A fan fiction based on Fujimaki Tadatoshi's Kuroko no Basuke.
Beware of boyXboy relationship!
Walau hanya sekejap, karena dia sama sekali tidak menduga akan mendengar kalimat itu terucap dari kaptennya.
"Akashi-kun―"
Kuroko menunggu hingga sepasang mata dwiwarna itu bertemu dengan safir cerah miliknya. Menangkup satu tangan dalam genggaman dan melanjutkan "Akashi-kun tahu sendiri kami ini orang-orang yang penuh ego, ne? Rasanya sudah tidak terhitung saat kami, juga Akashi-kun, saling menyakiti karena hal itu. Karenanya, apa yang membuat kami tetap bersama jelas bukan kesadaran diri, tapi kau.
Akashi-kun yang tetap membawa kami bersamanya. Menjadi teman, menjadi guru, menjadi satu titik konstan yang selalu dapat kami andalkan ―dan sekarang Akashi-kun bertanya kenapa kami masih disini?"
Pemain bayangan keenam itu membelai lembut surai merah sang kapten. Menyisip satu dan dua helaian selayak sutra ke belakang telinga.
"Akashi-kun… pertemanan itu dua arah bukan? Kau sudah menjadi kapten kami selama ini dan akan selalu untuk waktu yang sangat lama. Sudah sewajarnya kami selalu ada untukmu. Kami ingin selalu ada untukmu."
Satu kecupan di dahi menjadi argument terakhir Kuroko Tetsuya.
Gravitasi
―karena para keajaiban tidak akan pernah bisa melepas gravitasi sang kaisar.
.
"Aku sudah janji tidak akan membuat kalian khawatir, bukan?"
.
.
Malam itu musim panas penuh bintang.
Walaupun di kota sebesar Tokyo, kerlap-kerlip cahaya langit masih semangat menampakan sinarnya. Memberi warna pada gelap yang melingkupi, pun tak segan bersaing bersama ribuan lampu untuk menunjukkan siapa sang dewi malam yang sebenarnya. Dia merasakan angin malam dalam larinya, satu yang biasanya terasa sangat ramah dan kini tak ubahnya tamparan. Membuat dingin air mata yang merambat di pipi pucat semakin dekat dengan kata beku.
Dia bergidik, entah karena dingin atau yang lain. Jaket biru khas Kaijo yang memeluk tubuh semakin dieratkan, sembari dua mata hazel mencari satu tempat duduk kosong di stasiun Shinjuku yang masih ramai meski jarum jam hampir menunjuk angka 9.
Kise Ryōta merogoh ponsel disaku dengan tangan yang masih gemetar. Jemari lentiknya mengusap layar, memilih deretan nama, dan terdiam―
Aku harus bicara dengan seseorang. Tapi.. siapa? Kurokocchi… tidak. Terlalu dekat. Momoichi juga. Ahh.. Akashicchi.
"A-akashicchi?"
Teleponnya dijawab dalam dua deringan, "Ryōta? Ada apa?"
"A-aku.." suara tenang yang datang dari seberang membuat isak yang sejak tadi ditahannya pecah. Kise mencoba kembali, dan tetap yang terdengar adalah isak tangis dan napas yang tersengal. Dia melanjutkan tangisannya dalam beberapa satuan waktu, dengan dia yang diseberang masih sabar menunggu.
"Ma-maaf karena mengganggu-ssu." Ujarnya setelah sekian lama.
"Hm.. Kau ada di mana sekarang?"
"Eh.. S-stasiun Shinjuku." Kise terdistraksi sejenak mendengar pertanyaan tak terduga dari kaptennya. Mata sewarna amber mengerjap, mencoba menyeka bulir cairan bening yang terus mengalir di pipi yang terlihat lebih pucat dari biasanya. "Aku b-baru mau pulang ke Kanagawa-ssu."
Kise memutuskan berdiri kini. Mulai melangkah gontai pada gerbang masuk stasiun yang berada tak jauh dari tempatnya terduduk. Dilihatnya, lalu lalang orang dengan beragam tipe pakaian sibuk dengan dunianya masing-masing. Pada kumpulan pemuda yang tengah menunggu kereta disamping peron, saling bercanda. Pada pria dan wanita dewasa berwajah serius yang sibuk memencet ponsel ditangan.
"Aku sedang di rumah, kau datanglah kesini. Akan ada yang menjemputmu di Stasiun Kyoto nanti."
"E-eh? Tapi aku tidak membawa apapun-ssu." Kise mematung kini. Tangan kanannya yang akan menscan kartu kereta untuk memasuki peron menuju Prefektur Kanagawa refleks terhenti. "Bukankah Akashicchi sedang liburan? Apa kah tidak apa-apa aku menganggu?"
Kise hanya pernah sekali berkunjung ke kediaman Akashi di Kyoto.
Satu saat mereka, generasi keajaiban, meraih kemenangan keduanya di All School Nationals. Kemenangan pertama bagi Kise, yang dirayakan dengan liburan singkat ke Kyoto. Akashi mengusulkan untuk menginap di rumahnya saat itu, berdalih supaya tidak perlu repot mengurus penginapan dan akan lebih hemat biaya. Kalimat yang sangat meremehkan, tentu, karena menginap di kediaman Akashi di Kyoto bahkan terasa jauh lebih baik dari pada hotel bintang lima.
Satu pilihan yang sangat menggoda dari pada pulang ke Kanagawa dan disambut oleh kamar sepi miliknya di asrama Kaijo. Plus there will be his captain, someone who always have a solution for every goddamn problem. Of course Kise will chose him in a heartbeat.
"Ayah sedang di Hokaido minggu ini, kau bisa menemani akhir liburanku sebelum aku kembali ke Paris."
"―te-terima kasih banyak, Akashicchi."
Senyum kecil mulai tersungging pada wajah yang murung, dengan langkah kaki yang mulai terganti pada peron lain dengan arah Stasiun Kyoto sebagai tujuan. Ditelinganya, suara tenang Akashi masih menjadi distraksi terbesar yang mampu mengalihkan dari segala pikiran yang terasa sesak dikepala.
"Ku dengar kau mulai merambah ke akting, ya?"
"Ah, aku masih belum memutuskannya-ssu. Nee-san sempat mendapat tawaran untukku bermain di salah satu film berseri sebagai cameo, tapi aku pikir itu akan memakan banyak waktu luangku. Disamping modelling dan latihan, aku hampir tidak punya waktu untuk istirahat. Aku pikir.. mungkin aku lebih baik menunda hal itu, ne, Akashicchi?"
"Kau yang paling tahu kemampuanmu, Ryōta. Tapi ku rasa tidak buruk untukmu mencobanya. Kau suka mencoba hal baru, bukan?"
Setelah itu, percakapannya mengalir mudah.
Kise tahu Akashi bukan orang yang banyak berbicara. Kaptennya lebih menyukai ketenangan dengan detak bidak Shōgi yang kadang menyela, terkadang obrolan dengan Kuroko atau Midorima saat merasa ingin. Sang kapten generasi keajaiban itu sama sekali bukan tipe orang yang akan terlibat dalam obrolan ringan untuk basa-basi.
But hell, if Akashi Seijurō didn't have the most perfect skill in a good tête-à-tête.
Dia masih berbicara dengan nada tenang yang menguarkan aura penuh percaya diri. Menyenangkan dan mengakomodasi untuk menjadi pendengar yang baik, membuat Kise yang memang secara natural adalah seorang pembicara handal bebas mengekspresikan apapun. Pemilik posisi small forward itu sadar tentu, bahwa sang kapten sejak tadi tidak menanyakan apa maksud Kise menghubunginya dengan terisak. Tidak menyinggung hal janggal yang harusnya dibicarakan dan membatasi pembicaraan mereka dengan tema yang ringan. Jauh dari basket, jauh dari sekolah, jauh dari seorang rekan. Tanpa diminta, mengerti bahwa Kise membutuhkan satu distraksi yang mampu memberinya kekuatan melangkah. Mengabaikan bagaimana kedua kakinya yang sejak tadi menjerit sejak pertandingan, jantung yang sejak tadi terasa sesak, dan pikiran yang tak hentinya berputar pada satu kejadian beberapa satuan waktu lalu.
"Kau sudah di kereta?"
"Hai, sepertinya ini kereta terakhir ke Kyoto untuk malam ini. Aku beruntung-ssu!"
Dia memilih meletakan ransel dipunggung pada tempat duduk disebelahnya. Mengamati bahwa dirinya adalah satu dari beberapa penghuni pengisi kereta yang terlihat kosong. Kise menyandarkan tubuh lelahnya pada kursi dibelakang. Memejamkan mata.
"Akashicchi.. bolehkah kita tetap berbicara?"
"Tentu saja. Kau mau mendengar cerita tentang acara fashion di Paris yang kuhadiri bulan lalu?"
….
"The rules applies to you too, Daiki. Touch my Kiseki, and you die."
"Hey! I'm your Kiseki, too! Itu diskriminasi namanya. Berhenti pilih kasih pada mereka―"
Akashi memutus panggilan di ponselnya ketika mendengar nada suara Aomine Daiki yang semakin meningkat. Dia menghela napas saat melihat waktu yang menunjukkan hampir tengah malam.
Dia harusnya sudah sampai, sekarang.
Pemuda berambut merah itu mengantongi ponselnya saat mendengar suara ketukan di pintu.
"Seijurō-sama, Kise Ryōta-san sudah sampai."
"Aku akan segera turun. Terima kasih Sawada-san."
Suara langkah kaki yang beradu dengan marbel bercorak menjadi satu-satunya yang terdengar saat Akashi melangkah keluar. Menyusuri koridor panjang dari kamarnya menuju tangga utama, dan melihat sosok Kise Ryōta yang memasuki pintu bersama pelayan pribadinya. Matanya menyusuri bagaimana penampilan pemain kunci Kaijo High itu terlihat sangat berbeda dari biasanya. Jersey biru yang dipakai asal, rambut yang berantakan, mata sembab pada wajah pucat dengan bekas air mata. Jangan lupakan bagaimana caranya berjalan yang terlihat kaku. Jelas jauh dari kesan anggun seorang model yang biasa dibawanya.
Senyum yang terlihat menyedihkan terdengar bersama satu suara riang. "Akashicchi! Hisashiburi dana-ssu!"
Untuk kesekian kalinya, Akashi menghela napas malam ini. "Ryōta, apa kabar?"
Begitu tiba didepan Kise, Akashi sigap menarik sebelah tangannya. Mengalungkan pada pundak untuk menopang setengah berat tubuh dari pemuda yang lebih tinggi, dan mulai memapahnya.
Kise memekik terkejut. "E-eh. Akashicchi―"
"Kau jauh dari kata baik, tentu. Berhenti memberi beban pada kaki kananmu, Ryōta."
Mendengar ini, Kise dapat merasakan seluruh pertahanannya runtuh. Batas terakhir adrenalin yang tersisa dari pertandingan mengabur, membuatnya terjatuh penuh dalam topangan sang kapten. Akashi memang lebih pendek darinya, tapi tidak mengurangi bagaimana tubuh yang kini membawanya menjauhi pintu terasa solid. Kokoh. Menguarkan janji untuk mampu menahan apapun beban yang dia punya.
Tanpa sadar, air matanya kembali mengalir. Terisak.
Ahh.. kupikir air mata ini sudah kering.
Membawa satu kenangan nostalgia saat tahun lalu, saat dia juga terisak dalam topangan Kasamatsu Yukio setelah dikalahkan Aomine dengan dua kaki yang tak lagi kuat berdiri.
Kise merasakan bagaimana Akashi juga mengacak rambutnya. Mendengar bagaimana pemuda disampingnya berbicara pelan pada butler yang mengikuti mereka. Melihat lintasan anak tangga dan koridor yang penuh dengan desain klasik terlewati. Tidak dipedulikan, tentu. Apa yang penting adalah dia tidak sendirian sekarang. Dia bersama Akashi. Kise tahu dia bisa mengandalkan kaptennya.
"Minum dulu, Ryōta. Habiskan."
Dia meleguh pelan saat dua kakinya akhirnya bebas beban. Tanpa sadar sudah terduduk dengan satu selimut yang tertangkup di punggung. Kise menangkup satu cangkir berkepul yang disodorkan Akashi dan meminumnya perlahan. Menikmati bagaimana hangat chamomile tea menjalar ke seluruh tubuhnya yang dingin. Dia dapat merasakan otot kaku ditubuhnya mulai melemas, membuatnya bisa menyandar nyaman pada sofa empuk yang menopang.
Menit berlalu saat fokus pikirannya kembali menajam. Mengamati kalau mereka sekarang berada di kamar luas bernuansa senada dengan tema rumah ini, klasik modern. Kuarter pribadi Akashi, jika melihat pada corak burgundy dan emas lembut yang mendominasi, serta biola cokelat tua yang bertengger anggun dalam lemari kaca. Menoleh, dia mendapati Akashi Seijurō yang juga menyandar pada sofa dengan mata terpejam disampingnya.
"Akashicchi?" bisik Kise.
"Hm?"
"Arigatou-ssu."
"Kau banyak mengatakan 'terima kasih' malam ini."
Kise tersenyum kecil. Kini menangkap sorot dwiwarna sang kapten yang juga terbuka menatapnya. Dengan kepala yang sama-sama menyandar pada sofa, dan suara pelan yang saling tertukar.
"Hum. Ini pertama kali aku bertemu Akashicchi lagi sejak di Narita, ya?"
Akashi menggumam membenarkan. Memilih tetap dalam diamnya, dengan dua mata yang kembali dipejamkan. Paham dan bersedia menunggu hingga pemuda disebelahnya siap berbicara.
"I.. told him, finally. I told him, and he rejected me-ssu. Said something about never feeling that way for me." Dia menjeda. Menarik napas yang terasa sesak. "―dan itu sakit sekali rasanya. Aku tahu dia tidak mungkin merasakan hal yang sama denganku. Aku tahu, dan aku masih tetap mengungkapkan perasaanku padanya. Tepat setelah dia mengalahkanku ―lagi. Aku bodoh sekali ya, Akashicchi?"
Sunyi menyela dalam beberapa satuan detik.
"Aku selalu memandangnya sebagai tujuanku, idola yang menjadi alasanku untuk terus bermain. Tapi… entah kapan perasaan kagum itu berubah menjadi sesuatu yang lain. Atau jangan-jangan selama ini perasaan itu bukan 'kagum'? All I know was I already love him all this time. Meskipun itu bodoh, tapi rasanya aku tidak bisa berhenti berharap agar dia melihatku walau sejenak. Aku tahu itu egois-ssu.
Aku merasa… aku sudah menghancurkan apapun ikatan yang kumiliki dengannya malam ini. Dia pasti akan menjadi canggung denganku, dan dengan kalian semua. Karena aku yang terlalu lemah untuk menahan perasaan bodoh ini, pertemanan kita menjadi taruhan sekarang. Akashicchi pasti kecewa denganku, ya? Gomenne-ssu."
Akashi membuka matanya sekarang, menatap langsung pada sepasang mata amber disampingnya dan melihat kekalahan. Pada pandangan mata yang terarah padanya, dia hanya melihat tatapan kosong tanpa jiwa. Seolah pemiliknya sudah menyerah untuk melakukan apapun terhadap sakit yang diderita.
"Ryōta," dia menyibak surai pirang Kise, memastikan perhatian pemain kunci Kaijo itu benar terarah padanya. "Kemarilah."
Yang dipanggil namanya merasa tenggorokannya tercekat. Sepenuhnya menyambut gesture tak biasa dari Akashi dan tak membuang waktu untuk menghamburkan diri pada pelukan sang kapten.
Sejak di Teikō, para keajaiban memahami bagaimana Kise yang terlalu nyaman dengan skinship dan Akashi yang terbiasa memberi batasan personal disekitarnya. Umumnya, mereka memaklumi dan mulai terbiasa dengan tingkahnya. Kuroko, Aomine, dan Momoi tidak peduli dengan satu atau dua pelukan, bahkan terkadang menjadi sosok yang menginisiasi. Murasakibara lebih sering menepuk ―mengacak kasar, kepalanya saat merasa Kise bertingkah lucu, atau menyebalkan. Midorima memilih satu tepukan solid di pundak untuk menunjukan apresiasi setiap satu kemenangan tercipta.
Akashi… well, Akashi shows his appreciation with a smile and some approval words.
―dan Kise menghormati hal itu. Untuknya yang mengundang satu pelukan, gesture yang hanya diberikan pada satu Kuroko Tetsuya dengan konteks yang benar-benar berbeda, membuat pemain Kaijo itu merasa special malam ini.
Kaptennya mengerti dia adalah sosok yang nyaman dengan sentuhan. Tahu bahwa terkadang, kata-kata penghiburan itu tidak dibutuhkan dan satu pelukan erat adalah obat dari segala penyakit hati.
―dan Akashi memberikan semua itu padanya, bukan? Teman berbicara saat dia terlalu malu menceritakan sakitnya pada Kuroko atau Momoi, tempat berteduh saat kembali ke asrama Kaijo atau ke rumah adalah pilihan yang menyedihkan. Terayomi, saat beban di pundak sudah melampaui batas nyaman.
Dia masih menyandar nyaman pada pundak tegap sang kapten Rakuzan. Terbalut dalam tenang denyut nadi dari kulit leher yang menempel di pipi, juga belaian lembut yang terasa di punggung. Menikmati bagaimana dia merasa aman dalam pelukan pemain basket yang ditakuti seluruh komunitas basket seantero negeri.
"Cry it out, Ryōta" bisik Akashi akhirnya. "Menangislah sampai puas malam ini. Hanya malam ini."
Kise hanya menyahut dengan satu dan dua senggukan.
"Besok, kau akan kembali berdiri dan menjalani hidup seolah semua baik-baik saja. Hal ini masih terasa menyakitkan, tentu, tapi bukankah hidup memang demikian?
Kau akan merasa sakit, menangis, hingga suatu saat berakhir tersenyum. Seperti dalam pertandingan, selalu menyakitkan saat kita kalah, ya? Tapi bukankah sakit itu yang menjadi kekuatan untuk kembali menantang lawanmu hingga kau menang?"
Suara tenang itu menjeda sejenak.
"Satu lagi yang perlu kau ingat. Aku tidak bisa mengatakan apapun tentang apa yang kau rasakan padanya. Tapi, kau harus tahu satu hal. Apapun yang terjadi, kau adalah bagian dari kami. Kita sudah saling menyakiti satu sama lain, bukan? Dan kita masih tetap memiliki ikatan ini. Tidak ada apapun yang akan membuat kita 'canggung' Ryōta.
Kalau kau membutuhkan apapun, aku dan yang lain, even him, will always come to you running in the first place. Don't ever doubt that."
Satu senyum lega di bibir Kise Ryōta akhirnya terbentuk malam ini.
Luar biasa bersyukur saat dulu, Akashi lebih memilihnya daripada Haizaki Shougo. Membuatnya merasakan tidak hanya menjadi bagian dari prodigy basket yang disegani seantero negeri, tapi juga menariknya dalam satu gravitasi bersama orang-orang yang mampu dipanggilnya keluarga.
Gravitasi yang tidak akan pernah disesali, dan akan dijaganya seumur hidup.
.
.
Minggu terakhir Oktober: Gymnasium 3, Rakuzan High
"Heh. Kalian benar-benar membuatku kesal."
Satu kalimat dari dia yang sedang mendrible bola terdengar. Akashi Seijurō berkata dengan nada tenangnya yang biasa, meski demikian, tidak mengurangi pesan kekesalannya untuk tersampaikan dengan sempurna. Terbukti dengan gymnasium 3 yang menjadi markas utama tim basket string pertama Rakuzan High yang tiba-tiba terdiam.
"Sepertinya kalian meremehkanku karena aku seorang Point Guard. Tapi asal kalian tahu saja, aku masih bisa bermain one-on-one seperti skorer." Nada sarkasme kental terdengar dari suaranya. Akashi menatap santai tiga orang didepannya yang kini mematung, meneruskan drible asalnya pada bola orange ditangan dan menikmati bagaimana ketegangan yang terbentuk saat semua orang di lapangan menunggu kelanjutan kalimatnya.
"Kalau begitu ayo buat ini lebih menarik. Tetsuya, kau istirahatlah dulu sampai Atsushi kembali. Ryōta dan Shintarou, kita akan bermain two-on-one, full court, selama 10 menit. Yang menang akan berlari mengelilingi lapangan seratus putaran."
Dua pasang mata berbeda warna melebar.
"Akashicchi!"/"Akashi! Kau tidak perlu melakukan itu!"
"Kalian tidak perlu khawatir, karena Aku yang akan menang. Tapi jantungku tidak akan kuat untuk berlari selama itu. Mungkin aku akan benar-benar mati kali ini."
Semua yang mendengar ini memucat.
"Wakaba-kun? Kau yang akan menjadi wasit dan time keeper kali ini."
Akashi mengerling pada sosok berambut hitam disisi lapangan. "Ha-hai! Kapten!"
"A-aku akan mencatat skornya apabila demikian." Momoi Satsuki menyela. Bergegas untuk berdiri disamping papan skor yang membuat satu senyum dan anggukan setuju dari sang kapten terbentuk.
"Akashicchi.. jangan bercanda-ssu. Kau tahu kami tidak bisa mengalahkanmu."
Akashi menatap Kise yang kini berada didepannya. Menangkap satu tatapan panik dari sepasang mata amber dan membalas dengan satu alis yang terangkat. "Kalau begitu kau tidak perlu khawatir dengan hukumannya kan, Ryōta?"
"Akashicchi!"
"Berhenti bercanda Akashi! Lagi pula, tidak ada yang meremehkanmu, nanodayo! Kenapa aku harus menahan diri saat latihan dengan kalian? Terlebih denganmu, hah? Kau tahu aku selalu menganggap serius lawanku."
"Heh. Apakah benar demikian, Shintarou? Baguslah. Kita bisa memulai pertandingan kali ini kalau begitu." Pemuda bermata dwiwarna itu melirik kembali pada wasit sementara mereka dan memberi satu anggukan sebagai isyarat, kini mulai bersiap dalam posisi bermain.
"I'll have the first ball―"
Dua rekannya melebarkan mata sekarang.
"―dan aku tidak pernah meremehkan lawanku, seperti kalian." Sebelah matanya berpendar kini, satu pupil sewarna amber melebar, dua tangan mendrible bola dengan kecepatan yang semakin meningkat, dan menerobos melewati dua anggota Kiseki no Sedai di depannya yang terjatuh.
Emperor Eye.
.
.
Saat Kagami Taiga menyetujui untuk menengok ―ehem, his boyfriend, all the way to Kyoto, dia tidak mempersiapkan hal ini.
Baiklah, dia memang tidak tahu apapun tentang Rakuzan High dan letak asramanya (Hei! Itu mudah. Tinggal menghubungi Aomine dan meminta petunjuk bukan?). Dia juga baru sadar kalau baterai ponselnya sudah habis sejak turun dari kereta tadi (Well, tidak masalah. Tinggal bertanya pada murid yang lewat). Sayangnya Kagami juga baru menyadari kalau dirinya datang pada akhir minggu, menandakan bahwa lalu lalang murid yang akan ditanyainya tidak terlihat adanya.
Penjaga gerbang berwajah seram di depan sana sudah beberapa kali meliriknya penuh curiga.
"Well, what should I do now, huh?"
"Kagamichin?"
"Murasakibara!" satu seruan itu diucapkan dengan perasaan lega. Melihat sosok tinggi menjulang Murasakibara Atsushi yang familiar, baginya seolah malaikat penyelamat di belantara asing yang merupakan Rakuzan High. Murasakibara menunjuk pos penjaga, isyarat yang Kagami sambut dengan mengeratkan pegangan pada tas punggung hitam ditangan dan berlari mendekati gerbang. Mendapati sosok tinggi berambut ungu yang kini sudah mengakhiri perbincangannya dengan penjaga gerbang.
"―teman Akachin."
"Ini kartu pengunjungnya. Jangan lupa kembali kesini saat sudah pulang, ya."
"Hai~ Arigatou gozaimasu, Satou-san."
Kagami tersenyum lebar saat Murasakibara membuka gerbang didepannya. Menerima kartu pengunjung dengan tali berwarna biru muda, dan mulai melangkah mengikuti pemain tengah Rakuzan High yang tinggi menjulang.
"Gymnasium 3 ada di belakang gedung utama. Kau tinggal mengikuti jalan ini. Aku tadi melihat Minechin sudah menunggu." Murasakibara berujar dengan nada malasnya yang biasa. "Kalau begitu aku pergi dulu ya, Kagamichin."
"Eh? Kau tidak ikut latihan memangnya?" Kagami baru menyadari pakaian kasual Murasakibara yang tidak cocok untuk latihan. "Kata Aomine kalian masih ada latihan terakhir sebelum ujian tengah semester, bukan?"
"Aku ada kegiatan klub lain, Akachin sudah mengijinkan. Bye~ Kagamichin."
Saat punggung tinggi pemuda berambut itu semakin menjauh, Kagami hanya bisa menatapnya dengan dagu yang menyentuh tanah. Kegiatan klub lain? Akashi yang itu membiarkan anggotanya menghadiri kegiatan klub lain saat ada latihan terakhir sebelum ujian? Dan saat perempat final Winter Cup tinggal beberapa minggu lagi?
Heh. Rasanya kejutan dari kapten berambut merah itu tidak akan ada habisnya. Pasti mati kalau dengan coach Riko.
"Ck. Lama sekali kau."
Satu urat kesal terbentuk di dahi saat pemain berambut merah itu mengakhiri perjalanannya didepan pintu masuk gedung olahraga 3. "Dasar tidak tahu terima kasih. Aku jauh-jauh mengunjungimu dari Tokyo, dan kau memberikan sambutan macam ini kepadaku? Aku hampir satu jam berdiri tidak jelas di depan gerbang tahu. Kenapa kau tidak peka sedikit dan menunggu disana?"
Aomine Daiki mengacak rambutnya dengan sebelah tangan yang tidak terbalut perban. Masih dengan pose malas menyandar pintu, bergeming tanpa berniat melakukan sapaan lebih lanjut dengan kekasih yang kini tak berjarak ratusan kilometer. Kagami merasa sial sekali mendapatkan 'significant other' yang seperti ini.
"Kau sendiri yang berkata akan menghubungiku saat sudah tiba di Rakuzan, bukan? Kenapa aku harus repot-repot menungu di gerbang seperti orang kurang kerjaan begitu?"
"Ponselku mati, bodoh!" yang berambut merah menyahut kesal. "Dari pada itu, bagaimana tanganmu?"
"Oh, yang beginian ini? Paling beberapa hari juga sembuh. Aku nyaris mati ketakutan saat ke klinik kesehatan karena ku kira serius. Akashi bisa membunuhku kalau sampai aku melewatkan Winter Cup karena cedera konyol ini."
Sang power forward generasi keajaiban memandang tangan kanannya seolah perban cokelat yang membalut luar biasa menyinggung. Menghela napas pasrah akan latihan yang pasti berlipat, sebelum menarik pemuda berambut merah yang kini didepannya mendekat.
Satu kecupan singkat dibibir akhirnya dilayangkan. Kagami bersemu menyaingi rambutnya.
"Kau memang bodoh ya. Siapa juga yang bisa terkilir karena terpeleset di kamar mandi? Memangnya kau bocah lima tahun?"
Aomine bergumam tak jelas sebagai jawaban. Memilih mulai melangkah masuk mendekati riuh latihan di dalam gedung yang semakin semarak.
"Oho. Kau mengijinkanku melihat waktu latihan Rakuzan? Tidak takut aku akan tahu strategi kalian di perempat final nanti?"
Satu seringai penuh percaya diri yang mengembang menjadi jawaban Aomine. "Heh. Lihat saja semaumu. Kami tidak pernah butuh strategi dilapangan sekarang. Kaisarnya turun langsung sih. The strategy will be delivered on the spot with a silver platter. Maaf saja ya, tapi kalian tidak akan punya kesempatan setelah ini."
Kagami melirik sinis pada sosok disampingnya. "Aku akan sangat puas menertawakanmu saat berhasil mengalahkan kalian semua di final nanti."
Sosok berambut navy itu mengendik tak acuh mendengarnya. Masih menarik Kagami dengan sebelah tangan yang terkalung santai di pundak. Begitu sepasang kaki mereka mendekat ke tengah lapangan utama, derap langkah dan decitan sepatu yang beradu dengan lantai kayu terdengar jelas saling menyahut. Pantulan bola berwarna jingga berfluktuasi dengan ritme beragam. Berganti tak menentu dalam tiap detik yang terlalui.
Satu detik setelahnya, Kagami dan Aomine disambut dengan Akashi Seijurō yang terlihat mengelap keringat di dahi dengan ujung kaosnya setelah satu windmill dunk sukses berbuah angka.
Sang Ace Seirin High mengerjap. "Damn him. Kau yakin dia baru bangun dari koma satu minggu lalu?"
Aomine Daiki hanya mengendikan bahu mendengar komentar ini. Disampingnya, Kagami Taiga masih memfokuskan sepasang mata tajam pada tiga sosok Generation of Miracles yang tengah bertarung lincah dilapangan. Well, what a sight, indeed.
Kise tengah memegang bola kini. Sepasang mata lincah mengamati bagaimana lawan di depan masih membayanginya tenang. Crossover, back change, dan menarik kembali bola yang akan diarahkannya ke Midorima. Mendapati bahwa Akashi sudah menunggu dari arah yang sama, dia memutar arah. Kise melakukan turn over cepat untuk melepaskan diri dari tanda kaptennya, yakin bahwa dia sudah cukup jauh dari jangkauan Akashi dan bersiap mengoper, hanya untuk menyadari bahwa bola di tangannya sudah terlepas.
"Percepat tempo driblemu, Ryōta. Kau akan kesulitan saat menghadapi point guard yang memiliki jangkauan pandang luas."
Akashi mendrible cepat. Berlari hingga mendekati batas three point, berhenti sedetik dan melakukan pivot saat melihat Midorima mendekat. Dia dapat melihat saat pusat gravitasi Shooting Guard itu berporos di kaki kiri, efek langsung dari pemberhentian tiba-tiba, dan meloncat langsung. Memanfaatkan jeda waktu lompatan lawannya yang terlambat, masih dengan posisi membelakangi Midorima, Akashi memutar di udara menggunakan daya hentak kakinya yang sebelumnya menjadi tumpuan. Melemparkan langsung satu tembakan yang mirip dengan formless shot andalan Aomine dan melihat bagaimana bola orange itu melewati ring dengan mudah.
30-23
Dia yang menjadi point guard saat ini mengatur napasnya yang memberat. Berhadapan dengan Akashi sangat menyebalkan sebenarnya. Saat melawan Aomine atau Kagami, Kise tidak perlu berpikir apapun. Membiarkan insting liarnya melakukan drible cepat, untuk lepas dari penjagaan. Didepan Akashi, mau tak mau dia harus menyesuaikan tempo cepatnya pada permainan perebutan bola yang penuh kalkulasi khas seorang point guard. Dimana dia harus memperhatikan setiap langkah, gerakan, mencari celah dan―
Got you, Akashicchi! Dia melakukan satu langkah jauh, turn over cepat sebelum Akashi sempat mengejar dan mengoper bola ke Midorima.
"Kau lama sekali Kise." Ujarnya saat selesai menembak.
30-26
"Apa kau bilang? Melewati Akashicchi jelas bukan hal mudah, Midorimacchi! Kau cobalah menjadi point guardnya kalau begitu-ssu!" protes Kise bersama suara bola yang membentur lantai.
"Heh. Itu bagus sekali, Ryōta." Akashi berjalan santai dari sisi lapangan miliknya kini. "Aku pikir kalian pasti bosan dengan tempo permainan ini. Akan ku tunjukkan apa maksudku tentang permainan a la skorer tadi kalau begitu."
Dua lawan didepannya bersiap saat melihat Akashi melakukan drible. Kini berlari membawa bola tanpa gerakan kalkulasi. Midorima dan Kise menghadangnya, melakukan double team dengan blok dan percobaan steal langsung. Akashi membalas dengan satu langkah mundur untuk memberi jarak dari dua pemain didepanya. Dua tangan masih lincah melakukan drible bergantian, kini menggunakan kecepatan dan kelincahan guna mempertahankan bola ditangannya.
Midorima melihat pandangan sang kapten terlepas darinya. Memilih waktu tersebut untuk melakukan steal bersamaan dengan Kise yang mencoba dari arah berlawanan. Akashi memindah bola dari tangan kanannya melewati bawah kaki, dan melemparnya keluar melewati sisi buta Midorima. Melepaskan diri dari double team lawannya saat fokus mereka beberapa detik teralih, dia mengejar bola yang telah lepas. Menangkapnya cepat setelah satu pantulan dan melanjutkan hingga bawah ring, sebelum mengakhiri dengan windmill dunk dan tangan kiri yang masih menggantung.
32-26
Akashi menarik napas panjang. Mencoba menenangkan jantungnya yang mulai eratik, dan menatap tenang pada dua orang didepannya yang juga terengah.
"Ini gawat sekali." Komentar Kise ditengah napasnya yang semakin berat. "Oi Midorimacchi, apa yang harus kita lakukan-ssu?"
Midorima mengusap wajahnya yang seolah banjir keringat. Dia memang tidak berhadapan langsung dengan Akashi seperti Kise, tapi rasanya tekanan dari defense dan blocking saja sudah membuat tenaganya terkuras. Damn, Akashi memang sekuat ini, huh.
"Kise.. bisakah kau melakukannya lebih cepat?"
"Maksudmu―"
"Ya. Tidak perlu memikirkan cara untuk melewatinya, cukup lakukan passing padaku lebih cepat. Aku benci mengatakan ini, tapi kita hanya memiliki kesempatan di kecepatan dan outside offense, nanodayo."
"Maa.. hai, hai. Aku tidak akan bertahan lama, tapi, sedikit tidak sopan memang kalau menghadapi Akashicchi tanpa bermain all out-ssu."
Kise menangkap bola yang dilemparkan Akashi, menarik napas panjang dan memulai driblenya. Lebih cepat. Dia menghindari steal Akashi dengan satu elakan kebelakang. Lebih cepat. Fokuskan seluruh tenaga dan konsentrasi, crossover, elakan lainnya, mulai bergerak seperti Aomine Daiki. Perfect copy.
Dia mengoper bola pada sang shooting guard saat Akashi terlambat menyadari turn over miliknya.
32-29
"Yosh!"
"Dua menit terakhir!"
Bola kembali berpindah.
Akashi memulai serangannya dengan gerakan cepat lain. Permainan street ball untuk mengimbangi Kise yang kini sudah berada didepannya. Bola berpindah dari dua tangan pucat dibelakang badan, mengelak dan mempertahankan. Derap langkah dari dua pasang kaki saling bersahutan, dengan tubuh yang saling mendorong dan tangan yang mengelak dan mempertahankan.
Aku harus lebih cepat-ssu! Bagaimana bisa Akashicchi bergerak secepat ini?!
Sekarang!
Satu steal saat Akashi menjeda gerakannya membuat bola orange itu berpindah ke tangan Midorima yang sudah menunggu. Segera disambut dengan tembakan lepas menuju ring dengan bunyi pantulan nyaring.
32-32
Pantulan kedua dari bola adalah saat sang kapten generasi keajaiban menyentuhnya kembali. Dia berlari melewati setengah lapangan kini, sudah berada didepan Kise yang dengan cepat melakukan double team dengan Midorima.
Cepat sekali!
Akashi memundurkan langkahnya, tangan kanan bersiap melempar bola orange tanpa melompat―
Oi oi. Dia tidak berniat menembak dari tengah lapangan, kan?
―sebelum mendengar bunyi peluit yang ditiup. Sedetik kemudian, bunyi bola karet yang terbentur ring menyusul, melewati jaring hingga akhirnya terpantul nyaring di lantai kayu.
Seluruh pemain yang menonton refleks menelan ludah kaget. Bagaimana bisa dia memasukannya dengan angle dan jarak sejauh itu?!
"Ah. Nyaris sekali, ya?"
"Oh God. Don't ever do that to me again, Akashicchi." Kise mengerjap, merasakan bagaimana kepala yang benar-benar terasa berat dengan dua kaki yang mulai gemetar. Seluruh adrenalin yang sejak tadi menyokongnya hilang mendadak bersamaan dengan tubuh yang memilih menyerah pada gravitasi. "Aku merasa jantungku akan meledak entah karena tegang atau kelelahan-ssu."
Di belakangnya, Midorima Shintarou turut terduduk. Pemuda bergengsi selangit yang biasanya penuh dengan kebanggaan itu masih mengatur napasnya yang tersengal, berusaha penuh melawan hasrat untuk menjatuhkan diri pada lantai kayu dingin seperti rekannya, yang pastinya akan terasa luar biasa nyaman di tubuh yang memanas.
Akashi mengulas senyum kecil melihat dua rekannya yang terkapar. Kini berjalan tenang dengan napas yang juga mulai memberat. Kuroko, yang sejak tadi menonton dipinggir lapangan dengan bibir bawah yang tergigit, menyambut tangan sang kapten di tengah perjalanannya. Mengiringi sampai Akashi mendudukan diri di bench dan mengamati bagaimana kaptennya masih kesulitan bernapas. Tangan yang masih digenggamnya juga mulai mendingin.
"Akashi-kun?"
Yang dipanggil namanya mengerjap, akhirnya menyadari tabung oksigen portable yang disodorkan dan mengambilnya dengan sebelah tangan yang bebas. Satu helaan, dua, tiga, dan dadanya yang awalnya sesak mulai merenggang. Dalam setiap helaan napas panjang, detak jantungnya yang luar biasa cepat ―hingga terasa menyakitkan, mulai memelankan temponya.
Akashi akhirnya menggangkat kepalanya yang sejak tadi tertunduk. Melepas tabung oksigennya dengan satu helaan napas panjang terakhir, dan menyadari bahwa semua orang masih terdiam. Kini terang-terangan menatapnya dengan pandangan khawatir.
"Akashi-kun?" ulang Kuroko.
"Aku baik-baik saja." Ujarnya setelah sekian lama. Satu kalimat itu memecah beku yang terbentuk. Membuat helaan napas lega dan suara gumaman dari berbagai pemain mulai terdengar. Akashi menoleh pada orang di sekelilingnya, Kuroko yang menatapnya tenang dengan dua mata sewarna langit musim panas, Momoi dengan wajah khawatir dan telepon genggam yang sudah siap ditangan, Aomine dan Kagami yang berdiri berdampingan dengan wajah tegang.
"Aku benar baik-baik saja." Konfirmasinya lagi. "Kalian bantulah mereka. Sepertinya Ryōta sudah tidak bisa berdiri."
Dia kini melihat sepasang power forward itu berjalan ke tengah lapangan. Menerima botol minum yang disodorkan Momoi dengan satu gumamam terima kasih, sebelum sang manajer juga turut bergabung dengan kumpulan pemain di depan sana.
"Bukankah Akashi-kun sendiri yang mengatakan untuk tidak pernah meremehkan lawan?"
Akashi mengerjap mendengar ini. "Tetsuya?"
"Aku merasa hasil pertandingan ini tidak begitu akurat."
"Hm, tidak ada yang bisa terlewat dari pengamatan Tetsuya ya, memang?" pemuda berambut merah itu terkekeh. Mengamati wajah sang pemain bayangan keenam yang masih menatapnya tanpa emosi. "Aku biasanya memilih tempo permainan lambat untuk menjaga stamina. Saat Shintarou dan Ryota menggunakan tempo cepat untuk melawanku, aku harus menyesuaikan dengan gerakan lincah yang terlalu banyak memakan tenaga. Dari awal aku memang tidak bisa mengeluarkan seluruh kemampuanku, tubuhku tidak akan kuat."
Kuroko menggumam membenarkan, akhirnya tersenyum tipis saat genggaman tangannya disambut dengan satu cengkeraman lembut.
"Aku sudah janji tidak akan membuat kalian khawatir, bukan?"
"Heh. Saat kami masih di Teikō, orang yang terkadang mengambil gelar Top Scorer dari ku adalah Akashi. Dia hanya lebih suka menjadi Point Guard dan memerintah kami seenaknya, si brengsek itu." Aomine terkekeh kini. "Tapi kalau dipikir kembali, sepertinya aku mengerti kenapa dia tidak pernah mau menjadi scorer."
9.34 PM, Kamar 186, Asrama Rakuzan High
"Kau yakin tidak apa-apa, Kuroko?" sepasang mata sewarna ruby masih menangkap bagaimana Kuroko Tetsuya bergerak lincah. Memasukan beberapa barang pada tas jinjing putih di atas tempat tidur. "Aku jadi merasa tidak enak sudah mengusirmu dari kamarmu sendiri."
"Kagami-kun baru datang siang tadi, ne? Pasti lelah sekali jika harus langsung kembali ke Tokyo. Lagi pula, penginapan juga mahal di daerah sekitar sini. Akan lebih mudah kalau Kagami-kun menginap disini." Kuroko menutup resleting tasnya dan mengalungkan ke pundak. "Waktu bersama dengan Aomine-kun juga lebih banyak, bukan?"
Kagami dapat merasakan pipinya yang memanas. "Oi. Berhenti menggodaku." gerutunya pelan. "Kau akan kemana, memangnya?"
"Ke tempat Akashi-kun."
"Oh, jadi kau sengaja menawarkan kamarmu agar bisa bersama Akashi, huh?"
Masih dengan satu tatapan tanpa ekspresi, Kuroko membalas "Tentu saja. Bukan hanya Kagami-kun yang punya kekasih, tahu?" dia melangkah keluar kini. Menyambar kunci dari meja lampu disamping tempat tidur, dan kembali menoleh sebelum membuka pintu. "Aku akan sangat kesal kalau sepreiku kotor, Kagami-kun. Selamat malam."
Pemain kunci Seirin itu dapat merasakan rahangnya yang menampar lantai. Si bodoh itu!
"Oh, selamat malam, Aomine-kun. Aku pergi dulu."
"Ke tempat Akashi?"
"Hai."
Aomine menggumam. Melambai pada teman sekamarnya yang mulai menjauh dan berkedip heran saat mendapati Kagami Taiga dengan wajah yang sewarna rambutnya.
"Oi. Kau baik-baik saja? Kenapa wajahmu merah sekali?"
"Aku sudah lupa kalau Kuroko bisa menjadi orang yang sangat menyebalkan."
Aomine menatapnya aneh. Memutuskan bahwa kalimat terakhir Kagami tidak terlalu penting untuk direspon. Pemain berkulit tan itu mendudukan diri di atas tempat tidurnya yang berada disisi kiri pintu. Melihat Kagami yang sudah selesai berganti baju dan bersiap tidur di ranjang yang berseberangan dengannya.
"Hei. Kemarilah."
Kagami mengerjap. Tidak jadi merebahkan tubuhnya pada tempat tidur beralas seprei putih bersih milik Kuroko. "Apa maksudmu? Kau tidak melihat tempat tidur ini terlalu kecil untuk kita berdua?"
"Kenapa kau ini bodoh sekali? Aku sudah mencoba romantis padahal." Aomine mendecak. Kini menatap kesal pada kekasihnya diseberang. "Ini tidak seperti kita bisa bersama setiap malam, bukan?"
"O-okay. But I'll punch you if you kick me out of bed." Masih skeptis dengan kapasitas tempat tidur ukuran single yang akan ditempatinya berdua. Hell, dia dan Aomine sama-sama bertubuh tinggi, tahu?
"Coba dulu, Bakagami."
Ace generasi keajaiban itu menarik cepat Kagami. Keduanya saling memutar tubuh, mencari posisi nyaman diatas ranjang dengan luas terbatas, sebelum berakhir berhadapan dengan surai merah yang berbantal pada pundak tegap.
"Tanganmu akan mati rasa." Bisik Kagami pada dada bidang didepannya. Aomine hanya terkekeh, sebelah tangan yang sehat kini mengacak lembut kepala yang bertengger di pundak.
Diam menjadi satu yang menguasai setelah beberapa saat. Sang power forward mulai merasakan kantuk yang menjelang, dengan tubuh hangat didekapan dan aroma citrus familiar yang menyerbak dari rambut lembut dibawah pipi. Nyaman sekali.
"Kau tahu? Aku selalu cemburui adalah Kise."
Aomine tanpa sadar menghentikan gerakan tangannya saat mendengar bisikan tiba-tiba itu. Merasakan kesadaran yang tadi menjauh kembali dalam sekejap. "Apa ini? Kenapa tiba-tiba berkata begitu?"
"Tidak tahu. Hanya saja… saat melihat latihan tadi…"
Satu gumaman maklum menjadi pilihan. Aomine kembali menggerakan tangannya yang sempat terdiam "Tapi… bukankah harusnya Tetsu? Aku juga pernah menjadi cahayanya, kan."
"Nah. Kau jauh dibawah Akashi, standarnya terlalu tinggi, man."
"Sialan kau." Aomine terkekeh. Berselang satuan detik, dia menyahut lagi dengan tenang, lebih serius. "Kau tahu kan Kise memang nyaman skinship dengan kami? Tidak hanya aku…Tetsu, Satsuki, Murasakibara, bahkan Midorima dan Akashi. Apa yang kau cemburui?"
"Well, aside of the fact that he's fucking gorgeous? Dia bagian dari kiseki no sedai ―kalian semua memiliki ikatan yang tidak dapat kuhami, dan dia mengerti dirimu seutuhnya. Aku selalu berpikir apa yang membuatmu memilihku atas dirinya, kalau yang kau cari adalah seseorang yang maniak basket dan mampu mengimbangimu, Kise juga kandidat sempurna, bukan?"
Kagami memilih menutup matanya saat jawaban yang ditunggu tak kunjung datang. Hanya menghela napas pasrah dan menerima kalau hal ini akan bergabung menjadi salah satu dari rentetan argument tak terselesaikan bagi mereka.
―hanya untuk kembali terbelalak saat dia merasakan satu kecupan lembut menyapa dahi.
"I love him, all of them, I do. But I fall in love with you. That's why I choose you."
To be continued
Terima kasih yang sudah menyampaikan pendapat di chapter lalu. Sampai jumpa chapter depan, ya! (Sapa saya di -at-8611Aki untuk mengobrol lebih lanjut /emoticonsenyum/)