Contains OOCness. Alternative Reality. AkaKuro's hints ―maybe.
"Bagi anggota Kiseki no Sedai sendiri, Akashi-kun itu seperti matahari."
"Apa―"
"Dia tidak hanya orang yang membuat kami begitu bersinar, tapi jauh lebih dari itu," Sepasang mata ice blue itu menatap hampa sosok di depannya. Tangan pucatnya terkepal kuat saat mengatakan kalimat selanjutnya. "seperti matahari, Akashi-kun seolah memancarkan gravitasi kuat yang mengikat kami atasnya."
Lawan bicaranya terdiam. Kaku, antara berpikir bahwa bayangan keenam Generasi Keajaiban ini terlalu melebihkan sosok kaptennya yang dulu atau―
"Kiseki no Sedai adalah mutlak, dan selama kami menjadi bagian darinya, Akashi-kun adalah kapten kami. Tidak ada yang bisa mengubah kenyataan itu, karena selamanya tidak ada planet yang bisa melepas gravitasi matahari yang mengikatnya."
"―sekalipun matahari yang mengikat itu dihancurkan, planet yang bergantung padanya tidak akan terlepas, tapi akan turut hancur. Tidak ada yang bisa mengingkari 'hukum alam' tersebut." Kuroko Tetsuya mengangkat kepala, menatap penuh pada cahaya barunya yang mematung. Sepasang mata biru itu berpendar, seolah menunjukan kepasrahan yang jujur, ketidakberdayaan untuk melawan. "Kiseki no Sedai… ―Kagami-kun pikir gelar itu bisa bertahan sejauh ini karena apa?."
Kagami Taiga, detik ini akhirnya mengetahui jika Kiseki no Sedai yang selama ini ingin dikalahkannya itu tidak hanya sekedar gelar. Bukan hanya merupakan title pengukur kekuatan para jenius basket yang mengerikan, tapi juga sebuah gelar dimana rantai kasat mata telah terikat erat dileher masing – masing anggotanya.
Jika hingga sekarang Kagami bisa merengsek masuk dalam batas kekuatan para Generasi Keajaiban, maka kali ini dia menyadari satu hal. Ada satu pintu terakhir yang tidak akan bisa dibukanya paksa. Pintu menuju ruang dimana rantai mutlak bernama 'ikatan' itu berada. Yang didalamnya terduduk angkuh sang Kaisar pemegang gravitasi atas para Keajaiban.
"―Semua karena gravitasi dari matahari kami."
Akashi Seijūrō.
Gravitasi
―karena para keajaiban tidak akan pernah bisa melepas gravitasi sang kaisar.
.
.
A fan fiction based on Fujimaki Tadatoshi's Kuroko no Basuke.
I don't make any commercial profit within this fan fiction.
Tidak berlebihan jika setelah insiden sebelum dimulainya Winter Cup di tahun pertamanya, Kagami Taiga menganggap bahwa sosok Akashi Seijūrō adalah sang jenius yang gila. Ya, segengsi apapun pemuda tinggi itu, ace tim basket Seirin High itu mengakui seberapa tangguhnya Kapten tim Razukan. Pemuda dengan tinggi rata – rata, namun memiliki kemampuan yang bahkan sanggup membungkam habis para Generasi Keajaiban.
Akashi seolah―memang, sebenarnya― mempunyai aura seorang Emperor yang tak menerima penolakan, dengan jalan pikiran absurd yang lebih sering menjurus pada prilaku psycho. Kagami tentu tak akan lupa dengan sensasi Ankle break yang selalu memaksanya menatap Kapten bermata dwiwarna itu dengan mendongak. Membuatnya terlihat rendah bahkan dengan tingginya yang ―harusnya jauh diatas orang itu. Jangan lupakan juga bagaimana pemuda berkepribadian tenang itu tanpa ragu menyerangnya dengan gunting tajam milik three-pointer andalan Shutoku, tidak berlebihan 'kan jika dia menyematkan title 'Psycho' itu setelah 'jenius' di namanya?
Sungguh, Kagami Taiga tidak memiliki dendam pribadi. Tapi memang itulah adanya. Akashi Seijūrō memang semenyebalkan dan semengerikan itu. Tidak lebih juga tidak kurang.
Pandangannya tentang sang Kapten Generasi Keajaiban sama sekali tidak berubah hingga sekarang. Tidak walau kini pemuda tinggi itu sudah menginjak tahun terakhirnya di Seirin High. Tidak juga walau semua anggota Generasi Keajaiban yang pernah ditemuinya tidak sekalipun menunjukan aura menolak saat Akashi Seijūrō berada dalam radius beberapa meter dari mereka. Berkata dengan nada memerintahnya yang memuakan, atau ekspresi datar yang seolah memaksa siapapun tunduk di kakinya.
Tidak sekalipun bahkan Midorima yang berharga diri selangit atau Aomine yang selalu berikrar 'The only one who can beat me is me'. Para Keajaiban selalu memandang Kapten Merah mereka dengan tatapan patuh. Penuh dedikasi, baik itu dibalik tatapan ceria Kise, pandangan angkuh Midorima, mata yang selalu malas milik Aomine, pun raut sayu dari manusia berambut ungu yang sering terlihat bersama Himuro Tatsuya. Bahkan Kuroko, bayangannya yang lebih sering bermuka sedatar tembok itu juga mengganti sorot blank di mata biru cerahnya saat menghadapi Akashi Seijūrō. Dua manik birunya tidak hanya memancar penuh perlawanan, tapi juga berpendar penuh harap untuk diakui dan dilihat.
Sorot mata yang membuat Kagami Taiga muak. Sungguh.
.
.
.
Hari ini adalah hari yang biasa. Langit bersinar cerah, biru dan bersih dari awan. Angin pagi musim gugur terasa lebih hangat dari biasanya, tapi tetap mampu membuat Kuroko Tetsuya bergidik jika dia nekat melepas jersey Seirin High yang melekat ditubuh.
Awal ajaran baru selalu menarik untuk diamati. Sekalipun perasaan sedih karena berpisah dengan para seniornya yang bulan lalu berdiri penuh kebanggaan di mimbar lebar dalam upacara kelulusan masih tersisa, setidaknya akan banyak bocah – bocah polos yang menginjakan kaki untuk pertama kali di gerbang sekolahnya. Awal yang baru, juga bakat – bakat baru dari para freshman yang mulai berbondong – bondong melirik Serin High sejak sekolah ini menunjukan taringnya di Winter Cup dua tahun lalu.
Itu normalnya.
―tapi tampaknya kata 'normal' itu sendiri tidak berlaku baginya hari sekarang. Terbukti saat Kuroko melangkahkan kakinya menuju gerbang, mata birunya menangkap kilasan merah cerah yang terlalu familiar. Warna merah yang tertimpa lembut cahaya emas mentari pagi, menjadikan sosok yang berdiri diam disamping gerbang cokelat Seirin High itu lebih mencolok.
Dia bahkan masih menggenakan seragam lengkap sekolahnya. Tapi alih – alih memakai jas putihnya yang biasa, jersey berwarna senada dengan corak biru muda tersampir angkuh diatas kemeja. Memeluk bahu tegapnya, pun seolah memamerkan identitas High School yang tercetak besar – besar di punggung.
Rakuzan.
―oh.
"Selamat pagi ―Akashi-kun,"
Memutuskan menjadi teman lama yang penuh sopan santun, Kuroko menyapa sosok Akashi Seijūrō yang berdiri diam setelah kakinya tanpa sadar melangkah mendekat. Membuat manik ice blue itu makin bisa mengamati lebih jauh seperti apa rupa Kapten Generasi Keajaiban yang sudah nyaris setahun tak dijumpainya. Kabar terakhir yang di dengarnya hanya Akashi yang memilih exchange ke Prancis, meninggalkan Rakuzan di tahun keduanya.
Pun meninggalkan tiga Uncrowned General yang mengamuk di Winter Cup tahun lalu, dan tentunya sukses merebut piala bergilir itu dari tangan Seirin. Seolah menunjukan bahwa Rakuzan tanpa sang Kapten Keajaiban tetaplah The Emperor of Creation.
"Selamat pagi juga, Tetsuya." Akashi tersenyum.
―ramah, tanpa sadar mengingatkan Kuroko pada Akashi pada tahun keduanya di Teikō.
"Kau tidak tampak terkejut." Sambung Akashi lagi. Ekspresi santai masih bertahan di wajahnya, membuatnya tidak sekali dua kali mendapat lirikan penuh tanya dari beberapa siswi yang lewat di sekitar mereka.
"Tingkah Akashi-kun yang seperti ini bukan sesuatu yang membuatku terkejut lagi." Respon Kuroko datar. "Akashi-kun sudah terlalu banyak memberi kejutan."
"Begitu 'kah?" sang Kapten terkekeh. Terlihat tak mempermasalahkan ucapan lugas si bocah Seirin. "Jadi, bisa kau luangkan waktumu sebentar untukku, Tetsuya?"
Kuroko menatap sejenak pada mata dwiwarna milik orang di depannya. Dua bola mata itu tetap jernih seperti dulu, indah, juga angkuh. Tapi.. ada yang berbeda. Batinnya bergumam, membuat tanpa sadar alisnya mengernyit. Mempertanyakan kemana perginya sorot tak mengenakan yang biasa hadir disana. Iris sebelah kiri Akashi masih berwarna emas lembut, masih menguarkan sorot absolute yang biasa. Tapi Kuroko merasa dia tengah bertemu pandang dengan Akashi yang dulu.
Akashi Seijūrō yang menatapnya dengan dua mata ruby penuh kelembutan. Akashi yang menjadi sang penyelamat saat dirinya nyaris terjatuh pada jurang keputusasaan.
"Tetsuya?"
"A-ah! Iya." Dia gelagapan kini. Mencoba mengembalikan raut datarnya ditengah denyut jantung yang tiba – tiba berpacu. Bereaksi atas pemikiran terakhirnya. "Ma'af Akashi-kun, mari masuk. Biar aku mengantarmu untuk mendapat kartu―"
"Tidak perlu." Akashi memotong cepat. Mengangkat tangan kanan yang sejak tadi terlihat di depan dada, dan menunjukan kartu tanda ijinnya untuk bertamu ke Seirin. "Waktuku tidak banyak, bisa kita pergi sekarang?"
"Harusnya aku sudah memperkirakan hal itu." gumam Kuroko kemudian. Selalu penuh persiapan. Dia memang Akashi, bukan?
Akashi kembali terkekeh. Mulai berjalan mengikuti langkah Kuroko yang sukses menyelinap diantara keramaian upacara penerimaan murid baru. Menghindar lincah di antara campuran senior yang sibuk memromosikan klub masing – masing atau para freshman yang berusaha menempatkan diri di lingkungan baru. Meski begitu, sosok berambut merah itu tak selancar si pemain bayangan tentunya.
Kehadirannya dengan segera menjadi pusat perhatian. Bukan hanya dari rambut merahnya yang mencolok, jangan lupakan juga jersey putih dengan signa Rakuzan yang tertulis di punggung. Sosok asing berwajah tampan dengan jersey sekolah adidaya ―atau bagi mereka yang sedikit mengikuti berita seputar basketball― sosok Akashi Seijūrō, sang 'penguasa kejam', di tengah Seirin High. Sangat beralasan, bukan?
"Tampaknya kau menikmati melihatku seperti itu, Tetsuya."
Kuroko tersenyum tipis, cukup hanya Akashi yang sanggup menyadarinya. "Aku tidak mengerti apa yang dimaksud Akashi-kun."
Sang Kapten memutar bola mata bosan, tak ayal menikmati bagaimana kilasan jenaka itu terlihat dibalik mata jernih Sang Pemain bayangan. Sudah lama sekali sejak mereka bisa saling berhadapan tanpa aura berat yang menguar. Akashi bahkan tak ingat kapan terakhir dia berbincang santai dengan Kuroko. "Lucu sekali. Jadi, kau mau mengajak ku kemana?"
"Halaman utama sedang penuh dengan rangkaian acara penyambutan murid baru. Kurasa, lebih baik kita berbicara di sini."
Sang tuan rumah membuka pintu di belakangnya. Menunjukan Gymnasium milik Seirin yang telah di renovasi sedemikian rupa sejak progress menakjubkan yang dibuat basketball team dua tahun belakangan.
Kuroko melangkah mantap kedalam ruang sepi itu. Menimbulkan suara sepatu yang beradu dengan lantai terdengar menggema di seluruh bagiannya. "Jadi.. hal penting apa yang membuat Akashi-kun rela meluangkan waktunya dan berkunjung ke Seirin High hari ini?"
Pemuda berambut baby blue itu berbalik. Mendapati Akashi yang kini melangkah ke arahnya dengan men-dribble bola basket yang diambilnya dari keranjang di sudut ruangan.
"Aku terkejut kau membawa ku kesini dari semua tempat di Seirin, Tetsuya." Ujarnya tenang. "Terlalu merindukan permainan basketku, 'kah?"
Kuroko mengerjap. Refleks menangkap si bola orange yang dua detik lalu terarah cepat padanya. "Atau berniat memancingku?"
"Akashi-kun terlalu merendah. Bukankah Akashi-kun tidak pernah kalah?"
Kapten Rakuzan itu terkekeh. Heh… dia bahkan bisa mendengar nada mengejek dibalik suara datar Kuroko. "Majulah kalau begitu."
Tanpa menunggu, Pemain bayangan keenam Generasi Keajaiban itu melangkah. Berlari dengan bola yang melaju seiring dengan langkahnya, lurus pada Akashi yang telah menunggu dibawah ring. Kuroko bisa melihat mata emas milik mantan Kaptennya berpendar. Penuh ancaman, siap menghancurkan apapun bentuk drive ataupun shoot yang akan dilancarkan pemuda berambut biru langit ini. Hanya tiga detik setelah dia sampai di depan Akashi―
BRAK
―Ankle break.
Oh, baru kali ini Kuroko merasakan langsung seperti apa teknik kesayangan Akashi itu, dan harus dia akui, sensasi menakjubkan yang dihasilkan tetap sama. Sekalipun kau tengah menonton, atau menjadi korbannya. Antara takjub dan… terkesan. Yah! memang siapa yang bisa mengalihkan mata dari teknik tingkat tinggi macam itu, huh?
"Phantom shoot atau Vanishing drive tidak akan berguna, Tetsuya. Harusnya kau tahu aku tidak pernah tidak merasakan kehadiranmu, karena―"
"Karena yang menemukan kekuatanku adalah Akashi-kun." Kuroko melanjutkan kalimat penuh claim itu. Satu kalimat yang selalu menjadi segel bagi Akashi atas dirinya. "Ya, Akashi-kun. Aku tahu."
Kaptennya menyeringai angkuh. Begitu menikmati pemandangan atas Kuroko yang harus mendongak untuk bisa menatapnya. "Bagus kalau kau sadar tempatmu."
Dibalas hanya dengan kepala yang kini tertunduk, Akashi sama sekali tidak melewatkan sendu yang sempat melintas di mata pemuda bersurai langit itu. Dua tangannya yang terkepal, atau bibirnya yang terkatup erat. "Tetsuya.."
Kuroko mendengar panggilan itu. Suara datar yang dibaliknya tersembunyi makna mutlak. Dia harusnya mendongak, dia harusnya menatap Akashi, karena Kaptennya benci saat sang 'bawahan' berani memalingkan wajah darinya. Tapi tidak, dia masih menunduk kini. Memilih menatap tajam lantai kayu dengan pandangan penuh rasa sakit. Kalimat itu ―berarti Akashi masih sama bukan? Akashi masih tetap Akashi Seijūrō yang berpegang pada frasa 'Kemenangan adalah segalanya'. Prinsip bodoh yang sampai sekarang tidak bisa diubahnya. Prinsip bodoh yang tidak jarang membuat Kuroko mendidih saat mendengarnya. Betapa dia membenci Akashi yang seperti itu.
―tapi, lihat? Sanggupkah Kuroko membenci Akashi? Bahkan title 'Kapten' itu pun masih disematkan Kuroko padanya. Hukum alam, mungkin. Toh memang tidak ada planet yang sanggup memalingkan wajah dari mataharinya.
Pemain bayangan itu baru akan berusaha menetralkan emosinya. Mengembalikan wajah tanpa emosi saat satu tangan putih terulur dibawah matanya. Menawarkan bantuan, membuat satu tatapan penuh kejut segera dilayangkan Kuroko bersama dengan kepalanya yang terangkat.
Akashi tersenyum tipis. Senyum yang sama dengan Akashi empat tahun lalu saat menawarkan Kuroko memasuki string pertama di Teikō. Senyum yang tanpa sadar membuat Kuroko menyambar penuh tangan yang menariknya berdiri. Telapak tangan yang terasa hangat saat bersentuhan dengan kulitnya, juga menyebar nyaman yang tak terdefinisi. Begitu familiar… begitu mirip Akashi yang dia rindukan.
"Kau.. itu.. sebenarnya siapa?" Tanpa sadar, frasa itu terlontar. Masih dengan suaranya yang bergetar, juga tatap nanar yang bertahan dimata.
"Kau.. benar menyadarinya, Tetsuya?"
"Kau itu siapa?!"
Kalimat bernada tinggi itu tak ayal membuat si rambut merah terkejut. Tangannya sudah beberapa lama ditepis oleh Kuroko sedetik setelah pemain bayangan itu berdiri.
"Tentu saja aku Akashi Seijūrō."
"Kau.. Kau selalu membuatku bingung, Akashi-kun. Apa saja yang telah terjadi padamu? Akashi-kun yang sekarang tidak seperti dia yang ku kenal setahun lalu… Akashi-kun yang dihadapanku ini.. a-aku seperti kembali berhadapan dengan Akashi-kun saat dia pertama kali menemukanku. Aku.. aku―"
"Tetsuya," Sang Kapten Generasi Keajaiban itu menepuk pelan pundak pemuda dihadapannya. Senyum tipis terpatri di wajah, saat Akashi sadar apa yang membuat Kuroko begitu kacau saat ini. "aku pulang."
―dan dengan satu frasa itu, Kuroko Tetsuya tidak mampu lagi menahan tubuhnya. Dia jatuh, bertumpu penuh pada dua lututnya yang menyentuh lantai, dengan dua telapak tangan yang menggenggam erat sebelah tangan sang Kapten. Membawanya jauh dalam rengkuhan, seolah itu adalah satu – satunya tempat bagi hidupnya bergantung. Tanpa sadar, bulir air bening itu mulai meluncur turun dari sudut mata sang pemain bayangan. Semakin banyak, dengan bahu yang mulai bergetar. Terlebih, saat dia merasakan tepukan halus diatas rambutnya. Sentuhan yang sang familiar, sentuhan yang tak pernah dirasakannya lagi sejak salah satu mata ruby sang Kapten terwarnai dengan emas.
Melihat itu, Akashi hanya diam. Tetap berdiri dan membiarkan sebelah tangannya direngkuh erat oleh Kuroko yang berlutut di kakinya. Kepala berambut sewarna langit itu tertunduk, dengan bahu yang bergetar, tak lupa basah yang mulai terasa di tangannya yang digenggam pemuda di bawahnya.
"Ma'afkan aku, Tetsuya. Ma'af telah melepasmu dulu… ―ma'af telah melepas kalian dengan mudah." Kata Akashi. Sebelah tangannya yang bebas menepuk lembut puncak kepala si pemain bayangan.
"Akashi-kun…" Kuroko hanya bisa berujar demikian. Ditengah tenggorokan yang tercekat, ditengah pikirannya yang sudah mulai memutar ulang kenangan para Keajaiban di Teikō seperti kaset rusak.
Bagaimana semangatnya berkobar atas janji dengan Ogiwara-kun, bagaimana dirinya jatuh saat tidak ada seorang pun yang melihat kearahnya, bagaimana Aomine-kun muncul dan membawa sedikit kebahagian untuknya, bagaimana.. bagaimana saat diakhir rasa putus asa sudah menguasai dirinya. Keputusasaan yang yang bahkan tidak bisa ditanggulangi dengan keberadaan seorang Aomine Daiki.
Serta.. bagaimana pula perasaan meluap – luap itu kembali muncul saat sepasang mata ruby dari orang itu menatapnya. Akashi Seijūrō yang melihatnya. Melihat Kuroko Tetsuya, dan bukannya melihat permainan basket sangat dibawah rata – rata oleh salah satu anggota string ketiga. Akashi menawarkan tangannya saat itu, melihatnya dari sisi yang tak pernah dilihat orang darinya. Dia menuntun, menunggu, hingga Kuroko siap dan akhirnya membawakan harapan milik si anak bayangan yang sempat lepas.
Harapan untuk diakui, dilihat, sebagai seseorang yang juga berkontribusi dan berdiri bersama dilapangan. Harapan untuk bisa bermain basket, yang sempat dibuangnya karena semua orang yang ditemui Kuroko memandanganya tak lebih baik dari orang paling tak berbakat di string ketiga.
Semuanya, baik itu Murasakibara, Midorima, Kise, Aomine, bahkan Kagami tidak ada yang melihat Kuroko seperti Akashi. Jika dulu dia tidak bertemu Akashi, apa saat ini title pemain bayangan keenam itu pernah disematkan padanya? Ah, tidak. Yang benar, apa Kuroko Tetsuya masih bermain olah raga yang paling dicintainya itu hingga sekarang?
Tidak, karena sejak awal hanya Akashi yang melihatnya berbeda. Akashi yang mempunyai sepasang mata sewarna ruby. Akashi yang tiba – tiba hilang, saat sebelah warna ruby di matanya itu tersubstitusi oleh emas. Akashi yang sama.. dengan Akashi yang didepannya kini.
"Tetsuya," Akashi yang sejak tadi membiarkan Kuroko pada posisinya mulai berujar. Tangannya mengisayaratkan pemain bernomor punggung sebelas di Seirin High itu untuk berdiri. "Apa yang kau tangisi?"
Kapten Rakuzan itu memungut kembali bola basket yang sempat terabaikan. Memunggungi Kuroko yang masih tertunduk ―menyembunyikan matanya yang masih basah. Akashi tahu Kuroko tidak akan suka jika ada yang melihatnya menangis, karenanya pemuda yang masih memiliki mata dwiwarna itu mulai men-drible bolanya menjauh.
"…Kenapa?"
"Tidak ada," jawab Akashi lugas. "Kau pernah kuberi tahu jika memang ada dua orang dalam diriku, bukan?"
Kuroko mengangkat wajahnya kini. Melihat pada punggung tegap yang masih berbalut jersey putih Rakuzan. "Mata kiri Akashi-kun.."
Akashi masih tetap dalam posisinya. Memainkan bolanya diluar garis three point sebelum menembaknya asal. Menimbulkan suara bola yang membentur lantai setelah sebelumnya melewati ring dengan mulus.
"Ada sesuatu yang tidak bisa kau ketahui sekarang, Tetsuya. Yang pasti, aku adalah orang yang sama dengan Akashi yang menemukan kekuatanmu dulu."
Kuroko tanpa sadar tersenyum mendengar kalimat itu. "Aku senang. Andai saja.. Akashi-kun tidak pernah berubah, apa kita masih akan bermain bersama lagi? Berdiri dalam satu lapangan hanya untuk bermain basket.. tanpa peduli dengan apa itu kemenangan."
"Semua orang berkembang." Sambung Akashi diplomatis. Punggungnya masih tetap menghadap Kuroko. "aku selalu salut dengan kalian yang pernah berhasil membangunkan'nya'."
"Jadi.. Akashi-kun kemari untuk mengabarkan hal ini?"
"Tentu saja tidak."
Akashi berbalik kini. Memandang tepat pada manik ice blue milik Kuroko yang berada beberapa meter di depannya. "Aku datang kemari untuk mengajakmu ikut denganku."
"Ma'af?"
"Ikutlah denganku, ke Rakuzan."
Sekali lagi, sepasang mata si pemain bayangan itu melebar penuh kejut. Jantungnya tanpa sadar berdetak jauh lebih cepat. Bereaksi atas kalimat terakhir sang Kapten Keajaiban.
Mata emas Akashi yang bersanding dengan ruby semerah darah berpendar. Mutlak dan tak terbantah. Tertuju lurus pada sepasang ice blue yang balik menatapnya nanar.
"―bersama Shintarou, Atsushi, Ryota, juga Daiki dan Satsuki. Aku ingin kita bermain basket bersama lagi. Untuk yang terakhir kali."
.
.
"Naïf sekali Seijūrō, kau lemah karena membiarkan emosi menguasaimu. Tapi, yah.. anggap saja aku sedang berbaik hati. Gunakan saja tubuh yang sudah hancur ini sesukamu.
Aku tidak tertarik pada orang lemah."
To be continued.