Jika cinta dapat dilukiskan,

Mungkin aku akan jadi penjahat.

Karena cinta adalah kejahatan yang terselubung

..dibalik kilau keindahan.

Tapi aku masih tidak mengerti kejahatan apa yang tersimpan disana.

Apa sebenarnya cinta itu?

.

.


Teardrops In The Rain

-Last Chapter-

Warning : Yaoi, typo(s), harsh word, AU

Shingeki no kyojin © Ishiyama hajime


Dulu Eren sering dibacakan dongeng, seperti The Little Mermaid, Cinderella, Snow White dan lainnya. Awalnya karena Mikasa sering membaca buku-buku dongeng, tapi Eren lama-lama juga ikut tertarik dengan isinya.

Eren sungguh menyukainya, apalagi ilustrasi yang ada di tiap halamannya. Gambar Snow White di dalam peti kaca, Cinderella saat menerima sepatu kaca dan yang paling Eren sukai adalah lukisan punggung putri duyung yang sedang bernyanyi di depan sebuah kapal di tengah badai dahsyat.

Lukisan itu seperti berbicara pada Eren, lukisan itu seakan mengeluarkan suara. Eren seakan dapat mendengar nyanyian sang putri duyung tersebut. Pada saat itu pula Eren mulai senang mencoret-coret kertas dengan crayon miliknya. Menggambar berbagai macam hal di sekelilingnya, bahkan tokoh-tokoh fiksi yang sering dibacakan Mikasa.

Dongeng The Little Mermaid milik Han Andersen adalah favorit Eren. Ia jatuh cinta dengan ilustrasi dan kisah yang ada di dalamnya. Namun Eren begitu benci dengan akhir cerita dimana sang pangeran sama sekali tidak mengetahui cinta sang putri duyung.

Eren ingin sekali mengubah akhir cerita tersebut. Karena menurut pemilik iris hijau itu, cinta akan selalu berakhir bahagia. Seperti kisah Snow White, Cinderella atau Sleeping Beauty.

Tapi kenapa cerita yang sudah dikemas sangat bagus dan paling Eren sukai tersebut malah berakhir tragis? Mikasa pernah menjelaskan, bahwa seperti itulah bagaimana cinta sebenarnya.

Tidak, menurut Eren cinta itu indah dan sangat hangat. Sama seperti kedua orangtuanya, sama seperti pasangan tua yang menikah di sebelah rumah Eren.

Jika memang benar terjadi pada kenyataan dimana akhir kisah cinta menjadi buruk, Eren tidak bisa membayangkannya.

.

.

Isak tangis itu masih terdengar dari arah tangga darurat. Bocah berdasi hijau itu masih meringkuk ke dalam lututnya, membenamkan wajahnya.

"Benar juga…" Eren menarik nafas panjang disela tangisannya. Percuma menyeka airmata yang mengalir di pipinya, karena air itu masih terus keluar dari matanya.

".. memangnya siapa aku ini-?" Suara Eren tergetar.

"Dia hanya seniorku.. pasti ia sudah memiliki kekasih.. mana mungkin ia melihat seorang—"

Mulutnya kaku, tidak dapat mengeluarkan kata-kata. Bibir nya terlalu gemetaran, Eren berusaha menahan raungannya. Menahan air yang melesak keluar dari kedua matanya, menahan rasa nyeri yang menerpa dadanya.

'Apa cinta harus sesakit ini..?'

Eren menangkupkan kedua telapak tangannya pada wajahnya. Benaknya membayangkan sosok sang putri duyung yang telah berubah menjadi buih.

'Sama sekali tidak bagus… Cinta yang sebenarnya..'

Eren mendongak keatas, berusaha membuat matanya itu segar kembali. Ia berdiri dari posisinya kemudian menyeka sisa-sisa airmata yang ada di wajahnya dengan dasi miliknya asal-asalan.

Sampai kapan ia harus meringkuk? Ia harus pergi dari tempat itu secepatnya atau mungkin saja ia akan bertemu Rivaille.

Kedua irisnya menangkap pergelangan jas seragamnya, keduanya basah karena airmata. Sebanyak itukah Eren menangis?

Eren menghirup udara di sekelilingnya seperti orang rakus. Menghembuskannya kembali, kemudian melakukan hal yang sama berulang-ulang. Lalu ia menepuk-nepuk kedua pipinya dengan telapak tangannya.

"Lelaki tidak boleh menangis!" seru Eren walaupun suaranya masih parau.

Ia melirik kanvas yang tersandar di dekat dinding disebelahnya. Seluruh inspirasi dan imajinasi nya runtuh seketika. Rasanya ingin sekali Eren mematahkan kanvas itu menjadi dua bagian. Ingin melarikan diri rasanya.

Eren tidak ingin kembali ke koridor itu dan melihat wajah sang senior. Niatnya untuk mengabadikan sosok gitaris itu sirna, benar-benar hilang seakan diterpa badai.

Bocah itupun kembali ke dalam gedung membawa seluruh peralatannya tentunya setelah ia merasa wajahnya tidak terlalu sembab. Eren berjalan ke arah tangga menurun agar dapat keluar dari gedung tersebut dikarenakan tangga darurat pasti disekat oleh gerbang besi di bagian bawah. Konyol sekali jika Eren harus memekik si penjaga sekolah untuk membukakannya.

Eren menghela nafas sepanjang jalan menuju tangga, menahan perasaan sakit itu muncul kembali. Sulit sekali karena ini kali pertamanya bagi Eren.

Memikirkan seseorang sedalam itu, memberikan senyuman terlembut hanya pada orang itu, tertidur karena senandungnya, dan jatuh cinta hanya mendengar dan melihat permainannya.

Padahal baru sebentar sekali ia mengenal Rivaille, tapi Eren sudah menangis karenanya.

Bodoh.

Eren Jaeger adalah seseorang yang bodoh.

"Jaeger? Sedang apa kau disini, aku menunggumu dari tadi bocah tengik."

Suara yang paling tidak ingin Eren dengar sekarang memanggil namanya dari belakang. Mau tak mau Eren memutar badannya untuk melihat sosok yang menyebut namanya itu.

"Se-senpai…"

Tubuh 160 cm itu melipat kedua tangannya di depan dada dan menatapnya dengan kedua alis yang saling bertaut, Rivaille menghampirinya.

"Err.. aku baru saja mau ke sana, senpai…" ujar Eren terbata-bata. Tidak ada lagi alasan lain yang bisa dikeluarkan Eren sekarang, ia terlalu panik.

"Tch." Rivaille tiba-tiba menyambar kanvas yang dipegang oleh Eren dan membalik badannya.

"Ayo cepat, aku tidak mau pulang terlalu larut," katanya lalu ia berjalan mendahului Eren menuju arah koridor latihan.

Eren masih terdiam, barusan tangan mereka bersentuhan dan Eren malah merasa… jijik.

Kakinya terasa sangat berat untuk berjalan mengikuti orang itu, terasa seakan ada sesuatu yang merantai pergelangan kakinya agar tidak kemana-mana. Tapi kenapa dia tidak bisa membantah?

"Ba-baik senpai."

.

.

Rivaille sibuk mencoret-coret partitur yang ia letakkan di atas piano menggantikan fungsi meja, dan kembali mencari melodi di gitarnya. Sedangkan Eren duduk di pojok ruangan sambil memangku kanvasnya.

Dari sudut pandang Rivaille ia melihat bocah itu juga sibuk mencoret-coret kanvasnya itu dengan pensil miliknya, sepertinya ia sedang membuat sketsa awal.

Karena Rivaille tidak mau hanya duduk diam di dekat piano sebagai seorang model, ia mengatakan bahwa Eren boleh melukis Rivaille sambil seniornya itu melakukan aransemen lagu untuk tugas sekolahnya.

Tapi ada yang aneh dengan Eren sore itu. Kilauan di matanya seakan menghilang.

"Oi, Jaeger."

Bocah itu tidak menoleh.

"Oi, Jaeger," panggil Rivaille lagi, dan si pemilik nama tetap tidak bergeming. Sebegitu asiknya kah ia dengan lukisannya itu, tapi kenapa dia sangat pendiam hari ini?

"Eren."

Gerakan pensilnya berhenti, bocah itu mulai menatap mata Rivaille. Mungkin karena seniornya itu memanggil nama kecilnya, tapi Eren entah mengapa terlihat tidak terlalu peduli.

"Ada apa Senpai?" tanya Eren.

"Kau pendiam sekali hari ini, sudah sampai mana gambarmu huh?" Rivaille menyelipkan pick gitarnya di antara senar gitarnya.

Eren malah menunduk, ia kemudian mengangkat kepalanya kembali dan tersenyum, "Masih belum selesai senpai, senpai kembali mengerjakan tugas saja."

Mata Rivaille menyipit dan kedua alisnya bertaut, ia yakin betul ada yang salah dengan Eren.

Yang namanya Eren Jaeger adalah bocah yang tidak bisa diam, berisik, dan memiliki senyum yang sangat tulus. Belum lagi, saat ia mengerjakan sesuatu yang ia sukai matanya akan tampak berkilauan.

Tapi lihat sekarang, apa itu Eren Jaeger yang sama?

Dan kenapa ia selalu menunduk? Bukankah ia seharusnya sesekali harus menatap Rivaille untuk melukisnya?

"Bocah, kau lupa cara tersenyum huh?" Rivaille bangkit dari kursinya dan menghampiri Eren.

Berpikir jika kalau-kalau bocah bersurai coklat itu jatuh sakit atau yang lainnya, Rivaille berusaha melihat wajahnya dengan seksama.

"Jangan mendekat!" seru Eren tiba-tiba.

.

.

Rivaille mengajaknya ke ruangan itu, ruangan dimana ia melihat Rivaille memeluk seorang wanita beberapa waktu yang lalu. Eren merasa dadanya berdenyut, ada rasa sakit luar biasa saat ia masuk ke dalam ruangan tersebut.

Rivaille seperti biasa memetik-metik gitarnya sambil menulis-nulis di lembaran kertas yang ia taruh di atas piano. Ia membiarkan Eren melukisnya, Rivaille bahkan menyiapkan kursi untuknya di pojok ruangan.

Eren biasanya langsung menggambar dengan cat minyaknya tanpa membuat sketsa. Ia bahkan sudah mendapatkan gambaran seperti apa lukisan Rivaille nanti.

Tapi gambaran itu menghilang.

Gambar wajah yang ingin ia lukiskan di kanvas itu menjadi abstrak, warna biru yang ingin ia goreskan disana menjadi hitam pekat, dan kuas yang Eren taruh di dekat peralatannya itu bagaikan pistol yang akan membunuhnya jika ia memakainya sekarang.

Figur lukisan lelaki yang ada di benaknya itu menjadi samar, padahal sosok itu ada tepat di hadapannya. Bocah beriris emerald itu tidak tahu apa yang harus ia lakukan dengan semua cat minyak yang ia bawa. Ia tidak tahu apa yang harus ia gambar di kanvas putih yang ada di pangkuannya.

Eren tidak bisa melukis Rivaille.

Seluruh tubuh dan hatinya menolak, dan itu hal yang fatal bagi pelukis.

Warna-warni yang ada di pikirannya perlahan berubah menjadi hitam dan putih. Dunia Eren yang penuh warna jatuh seketika di penjara hitam-putih.

Melukis selalu menjadi pelarian bagi Eren, tapi untuk sekarang Eren menjadi muak jika harus melukis Rivaille.

Padahal itu bukan kesalahannya, semuanya karena harapan Eren yang terlalu besar.

Eren tidak mau membuat Rivaille curiga dan mulai mengambil pensilnya, membuat sketsa asal di kanvasnya, berharap otaknya dapat mengeluarkan gambaran baru.

Tapi percuma saja, bahkan pensil itu bergetar di jemarinya. Melihat Rivaille saja, Eren tidak kuasa menahan tangisannya lagi.

Dengan perasaan kacau seperti itu, bagaimana bisa Eren melukisnya? Sama saja seperti menyuruh koki memasak ketika pisaunya jatuh dan menjadi tumpul.

Padahal berkas sinar dari jendela di belakang punggung Rivaille sangat cantik. Tidak setiap hari langit berwarna oranye keemasan seperti itu, dan warna emas itu memantul di wajah Rivaille membuat pemandangan yang sangat indah bagi Eren.

Tapi kenapa tangannya tidak bisa melukis pemandangan itu. Kanvas Eren malah tampak seperti coretan seorang amatiran, hampir seperti gambar seseorang yang baru saja belajar melukis.

"Eren."

'Huh? Itu suara senpai.. memanggil namaku..'

"Ada apa senpai?" Jemari Eren mengeratkan pegangannya pada pensil kayunya.

'Jangan panggil aku seperti itu...'

"Kau pendiam sekali hari ini, sudah sampai mana gambarmu huh?"

Tangan Eren gemetar, ia menunduk dan menarik nafas dalam-dalam menahan airmata yang ingin keluar. Masalah besar jika ia menangis di hadapan Rivaille sekarang.

Ia memaksakan dirinya untuk tersenyum, berharap seniornya itu tidak menyadari hal aneh yang terjadi padanya.

"Masih belum selesai senpai, senpai kembali mengerjakan tugas saja."

Eren kembali kepada kanvasnya, melihat sketsa hancur miliknya. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Bocah itu hanya berharap Rivaille tidak menghampirinya dan melihat wajahnya terlalu dekat sekarang.

'Kumohon jangan bicara lagi senpai.'

'Kumohon jangan membuatku harus menatap matamu lagi..'

"Bocah, kau lupa cara tersenyum huh?" Pertanyaan seniornya itu malah menembus tepat di lukanya.

'Dia.. menyadarinya..'

Rivaille bangkit dari kursinya, Eren dapat melihatnya dari sudut matanya. Seniornya itu menghampirinya.

"Jangan mendekat!" seru Eren.

'Tidak.. aku… tidak bisa menahannya lagi…'

Rivaille sudah ada di depannya dan merebut kanvas Eren, tidak mempedulikan apa yang tergambar disana, ia kemudian mengangkat dagu Eren.

"Oi bocah ada apa denganmu hu—h..?" Kata-kata Rivaille tertahan saat ia dapat melihat wajah juniornya itu dengan jelas.

Air bening itu mengalir di pipi Eren dan mengenai jemari Rivaille yang memegang wajahnya.

Eren menangis.

"Tapi.. kenapa?" gumam Rivaille. Kedua matanya membelalak melihat wajah bocah dihadapannya itu, ia terlihat sangat rapuh, seperti anak kecil yang mainannya diambil orang.

Mata Eren berkaca-kaca membuat iris hijaunya itu tenggelam diantara air matanya. Mereka saling menutup mulut, tidak sanggup berbicara. Rivaille sendiri tidak mengerti apa yang membuat Eren menangis, ia mengusap airmata itu dari pipi Eren.

Air mata Eren kembali tumpah ruah dari kedua matanya seakan mangatakan bahwa ia sangat tersakiti.

Tubuh Eren gemetar hebat menahan isakannya. Melihat mata Rivaille malah membuat airmata Eren semakin banyak keluar.

'Kenapa..? Senpai.. aku juga tidak mengerti...'

Eren menepis tangan Rivaille dan tanpa menjelaskan semuanya ia membawa tasnya dan pergi dari ruangan itu. Meninggalkan Rivaille dengan seribu pertanyaan.

.

.

Tiga hari sudah berlalu sejak peristiwa itu. Dan selama tiga hari itu pula Eren tidak datang ke atap, atau setidaknya menemui Rivaille.

Kanvas Eren yang tertinggal di ruangan saat ia melarikan diri menimbulkan tanda tanya besar di kepala Rivaille. Itu jelas-jelas tidak bisa dikatakan sebuah gambar, padahal sudah lebih dari dua jam Eren melukisnya saat itu. Ada apa dengan bocah itu?

Eren sendiri menghindari Rivaille sebisanya, mudah saja baginya karena gedung Maria dan Sina cukup jauh letaknya. Seharusnya ia mendengarkan nasihat Mikasa yang mengatakannya untuk menjauhi Rivaille.

Sehari setelah peristiwa itu, Eren melihat wanita itu, sosok yang ia lihat dipeluk oleh Rivaille di Sina. Ia terlihat berbincang sangat akrab dengan Rivaille dekat gerbang di pagi hari ketika Eren baru saja sampai ke sekolah.

Mereka ada di depan Eren bersama beberapa senior lainnya, tapi wanita itu yang paling dekat dan mengobrol paling banyak dengan Rivaille

Yang Eren lakukan malah memalingkan wajahnya, cepat-cepat berlari masuk ke gedung Maria. Lagipula Rivaille juga tidak menemuinya, jadi kenapa ia harus pusing?

Inilah yang disebut cinta bertepuk sebelah tangan.

Ya, Eren akhrinya mengakuinya.

Ia mengaku bahwa ia telah jatuh cinta dengan seniornya itu. Seharusnya Eren sudah menyadarinya sejak ia melihat permainannya pertama kali, tapi rasa itu terus tumbuh seiring pertemuan mereka di atap dan ruang latihan Maria.

Namun, yang sekarang Eren lakukan hanyalah menguburnya dalam-dalam.

.

.

"Apa yang mau kau bicarakan padaku, senpai."

Rivaille membalikkan badannya ketika mendengar orang yang ia undang itu datang.

"Kau datang terlambat."

Orang itu mendecih dan menatap Rivaille tajam.

"Sekarang katakan padaku, ada apa dengan Eren?" tanya Rivaille.

"Berani sekali kau menanyakannya setelah membuatnya hancur seperti itu, senpai."

Rivaille menyambar kerah orang itu dan menatapnya tajam, "Jelaskan padaku apa maksud perkataanmu barusan, Ackerman."

.

.

Hari ini adalah hari minggu yang berarti hari libur untuk Eren. Biasanya ia akan pergi keluar rumah dan mencari tempat bagus untuk dilukis, tapi hari ini ia memilih untuk berada di kamar saja. Lagipula diluar sedang hujan deras, ia tidak bisa pergi kemana-mana.

Syukurlah akibat peristiwa di Sina tiga hari yang lalu, Eren masih bisa melukis. Dampak sakit hati memang dahsyat, Eren tidak bisa memegang kuas seharian itu. Bahkan Jean sampai menyelotehi arsiran miliknya dua hari yang lalu.

Mungkin karena ini pertama kalinya Eren sakit hati, atau pertama kalinya Eren jatuh cinta?

Eren membetulkan letak kanvas yang ada di pangkuannya, ia sibuk menggoreskan warna biru di sana. Ya.. akhirnya Eren dapat menatap warna itu dengan berani.

Dulu Eren tidak menyukai hujan, tapi berkat Rivaille ia sangat menyukainya. Dulu ia selalu melukis dengan warna hijau, tapi Rivaille seakan membawa warna-warni di dalam musiknya, yah.. kecuali saat itu.

Jika sekarang ia disuruh melukis Rivaille walau dengan bayaran sebanyak apapun, Eren akan menolaknya. Bukan karena tidak mau, tapi ia yakin gambar itu tidak akan menjadi seindah yang ia harapkan. Dimana Rivaille senpai adalah sosok yang penuh dengan keindahan.

Melihat hujan sekarang memang mengingatkan Eren dengan sosok seniornya itu, membuat Eren tidak bisa melupakannya.

Kasur Eren yang menempel dengan dinding membuatnya dapat melihat keluar jendela hanya dengan duduk di atas kasurnya. Entah kenapa ia ingin sekali melukis hujan hari itu.

Yang terlukis di kanvasnya itu memang pemandangan hujan dari kamarnya, tapi yang Eren lihat malah wajah Rivaille. Bocah berdarah jerman itu menaruh lukisannya yang belum selesai di meja yang ada di sebelah kasurnya, ia kemudian menyandarkan wajahnya pada bingkai jendela dan memperhatikan air hujan yang membasahi kota siang itu.

Eren tidak membenci Rivaille, lebih tepatnya ia membenci dirinya sendiri.

Eren ingin melupakannya, tapi ia tidak bisa. Bukan.. ia bukannya tidak bisa, tapi tidak mau.

Wajah Rivaille, sifatnya, suaranya, musiknya. Tidak satupun dari semua itu yang ingin Eren lupakan. Lagipula memori tentang Rivaille tidak semuanya menyakitkan, dan Eren hanya bisa menyimpan semua hal tentang Rivaille itu sebagai sebuah kenangan.

Hanya tinggal setengah tahun sampai Rivaille lulus, dan Eren harus menahan perasaannya selama itu.

"Maaf senpai-" Eren memainkan telunjuknya pada jendela kamarnya yang berembun, membuatnya dapat menulis kata-kata disana.

"Aku tidak bisa melukismu.. aku tidak cukup kuat, dan-" Eren menarik tangannya dari kaca jendelanya.

"-aku tidak bisa berhenti mencintaimu," gumam Eren, ia melihat hasil tulisan telunjuknya. Disana tertuliskan nama Rivaille.

Suara ketukan pintu menyadarkan Eren dari lamunannya, ia segera membukakan kunci kamarnya.

"Mikasa? Ada apa?" kata Eren ketika ia melihat wanita berdiri di depan pintunya.

Kakak tirinya itu menyodorkan sebuah kotak berwarna hijau daun yang di hiasi dengan pita biru. Alis Eren naik sebelah dibuatnya.

"Oi Mikasa, ini bukan hari ulang tahunku."

Mikasa menghela nafas, ia memutar bola matanya, "Aku tahu Eren, seseorang menitipkan ini padaku," ujar Mikasa.

Eren pun mengambilnya, "Oh, terima kasih. Tapi dari siapa?"

Mikasa berbalik dan berjalan menuju ke kamarnya, ia menoleh sebentar.

"Aku sudah menyerahkannya, jadi sebaiknya kau berhenti memasang wajah sedih itu." Mikasa pun menghilang dibalik pintu. Lagi-lagi ia membuat alis Eren bertaut, Mikasa tidak biasanya bertele-tele seperti itu.

Eren kembali memperhatikan kotak yang ia dapatkan, lalu mengocok-ngocoknya untuk menerka apa isi didalamnya.

"Bukan makanan, apa jangan-jangan dari penggemar rahasiaku?" Eren pun menarik pita biru yang menghiasi kotaknya, kemudian membuka isinya.

Terdapat sebuah CD dan secarik kertas. Kepala Eren miring ke samping, bingung dengan maksud dari isinya.

"Ini apaan sih? Kado macam apa ini?" celoteh Eren.

Eren membuka kertas putih yang terlipat di atas CD tersebut dan membaca tulisan disana.


Maaf.


"Dari siapa?" batin Eren. Apa mungkin-

Eren menggeleng-gelengkan kepalanya menepis perkiraan di benaknya. Ia segera mengambil laptopnya yang ada di meja belajarnya kemudian menyalakannya. Bocah itu memasukkan CD tanpa label tersebut dan membuka folder yang ada didalamnya.

Eren tambah bingung karena isi CD itu kosong kecuali satu folder Mp3 yang hanya diberi judul 'untitled'. Karena penasaran Eren mengarahkan kursornya dan menglik folder tersebut.

"Apa… ini.."

Sebuah lagu pun terdengar di telinga Eren.

Musik yang sangat akrab, melodi yang sangat ia rindukan.

Air mata itu kembali mengalir dari kedua matanya, tidak kuasa menahan luapan perasaan di hati Eren.

Eren memejamkan matanya sambil mendengar petikan gitar di lagu tersebut. Perasaan yang sama ketika ia mendengar Rivaille yang bermain, dan lagi lagu itu hanya ada satu di dunia ini. Eren yakin sekali,

"Ini dari Rivaille senpai… tapi.. bagaimana.."

Eren menutup mulutnya dengan tangan kanannya, ia tidak tahu harus merasa bahagia atau sedih.

Bahagia karena ia sangat merindukan suara gitar itu dan akhirnya ia dapat mendengarnya kembali. Membayangkan sosok Rivaille bermain di depannya dengan wajah datarnya seperti biasa. Tapi apa maksud dari rekaman lagu ini?

Apa artinya perpisahan?

Tapi kenapa?

'Rivaille senpai, aku tidak mengerti..'

"Oi bocah"

Lagu tersebut sudah sampai pada akhir dan digantikan dengan suara laki-laki yang Eren yakin seratus persen adalah milik Rivaille. Mata Eren membelalak, terkejut mendengar suara Rivaille di rekaman tersebut.

"Eren, kau salah paham bodoh."

"Eh?"

"Petra bukan kekasihku idiot, kau seharusnya bertanya dulu padaku, ia teman sekelasku dan ada di kelompok Ensemble yang sama denganku. Sore itu aku mengajarinya cara memainkan biola yang benar, mungkin terlihat seperti berpelukan dari sudut pandangmu—"

Terdengar suara helaan nafas di rekaman tersebut, Eren terdiam setelah mendengar penjelasan dari Rivaille.

"Jadi," gumam Eren.

"Dasar bodoh.. jadi itu yang membuatmu menangis."

Eren menundukkan wajah dan menahannya dengan kedua tangannya, bibirnya bergetar. Ah.. kenapa Rivaille sangat pintar untuk membuat seornag Eren Jaeger menangis?

"Apa jangan-jangan kau menangis lagi sekarang?"

'Tentu saja,' batin Eren.

"Kau jelek kalau menangis, jangan menangis lagi."Eren sedikit tersenyum.

"Eren, Kau sadar aku memangil nama kecilmu kan? Sudah lama sekali aku ingin memanggilmu seperti itu."

Kali ini Eren tersenyum lepas mendengarnya bahkan sedikit tertawa, ya.. andai saja saat itu Eren sedang tidak dalam keadaan yang kacau. Mungkin ia akan senang sekali saat Rivaille akhirnya memanggil nama kecilnya.

"Aku mencintaimu, Eren."

Sekarang kedua bola mata Eren membulat, barusan seniornya mengatakan—

"Aku mencintaimu… mungkin.. sudah sejak pertama kali aku melihatmu. Maka dari itu akan kuhabisi kau, jika kau menangis lagi."

Ya.. Airmata Eren kembali mengalir deras, mungkin ia akan mendapat tendangan di wajahnya jika Rivaille melihatnya. Tapi kali ini Rivaille tidak usah terlalu khawatir karena airmata itu adalah airmata bahagia.

"Senpai.. pernyataan cintamu.. aneh sekali," Eren tersenyum disela tangisannya.

"Oh aku hampir lupa—"

" Lagu yang kurekam diawal itu jadi milikmu, kuberi judul 'Eren' karena kaulah Muse ku yang terindah."

Terdengar suara batuk dibuat-buat di rekaman itu, sepertinya Rivaille sedikit menahan malu ketika merekamnya. Membuat Eren tertawa mendengar tingkah seniornya itu.

Ajaib sekali, hanya dengan rekaman itu perasaan Eren dibuatnya seperti keluar dari musim dingin menuju musim semi.

"Awas kalau besok kau menghindariku, aku akan berada di ruang latihan Maria sepulang sekolah di ruangan yang sama seperti waktu itu. Sebaiknya kau memberikan jawaban yang bagus, Eren."

Rekaman itu mulai berakhir hingga Eren mendengar kembali suara Rivaille.

"Je T'aime, Eren."

.

.

Ruang latihan Maria tampak sepi seperti biasa, dan Eren mendatangi ruangan yang sama dengan ruangan dimana ia tertidur beberapa hari yang lalu.

Tidak ada orang disana, Eren menoleh ke kanan dan ke kiri, tidak ada siapapun hanya sebuah Piano di tengah ruangan. Sampai Eren berjalan melewati ruangan dan melihat sosok tubuh 160 cm itu bersandar di dinding di dekat jendela.

Eren tersenyum melihatnya dan menghampiri Rivaille. Seniornya itu tidur dengan kedua tangan dilipat di depan dada, memangnya sudah berapa lama ia menunggu Eren?

Padahal tidak sampai seminggu ia tidak melihat wajah Rivaille, tapi terasa seakan bertahun-tahun.

Eren mendekati wajah seniornya itu dan berbisik di telinganya.

"Senpai, aku juga mencintaimu."

GREP

Lengan Eren terkunci dengan lengan Rivaille, ia melihat mata Rivaille terbuka dan menatap miliknya.

"Senpai kau pura-pura tidur!" seru Eren.

Rivaille tersenyum kecil dan menarik tubuh Eren ke pelukannya.

"Aku merindukanmu, bocah," kata Rivaille di tengah pelukan mereka.

Eren mengeratkan pelukannya, "Aku juga, senpai."

Bocah beriris hijau itu melepaskan pelukannya dan menatap Rivaille. Harus mulai darimana? Harus dijelaskan seperti apa masalah waktu itu?

"Aku minta maaf sudah menghindarimu Senpai.. dan waktu itu, aku memang terlalu takut untuk menanyakannya. Dan juga aku bukan siapa-siapa bagi senpai jadi aku-"

Rivaille menutup mulut Eren dengan bibirnya, mengunci bibir Eren agar bocah itu dapat diam.

"Kau berisik," ujar Rivaille saat bibir mereka akhirnya terlepas.

Tubuh Eren kaku, ia masih tidak percaya kalau Rivaille barusan menciumnya."Itu.. ciuman pertamaku.." gumam Eren, Rivaille tersenyum melihat wajah polos juniornya itu.

Ia mengusap wajah Eren dan membelai bibirnya dengan ibu jarinya.

"Naa.. Eren, kau mau kuberi ciuman kedua seperti apa?"

Wajah Eren memerah dan menunduk, 'Rivaille senpai.. kau berharap aku akan menjawab apa huh?' batin Eren.

Tangan Rivaille masih tidak lepas dari wajah Eren, rasanya puas sekali melihat bola mata emerald itu dari dekat.

"Apa saja, asalkan… bersama senpai.."

Alis Rivaille terangkat, padahal ia berusaha menahan diri saat menciumnya barusan. Dan ia malah mengatakan hal itu?

"Hoo.. benarkah? Kau sebaiknya memikirkan kembali ucapanmu itu."

Dan pada sore itupun seragam Eren berantakan dan beberapa kancingnya terlepas dari tempatnya. Sebuah tanda merah pun berbekas di leher nya hasil kreasi Rivaille.

"Kau tidak menangis lagi kan?" tanya Rivaille setelah habis 'memakan' Eren.

"Tidak.." jawab Eren. Rivaille menepuk kepapalanya dan mengusap-usap rambutnya.

"Aku tidak mau melihatmu seperti itu lagi."

Eren tersenyum dan menarik tangan Rivaille dari kepalanya kemudian menciumi jemari Rivaille.

"—Tapi jika nanti aku menangis, akan ada Rivaille senpai bukan?"

.

Mungkin bagiku…

..cinta itu adalah aku dan dirimu.

.

.

-Fin-


A/N

AW YEAH, AKHIRNYA KELAR AHAKHAKHAKHAK

Ini fic drama abis di akhir2nya hahahahahahaha. Unsur seni nya mulai berkurang karena banyak mewek2nya :'D

Jika mungkin ada yang pingin tahu kira2 gimana lagu "Eren" yang dibuat Rivaille. Aku milih lagu soundtrack film Secret yang gitarnya, kalo mau denger silahkan linknya youtube dot com/watch?v=GN7Vp4Pk-lk&list=PL10E3B62379E43AFE

TAPI BENERAN MAKASIH BANYAK BUAT REVIEW, FAV DAN FOLLOWNYA. Aku ga nyangka bakal dapet respon sebaik ini, makasih banyak ya :') semoga endingnya ini ga mengecewakan!

Dengan ini saya resmi hiatus T^T karena saya anak kelas tiga es em a yang berusaha belajar untuk ujian ._.

Terima kasih sebanyak-banyaknya buat yang udah review di chap 2 ^_^

Fujioka Saori [Bisa ga yaaaa :3~], Frozen ice cream [aduh fic ini dilang lembut :3 aku meleleh deh, makasih reviewnya icecream-chan] Kim Arlein 17 [SEME KECE AHAKHAKHAK] syalala uyee [Silahkan hilangkan kekepoan anda di chap ini ] Raina94 [Gomawo~ Raina-chan ] AriaFriends24 [ACIACIA ~ makasih reviewnya yaa ] Kagamine Micha [TEBAKAN ANDA BENAR!] Azarien aulia [Eh? Cerita komik mana nih ._.? makasih yaa ] Anon [Riren memang manis DAN MECOM] Rivaille Jaeger [silahkan ini apdetannya ] aeon zealot Lucifer [iya.. aku emang lebih dapet ide di musiknya :'D Rivaille itu bisa maininbanyak instrument, tapi yang paling dia suka itu gitar, hihihi~ kalo mau kamu aja yg buatin gambarnya ] adelia-chan [Iya, Canon lagu klasik yg bagus moga ini apdetnya ga lama yaa] Usagi Yumi [Jangan digigit atuh komputernya ntar rusak nak :D ya panggil aja Light makasih reviewnya Yumi-chan~] digimonfan4ever101 [MAKASIH BANGET REVIEWNYA aku sampe gegulingan bacanya :D Jean dan kuda itu kembaran beda spesies ._.]

ditunggu review nya di chap ini :)

.

.

OMAKE

Mereka berdua memperhatikan langit dari jendela di ruangan tersebut, cuacanya sedikit gerimis tapi sudah menjadi alasan bagi Rivaille untuk mencegah Eren agar tidak pulang cepat.

"Senpai, angomong-ngomong apa yang kau katakana pada Mikasa?"

Rivaille melirik Eren sedikit, seragam bocah itu masih berantakan. Sepertinya ia harus menahan dirinya untuk kedepannya, atau tidak ia bisa saja merobek seragam itu.

"tch.. kakak tirimu itu tanpa ragu memukulku, dan bilang ia akan menghajarku jika kembali membuatmu sedih."

"Eh? Mikasa dapat memukulmu? Tapi kudengar kau-"

"Ia bilang baru akan menjelaskan masalahmu jika aku memperbolehkannya memukulku," ujar Rivaille.

"ah.. aku minta maaf…"

Rivaille menyentil dahi Eren, "Itu keputusanku sendiri, bicara tentang saat itu kau tidak jadi melukisku?"

Bocah itu menatap Rivaille dan mengangguk-angguk, "Tentu saja aku mau, kapan kau ada waktu lagi senpai?"

"Memangnya ada apa dengan hari ini?" ujar Rivaille.

"Eh.. tapi ini sudah sangat sore."

"Aku akan mengantarmu pulang jika terlalu malam, kau keberatan?"

Eren berpikir ulang, yah.. lagipula sejak ia mendengar rekaman Rivaille kemarin ia berkali-kali melukis wajahnya di buku sketsanya.

"Aku akan mengambil kanvas nya di ruang seni, senpai tunggu disini ya." Eren menghambur menuju pintu.

"Oi, Eren." Bocah itu membalikkan badannya sebelum menutup pintu dan berlari ke gedung seni rupa.

"Kau ingin melukisku dengan pakaian atau tanpa pakaian?"

Wajah Eren memerah luar biasa, dan Rivaille merasa terhibur dengan itu.

"DENGAN PAKAIAN!" seru Eren lalu ia menutup pintu tersebut, meninggalkan Rivaille yang tertawa melihat wajah merona Eren.

Eren merasa ia akan terus digodai seniornya itu setiap hari untuk seterusnya, tapi bocah itu malah tersenyum sambil menuju gedung seni rupa.

"Untuk tanpa pakaian, mungkin lain kali senpai," gumam Eren sambil tertawa kecil.


12 Januari 2014, Light.