A/N: it all end here. Terima kasih untuk semua presiasinya, maaf ga bisa bales satu-satu, tapi kalian bisa pm diloxy kalau ada yang mau ditanyakan atau sekedar ngobrol. Salam kenal untuk kalian semua ^_^. Banyak yang menanyakan mengapa Astoria dan Ron merelakan orang yang mereka cintai. Umh, coba kalian bayangkan posisi mereka. Apa kalian mau menghabiskan sisa hidup bersama orang yang tak mencintai kalian? Hey, kalian punya pilihan untuk hidup bahagia . Dan untuk ending, ayolah! Bahkan sebelum Diloxy publish chapter 1, cerita ini sudah berhasil ditamatkan. Hope you like the end part of Apples. ^_^
Disclaimer: JK Rowling. Genre: Hurt comfort. Rate: T. Warning: Miss typos, alur cepat, semi AU.
Don't like? Don't read, go back and create your own fanfic. I hate flamers.
Apples © Diloxy
Chapter 9. Epilog
Dua tahun kemudian
Ranting pohon rapuh berdecit menimbulkan bunyi gaduh ketika beradu dengan bingkai jendela. Kuperhatikan dedaunannya yang malas bergerak bermandikan cahaya matahari musim panas. Udara panas kurang bersahabat menerobos paksa ke dalam apartemen ini. Membuat peluh membanjiri tubuhku. Kubiarkan alunan angin dari jendela menabrak wajahku yang sayu. Duduk memeluk lutut, melemparkan pandang pada jalanan sibuk di perkotaan London.
Dua tahun berselang setelah kegagalan pernikahanku. Membuatku terdampar di apartemen kecil ini. Aku tak bisa terus menerus berada di The Burrow, meskipun mereka dengan tangan terbuka menerimaku senang hati menjadi bagian keluarga. Namun aku tak bisa menerima raut kekecewaan Ron saat ia datang kembali. Aku tak tahu dimana ia sekarang. Ginny hanya bilang kakaknya pergi untuk bisa memahami hidup. Aku tak bisa menyalahkannya.
Menjalani hari-hariku bersama kesibukan menjadi guru telaah muggle di Hogwarts. Menjadi partner Mc. Gonagall sebagai kepala sekolah, lebih sering berbincang dengan Neville yang menjadi guru herbologi. Ia memang berbakat. Beberapa kali bertemu Luna yang kini melanjutkan jurnalistiknya pada hal-hal unik yang malah sering membuatku ternganga. Juga bertemu Ginny yang datang untuk melatih tim Quidditch Gryffindor.
Menghabiskan hari penuh tawa dan kebahagiaan ketika berada dalam kerumunan. Meyakinkan diri bahwa aku telah kembali normal. Telah mampu keluar dari bayangan masa lalu. Kemudian terdampar kembali dalam lautan kesedihan ketika tak ada seorang pun di sekitar.
Kukumpulkan kembali pecahan masa lalu. Merajut kembali potongan kenangan yang berserakan tak tentu. Jangan tanya bagaimana pemuda itu. Draco Lucius Malfoy. Aku tak membiarkannya seperti ia yang tak mengusahakanku. Hanya dapat tertawa miris memikirkan hari-hari yang kulalui di masa lalu. Dan aku menghilang dari penglihatannya di tahun-tahun ini.
Dan sebagaimana yang ada di akhir cerita. Sebuah epilog yang dirangkai apik tulisan takdir. Sekali lagi ini bukan negeri dongeng yang meyakinkan pemeran utamanya untuk bersabar, karena -hidup bahagia selamanya- adalah ujung dari cerita. Kusadarkan diriku, ini adalah cerita kehidupan. Membiarkan masa lalu mencabikku, untuk mengingatkan bahwa sesungguhnya, kesakitan telah mengalahkan kebahagiaan. Dan kutebas habis harapanku tentangnya.
Dan waktu masih setia berlalu. Menemaniku berjalan di atas tali takdir. Hingga musim berganti. Bulan beranjak menuju tahun. Memainkan alunan menyayat hati saat kutahu Astoria Greengrass akan menikah. Saat aku putuskan untuk datang di musim gugur ini. Datang untuk melihat wanita cantik nan anggun yang kini dibalut gaun putih panjang yang sangat indah.
Aku hampir menangis saat kini, giliranku yang menyematkan tiara mungil di kepalanya. Mengecup pipinya sebagai tanda suka cita. Mengisyaratkan padanya bahwa aku turut berbahagia. Melihat pengantin cantik yang kini kupeluk. Melambungkan kembali ingatanku beberapa tahun lalu. Saat ia lakukan hal yang sama di hari itu.
Kutepuk bahunya pelan. Hubungan kami memang membaik, karena ia sering mengunjungi Hogwarts, sehingga kami lebih sering bertemu dan membicarakan banyak hal. Ia gadis baik dan ramah. Aku menyesal tak mengenalnya sejak dulu. Ketika ia menceritakan tentang Narcissa. Astoria yang menjaganya saat Draco tak ada. Atau mungkin saat Draco malah tertidur memelukku. Miris mengingatnya. Gadis ini menantu yang diidamkan.
Dan kini melihatnya berjalan menuju altar seraya menggenggam buket bunga. Menebar senyuman paling indah yang dimiliki pengantin. Aku tebar bunga mengiringi langkahnya. Ia yang memintaku menjadi pengiring pengantin.
Aroma lavender menguar dengan jelas di ruangan ini. Dengan tatanan indah bunga-bunga yang ada di setiap sudut ruangan. Kain putih dan hazel ditata membalut ruangan ini dengan apik.
Berjalan di atas karpet beludru merah. Sekilas memandang musim gugur yang menyayat. Sekilas memandangnya. Iris kelabu yang tengah menunggu di altar. Iris kelabu yang tertuju padaku. Iris kelabu pemuda yang berdiri di atas altar. Dan detik-detik perjalanan menyakitkan. Ketika kesakitan merasukiku tiba-tiba. Memunculkan siluet-siluet mengerikan tentang mayat hidup. Siluet tentang kematian. Siluet tentang kedatangannya. Siluet tentang pelukannya.
Tidak. Kutepis cepat gambaran menyakitkan itu begitu kubantu Astoria menaiki tangga. Kubenarkan gaun pengantinnya yang menjuntai. Kulepaskan seluruh kesedihan bersama haru menatap gadis itu. Mengalihkan pandang pada apapun. Asal jangan iris kelabu si pemuda.
"Aku mencintaimu," bisik si pengantin pria pada si pengantin wanita.
Hatiku tergetar.
Berontak.
Mengapa takdir tak membiarkanku berada di posisi yang sama untuk merasa cinta?
Aku Hermione Granger. Gadis yang selalu kalah.
Aku melangkah gontai meninggalkan altar dan duduk di barisan kursi depan. Memandangi penyatuan cinta. Memandangi kecupan kedua pengantin. Memandangi bagaimana mereka saling mencintai. Menyadari kegamangan yang mendadak menguasai perasaan.
Ini hanya sebuah apel
Tak akan merenggut nyawamu
Kau hanya perlu mengecupnya
Kemudian menghirup aromanya
Kututup mataku berusaha kembali pada masa lalu. Merengkuh sedikit bahagia yang pernah kukecup. Namun manisnya apel tetap saja beracun. Meracuni perasaan. Hingga tenggelam dan tak mampu lepas.
Kututup mataku dan masih duduk di kursi ini. Membiarkan sekitar larut dalam dawai musim gugur. Kubiarkan alunan tembang membawa perasaan, mengusik jiwaku. Ah, aku tak ingin menari. Aku tak ingin mengingat tarian bersambung itu.
Menit-menit menyesakkan berlalu begitu saja. Saat kubuka mataku menatap kedua pengantin dimabuk asmara. Larut dalam tarian dengan musik tempo lambat. Larut dalam kecupan. Memandangi latar yang menyejukkan. Bunga lili putih yang mungkin membuat mereka semakin mabuk kepayang. Bunga lili putih yang dapat menguarkan memori kebahagiaan. Seperti yang pemuda itu katakan dulu. Alasan Harry selalu membawa beberapa tangkainya untukku.
Dan musik pun semakin cepat. Membuat tamu menari menghentak lantai. Kebahagiaan menyeruak seisinya. Bagaimana kini, Neville dan Luna menarik Astoria untuk menari bersambung. Menari dengan gerakan konstan. Menarik pengantinnya yang kemudian menarik tamu-tamu lain untuk ikut terjun dalam tarian.
Aku bangkit berdiri. Bukan, aku tak berniat ditarik masuk tarian. Aku berjalan ke sisi seperti yang Ron lakukan dulu. Menjauhi ekor ular yang akan menarikku masuk. Aku berjalan ke sisi menuju tempat buah-buahan segar yang ditata indah. Seperti pada pernikahanku yang gagal beberapa tahun lalu. Melihat-lihat sejenak kemudian mengambil sebuah.
Ya, kalian tahu. Kuambil apel itu. Menatap benda bulat berwarna merah segar yang mengkilap. Menatap pantulanku di permukaannya yang licin. Seorang gadis yang kehilangan cahaya di tengah kebahagiaan ini.
Kukecup perlahan. Mengingat lembut bibirnya. Dingin dan menyakitkan. Kuhirup aromanya. Aroma manis apel yang biasa. Tak ada racun, bisikku dalam hati. Seolah kembali meyakini diriku bahwa ini tak akan merenggut nyawaku. Menggigitnya perlahan. Manis dan segar. Mungkin orang-orang di sekitar melihatku seolah memeragakan iklan. Karena butuh waktu lama untuk dapat menelan gigitan pertama.
Sial.
"Tak beracun?"
Kuhirup napas dalam-dalam berusaha mengenyahkan suara-suara mengerikan dari kepalaku. Mengganggu saja. Namun suara itu masih terus mengusikku.
"Ini bukan dongeng putih salju," ucapku tak berpaling dari tumpukkan buah-buahan.
Namun, pemilik suara tadi bersandar pada tepi meja sehingga kini dapat melihatku langsung. Memperlihatkan iris kelabu miliknya. Iris kelabu yang menungguku di altar tadi saat mengantar Astoria. Iris kelabu yang larut dalam tarian bersambung tadi. Aku menoleh sekilas. Ternyata tarian itu sudah putus. Aku melirik sekilas pada Astoria dan Blaise, pasangan pengantin paling romantis hari ini.
"Aku bosan terus mengekor si Blaise, melihatnya mabuk kepayang bersama Astoria membuatku mual. Aku punya dunia sendiri tanpa harus terus menjadi pengiring pengantin pria," rutuknya dengan gaya sok akrab.
Aku tertawa pelan. Ingin sekali berteriak di depan wajah tak berdosa miliknya. Apa maunya hingga repot-repot pergi dari Blaise dan menemuiku. Mengunjungi mantan pasiennya? Memastikan bahwa mantan pasiennya ini tak kumat dan mengacak-acak pernikahan orang lain, karena pernikahannya pernah hancur berantakan? Tidak.
Walau sebenarnya ingin kubuat apel ini memiliki peledak yang bisa kulemparkan untuk menghancurkan sisa hatiku yang masih berbentuk.
"Granger?" tanya pemuda itu.
"Kau mau apa?" desisku tajam.
"Bukankah kau masih memiliki pilihan?" bisiknya pelan. Membuatku harus menutup mata karena bayangan-bayangan itu kembali bermunculan di kepalaku. Memaksaku untuk menyusuri kembali bagaimana bentuk hatiku. Bagaimana perasaanku. Mencari tahu apakah, masa ada pantulan cinta untuk dirinya.
"Aku putuskan untuk tak memilih," ucapku asal.
Desiran perasaan mengisyaratkan bahwa kebohonganku dapat terlihat jelas untuknya. Raut wajahnya berubah serius dan melembut. Berbeda dengan sebelumnya. Mengingatkanku tentang apa yang pernah ia lakukan. Semuanya. Semua yang membuat kujatuhkan perasaan pada dirinya.
Hening menyiksa mengiringi menit-menit dimana kelabu itu menatapku lekat. Mengabaikan kami yang tersisihkan dari keriuhan pesta. Mengabaikan dua orang yang kini dibelenggu kebisuan. Tak ada yang memperhatikan. Menyisakan ruang kosong baginya untuk kembali membawaku ke masa lalu.
Ketika sesuatu memaksa kami untuk merapat. Mempersempit jarak antara kami berdua. Ketika udara kosong menemani keheningan ini. Membiarkan jemari pucatnya menyibak anak rambut yang membingkai wajahku. Menyentuh kulitku dengan dingin yang menjalar sempurna. Kuikuti apapun yang terjadi. Menemukan kembali pecahan hati yang masih menyimpan keegoanku untuk memilikinya.
Ia menarikku makin dalam. Ketika bibir lembut itu mengecup bibirku. Perlahan. Amat perlahan. Menepikan waktu yang entah telah berapa lama bergulir. Sebuah kecupan lembut yang dapat mewakili penjelasannya. Kecupan lembut yang menghilang selama tiga tahun ini. Bahwa masa lalu tak pernah hilang. Masa lalu masih membekas. Dan perasaan yang kini kembali.
Jantung kian memacu sementara kami semakin dalam terbawa. Merasakan aroma khas tubuhnya yang kesulitan kuhirup. Hanya itu, ya hanya sentuhan bibir kedua insan yang masih enggan terlepas. Yang masih ingin mencumbu lebih lama lagi, menari-nari dalam khayal masing-masing. Menyeruakkan perasaan yang sama-sama terpendam. Ia eratkan pelukannya pada pinggangku. Membuatku meremas keras kemejanya. Menyatu untuk beberapa saat.
Dan detik berikutnya. Ia melepaskan kecupan itu. Membiarkan kami terengah dalam napas yang masih memburu. Tidak, tidak. Ini karena jantung kami berdetak teramat cepat. Lengkungan senyuman tergambar di wajahnya. Memperhatikan wajahku yang diliputi banyak pertanyaan.
"Aku masih mencintaimu," ucapnya setelah tiga tahun tak melihatnya.
0o0o0
00
Waktu bergulir merenda masa. Masih teringat jelas bagaimana ia mengutarakan perasaannya di hadapan tamu pada pernikahan Astoria dan Blaise. Entah bagaimana rasanya. Malu, kesal, dan haru. Harus kuakui bahwa takdir menyiapkan cerita yang begitu spesial untukku. Dan melemparkan tatapan membunuh ketika ia cepat-cepat meraih apel di susunan buah, kemudian berlutut di hadapanku. Setelah meminta para tamu untuk memberi perhatian.
"Jika kau menerima pinanganku, ambillah apel ini!"
Ah, sungguh. Seorang pewaris Malfoy yang memiliki banyak emas di Gringotts melamarku di depan khalayak dengan sebuah apel? Ini mengharukan. Entah karena mengira hanya itu waktu yang tepat, pemuda itu menggunakan sebuah apel. Namun baru kusadari bahwa itu berarti banyak.
Orang pertama yang memberiku apel di rumah sakit.
Pemuda yang membawakan berjuta cerita. Menarikku dalam pelukan dan keyakinan bahwa mimpi buruk itu akan enyah begitu pagi menjemputku.
Dan saat hari itu tiba. Aku masih mengingatnya dengan baik. Penghujung musim gugur. Hanya berselang dua bulan dari pernikahan Astoria. Ketika pemuda itu berdiri di altar. Persis seperti mimpiku. Sebuah padang yang kehilangan kehijauannya. Sebuah padang dengan pepohonan kerontang dengan pita-pita berwarna senada iris mataku.
Ia berdiri seraya melemparkan senyuman terbaik pada gadis yang berjalan menuju ke arahnya. Gadis yang diiringi anak-anak kecil yang menaburi bunga di jalan. Dengan tawa riang mereka yang terlepas di udara. Gadis yang dibalut gaun berwarna musim gugur. Dengan mahkota bunga-bunga musim gugur. Mengantarkanku pada pemuda paling tampan dan mengejutkan di dunia ini. Saat kami menyatukan cinta. Saat ia mengecup bibirku di depan khalayak.
Ah, aku mengingatnya dengan baik terlebih saat melihat foto bergerak kami. Kemudian menjalani hari di manornya. Menghabiskan hari-hari memabukkan penuh cinta. Ketika ia menjadikanku ratu paling beruntung di dunia. Ketika ia menarikku dalam buaian emosi yang meluap-luap. Ketika tahun-tahun berlalu sebagai saksi kehangatannya. Suami paling luar biasa di dunia.
Ketika kurasakan kehidupan dalam diriku. Detak jantung kecil yang membuat seluruh tubuhku gemetar. Namun ia dengan lembut menenangkanku. Meyakinkanku bahwa ini semua akan baik-baik saja. Mengenyahkan ketakutanku. Membuatku tak henti mengucap syukur atas kado terindah. Atas titipan benihnya di rahimku.
Merasakan tubuh mungil itu menendang dinding perutku. Dan menyambutnya datang ke dunia. Mengenalkan dirinya dan diriku pada buah cinta kami. Menemaninya melalui masa-masa emas.
Aku ingat ketika Draco memegang erat kedua tangan mungilnya, memastikan tubuh kecil itu tak terjatuh ketika mencoba berjalan. Hingga kaki-kaki kecil itu siap berlari menyambutku. Merajuk manja kepada orang tuanya. Mendengarkan kata-kata pertamanya. Melihatnya tumbuh besar. Memberikan sapu terbang pertamanya. Mengajarinya, memperkenalkan siapa dirinya.
Tahun-tahun berlalu. Hingga saat dimana surat itu datang ke manor kami. Surat dari Hogwarts untuknya. Menyambutnya untuk sekolah di tempat yang mempertemukan kedua orang tuanya. Membuatnya kegirangan. Memelukku.
Hanya memelukku.
Dan menciumi foto ayahnya yang tersenyum. Foto seseorang yang teramat kucintai.
Dan deretan waktu berganti dengan tahun. Ketika asap kereta tua itu mengepul, dan pluit panjang mengiringi kedatangannya. Setelah tahun-tahun panjang dilalui olehnya. Putri kecilku yang kini telah beranjak dewasa. Putri kecilku yang berlari ke arahku. Gadis remaja dengan kecantikan alami. Rambut ikal pirangnya berayun indah di terpa cahaya matahari. Ketika ia memelukku dan menciumku.
Memperlihatkan lencana prefek miliknya. Aku mengacak rambutnya pelan. Memandang iris kelabu miliknya seperti milik ayahnya. Ah, gadis ini pantas mendapatkan lencana itu. Mengingat bagaimana ayah dan ibunya dulu saat di Hogwarts. Ya, kalau saja ayahnya tak terlalu nakal sampai terobsesi menjadi pelahap maut.
"Ibu bangga padamu. Dan kurasa ayahmu pun begitu," ucapku tergetar. Ia menghapus bulir bening yang meluncur ke pipiku.
Aurora Jane Malfoy
Kurasa ayahmu begitu. Seperti yang ayahnya sering katakan saat kami berdebat tentang nama putri kecil kami dulu. Bahwa ia ingin menamainya dengan sesuatu yang indah yang ada di langit. Agar jika ia pergi lebih dulu, ia bisa memandang keindahan itu.
Dan ia sungguh menepati kalimatnya. Untuk pergi lebih dulu.
Agar saat Draco pergi, aku masih bisa menatapnya. Seorang gadis remaja yang harus kehilangan ayah diusia delapan tahun karena pekerjaannya. Sebagai auror, yang membawanya menuju kematian. Memaksaku bertahan untuk tetap tegar karena putriku membutuhkanku. Walau batinku terasa tercabik saat mengetahuinya. Karena separuh jiwaku telah terkubur dalam pusara batu.
Walau harus kupaksa diri melepas rasa sakit
Yang menghantui malam-malamku
Ketika kau sebatas ruang kosong di sampingku
Kupeluk erat putriku. Kuciumi pipinya lembut seraya mengingatnya. Berjanji bahwa akan kuceritakan panjang lebar bagaimana kisah kami kepadanya. Bagaimana mimpi buruk itu menghantuiku. Bagaimana ayahnya datang tak terduga untuk menenangkanku. Bagaimana perjuangan kami agar suatu saat, ia bisa menemukan pemuda baik hati. Tak apa tak seorang pangeran pun. Namun seseorang seperti ayahnya, yang membawa sebuah apel penuh kenangan.
Disana jauh di padang-padang kerontang
Tempat kita menyulam cinta
Memintal janji
Tunggu aku
Untuk kembali memelukmu
…
…
THE END
…
Sakura berguguran.
Jadi, menurut Diloxy ini Happy ending. Iya kan? Bagian favorit lima kata terakhir itu, apa lagi yang lebih sweet selain menunggu seseorang yang dicintai di keabadian?
Terima kasih untuk my dearest Autumn Morning yang boleh jadi tak pernah tahu keberadaan fic ini.
Terima kasih untuk readers dan reviewers yang memberikan apresiasi, kritik, saran, masukkan. Sangat memotivasi.
See you in another fic. ^_^