Chanyeol mengimbuhi.
"JADI KAU BENAR-BENAR BERNIAT UNTUK MEMBUAT MASALAH!?" seisi kelas kompak menyahut dan langsung memarahi pemuda tiang itu bergantian.
"Awas saja kalau kau nanti membuat piknik kami berantakan!"
"Kami akan mengebiri massal dirimu di halaman sekolah!"
Di depan kelas, Sehun cuma dapat menghela napas menahan kesal.
"Lalu bagaimana dengan orang-orang yang sekarang tidak sedang di sini? Apa kita akan mengajak mereka juga?" celetuk Tao dengan tangan terangkat. "Seperti Byun Baekhyun dan Wakil Ketua Kelas."
Badan Kai terlihat tersentak mendengar kalimat Tao dan hal tersebut disadari oleh pemuda berambut pirang. Dengan mata tajam ia menatap rambut hitam adiknya yang masih kukuh berdiam diri dan tidak melakukan apa-apa.
Berhentilah bersikap pengecut, Jongin-ah! Kau sungguh membuatku muak!
"Untuk Do Kyungsoo, kemungkinan dia akan ikut," ujar Sehun.
"Eeeh!? Kyungsoo ikut!?" para gadis memekik terkejut.
"Bukannya dia masih terluka parah dan belum boleh meninggalkan rumah sakit?" timpal beberapa yang lain.
"Aku dengar dia mendapat banyak jahitan operasi."
"Apalagi kakak perempuannya juga overprotektif. Ketua, apa Kyungsoo benar-benar bisa ikut?"
"Err..." Sehun menggaruk dagu. "Yang namanya piknik kelas harus melibatkan semua anggota kelas, jadi aku akan mencoba membuatnya ikut."
Ruangan hening sejenak.
"HOREEE! KYUNGSOO BISA IKUT!" seluruh murid bersorak riang.
"Aku sempat khawatir Kyungie tidak akan ikut. Tidak seru kalau tidak ada Kyungie." Seorang gadis bicara sambil menangis lega.
"Ketua Kelas memang yang paling JEMPOLAN!" para murid laki-laki memuji.
"Yahh, terkadang dia memang bisa diandalkan sih," desis Tao dengan suara pelan. "Berbeda dengan orang bodoh tidak berguna yang bahkan meminta maaf saja tidak berani," sambungnya tanpa menyebut nama namun orang yang dimaksud sudah cukup paham kalau kalimat barusan ditujukan untuknya, siapa lagi jika bukan Kai.
"Lalu siapa yang akan menghubungi Baekhyun? Dia sedang syuting drama 'kan sekarang?" terdengar celetukan.
"Aku." Chanyeol mengangkat tangan penuh percaya diri. "Aku yang akan menghubunginya." Pemuda tersebut menyunggingkan senyum PD bertegangan satu juta volt.
"YATTA! PARK CHANYEOL DA BEST!" sekali lagi sorakan bergema riuh di dalam ruang kelas.
.
"Rapatnya sudah selesai? Aku baru akan mengecek kalian karena para guru bilang kelas kalian sangat ramai," tegur Luhan yang berpapasan dengan Sehun di koridor saat pemuda itu hendak ke toilet selesai memimpin diskusi di jam homeroom teacher barusan.
"Ne..." Sehun menjawab lirih, ada kilat di bola matanya yang menatap Luhan dengan datar namun dia memutuskan untuk tidak melakukan apa-apa pada isi dada yang berdebar indah. Dengan kepala menunduk pemuda tersebut berjalan melewati guru wali kelasnya.
Luhan terpaku. Dia ingin mengatakan sesuatu untuk menahan Sehun yang terus bergerak meninggalkannya namun isi kepalanya tak dapat memproses satu kosa kata pun dan membuat ia berakhir dengan hanya berdiri mematung, memeluk tumpukan buku pelajaran dalam katupan mulut yang membisu.
Beberapa hari sudah berlalu sejak Luhan tersadar di rumah sakit setelah menceburkan diri ke sungai di cuaca dingin dan membuatnya menggigil hingga nyaris kehilangan nyawa. Dan sudah beberapa hari pula sejak ia menemukan Sehun menatapnya penuh rasa cemas, menunggunya sadar di samping ranjang seperti seekor anjing kecil mengkhawatirkan majikannya. Luhan masih ingat bagaimana pemuda itu kemudian meneteskan air mata, menangis mirip anak kecil ketika akhirnya bisa melihat dia sadar, mendapatkan kembali napas kehidupan yang sempat hampir lepas.
"Syukurlah kau selamat. Syukurlah kau sadar. Luhanie, maafkan aku. Aku minta maaf. Aku sangat bodoh. Maafkan aku..." tangis Sehun kala itu.
"Aku tidak akan melukaimu lagi. Aku tidak akan menempatkanmu dalam bahaya lagi. Aku tidak akan membuatmu sakit lagi. Maafkan aku, Luhanie...maafkan aku..."
Luhan bisa mengerti jika Sehun sangat mencemaskannya. Itu wajar. Lagipula sudah menjadi insting seorang werewolf untuk selalu memastikan keselamatan dan keamanan imprintee-nya. Hidup imprintee adalah hidup mereka, harga diri imprintee adalah harga diri mereka. Mereka rela kehilangan taring, cakar, tangan, maupun kaki asalkan imprintee mereka baik-baik saja tanpa goresan sedikit pun. Bagi orang yang tidak paham, sikap terlalu pasrah berkorban seperti itu pasti terlihat seolah para werewolf tidak cukup pandai sebab sudah membuat diri mereka sendiri menjadi 'binatang peliharaan'. Namun sebaliknya, keberhasilan melindungi orang-orang pilihan jiwa malah merupakan kebanggaan tersendiri bagi para werewolf. Semakin dia dapat melindungi imprintee-nya, semakin werewolf lain akan mengakui kekuatannya.
Tapi Sehun merasa sudah gagal melindungi Luhan dan hal itu membuat dia membenci dirinya sendiri yang tidak berguna. Sementara Luhan juga tidak tahu harus mengatakan apa karena semua kalimat penghiburan yang dia berikan pasti cuma akan membuat Sehun terlihat makin menyedihkan.
"Tidak apa-apa." Celetukan suara berat membuat Luhan terlonjak di tempatnya berdiri. Wajah wanita tersebut mendongak dan kedua matanya langsung menemukan sosok jangkung Chanyeol yang berdiri di dekat pintu kelas. Pemuda itu tersenyum.
"Dia hanya butuh waktu untuk berpikir. Kalau dia sudah menata isi kepalanya dia pasti akan bermanja-manja lagi padamu."
Air muka Luhan sendu. "Benarkah?" desisnya. "Kami sudah berkali-kali seperti ini."
"Justru karena sudah berkali-kali, kalian jadi berpengalaman. Bukankah setiap kali begini kalian juga selalu kembali bersama?"
Luhan memeluk buku di tangannya erat. "Tapi rasanya...kali ini Sehun tidak akan kembali, Oppa."
Chanyeol terdiam tidak mampu membalas.
Setiap orang memang punya batasannya masing-masing dan sepertinya Sehun sudah mencapai batasan dirinya sekarang.
"Kejar dia," desis Chanyeol. "Kalau ada salah satu dari kalian yang berhenti maka satunya harus mengejar. Kejar dia, Luhan."
Mata indah Luhan berkaca-kaca. Bruk! Dia melepas buku-buku di tangannya hingga jatuh berceceran di lantai dan segera berbalik, berlari di koridor mencari Sehun.
"Kenapa adik-adikku begitu bermasalah? Yang satu baperan parah, satunya penakut, dan sisanya gaje. Hadeeh!" Chanyeol mengeluh sambil memungut satu per satu buku Luhan di lantai.
.
Brak! Daun pintu terdengar keras membentur dinding saat Luhan mendorongnya terbuka. Wanita itu berdiri terengah-engah dengan kening berkeringat yang terasa dingin diterpa hembusan angin atap sekolah. Ia berjalan, membiarkan kain roknya bergelombang terkena aliran udara yang mana membuat kedua kaki jenjangnya tercetak sempurna dan pasti membuka mata setiap lelaki yang melihatnya.
Luhan menghentikan langkah di depan sosok tinggi berambut perak platina yang menatap lurus padanya tanpa ekspresi.
"Siswa dilarang pergi ke atap sekolah," ujar Luhan masih sambil mengatur napas. "Karena kalian akan dikira mau bunuh diri."
Hening. Hanya terdengar suara napas Luhan yang semakin stabil.
"Jangan diam saja. Diammu itu membuatku tidak bisa berpikir jernih," desis wanita muda tersebut.
"Sehun-ah...bukan—" Luhan menggelengkan kepala. "—Oppa. Aku seharusnya memanggilmu begitu karena kau lebih tua. Jauh lebih tua daripada aku."
Sehun bergerak mendekati Luhan, masih dengan mata datar menumbuk kornea coklat wanitanya. Sebelah tangan pemuda itu terulur dan meraih tangan Luhan. Kulitnya terasa hangat mengenai telapak sang imprintee menunjukkan ciri khas werewolf yang memiliki suhu tubuh lebih tinggi daripada manusia biasa.
Sebelah tangan Sehun yang lain ikut bergerak diiringi tatapan mata Luhan. Ia meletakkan sesuatu di tangan halus tersebut dan meninggalkannya di sana. Mata rusa yang memandangnya langsung terbeliak.
"Sehun—"
"Simpanlah." Suara parau Sehun menghentikan kalimat kekasihnya. "Simpanlah sampai aku sudah lebih pantas untuk memakainya lagi. Sampai aku bisa menjadi seseorang yang bisa melindungimu."
Usai bicara begitu, sosok Sehun lenyap. Ia berpindah tempat menggunakan kemampuan gerak cepatnya, menyisakan hembusan keras angin yang mengacaukan sisiran rambut panjang Luhan. Wanita itu membeku, bergeming di tempatnya berdiri dengan tangan masih di awang-awang memegang seuntai kalung berbandul huruf S yang rantainya menjuntai ke bawah seperti air mata Luhan yang mengalir menuruni pipinya.
Kau selalu melindungiku, Sehun-ah. Kau sudah menjadi orang yang bisa melindungiku...
-o-
Sekolah sedang ada jam istirahat siang dan Chanyeol berhasil menyelinap kabur untuk berkunjung ke tempat syuting drama Baekhyun. Alih-alih menggunakan alasan mau memberitahu Baekhyun soal rencana piknik kelas, sebenarnya dia hanya ingin bertemu pacar mungilnya tersebut.
Seperti biasa, Chanyeol menyusup di antara kru film dengan menjadi salah satu dari mereka. Sambil membawa segelas minuman dingin dia berjalan kasual mendekati Baekhyun yang sedang duduk mengobrol akrab dengan lawan mainnya.
"Baekhyun-ssi, ini minuman yang anda inginkan."
"Aku tidak pesan minum—" Baekhyun menoleh heran namun kemudian matanya berkedip paham waktu mengenali wajah yang tidak asing dengan cuping telinga mekar dan senyum tersungging lebar persis orang idiot.
.
"BAEKKIE, AKU KANGEN!" Chanyeol bersorak sambil memeluk erat Baekhyun dan mengusap-usapkan pipi pada pundaknya. "Kangen kangen kangen kangen kangen kangen kangen kangen kangen kangen kangen kangen kangen kangen kangen kangen kangen kangen kangen."
Baekhyun menghela napas panjang. "Kita baru beberapa hari tidak ketemu—"
"Tapi rasanya seperti beberapa abad!" Chanyeol merengek.
"Aku tidak mungkin hidup selama itu." Baekhyun gusar.
"Kau galak seperti biasanya. Ah kyeoo~"
"Ada apa kau ke sini?" Baekhyun mendudukkan diri di kursi taman yang sepi setelah Chanyeol melepaskan pelukannya.
"Aku mau mengabari kalau kelas kita akan mengadakan piknik bersama di salah satu vila milik Sehun." Chanyeol duduk di sebelah kekasihnya.
"Kalian mau pamer kekayaan?" sebelah alis Baekhyun naik.
Pemuda bersuara berat menggelengkan kepala. "Habisnya mereka ribet waktu membahas tempat menginap dan tidak ada vila yang cukup murah yang bisa disewa anak-anak SMA. Makanya kami langsung bilang orang tua Sehun punya vila yang dapat digunakan sementara."
"Pasti lokasinya di dekat hutan," tebak Baekhyun dibalas anggukan Chanyeol.
"Dasar serigala." Artis muda itu melengos.
"Mau bagaimana lagi. Kami tumbuh di lingkungan hutan, sudah pasti tempat tinggal kami juga berdekatan dengan hutan." Pemuda tinggi itu mengedikkan bahu. "Kau akan ikut 'kan? Iya 'kan? Hm?"
"Jangan memutuskan seenaknya. Jadwalku padat—"
"Kyungsoo akan ikut." Kalimat Chanyeol membuat suara Baekhyun menghilang. Mengenal Baekhyun dalam rentang waktu cukup lama membuat dia tahu hal-hal yang tidak bisa ditolak gadis keras kepala itu, salah satunya Kyungsoo. Baekhyun akan melakukan semua hal jika ada kaitannya dengan sahabat dekatnya tersebut.
"Chanyeol-ah, aku dengar Kyungsoo terluka," desis Baekhyun.
"Oh, dia memang masuk rumah sakit. Kau dengar dari siapa?" balas Chanyeol ringan.
"Badannya terluka parah dan harus dioperasi sangat lama. Dia mendapat banyak jahitan dan juga transfusi darah," sambung Baekhyun mengalihkan pandangan matanya dari Chanyeol. "Apa yang terjadi?"
"Anu...aku dengar dia jadi korban tabrak lari." Pemuda bermata bulat menggaruk dagu, mencoba untuk berbohong.
"Mana ada tabrak lari yang menyisakan luka robek cakaran."
Kalimat Baekhyun men-skakmat sosok di dekatnya. Chanyeol terdiam, tidak berani menjawab.
"Aku peringatkan kau, kau boleh ada di sekitarku dengan catatan tidak melibatkan Kyungsoo di dunia kalian." Suara Baekhyun terdengar dingin.
"Maaf..." bisik Chanyeol. "Aku lengah. Kemarin bulan purnama dan Jongin lepas kendali. Dia melukai Kyungsoo. Tapi Jongin langsung menyesalinya dan kami juga sudah menghapus ingatan Kyung—"
PLAK! Tubuh Chanyeol mematung. Bekas tamparan di pipinya terasa panas namun sekujur badannya seperti membeku.
"Jangan pernah menyentuh Kyungsoo," desis Baekhyun. Air mukanya keras dengan sorot mata tajam. Ekspresi yang belum pernah Chanyeol lihat sepanjang dia mengenal gadis itu. Murka yang bahkan lebih menakutkan daripada kemarahan ibunya sendiri.
"Aku tidak peduli apa yang terjadi pada kalian, tapi jangan pernah melibatkan Kyungsoo," tegas Baekhyun. "Kalian para monster tidak berhak mendekatinya."
Bibir Chanyeol terkatup, perlahan kepalanya menunduk. "Ne, maafkan kami." Dia berbisik patuh.
Seperti halnya kehidupan imprintee yang sangat berharga bagi werewolf, maka semua perintah dan ucapan yang dikatakan menjadi semacam hukum bagi mereka. Jika imprintee berkata 'tidak' maka tak ada alasan lain bagi werewolf untuk membantahnya. Ucapan imprintee adalah mutlak dan yang bisa dilakukan werewolf hanyalah mengikutinya sebab menerima monster seperti mereka untuk menjadi pasangan hidup bukanlah hal mudah, para manusia berdarah serigala tidak berhak menuntut hal yang lebih.
"Kau mengecewakan." Baekhyun melepas kancing atas kemeja Chanyeol dan menarik rantai kalung yang melingkar di lehernya. Dengan cepat gerakan gadis itu dihentikan oleh telapak besar tangan Chanyeol yang mencengkeram kuat tangannya.
"Jangan, Baekhyun-ah. Aku mohon. Aku tahu aku salah. Aku akan memperbaikinya. Aku akan melakukan semua yang kau suruh. Aku mohon. Jangan ambil kalungku. Aku mohon, Baekhyun-ah," ucap Chanyeol cepat. Wajahnya nampak memelas. Dia bahkan berpindah dari kursi dan berlutut di tanah, merendahkan dirinya di hadapan gadis yang sedang murka.
"Aku mohon, Baekhyun-ah. Kalung ini segalanya untukku. Aku milikmu. Kau satu-satunya yang memiliki aku melalui kalung ini. Jangan mengambilnya. Aku mohon. Jangan buang aku, Baekhyun..." pinta pemuda bermata coklat penuh iba.
"Aku tidak butuh orang yang tidak bisa diandalkan," ujar Baekhyun tanpa ada gelombang pada sorot mata maupun suaranya.
"Maafkan aku. Maafkan aku. Aku minta maaf. Baekhyun-ah, tolong ampuni aku." Mata Chanyeol sudah berair, terlebih waktu dia merasa tangan kurus dalam genggamannya masih saja bergerak menarik kalung di lehernya, benda yang menjadi identitas seorang werewolf telah mendapat kehormatan memiliki seorang imprintee, benda sederhana yang menjadi simbol pengikat antara makhluk sepertinya dengan para manusia pilihan jiwa, benda yang lebih berharga daripada nyawanya sendiri.
Baekhyun menyentakkan tangannya, memutus rantai di leher Chanyeol dalam satu tarikan keras membuat seluruh tubuh pemuda tersebut lemas seketika. Pandangan mata Chanyeol berubah kosong, perlahan pegangannya di tangan Baekhyun terlepas.
Gadis bertubuh mungil bangkit berdiri, membuang kalung yang sudah putus di hadapan wajah pemuda yang menunduk mengikuti kilau logam yang berdenting di permukaan tanah. Baekhyun tidak mengatakan apa-apa, langsung pergi begitu saja tanpa tahu jika yang ia tinggalkan bukanlah seorang Chanyeol yang patah hati melainkan seorang werewolf yang baru saja dicampakkan dan gagal membahagiakan imprintee-nya.
-o-
Sore itu entah kenapa bangunan rumah sakit terlihat sangat besar di mata Kai dan koridor-koridornya nampak begitu panjang berliku-liku membuat kepalanya langsung berdenyut pening.
"Berbeda dengan orang bodoh tidak berguna yang bahkan meminta maaf saja tidak berani."
Kai kepikiran dengan cemoohan Tao padanya pagi tadi dan ia sadar jika sudah seharusnya dia—setidaknya—minta maaf pada Kyungsoo karena telah melukainya. Kai sudah memantapkan niat sebelum berangkat namun begitu telah sampai di lokasi entah kenapa niatnya barusan langsung kandas tak tersisa.
Apa aku berhak minta maaf? Aku sudah keterlaluan dan membuatnya terluka sangat parah. Dia pasti dendam padaku, pikir Kai pesimis.
Dia pasti akan bilang kalau maafku tidak berguna ataupun bisa membuatnya sembuh seketika. Kai terpuruk, berdiri menghadap dinding, dan menempelkan kening dengan kepala menunduk.
Dia pasti sudah membenciku, wajah pemuda itu muram saat mengatakannya.
Dia pasti tidak mau melihatku lagi...
"Kai-ya?" sebuah panggilan pendek terasa menyengat saraf Kai dengan tegangan ratusan volt. Pemuda itu terlonjak di tempatnya berdiri dengan wajah memucat kaget.
"Ternyata benar kau. Aku pikir aku salah mengenali orang." Kyungsoo bicara sambil tersenyum. Ada perban membebat tangan kirinya dan sebagian terlihat di pundak kanan melalui kerah baju yang menggantung longgar. Beberapa luka kecil di kening dan wajah hanya ditutupi oleh plester manis bergambar bunga hasil kerjaan tangan Kyungsoo yang didera rasa bosan.
"Kenapa kau baru ke sini dan tidak datang bersama teman sekelas kemarin?" Kyungsoo berjalan pincang mendekati Kai yang reflek mundur menempelkan punggung pada dinding.
"Umm..." bola hitam mata Kai berputar, mencoba mencari alasan tepat namun tidak juga dapat.
"Aku pikir kau sudah melupakanku. Hanya karena aku selalu memarahimu, kau jadi tidak mau menjengukku," ujar Kyungsoo. "Tapi sepertinya usahaku tidak sia-sia. Kau jadi makin rajin pakai dasi. Syukurlah~" Gadis itu mengulurkan tangan meraih dasi yang menggantung rapi di leher Kai.
Karena ini darimu dan kau yang mengikatnya sendiri, aku tidak bisa sembarangan melepasnya. Mata Kai meredup.
"Chanyeol..." suara Kai keluar untuk pertama kali setelah beberapa hari.
"Kenapa dengan Chanyeol?" kepala Kyungsoo meneleng heran.
"Chanyeol mungkin sudah menjelaskan semuanya, tapi aku masih ingin minta maaf..."
Kai tidak berani menatap mata Kyungsoo dan tidak tahu harus mengatakan apa lagi.
"Apa maksudmu?"
Pertanyaan tersebut membuat Kai tersentak kaget. Dia langsung mengangkat muka dan memandang gadis di depannya yang balas menatap dengan sepasang mata hitam yang menyorot polos.
"Apa maksudmu dengan Chanyeol sudah menjelaskan semuanya dan kau mau minta maaf? Kau mau minta maaf? Padaku? Untuk apa?" Kyungsoo menunjuk dadanya dengan bingung. "Bukankah seharusnya aku yang minta maaf padamu karena selalu memarahimu?"
Kai terdiam. Sebuah curiga merasuk ke indera perasanya.
"Kemarin Chanyeol kemari dengan Tao dan Sehun, mereka menjengukmu," ujar Kai membuat alis Kyungsoo mengerut keriting.
"Benarkah? Seingatku mereka belum ke sini." Dia menggeleng lugu. "Kau yang pertama ke sini setelah teman-teman sekelas kita. Tiga orang itu sama sekali belum kemari."
Jantung Kai berdegup kencang. Rasa curiga berubah menjadi was-was dan menjelma serupa tambur yang membuat seluruh badannya bergetar.
"Kau sakit kenapa? Apa yang membuatmu terluka?" Pemuda berkulit tan bertanya lagi seraya di dalam hati berharap tebakannya tidak menjadi kenyataan. Tentang sebuah perkiraan yang mungkin tidak akan bisa ia terima.
"Aku tertabrak mobil," jawab Kyungsoo. "Pelakunya langsung kabur dan sampai sekarang belum ketemu. Sepertinya tidak akan ketemu juga karena polisi tidak bisa mendapatkan bukti. Aku apes sekali ya 'kan? Ehe~"
Tubuh Kai terasa lemas. Badannya melorot turun dan terduduk di lantai membuat Kyungsoo memekik kaget.
Tao sudah menghapus ingatannya.
Kai merasa dadanya sesak, hatinya terasa sakit melebihi ketika dia menyesal setelah menyerang Kyungsoo. Dilupakan oleh gadis itu bahkan sebelum dia sempat meminta maaf, ternyata bisa membuatnya merasa semakin tidak berguna seperti ini.
Kai masih terdiam, menatap lantai dengan mata gamang seolah tidak dapat mendengar suara Kyungsoo yang terus memanggilnya dengan panik dan menggoyangkan badannya berkali-kali.
"Kai? Kai-ya, kau baik-baik saja? Kai, bicaralah padaku. Ada apa? Kai?"
-o-
Orang bilang cinta itu indah, seperti pijar perak bulan purnama.
Namun bagaimana jika purnamaku berbeda?
Purnamaku tidak perak, tidak juga indah
Dia merah, terbias di mata yang berdarah
Dia baru terlihat indah saat ditutupi bayanganmu
Yang datang untuk memungutku
Jangan menjauh, biarkan aku di sisimu
Ku tak perlu cintamu, hanya biarkan aku mencintaimu
Begitu saja, sudah cukup untukku
Full Moon
2014 - 2018
-END-
Terima kasih karena sudah setia mengikuti cerita ini dari pertama rilis, hiatus 4 tahun, dan sekarang sudah tamat.
Terima kasih untuk semua review, follow, dan favonya.
Terima kasih untuk kalian para readers setia yang bikin Myka semangat ngelanjutin cerita ini lagi.
Terima kasih untuk para fans yang masih setia sama KaiSoo.
MAKASIH SEMUANYA :***