Kami sadar, bahwa kami adalah author yang kurang bertanggung-jawab, sehingga fic ini terlantar hampir satu tahun. Sungguh, tiada maksud untuk menelantarkannya. Hanya saja sebagai orang dewasa *uhuk* kami sekarang sedang sangat sibuk di RL *halah*
Kami mohon maaf jika ada di antara kalian yang menunggu fic ini apdet sampai jamuran dan bulukan #EaaaaaaaaaadayangGR
Kami juga yakin kalian sudah melupakan garis besar fic ini, so... silakan baca ulang dari awal biar ingat lagi *ngakak, digetok*
Semoga chapter 12 yang cukup panjang ini, diterima sebagai permintaan maaf kami.
Happy reading all… ^^
.
.
Title: Velvet Tamarind
Author: Gin And Amaya
Characters/ Pairing: Kakashi Hatake & Sakura Haruno
Type: Multichapter
Genre: Drama/ Romance/ Hurt/ Comfort
Setting: Amerika Serikat Tahun 1940-an
Rating: M
Disclaimer: Naruto © Masashi Kishimoto ; Morning Glory © Lavyrle Spencer
(Kami sama sekali tidak mengambil keuntungan apapun dalam bentuk materi, hanya mencari kepuasan batin untuk mengobati kekecewaan kami atas cinta Kakasaku yang kandas di manga. Ahiks…)
.
.
Chapter 12
LETTERS
.
27 Februari 1942
Kakashi…
Aku tidak pernah menulis surat sebelumnya, karena tidak ada orang lain dalam hidupku yang membuatku harus melakukannya. Duniaku begitu kecil, hanya ada sedikit orang di sekelilingku. Jadi, maaf jika aku hanya menulis surat sebisaku. Mudah-mudahan kau bisa membacanya, karena aku sadar tulisanku begitu abstrak seperti cakar ayam.
Kakashi…
Kini kami makan malam tanpamu. Anak-anak tetapi tidak bisa diam seperti biasanya. Kemarin malam, Abel menangis meraung-raung karena Ryuki menghabiskan ayam goreng kesukaannya. Abel mengejar dan memukuli Ryuki dengan seikat daun seledri. Ran tertawa-tawa sampai menetes air liurnya melihat dua kakaknya. Aku hanya bisa tertawa pahit. Aku membayangkan, andai kau ada di sini dan melihat mereka.
Kakashi…
Kau tahu? Aku sangat merindukanmu, padahal kau baru pergi beberapa hari. Aku sedih saat melihat kursimu yang kosong. Aku terus bertanya-tanya, di mana kau sekarang berada? Apa yang sedang kau lakukan? Apakah kau mendapatkan makan yang cukup, tempat tidur yang hangat, serta pakaian yang layak? Aku sangat mengkhawatirkanmu.
Kakashi…
Butuh waktu hampir dua jam untuk menulis surat ini dan sepertinya tidak banyak yang bisa kutulis, jadi besok aku akan menulis lebih banyak lagi.
Teriring Cinta,
Sakura
.
.
12 Maret 1942
Kakashi,
Apakah kau baik-baik saja? Setiap kali tukang pos lewat, aku selalu berlari ke kotak surat dan melihat apakah ada surat darimu. Tapi hingga kini tidak ada surat satu pun. Apakah kau yakin kau baik-baik saja?
.
.
14Maret 1942
Mr. Hatake…
Setiap Sabtu sore, setelah jam tutup perpustakaan, aku mengunjungi Sakura. Sejak perang dimulai, perpustakaan memang tutup lebih awal untuk menghemat pemakaian listrik. Aku membawakan buku untuk anak-anak, agar mereka bisa mengisi waktu bermain dengan belajar selama aku ada di sana. Mereka tumbuh menjadi anak yang sehat, kuat, dan pintar. Bahkan Ryuki sudah mengenal huruf dari A sampai Z. Ran juga terlihat semakin gemuk.
Aku ikut menanami kebun sayur kalian, tapi sepertinya aku tidak dianugerahi tangan dingin seperti Sakura. Kalau kau melihat pohon tomat yang kutanam, kau pasti akan prihatin melihat nasibnya. Seperti hidup segan, mati tak mau. Bahkan pohon cabe yang ditanam Abel pun, jauh lebih sehat.
Nah, Mr. Hatake, kau masih ingat papan besar pengumuman di depan balai kota? Sekarang setiap hari, orang-orang selalu datang ke sana. Di papan itu terpampang ratusan nama warga kota ini yang pergi ke medan perang. Namamu juga ada. Syukurlah, belum ada satu pun bintang di samping nama-nama dalam daftar tersebut. Setiap pagi kami datang dengan hati berdebar-debar. Kami takut ada bintang di samping namamu. Kami…
Ah, sudahlah…
Aku berharap kau baik-baik saja di sana dan bisa mengatasi kerasnya kehidupan militer yang serba tidak nyaman. Aku berharap bisa segera mendapat kabar darimu. Aku mendoakan yang terbaik untukmu. Ingat, jika kau sampai mati di medan perang, aku tak akan pernah memaafkanmu.
.
.
18 Maret 1942
Dear, Kakashi…
Kau tahu siapa yang kemarin datang ke rumah? Si cantik Mrs. Hyuuga yang tinggal di ujung jalan. Dia datang saat aku sedang berkebun bersama anak-anak. Mrs. Hyuuga datang untuk membeli madu, karena dia mendengar kita menjualnya. Dia juga bercerita tentang terungkapnya misteri hilangnya handuk, celana jeans, kemeja, serta telur, dan roti dari rumahnya. Aku sampai tertawa sambil menangis mendengarnya. Kau selalu membuatku kagum pada kepribadianmu. Mrs. Hyuuga juga membawa serta kedua anaknya. Ryuki dan Abel langsung berteman akrab dengan mereka dan asyik bermain di halaman. Dia sungguh wanita yang menyenangkan. Terima kasih sudah membawa dia dalam kehidupanku.
Yang merindukanmu,
Sakura
.
.
26 Maret 1942
Kakashi-ku…
Segalanya berjalan lancar di sini. Segalanya… kecuali hatiku. Betapa aku sangat merindukanmu. Miss Senjuu selalu berkunjung setiap Sabtu sepulang kerja, saat perpustakaan tutup lebih awal. Dia membawakan anak-anak buku pelajaran dan buku dongeng dari seluruh dunia. Ia juga membantuku untuk bisa menulis dengan lebih baik. Kau tahu, Ms. Senjuu bilang tulisan Ryuki—yang baru belajar menulis dua minggu—bahkan jauh lebih bagus daripada tulisanku. Entah aku harus tertawa atau tersinggung. Aku ganti mengajarinya membuat pai susu. Pai susu yang begitu kuberikan ke Ran, langsung dilempar oleh Ran ke kambing kita yang sedang merumput—dan kambing itu sakit perut sekarang. Ryuki dan Abel malah kini trauma setiap melihat Ms. Senjuu ke dapur. Nah, kau tebak apa lagi yang dia lakukan? Dia meminta truk–truk untuk datang ke sini dan membeli semua susu kita. Tidak hanya susu, mereka juga membeli mentega, buah-buahan, dan telur. Kau tak perlu lagi khawatir tentang anak-anak. Mereka kini bisa punya baju dan sepatu yang layak.
Peluk cium,
Sakura
.
.
31 Maret 1942
Aku tidak tahu.
Aku hanya merasa begitu rindu padamu.
Aku tidak marah kau belum juga menulis surat padaku.
Aku hanya ingin tahu… bahwa kau baik-baik saja di sana.
.
.
15 April 1942
Dear, Kakashi
Hari demi hari terasa berjalan semakin lambat. Musim semi mulai datang menjelang, tapi buatku, musim dingin tahun ini akan berkepanjangan. Aku terus bertanya bilakah kau akan pulang kembali ke sini. Anak-anak bahkan membuat kalender sendiri dan memberi tanda lingkaran setiap hari, setiap kali mereka akan pergi tidur. Esoknya mereka akan menghitung jumlah hari yang sudah mereka lewati tanpa Papa-nya. Mereka menghitung dengan bantuan korek api yang dijajarkan di atas meja. Padahal Ryuki baru bisa berhitung sampai angka lima puluh. Aku hanya bisa tersenyum dengan air mata yang mengembang.
Segalanya mulai terasa datar dan hampa.
.
.
19 April 1942
Kakashi…
Setiap hari aku membuat pai lemon untukmu. Begitu banyak. Anak-anak sampai bosan memakannya. Namun kau tak jua kembali. Akhirnya pai lemon itu pun berjamur dan aku membuangnya. Tapi aku tak pernah lelah membuatnya. Aku yakin, suatu hari kau akan muncul dan tertawa di ambang pintu rumah kita.
Aku yakin…
.
.
23 April 1942
Kakashi…
Aku berusaha sangat keras untuk tidak menangis, karena aku tahu hidupmu di sana jauh lebih berat. Aku bisa menahan air mataku sampai waktu tidur, tapi setelah itu aku tidak sanggup lagi menahannya.
.
.
10 Mei 1942
Kau mau berapa pai lemon, Kakashi?
.
.
17 Mei 1942
Kakashi…
Tak adakah sedikit waktumu untuk membalas surat-suratku?
Aku sangat merindukanmu.
Sangat...
Merindukanmu...
.
.
Georgia memasuki musim semi. Salju mencair, rumput dan tunas mulai tumbuh menghijau. Bunga mulai keluar kuncup-kuncupnya dan perlahan merekah saat dicumbu sinar mentari yang hangat keemasan. Namun buat Sakura, musim semi tak pernah mencapai hatinya. Suatu hari, dengan tatapan kosong dari balik tirai, ia melihat Ryuki dan Abel kembali dengan wajah kecewa dan langkah gontai setelah sebelumnya berlari ke ujung jalan saat ada pedati yang lewat. Pedati yang ternyata hanya memuat beberapa ekor sapi. Sakura pun tersedu.
.
.
September 1942
"Whitney di sini."
"Miss. Senjuu?"
"Iya?" Jantung Tsunade berdegup kencang. Suara bariton itu begitu dikenalnya. Namun karena saluran telepon yang buruk, ia jadi tidak yakin. Ia juga takut jika itu hanya sebuah kemiripan yang diciptakannya sendiri dalam alam bawah sadarnya karena kerinduannya yang terpendam.
"Ini Kakashi."
"Oh, Tuhanku! Kakashi—" Tsunade berhenti sejenak, menarik napas panjang, memegang dadanya yang berdebar kuat, berusaha mengendalikan dirinya, "Um… maksudku Mr. Hatake,apakah kau baik-baik saja di sana?"
"Aku baik-baik saja, tapi aku sedang terburu-buru. Aku minta maaf meneleponmu pada jam kerja seperti ini. Tapi aku benar-benar butuh bantuanmu. Bisakah kau pergi ke rumah kami atau membayar orang untuk menyampaikan pesanku pada Sakura? Aku baru saja mengetahui bahwa lusa, kami akan pergi. Kami diberi waktu empat puluh delapan jam untuk bersiap. Aku ingin pulang, namun jika aku pulang, akan memakan waktu lebih lama di perjalanan. Tolong sampaikan padanya, aku ingin dia naik kereta dan menemuiku di Stasiun Augusta. Aku akan menunggunya di dekat toilet wanita. Bisakah kau melakukan itu untukku, Miss Senjuu?"
Tsunade menahan tawa mendengar pria itu berbicara begitu cepat tanpa titik dan koma. Bukan tidak mungkin komandannya memberi batas waktu satu menit untuk menelpon dan mengancam akan menembak bokongnya jika lebih dari itu. "Dia akan menerima pesanmu dalam waktu satu jam. Apakah kau akan menelepon lagi untuk mendengarkan jawabannya?"
"Aku tidak bisa menelepon lagi. Komandanku sudah menatapku dengan tatapan ingin menembak bokongku."
Tsunade benar-benar tertawa mendengarnya. Kakashi mengucapkan kata-kata yang sama persis dengan apa yang ia pikirkan barusan.
"Aku tidak sabar menantikannya, Mr. Hatake."
Kakashi tertawa, "Oh ya, katakan juga pada Sakura bahwa aku mencintainya."
Tsunade tersenyum pahit. Andai ada seorang pria yang mencintainya sebesar itu. "Ya, aku akan menyampaikannya."
"Terima kasih. Oh ya, Miss Senjuu?"
"Ya?"
"Aku juga mencintaimu."
Tsunade menggeram, "Alexander Graham Bell tidak menciptakan alat ini agar seorang tentara marinir bisa menggunakannya untuk merayu seorang wanita tua yang pantas menjadi ibunya, Mr. Hatake!"
Sekali lagi Kakashi tertawa, "Selamat tinggal, Sayang."
"Oh, dasar!"
Kakashi terbahak sementara Tsunade Senjuu menutup telepon dengan pipi merona.
.
.
Sakura hanya pernah sekali naik kereta, yaitu saat ia masih memakai popok jadi ia tidak ingat bagaimana rasanya. Ia yang begitu soliter seperti serigala di tengan hutan, ia yang tidak pernah menginjakkan kaki sama sekali di tengah keramaian kota, bahkan kini harus naik kereta! Ia cemas, gugup, dan takut apa yang akan menantinya. Belum lagi pandangan penuh selidik dari orang-orang yang ia ingat sekilas dari masa lalunya. Tapi ia tak peduli. Kakashi. Ia begitu ingin bertemu Kakashi. Hanya hal itu yang membuatnya menguatkan diri, berani untuk tetap menaiki kereta dan tidak berlari kembali mengubur diri di tanah pertaniannya yang sepi.
Dan disinilah ia sekarang berada, duduk di gerbong kereta yang bergoyang dikelilingi oleh ratusan tentara berseragam, suasana yang berisik, ruangan yang sangat sempit serta puntung rokok dan sampah yang berserakan di lantai. Sejak Amerika Serikat menyatakan terjun ke medan perang, begitu banyak orang yang berpergian menaiki kereta, sehingga gerbong kereta begitu penuh dengan orang yang berdiri, duduk di sepanjang lorong dan bordes, juga duduk berjejalan di kursi. Sakura pun semula tidak mendapatkan kursi, tapi karena melihat Sakura yang kerepotan membawa bayi, seorang tentara berkulit hitam memberikan kursinya kepadanya. Ran begitu rewel sepanjang perjalanan. Untunglah semua orang di sekelilingnya memakluminya, malah mereka banyak membantunya. Seorang wanita jelita berambut pirang sebahu dengan lipstick merah menyala dan mengenakan sepatu hak begitu tinggi—Sakura sampai ngeri kakinya akan terkilir—yang juga berwarna merah terang menawarkan diri untuk menggendong Ran sebentar. Tentara yang bersama wanita itu bahkan melepaskan kalung namanya dan memutarnya di udara hingga bergemerincing untuk menghibur Ran.
Sakura tersenyum. Hatinya terasa begitu hangat. Ternyata Kakashi benar. Tidak semua orang berlaku kejam dan jahat. Selalu ada orang-orang baik di luar sana. Karena hati nurani dan kebaikan hati adalah sesuatu yang bersifat universal.
Sudah hampir dua jam Sakura naik kereta. Kepalanya mulai terasa pusing. Bagaimana tidak? Semua orang di gerbong ini merokok. Udara di dalam kereta begitu sesak berkabut karena asapnya. Ran yang sudah bosan dengan kalung nama mulai menangis lagi sambil menggosok matanya dengan kepalan tangannya yang mungil, kemudian berbalik dan mencari-cari Sakura. Wanita yang tengah menggendong Ran menyadari jika bayi itu haus dan lapar, namun tidak mungkin bagi Sakura menyusui bayinya di tengah kerumunan orang yang mayoritas berhormon testoteron. Ia kemudian berbisik pada letnan muda temannya agar mencari petugas kereta dan memintanya untuk mengosongkan gerbong tidur. Sakura pun diberikan privasi selama tiga puluh menit untuk menyusui Ran dan mengganti popoknya yang basah.
Stasiun Atlanta, tempat Sakura turun dan harus berganti kereta, begitu penuh sesak dengan orang yang berlalu-lalang, bersenggolan, bertabrakan, berciuman, dan menangis. Seakan seluruh warga Amerika Serikat pindah ke stasiun ini. Pengumuman lewat pengeras suara yang terus terdengar dan suara pekikan keras peluit serta lokomotif kereta, membuat Ran ketakutan dan meraung-raung selama empat puluh menit tanpa henti hingga wajahnya memerah, membuat Sakura ikut meneteskan air mata. Ia bingung harus bagaimana. Tubuhnya sudah basah bersimbah keringat. Tangannya mulai pegal karena harus menggendong bayi yang terus meronta. Bahunya begitu sakit.
Perjalanan selanjutnya dilakukan dengan kereta tua yang sangat kotor, sehingga membuat Sakura takut Ran akan terserang penyakit yang bahkan mungkin belum pernah ada di bumi. Gerbong ini sangat penuh, sehingga ia merasa seperti ayam yang dimasukkan ke peti untuk dijual ke pasar. Suara yang sangat berisik, membuat Ran sama sekali tidak bisa tidur, tidak peduli betapa lelahnya bayi itu. Sekelompok tentara menyanyikan lagu mars perjuangan sementara seorang di antara mereka terus memetik gitar tanpa nada keindahan sama sekali. Mereka menyanyikannya berulang kali, sehingga ingin sekali Sakura menendang gitar itu. Para pria dengan suara lantang bercerita tentang kamp mereka, sesekali menyelipkan makian, teriakan, dan lelucon jorok yang membuat bulu kuduk Sakura meremang. Untunglah ia tidak membawa Ryuki dan Abel.
Di kursi samping Sakura, seorang wanita gendut dengan gumpalan lemak di mana-mana yang membuatnya terlihat seperti seekor walrus, tertidur dengan mulut menganga sambil mendengkur keras. Suara cekikikan keras wanita di depannya juga kerap terdengar. Secara berkala, petugas kondektur kereta melewati gerbong mereka dan meneriakkan nama kota berikutnya yang akan mereka lewati. Seseorang menyebarkan aroma bawang putih dari ketiaknya. Asap rokok membuat Sakura semakin sesak bernapas. Ran tidak henti-hentinya meraung. Sakura merasa ingin sekali ikut menangis, tapi, saat melihat ke sekeliling, ia menyadari bahwa ia tidak jauh berbeda dengan ratusan orang lainnya. Mereka semua yang berpergian jauh dari rumah adalah akibat perang. Banyak di antara mereka yang juga berpergian agar bisa bertemu sebentar saja dengan orang yang mereka cintai, sama seperti yang dilakukan oleh Sakura sekarang.
Sakura mengelap ingus yang keluar dari hidung Ran sambil terus mengucapkan dalam hati, Kakashi, tunggu aku. Aku datang untukmu.
Sakura tiba di Stasiun kereta Augusta, stasiun yang melayani jalur dari dan kepuluhan pangkalan militer ini, bahkan lebih buruk daripada kandang sapi. Begitu turun dari kereta, Sakura merasa seolah hilang di antara lautan manusia. Dengan membawa kopor tua milik kakeknya di satu tangan dan bayi yang terisak-isak karena lelah menangis di tangan yang lain, Sakura benar-benar harus berjuang untuk bisa melangkah. Ia bahkan tidak tahu apakah ia menuju arah yang benar, tapi ia tak punya banyak pilihan. Ia harus pergi dari sini sebelum mati terhimpit.
Seseorang menabrak bahunya membuat kopornya terjatuh. Saat Sakura menunduk untuk mengambilnya, Ran merosot dari pinggulnya kemudian seseorang menabraknya dari belakang, nyaris membuat mereka terjungkal ke lantai stasiun yang kotor.
"Ups! Maaf!"
Seorang prajurit membantu Sakura bangun, mengambil kopor, dan menyerahkannya. Sakura berterima kasih pada prajurit itu, membetulkan posisi Ran dalam gendongannya dan terus berjalan di tengah kerumunan menuju bagian yang lebih longgar. Sakura bisa melihat sekilas kios surat kabar, restoran, kios rokok, pemuda penyemir sepatu, antrian orang yang menunggu untuk membeli tiket, dua orang biarawati yang tersenyum pada Ran, dan begitu banyak tentara berseragam. Kemudian ia melihat pintu ayun bergambar toilet bertuliskan 'Pria' dan di sebelahnya ada sebuah pintu yang baru saja menutup bertuliskan 'Wa—
Wanita! Ini dia!
Sakura berhenti dan membaca ulang kata itu untuk sekedar memastikan. Dan… di sanalah Kakashi berdiri menunggunya.
"Sakura!"
Kakashi!
Sakura terisak bahagia saat melihat Kakashi berlari zig-zag melewati orang-orang dan menggeser siapapun yang menghalangi jalannya.
Sakura menjatuhkan kopornya, berlari secepat ia mampu dan menubruk Kakashi penuh kerinduan. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dan matanya berkaca-kaca.
"Sakura… ya, Tuhan. Kau datang."
"Kakashi-ku."
Sakura menangis tersedu sementara Kakashi memeluknya begitu erat, menangkup kedua belah pipinya, menciumi wajahnya bertubi-tubi, menyesap bibirnya yang merah membuka dan terasa asin karena penuh air mata. Lantai bergetar saat kereta bergemuruh pergi, suara bising terdengar di mana-mana, stasiun dipenuhi orang yang lalu lalang. Namun mereka tak peduli. Lengan mereka berdua saling bertaut, sementara Ran terjepit di antara mereka.
Ran yang mengerang sambil meronta marah membuat mereka sadar sudah menekan bayi gemuk yang malang itu, kemudian mereka memisahkan diri sambil tertawa.
"Sweety." Kakashi mengambil Ran dari Sakura dan mengangkatnya tinggi. Kakashi begitu gemas melihat melihat pipi bayi itu yang begitu montok kemerahan dan warna mata hijau gelap, perpaduan ibu dan ayahnya. "Kau gemuk sekali sekarang. Kau begitu cantik seperti mama-mu." Kakashi menciumi Ran dengan lembut hingga Ran terkekeh-kekeh kegelian.
"Aku minta maaf. Aku terpaksa harus membawa Ran juga ka—"
"Shhh… aku bahagia kau membawanya."
Bibir Kakashi yang mendarat lembut di bibirnya, segera menghentikan penjelasan Sakura. Hanya sesaat mereka berciuman untuk kemudian kembali saling memandang. Sakura terengah sekaligus terpesona melihat Kakashi dalam balutan seragam dan topi tentaranya. Kakashi terlihat begitu tampan, sehingga Sakura merasa seolah sedang bertemu pangeran impian dari negeri dongeng. Sementara Kakashi melihat Sakura menjadi tampak lebih kurus, lebih cantik, dan lebih menarik dengan wajah yang dipoles make up tipis. Dan baru kali ini Kakashi melihat Sakura memakai make up.
"Tuhan," bisik Kakashi serak, "Aku masih tidak percaya sekarang bisa kau ada di sini. Aku sangat takut kau tidak datang."
"Aku mungkin tidak akan datang jika bukan karena Miss Senjuu membujukku. Bukan. Bukan membujuk namun lebih tepatnya mengancam."
Kakashi tertawa membayangkannya. Setelah mencium Sakura lagi sekilas, ia kemudian mundur beberapa langkah untuk mengamati Sakura dari jarak jauh. "Dari mana kau mendapatkan gaun itu?"
Sakura tersipu malu. Ia menunduk memandang gaunnya sendiri. Gaun itu sangat cantik dan modis, berwarna kuning gading dengan potongan dan kancing ala militer, berbantalan bahu, dan rok pendek yang memperlihatkan kaki Sakura dari lutut ke bawah. Sakura juga mengenakan sepatu hak tinggi berwarna senada dengan ujung bagian depan terbuka. Rambutnya dikepang longgar dengan poni bergelombang di salah satu sisi keningnya. Wajahnya disapu bedak tipis dan bibirnya dipulas lipstick pink pucat. Ia terlihat menjadi lebih muda dari usianya.
"Aku menjahitnya sendiri. Tenten—Mrs. Hyuuga—meminjami aku polanya kemudian aku memesan bahan serta sepatunya dari katalog."
Kakashi tersenyum begitu lebar. Ia merasa sangat senang Sakura sudah mulai mau membuka dirinya untuk berteman dengan orang lain. Dadanya terasa begitu lega. Segalanya pasti lebih mudah bagi Sakura sekarang. Bahkan… jika ia pun tak pernah bisa kembali, Sakura akan bisa mengatasinya. Kakashi tercekat dengan pemikiran ini.
Tuhan… aku ingin bisa kembali.
Sakura memperhatikan penampilan Kakashi dengan seragam serba hijau, blus wol, dan celana panjang, sepatu mengilap, kemeja khaki dan dasi serta tali sam browne yang memanjang dari bahu kanan hingga ke pinggang sebelah kiri. Emblem korp marinir lengkap—elang, bola dunia, dan jangkar—tersemat di bagian tengah topi itu membuat kakashi terlihat seperti orang penting yang asing baginya. Berat badan Kakashi sepertinya juga bertambah, bahu dan dadanya terlihat lebih tegap dan bidang, membuat pria itu terlihat jauh lebih gagah.
Dengan suara lembut menggoda, Sakura bertanya, "Di mana koboiku yang dulu?"
"Koboi itu sudah pergi menunggang sapi ke sabana, Ma'am."
Sakura tergelak. Kakashi mencium Sakura sekali lagi, mengambil tangannya, dan meremasnya lembut. "Berpeganganlah padaku. Aku tidak mau kehilanganmu. Begitu sulit dan jauh perjalanan yang telah kulalui untuk menemukanmu," bisik Kakashi lembut.
Sakura merasakan matanya kembali basah. Kata-kata Kakashi begitu meresap. Dia menengadah, dan melihat Kakashi tengah mencium kening Ran.
Tuhan… terima kasih sudah kau kirim ia untukku.
Perhatian mereka berdua teralih pada Ran yang kembali merengek sambil menggosok matanya yang merah dan berair. "Bagaimana dia di kereta tadi?"
"Sangat rewel."
"Maaf aku memintamu datang dengan mendadak. Tapi hanya empat puluh delapan jam waktu yang kupunya. Sejujurnya, aku juga ingin bertemu dengan anak-anak. Tapi aku tahu kau pasti sangat kerepotan. Nah, di mana anak-anak kau titipkan?"
"Aku tidak yakin Ms. Senjuu tidak akan merebus mereka jika berlarian dan mengobrak-ngabrik rumahnya," Sakura tertawa, "Jadi kutitipkan mereka di rumah Tenten. Mereka ribut sekali ketika mengetahui aku akan pergi untuk menemuimu, tapi aku sudah repot membawa Ran. Setelah aku menjanjikan mereka cokelat dan permen yang banyak, barulah mereka berhenti meraung-raung."
Kakashi tertawa, "Nah, kapan terakhir Ran makan?"
"Sekitar tiga jam yang lalu ia makan tiga keping biskuit gandum."
"Dan bagaimana denganmu? Apakah kau lapar?"
"Yah, sedikit," kata Sakura sambil memeluk lengan Kakashi.
Kakashi membimbing Sakura keluar dari stasiun di tengah udara panas yang lembab pada sore di musim panas. "Aku sudah menyewa kamar di hotel untuk kita," Kakashi terbatuk-batuk untuk menutupi kegugupannya membuat Sakura kembali merona.
Mereka berdiri berdekatan, saling bertukar tatapan yang menyiratkan pesan ketidaksabaran untuk melepaskan kerinduan.
Dua puluh lima menit kemudian mereka memasuki kamar hotel dengan diantar bellgirl—dan bukannya bellboy—karena semua pria muda sudah pergi ke medan perang.
Dengan sopan Kakashi membiarkan bellgirl itu melakukan tugasnya dengan menunjukkan kepada mereka semua hal yang ada di dalam kamar itu, dan ia mati-matian menekan kuat dorongan untuk meminta bellgirl tersebut segera keluar dan mengunci pintu.
Karena tidak ada tanda-tanda bellgirl itu akan segera keluar, akhirnya Kakashi memberikan tip kepadanya, dan ia pun langsung keluar secepat kilat. Begitu pintu tertutup, Kakashi langsung berbalik ke arah Sakura dan menciumnya. Bibir mereka baru sebentar saling melumat saat suara rengekan Ran kembali terdengar, memaksa mereka untuk memperhatikan bayi itu lebih dulu.
"Mungkin dia mengantuk," gumam Kakashi serak menahan hasrat.
"Aku harap dia akan segera tidur. Dia sudah sangat kelelahan."
Pandangan mata mereka bertemu dalam damba.
Berapa lama Ran akan tidur?
Setengah jam?
Sejam?
Berjam-jam lagi?
Ya Tuhan, aku sangat menginginkannya sekarang.
"Kakashi? Di mana Ran akan tidur?"
Kakashi menatap sekeliling kamar. Tempat tidur mereka memang cukup besar, tapi Kakashi tidak mau jika Ran sampai terjatuh atau tergencet akibat aktivitas mereka nanti. Sialan, dia sangat merindukan Sakura. Pandangan Kakashi tertumpu pada kursi tamu di sudut kamar.
"Bagaimana jika di kursi?"
Dengan empat langkah panjang, Kakashi meraih dua buah kursi berlengan dan menyatukannya, menciptakan buaian sederhana, lembut, dan aman dengan bagian lengan dan jok yang berbantal empuk. Sakura merasa sangat lega sehingga senyumannya begitu ringan tersungging di bibirnya.
"That's perfect."
"Yeah… sempurna. Untuk kita juga." Kakashi tersenyum nakal sambil berjalan menuju ke kopor. "Kau lepaskan popok basah Ran dan aku akan mengambilkan pakaiannya yang bersih."
Sementara Kakashi mengaduk-ngaduk isi kopor, Sakura membaringkan Ran di atas tempat tidur. Dalam waktu beberapa menit, Ran sudah berganti popok kering dan kimono bersih.
"Jaga dia sebentar, ya."
Sakura berbalik menjauh dari tempat tidur. Sambil berbicara lembut pada Ran, Kakashi yang berbaring di sebelah Ran, mengamati Sakura yang sedang menanggalkan gaun kuningnya, menggantungnya di kapstok belakang pintu, kemudian berbalik dengan bertelanjang kaki, dengan hanya mengenakan rok dalam dan bra.
Kakashi nyaris berhenti bernapas. Untuk sesaat tatapan mereka terkunci, suasana terasa sunyi, kecuali suara rengekan lembut Ran dan debar jantung mereka berdua yang berpacu kencang. Mata abu-abu gelap Kakashi terlihat semakin menggelap saat menatap kulit polos Sakura yang terlihat di antara dua potong pakaian dalam yang masih tersisa, sementara mata hijau Sakura terlihat gemerlap saat menyusuri dada Kakashi yang bidang. Ketika mata mereka kembali bertemu, napas Kakashi mulai memburu dan pipi Sakura terlihat memerah melihat gairah Kakashi.
"Tuhan, kau terlihat menggairahkan." ujar Kakashi tercekat. Suaranya terdengar parau.
Sakura tidak menjawab. Ia hanya menatap mata Kakashi dengan bibir basah mengundang. sambil mengulurkan tangan ke belakang punggungnya untuk membuka kaitan bra-nya dan melepaskannya untuk teronggok di lantai. Kakashi terus menatapnya tanpa berkedip. Payudara Sakura terlihat penuh, puncaknya lebar, dan kemerahan. Sakura berdiri tidak bergerak, dilator belakangi cahaya dari kamar mandi, mempelajari kenikmatan baru saat membiarkan orang lain mengamati tubuhnya dengan mata penuh damba. Betapa berbeda perasaannya terhadap dirinya sendiri sekarang. Ia merasa… cantik. Dan hanya Kakashi yang mampu membangkitkan perasaan itu. Sakura melihat leher Kakashi bergerak saat menelan ludah.
Sakura menghampiri Ran yang masih merengek, menumpukan satu lutut di atas kasur dan menunduk di atas Kakashi untuk mencium sudut bibirnya, "Aku harus menyusui dan menidurkannya dulu."
Kakashi mengulurkan tangan untuk membelai payudara Sakura yang menggantung indah dengan ujung jarinya yang gemetar, melepaskan bibir Sakura yang bengkak karena lumatannya sambil berbisik, " sudah tidak tahan."
Sakura mengangkat Ran kemudian duduk di salah satu kursi dengan Ran di atas lekukan lengan kirinya. Kakashi berguling tertelungkup, menyilangkan lengannya di bawah dagu dan mengawasi istrinya yang menunduk, menarik puncak payudaranya dengan dua jari, dan mengarahkannya ke mulut Ran yang merah membuka. Mata Kakashi menjadi segelap batu onyx, tubuhnya terangsang saat melihat pemandangan di depannya. Ketika sudah tak bisa lagi menahannya, ia bangkit untuk berjalan melintasi kamar, dengan mata tetap terpaku pada Sakura. Kakashi melepaskan topi dan blus wolnya kemudian menggantungnya di kapstok. Ketika Kakashi mendekat, kepala Sakura berputar mengikuti setiap gerakan pria itu. Mata Sakura terangkat dan terfokus pada wajah Kakashi, membiarkan pria itu juga melihat ketidaksabaran di matanya, yang sama besar seperti yang dirasakan pria itu.
Tapi mereka sadar, bayi gemuk pemarah yang sedang merajuk di pangkuan Sakura harus didahulukan. Dengan enggan Kakashi berbalik.
Kakashi menumpukkan dua buah bantal di kepala tempat tidur dan duduk bersandar di sana dengan satu kaki dijulurkan dan sebelah lagi menggantung di lantai. Pose itu menunjukkan kemaskulinan Kakashi yang sudah tampak melalui seragamnya. Sakura mendadak teringat sosok Kakashi saat pertama kali datang ke rumah pertaniannya. Kakashi yang begitu kurus mengenakan sepatu bot koboi yang sudah usang, celana jeans pudar yang kedodoran, kemeja kusut hasil curian yang basah oleh keringat. Kakashi merogohkan tangan ke dalam saku kemejanya dan mengeluarkan sebatang rokok dan menyelipkan satu batang di jarinya. Kemudian ia duduk diam sambil merokok sambil tetap mengamati Sakura.
Sakura mengerenyitkan kening. "Kapan kau mulai merokok, Kakashi?"
"Belum lama."
"Itu membuatmu seperti orang asing buatku," jawab Sakura hati-hati.
"Jika kau tidak menyukainya aku akan—"
"Tidak. Tidak," jawab Sakura cepat. "Bukan itu maksudku. Hanya saja, sudah lama aku tidak melihatmu. Dan saat aku bertemu kembali denganmu, kau memakai pakaian yang belum pernah kau pakai sebelumnya. Potongan rambutmu jadi berbeda. Ditambah kebiasaan barumu. Kau jadi seperti orang asing buatku."
Kakashi mengisap rokoknya dalam-dalam sebelum mengembuskanya perlahan, "Tapi di dalamnya aku sama sekali tidak berubah, Sakura. Aku tetap Kakashi yang dulu. Kakashi yang kau kenal."
"Maksudmu, kau masih pria yang sama dengan pria yang melamarku di depan kandang ayam waktu itu?"
Kakashi tertawa, "Iya, aku masih pria yang sama."
Mereka saling menatap, sementara Ran terus menyusu. Mata Kakashi beralih ke payudara Sakura dan kembali mengisap dalam-dalam rokoknya.
"Hati-hati. Nanti rokoknya tertelan," gelak Sakura membuat Ran terbangun tiba-tiba dan melepaskan puncak payudara Sakura sambil meronta. "Shhh…" Sakura menenangkan Ran dan memindahkannya ke lengan lain dan menyusui dengan payudaranya yang sebelah kanan.
Mata Kakashi menatap payudara kiri yang terabaikan dengan puncaknya yang basah dan bengkak. Tiba-tiba Kakashi bangkit dari tempat tidur, mematikan rokoknya di asbak, dan menghilang ke dalam kamar mandi. Sakura membiarkan kepalanya terkulai ke belakang kursi, memejamkan matanya dan merasakan bagian bawah dirinya yang basah sudah siap untuk menerima Kakashi di dalamnya.
"Oh, Ran, cepat selesaikan, Sayang," erang Sakura.
Di dalam kamar mandi, terdengar suara air mengalir, suara Kakashi yang terengah dengan suara serak, kemudian hening untuk sesaat. Keheningan Kakashi muncul lagi di ambang pintu kamar, menatap ke arahnya, sambil mengelap tangannya di handuk putih. Kakashi melemparkan handuk itu, melepaskan kemejanya dan kini hanya mengenakan kaos yang menempel ketat di tubuhnya. Titik-titik air tampak menetes dari rambutnya dan menetes ke leher serta dadanya.
"Aku menginginkanmu,"suara Kakashi terdengar begitu serak dan nyaris tak terkontrol.
"Ke sinilah, Kakashi," bisik Sakura.
Kakashi melepaskan kausnya dan berjalan ke belakang kursi yang diduduki Sakura, mengulurkan tangan ke bahu Sakura yang telanjang, jari-jari Kakashi menyusuri payudara Sakura. Kakashi menumpukan dagunya di atas bahu Sakura sementara Sakura memiringkan kepalanya untuk memberikan Kakashi akses penuh terhadap lehernya. Sakura mengangkat sebelah lengannya yang bebas ke atas dan mengalungkannya di seputar tengkuk Kakashi, sementara tangan pria itu meremas lembut payudara Sakura yang bebas membuat Sakura mengerang nikmat.
Mata Sakura tampak sayu, "Berapa banyak waktu yang kita punya?"
"Aku harus melapor lagi besok pukul enam sore. Nah, Ran sudah selesai menyusu. Bisakah kita menidurkannya sekarang?" tanya Kakashi sambil menangkup payudaranya, mengangkat, dan membelainya. Ibu jarinya mengusap puncaknya yang keras.
"Aku tidak berani membantah permintaanmu, Prajurit."
Kakashi tergelak.
Malam itu, Ran tidur dengan pulas. Sebaliknya Kakashi dan Sakura tidak akan sempat tidur sampai pagi. Mereka mengulanginya lagi, lagi, dan lagi.
Mereka ingin membawa sebanyak mungkin kenangan indah dari kamar ini. Sakura akan membawanya ke pertaniannya yang terasa sunyi tanpa Kakashi. Dan Kakashi akan membawanya ke medan perang, tempat yang belum pasti apakah ia akan kembali. Hanya hari ini yang mereka punya. Dan mereka akan menikmati sebaik-baiknya.
.
Matahari terbit di suatu tempat di balik cakrawala yang tidak bisa mereka lihat. Bau udara yang dingin dan lembab menerobos masuk melalui jendela kamar hotel yang terbuka lebar. Sebuah lengan Kakashi yang kekar dan besar melingkupi bahu Sakura, sementara kakinya terkait di paha Sakura.
Sakura membelai bibir bawah Kakashi dengan jari, menekannya dengan lembut hingga membuka. Kakashi menyeringai malas, tapi matanya tetap terpejam rapat.
"Mau lagi?" goda Kakashi.
Sakura tergelak dan menggigit pipi Kakashi lembut. "Kakashi?"
"Hm?" Kakashi membuka matanya dan berlama-lama menatap paras cantik istrinya.
"Aku belum pernah merasa sesenang dan sedamai ini."
"Begitu juga denganku."
"Andai ini bisa berlangsung selamanya," bisik Sakura dengan suara tercekat.
Seringaian mereka kini memudar perlahan dan hanya bisa saling saling tatap dalam kesedihan.
"Aku akan merindukanmu, Kakashi."
"Aku juga. Hanya Tuhan yang tahu betapa aku rindu pada kalian. Padamu, Ryuki, Abel, dan Ran."
"Sering aku terbangun di pagi hari dan langsung melihat ke arah tumpukan kayu di halaman dan berharap bisa melihatmu sedang membelah kayu di sana."
"Aku akan melakukannya lagi. Segera."
Mereka tahu bahwa kata-kata itu kosong. Tidak ada yang tahu akan hari esok. Hari esok yang penuh tawa ataukah hari esok yang akan membawa air mata. Waktu perlahan membawa mereka semakin dekat ke hari esok. Mereka ingin bisa mengabaikannya sekarang, memanfaatkan waktu yang tersisa untuk saling menyentuh, berbisik, mencium, dan bercinta layaknya sepasang kekasih. Mereka berbaring, menyusuri jari ke atas dan ke bawah tubuh masing-masing.
Sakura menatap seprai yang terkumpul di kaki Kakashi dan melontarkan pertanyaan yang sangat ditakutinya, "Ke mana mereka akan mengirimmu, Kakashi?"
"Aku tidak tahu," jawab Kakashi sambil menggeleng.
"Mereka tidak bilang padamu?"
"Ada rumor yang berkembang di barak, bahwa kami akan dikirim ke Pasifik Selatan, tapi kami tidak tahu di mana tepatnya, bahkan komandan pangkalan juga tidak tahu. Pimpinan hanya mengatakan kami bertugas untuk 'membuka jalan'."
"Membuka jalan?"
"Itu maksudnya kami yang akan memulai penyerangan."
"Penyerangan?"
"Iya. Jepang sudah menyebar di Pasifik, menguasai hampir seluruhnya. Jika mereka mengirim kami, kami bisa ditempatkan di mana saja mulai dari Filipina, Indonesia, bahkan sampai Australia."
"Apakah kau takut, Kakashi?" tanya Sakura sedih. Ia tak tahu di mana itu negara-negara yang baru saja disebutkan Kakashi. Tapi yang ia tahu, Kakashi akan pergi sangaaaaaat jauh.
Kakashi menyentuh rambut Sakura lembut dan memainkannya perlahan. "Tentu saja aku takut. Tapi setiap rasa takut itu datang, biasanya aku mengingatkan diriku sendiri bahwa aku adalah bagian dari unit militer terbaik dalam sejarah dunia. Jika aku harus bertempur, aku lebih suka melakukannya bersama marinir. Dalam marinir, semua harus dilakukan demi kepentingan bersama. Tidak ada seorang pun yang boleh mendahulukan kepentingan pribadi. Kami akan saling melindungi dan menjaga," terang Kakashi. Ketika dilihatnya Sakura menjadi murung, ia mengecup puncak kepala Sakura lembut, "Hei, ayolah Sayang. Kita bicarakan hal lain saja."
Mereka segera mengganti topik pembicaraan yang begitu menyakitkan. Kini mereka membicarakan Ryuki yang sudah bisa menulis dan membaca, Abel yang giginya mulai ompong dua, Madam yang setia menemani anak-anak bermain di ladang, Ms. Senjuu yang mulai sedikit mahir di dapur—tapi anak-anak tetap trauma tidak mau memakan apapun hasil masakannya, Tenten Hyuuga yang cantik dan baik hati. Mereka membahas apa saja yang sudah terlewatkan oleh Kakashi selama ini. Juga tentang Sakura yang mulai belajar memakai make up dan menata rambutnya.
Sinar mentari pagi mulai menyibak tirai kabut dan udara dingin. Mereka berdua duduk berpelukan di tepi jendela, mengamati kegelapan yang masih tampak di kejauhan, tempat kapal-kapal masih ditambatkan di dermaga. Laut lepas seperti jurang kegelapan yang menyembunyikan kapal selam Jerman yang menyusup ke pertahanan di pantai timur. Tempat di mana perang hebat tengah berlangsung di sana.
Tidak peduli betapa pun mereka berusaha mengabaikannya, perang tetap mengiringi pikiran mereka, sentuhan mereka, dan detak jantung yang masih bisa mereka bagi.
Mereka akhirnya tertidur dengan lengan saling bertaut.
.
.
Ran terbangun pukul tujuh pagi. Setelah Ran disusui, Kakashi memandikan bayi mungil yang memuncratkan air ke segala arah itu dengan air mengawasi dengan sedih dan penuh kerinduan, sementara Kakashi berlutut sambil tertawa-tawa di samping bathub dan menikmati detik-detik kebersamaan dengan bayi cantik itu. Kakashi yang melakukan semuanya. Mengeringkan tubuh Ran, memakaikannya popok, dan pakaian bersih, untuk kemudian berbaring di atas tempat tidur sambil bermain dan tertawa mendengar celotehnya. Tapi mata Kakashi selalu beralih ke Sakura yang berada di sisi lain sang bayi, dan kesedihan yang tak terucapkan kembali terbentuk di antara mereka.
Mereka makan di kamar itu dan bertahan di dalamnya sampai seorang bellgirl datang dan bertanya apakah mereka ingin memperpanjang waktu menginap. Mereka segera memberesi koper dan berdiri sesaat di ambang pintu untuk menatap kamar di belakang mereka. Kamar yang telah menyediakan tempat untuk mereka berlabuh selama delapan belas jam terakhir. Mereka berhadapan, mencoba untuk terlihat berani, tapi ciuman terakhir mereka di tempat ini adalah ciuman yang dilakukan dengan bibir bergetar nyaris putus asa.
Mereka berjalan menyusuri Kota Augusta, menapaki trotoar yang panas, sampai mereka menemukan taman yang indah dengan kursi besi di sekelilingnya. Mereka duduk dan menyebarkan selimut di atas rumput hijau yang tebal, tempat mereka meletakkan Ran yang kini asyik bermain dengan kalung nama milik Kakashi.
Mereka berbaring di atas rerumputan, menatap kanopi pepohonan yang rindang, langit biru dengan awan putih berarak, serta burung yang sesekali melintas dari satu dahan ke dahan yang lain. Tapi sebagian besar waktu mereka habiskan untuk saling bertatapan. Kini semakin sering mereka Kakashi membelai telapak tangan Sakura yang diletakkan di atas paha Kakashi, sementara jemari pria itu memainkan cincin pernikahan yang telah membuat jari Sakura menjadi hijau.
"Saat aku kembali nanti, aku akan membelikanmu cincin pernikahan yang baru dari emas," bisik Kakashi sedih. Wanita ini, begitu sabar dan menerima dirinya apa adanya, bahkan di saat terburuk keadaannya.
"Aku tidak mau cincin pernikahan baru dari emas, hanya ingin memakai cincin yang kukenakan pada hari aku menikah ini sangat berharga untukku."
Mata mereka bertemu dan menyiratkan kesedihan, tidak mampu lagi menyangkal kenyataan apapun yang kini menanti mereka
"Aku mencintaimu, Wanita bermata hijauku. Jangan pernah lupakan itu," bisik Kakashi lembut dengan suara bergetar.
Sakura terisak, "Aku juga mencintaimu, Prajuritku."
Tatapan mereka berakhir saat Kakashi menempelkan keningnya pada kening Sakura. Mereka terbaring diam selama beberapa menit, dengan jari saling bertaut. Angin berhembus perlahan membawa suara pekikan sepasang burung camar, suara air sungai yang bergemericik mengalir, suara kalung nama yang dimainkan Ran, serta aroma bunga yang bermekaran di sekitar kaki air mancur kecil di dekat mereka.
Kakashi merasa tenggorokannya tercekat, "Sudah waktunya kita pergi."
Kesedihan Sakura sudah tidak tertahankan lagi. "Kita akan mengantar Papa ke stasiun, Ran."
Kakashi menggendong Ran. Mereka berjalan dalam kesedihan yang nyaris tak tertahankan. Sekitar lima belas menit kemudian mereka tiba di stasiun Augusta. Kini mereka berdiri lagi di tengah kerumunan orang yang berlalu-lalang. Mereka berdiri saling berhadapan dengan lidah terasa kelu. Ran tengah asyik bermain dengan kancing seragam Kakashi, berusaha keras menariknya lepas dengan tangannya yang gemuk.
Kereta menuju Columbia, Raleigh, Washington, dan Philadelphiaakan berangkat sepuluh menit lagi. Keberangkatan melalui gerbang tiga. Bagi para penumpang ker—
"Itu keretaku."
"K—kau sudah membawa tiketmu?" gagap Sakura dengan mata mengerjap-ngerjap menahan air mata.
Kakashi mengangguk pelan. Mata mereka bertemu lagi dan Kakashi menempatkan telapak tangannya di pipi Sakura dan membelainya lembut dengan ibu jarinya. "Sampaikan peluk, ciuman, dan kerinduanku pada Ryuki dan Abel. Berikan cokelat itu pada mereka dan katakan bahwa aku selalu menyayangi dan mencintai mereka."
"A—akan kusampaikan. Kau tahu? Mereka juga sangat me—" Sakura tidak sanggup lagi melanjutkan kata-katanya. Ia benar-benar terisak kini.
Kakashi mengangguk, wajah tampannya terlihat muram.
Panggilan terakhir untuk para penumpang Columbia Raleigh. Kereta akan—
Sakura benar-benar menangis dengan dada terasa sesak. Air matanya tak pernah berhenti mengalir. Bergulir menuruni pipinya dan menganak menetes di bagian depan blusnya. Kakashi berkaca-kaca menatapnya.
"Kakashi."
"Sakura."
"Kembalilah padaku."
"Aku pasti akan kembali."
Mereka berpelukan begitu erat dengan Ran yang bingung terjepit di antara peluit panjang terdengar memekakkan telinga.
Berangkat!
Kereta mulai bergerak.
Kakashi mengangkat bibirnya dari bibir Sakura, menyerahkan Ran ke Sakura, dan berlari mengejar kereta yang sudah mulai berjalan untuk kemudian melompat ke atas gerbong kereta. Sakura melambai pada sosok Kakashi yang semakin jauh. Sosok Kakashi yang terlihat buram di balik tirai air matanya. Dalam keremangan senja, Sakura masih tetap berdiri menatap kereta yang sudah hilang dari pandangan. Kereta yang membawa pergi belahan jiwanya. Tatapannya kosong. Seperti hatinya yang kini berongga.
Tuhan… tolong kembalikan dia untukku.
.
.
To Be Continued
.
Amaya Note: Readers, maafkan kami yang sudah melalaikan fic ini. Selain karena kesibukan kami di RL, kendala terbesar fic ini adalah karena saya beda pendapat dengan Gin tentang ending fic ini. Gin ingin happy ending, dan saya ingin sad ending. Kami sering cakar-cakaran gegara ini dan berujung dengan stuck. Nah katakan, kalian ingin endingnya bagaimana? *laugh*
Untuk Gin, terima kasih sudah ada buatku sampai sejauh ini. Setia menemaniku bahkan dalam saat-saat tersulit dalam hidupku. Luv ya~ Hunnz *big hug* anw ditunggu fic buat anniversary-nya. Awas kalo gak buat ya, Bang. *asah golok*
Gin Note: Enam Agustus kemarin adalah peringatan ke-71 Little Boy membumihanguskan Hiroshima dan Sembilan Agustus, Fat Man meluluhlantakkan Nagasaki. Dan kami baru nyadar kalau hari jadi kami sama dengan bom atom Nagasaki. Pantas saja kami sering berantem *laugh* Buat Amaya, pokoknya jangan buat sad ending ya. Tapi mengingat keras kepalanya dirimu, bisa jadi akhirnya begitu *manyun, getok*
Buat readers, maukah kalian memberi pendapat untuk memilih sad ending atau happy ending? Jika memilih salah satunya, sertakan alas an ya. Pilihan kalian, silakan tuang di kotak review. Pilihan yang paling banyak akan menjadi ending dari fic ini.
Dan mari berdoa buat Amaya supaya chap berikutnya diapdet nggak kurang dari empat bulan.
Amaya: chap berikut diapdet kira-kira...
Gin: asal jangan tahun depan *asahkatanadengansantai, nonton KillBill*
Amaya : Katanya minta diapdet juga Amulet Of The Crimson Falls-nya, Bang *deathglare*
Gin : Iya iyaaa. Nah mari kita mulai review-nya! *kekek*