"Hati-hati ya Sakura." Mebuki melambaikan tangannya.

"Jaga dirimu baik-baik, nak." Kizashi yang merangkul Mebuki juga melambaikan tangannya pada anak semata wayangnya itu. Sakura tersenyum manis, air matanya perlahan mengalir.

"Aku akan membahagiakanmu, ayah, ibu."

Wanita cantik dengan rambut yang tergerai panjang itu memejamkan matanya dan membalikkan badannya. Ia memang akan meninggalkan kota kecil ini, dan...mengadu nasibnya di kota besar. Tokyo.


Love is You

chapter 1

Naruto by Masashi Kishimoto


Wanita itu baru saja turun dari kereta. Dia sudah berada di kota tujuannya. Hatinya senang, apalagi memulai kehidupan baru di hari dewasanya.

"Aku harus semangat!" Ia mengepalkan tangannya, dengan senyumnya yang indah ia segera pergi meninggalkan stasiun itu.

Tidak terlalu jauh dari jantung kota, Sakura sudah tiba di depan apartemennya yang minimalis. Harganya bisa di bilang cukup, terlebih wanita itu hanya tinggal sendiri. Apartemennya hanya memiliki satu kamar tidur, satu kamar mandi, dapur dan ruang keluarga yang menyatu, dan tentu saja balkon untuk melihat pemandangan kota sibuk itu.

Ia tak perlu membawa macam-macam perabotan, semuanya sudah tersedia. Ia hanya membawa perlengkapan baju kantor, buku tabungan, surat-surat berharga, dan buku kecil nan tebal berwarna merah jambu.

"Sakura's Diary." Bibir mungilnya menyunggingkan senyum lagi, terutama ketika melihat buku harian itu. Buku hariannya saat SMA.

Sakura meletakkan buku itu di meja makannya. Dia kembali lagi untuk meletakkan barang yang lain.

"Benar saja, aku tidak punya bahan makanan untuk besok." Tanpa mengganti pakaian ia segera meninggalkan rumah kecilnya.

Dimusim semi ini hatinya yang cukup riang berjalan melewati blokade kota. Ia tahu seluk beluk Tokyo sebelumnya, tentu saja sebelumnya ia pernah kemari. Terlebih, bunga-bunga sakura sedang bermekaran. Bulan april memang menjadi awal segalanya. Dari pembukaan lapangan kerja, wisuda, dan tahun ajaran baru sekolah.

"Ohaio's supermarket. Ternyata masih sama seperti dulu ya." Sakura sedang santai memasuki bangunannya . Ia memilih-milih sayuran yang segar, ikan dan buah-buahan. "Aku jadi ingat ibu dan ayah." Gumamnya pelan sambill menuju kasir.

Selesai belanjanya ia melewati taman yang tadi ia lewati juga, Ueno Kouen. Aroma sakura yang khas membuat hidupnya lebih tenang.

"Sampai sore masih banyak juga yang sedang hanami. Mungkin aku bisa menghabiskan waktu sebentar."

Mobil sport bewarna putih baru saja parkir di pinggiran taman itu. Seorang pria berambut pirang segera turun dari kendaraannya yang mewah, membukakan pintu untuk wanita cantik dengan mata secerah awan.

"Kau bisa turun sendiri tanpa aku."

"Naruto-kun, bagaimana caranya agar kau bisa menjadi lebih romantis?" Ia segera keluar dari mobil. Setelan dress putihnya selembut sutera, paduan high heels yang menawan membuat wanita itu terlihat semakin sempurna.

"Aku tak perlu melakukan hal itu terus, Hinata." Namun wanita itu tak peduli, ia menggandeng tunangannya dengan mesra. Banyak mata yang menikmati pemandangan ini. Sepasang kekasih yang tampan dan cantik menghabiskan waktu mereka di taman untuk melihat bunga sakura berguguran.

"Kau tahu, aku tidak suka melihat bunga ini gugur."

"Mau bagaimana lagi, bunganya memang hanya tahan tiga hari saja. Makanya aku ingin menikmatinya."

Naruto tersenyum, "Setidaknya bicaramu lebih baik dan tidak terbata-bata lagi."

Wajah Hinata memerah, "A-aku melakukan ini untukmu."

Mereka berdua berjalan memutari taman. Tampaknya ada bangku yang kosong untuk mereka berdua tempati.

"Mungkin aku harus pelihara anjing." Sakura menghela napasnya. Rambutnya di gerai senada dengan bunga-bunga yang gugur. "Tidak bisa, nanti siapa yang mengurusnya? Aku 'kan kerja." Gumamnya.

Langkahnya terhenti, ia mulai memandangi pohon-pohon yang ada di hadapannya sekarang. Mereka tumbuh di sekitar danau, tentu taman ini terawat dengan sangat rapi.

Ia memejamkan matanya, menarik napasnya dalam. Ia tampak benar-benar rileks dengan keadaan ini.

"Sakura?"

"Memang namanya bunga sakura, Naruto-kun." Hinata tersenyum, ia segera mengeluarkan bento yang telah ia buat. "Ayo kita makan dulu."

Hinata sibuk mengeluarkan alat-alat pikniknya. Sedangkan Naruto, telah terpana memandangi seorang wanita berambut merah muda panjang yang membelakangi dirinya. Jauh sekali, namun Naruto yakin, hanya dia yang memiliki warna rambut alami seperti itu.

"Hinata, aku akan segera kembali."

Tanpa jawaban Hinata, ia meninggalkan tempat duduknya. Debaran jantungnya yang kian cepat membuat ia gugup.

Lalu lalang orang berjalan semakin banyak, hingga Naruto kesulitan menjangkau wanita itu. Semakin lama, dan wanita itu tidak berada di sana lagi.

"K-kemana dia?" ia berputar diri, mencari wanita itu. Ia terlihat seperti orang yang tersesat dan kebingungan. Ia menyipitkan mata, mencari ke setiap titik. Ya, terlihat. Wanita itu berjalan keluar taman. Ia tersenyum, namun memudar ketika ia merasa ada yang menahan tangannya."Naruto-kun, apa kau ingin menghancurkan kencan kita?"

"Kencan?"

"Setiap hari, aku ingin mengajaknya kencan."

"Iya. Kau sedang mencari apa?" tanya Hinata lembut, namun wajahnya tetap terlihat kesal.

Naruto melirik lagi ke arah luar taman, dan wanita itu sudah tidak ada.

-oOo-

Namikaze Jp. Corp.

Tulisan itu terpapang tinggi di atas gedung. Seorang wanita muda baru saja tiba di hadapannya. Sakura memang memutuskan untuk bekerja di sini. Gajinya cukup besar, salah satu alasan ia bekerja tentu saja untuk kedua orang tuanya. Sakura begitu mencintai mereka.

"Maaf, bisa saya bantu?"

Sakura tersenyum menanggapi pertanyaan resepsionis yang berada di lobi. "Saya Sakura Haruno. Setelah wawancara dengan HRD, hari ini aku ada janji untuk menemui Kaichou."

"Baik, saya akan mengantar anda ke ruangan beliau."

Sakura mengangguk. Begitu beruntungnya ia bisa mendapatkan pekerjaan ini.

"Silahkan, nona Haruno?"

Entah kenapa degup jantungnya begitu cepat, Sakura langsung saja merasa gugup. Pria paruh baya di hadapanku begitu mengingatkannya dengan seseorang.

"Saya Minato Namikaze, jadi kamu yang bernama Sakura Haruno?"

Sakura mengangguk dan membungkukkan badannya. "Terimakasih telah menerima saya di perusahaan anda."

"Silahkan duduk. Pekerjaan kali ini agak berbeda."

"Maksud anda?"

Minato tersenyum, "Untuk sementara ini kau menjadi sekretaris saya."

"T-tapi bukankah saya bekerja di bagian manejer pemasaran?"

Kali ini pria itu tertawa, dia segera bangkit perlahan dari kursinya. "Sakura Haruno, saya telah membaca riwayat hidupmu. Lalu, apa cita-citamu telah tercapai?"

"Ada yang ingin bertanya tentang Haruno?" tanya guru tegap berambut silver. Suaranya tidak terdengar jelas karena masker yang ia kenakan.

"Apa cita-citamu?"

Sakura mengangkat wajahnya, melihat siapa yang bertanya tadi. Mendadak wajahnya memerah, ia gugup. Namun seberusaha mungkin untuk menjawab pertanyaan itu. "Aku ingin menjadi orang yang berhasil membahagiakan kedua orang tuaku."

Serentak seluruh murid di kelas itu tertawa.

"Sakura."

"Aku belum berhasil mencapa cita-citaku."

"Sakura? Kau baik-baik saja?"

"Y-ya. Saya baik!" nadanya kaget dan terdengar tinggi. Minato menyunggingkan senyum. "Saya ada meeting hari ini. Mari kita mulai pekerjaannya."

.oOo.

Pekerjaan hari ini telah selesai untuknya. Ia memilih untuk cepat pulang dari pada menghabiskan malamnya untuk lembur. Lagi pula ini hari ke-dua sejak ia pindah ke Tokyo. Jarak Chofu ke Meguro cukuplah dekat, namun ia ingin istirahat.

Sakura menutup pintu apartemennya, ia menyender dan memejamkan matanya. "Orang itu benar-benar mengingatkanku pada seseorang."

Ia berusaha tegar, membuka matanya dan berjalan bergontai menuju kamar mandi.

Hidup sebelumnya tidak sesepi ini. Mungkin ini akan menjadi pelajaran untuk Sakura, bahwa bekerja di kota besar tidak semudah saat ia menjawab soal tersulit sekalipun.

Debu di kulitnya telah bersih, ia menggunakan piyama yang tipis berwarna merah jambu. Rambutnya telah di bilas dan masih meninggalkan tetesan air. Ia tidak mengeringkannya dan membiarkan begitu saja.

Langkahnya menuju balkon, ia membuka pintu kaca geser itu. Menghirup udara yang penuh kebisingan kota. "Beginilah, Tokyo."

-oOo-

Sudah sebulan berjalan sejak ia mengambil pekerjaan ini. Ia mulai terbiasa, bahkan lebih mengenal presiden direkturnya. Mereka baru saja menyelesaikan meeting. Sakura masih membereskan berkas-berkas penting yang ada di meja.

"Anakku itu ingin sekali membuka perusahaan sendiri. Ramen instan." Minato tertawa renyah, Sakura sampai menyerengitkan alisnya, "Ramen? Bukankah makanan itu tidak sehat, kaichou? M-maksudku anda telah membuka cabang perusahaan baru seperti roti, bukan?"

"Ya, aku tahu. Kau seperti istriku saja."

Wajah Sakura memerah, "M-maaf. Semua orang pasti tahu kalau itu―"

"Itu permintaan 7 tahun yang lalu. Sekarang lebih aneh lagi. Ia ingin mendirikan distributor sayur dan ikan segar." Minato menghela napasnya, "Apa yang terjadi pada anak itu, ya?"

Sakura mengembangkan senyumnya, "Itu lebih baik, Kaichou. Bukankah itu sehat?"

"Ya. Sehat sekali."

Sakura mengangguk. Dan tiba-tiba saja atmosfer ruangan itu berubah. Menjadi lebih sunyi.

"Aku akan segera pensiun." Sakura mengangkat wajahnya, menatap intens pemilik shappire itu. "Bukankah anda masih muda, Kaichou?"

"Berapa umurmu memang?"

Sakura gugup, "20 tahun."

"Kau yang muda. Aku sudah 45 tahun."

Sakura mendatarkan ekspresi wajahnya, "Itu artinya anda masih memiliki 10 tahun lagi untuk pensiun, Kaichou." Sakura kembali menata berkasnya.

"Aku, terkena penyakit hati. Dokter bilang umurku takkan lama lagi."

Bagai petir di siang bolong. Sakura bahkan kesulitan untuk bergerak.

Minato tertawa lepas memecah kegugupan itu, "Istriku saja meninggal 7 tahun yang lalu. Aku begitu mencintainya, jadi aku menikmati penyakit ini."

Sakura masih terdiam, mencerna pembicaraan pemimpinnya saat ini.

"Maka dari itu, tahun ini aku akan melihat anakku di wisuda, menjabat pimpinan, dan...menikah."

"M-maafkan saya, Kaichou."

"Untuk apa kau minta ma―"

"Mulai sekarang, saya akan membuatkan anda bekal makan siang yang sehat! Ikan, sayur, buah dan nasi. Semua itu makanan alami yang secara langsung dewa berikan pada kita!" mendadak Sakura semangat, "Dengan begitu anda masih dapat hidup lebih lama. Anda tidak perlu menghabiskan makanan mahal di lounge kantor ini!"

Minato mengelus kepala Sakura pelan, "Kau, benar-benar anak yang baik."

"Karena aku ingin membahagiakan ibu, dan ayah."

-oOo-

Sakura baru tiba di apartemennya. Ia segera mandi dan makan malam. Harinya begitu lelah. Seminggu lagi memang akan memasuki musim panas. Hawanya perlahan berubah.

"Aku sendirian. Aku ingin pelihara anjing." ia menghela napasnya. "Tidak akan ada yang merawatnya tapi."

Ia merebahkan diri ke single bed-nya. Arah matanya menuju ke mejanya. Ia bangkit dan mengambil buku itu. Membuka bagian covernya.

"High school is the precious time to spend." ucapnya pelan,

This book is belongs to Sakura.


Sebuah kilasan putih membawanya ke kehidupan 6 tahun yang lalu. Saat ia menggunakan jas puteri bewarna biru dongker dengan rok pendeknya. Pitanya menghiasi bagian dalam kemeja.

"Silahkan masuk, Haruno."

Gadis berambut sebahu dan menggunakan kacamata itu memasuki ruangan kelas yang sangat mewah. Ia sendiri bahkan bingung dengan pemandangan yang ada di hadapannya sekarang.

"Ada apa Haruno? Ayo perkenalkan dirimu."

"B-baik." Gadis itu melangkahkan kakinya perlahan. Terkadang ia merapikan kacamata yang masih menempel diwajahnya.

"Namaku Sakura Haruno,"

Berhasil mendapatkan beasiswa tahun ke-2 Konoha International High School, sebuah sekolah dengan mayoritas anak-anak konglomerat dan berjabat.

"Ada yang ingin bertanya tentang Haruno?" tanya guru tegap berambut silver. Suaranya tidak terdengar jelas karena masker yang ia kenakan.

"Apa cita-citamu?"

Sakura mengangkat wajahnya, melihat siapa yang bertanya tadi. Mendadak wajahnya memerah, ia gugup. Namun seberusaha mungkin untuk menjawab pertanyaan itu. "Aku ingin menjadi orang yang berhasil membahagiakan kedua orang tuaku." Wajahnya tersenyum.

Serentak seluruh murid di kelas itu tertawa. "Kupikir dia ingin menjadi bussiness women termuda!"

Sakura melirik gadis berambut pirang berekor kuda, senyumnya kian menghilang. "Cita-cita macam apa itu?"

BUK BUK.

"Ada yang ingin bertanya lagi?" dan tidak ada yang menjawab. "Baik, Haruno. Hanya ada satu bangku tersisa di belakang. Kau boleh duduk di sana."

Sakura mengangguk.

.oOo.

"Jadi namamu, Sakura?"

"Iya. Namamu?"

Gadis blonde itu mendelik, "Kau tidak lihat badge name di seragamku?"

"Aku melihatnya, tapi akan lebih baik jika aku bertanya padamu langsung." Sakura yang lugu tetap saja menanggapinya dengan ramah.

"Kau aneh."

"Nama Sakura itu cukup kuno, sih. Tapi wajahmu lumayan." Kiba menyapanya. Sakura tetap saja tulus tersenyum.

"Lalu apa pekerjaan orang tuamu?" tanya Shino.

"Mungkin dia anak perdana menteri Tenno. Namanya saja biasa begitu."

Sakura menggeleng, "Ayah dan ibuku adalah pedagang. Mereka menjual ikan, sayur dan buah."

Sekumpulan anak-anak yang ramai itu mulai terdiam sambil menaikkan sebelah alisnya. Tak lama kemudian ledakan tawa memenuhi isi ruangan, mengundang anak laki-laki berambut pirang itu datang. "Ada apa?"

"Orang tuanya pedagang ikan, Naruto! Hahaha." Ino tertawa sejadi-jadinya. Sedangkan Sakura malah memandang fokus laki-laki yang ada dihadapannya. Semburat merah meronai pipinya. Bukan karena malu, tapi laki-laki itu.

.oOo.

"Aku pulang." Tubuhku benar-benar lelah sekali. Perjalanan sangat jauh yang harus ku tempuh.

"Selamat datang. Kau baik-baik saja, Sakura?" Mebuki menyambutnya, sedangkan Kizashi masih melayani pembeli.

"Ya aku baik." Aku memaksa untuk tersenyum, tentu saja aku tidak baik-baik saja. Terutama ketika orang-orang mentertawai orang tuaku.

"Padahal bunga sakura sedang mekar, tahun ini anak ayah tidak terlihat lebih ceria seperti biasanya."

"A-ayah..."

"Ayo makan dulu, Sakura."

Aku tidak peduli dengan anak-anak orang kaya di sekolahku sekarang. Aku punya sesuatu yang lebih berharga daripada mereka. Kehidupanku, dan kedua orang tuaku.


To be Continued...

.oOo.

Aku bersumpah, aku harus menempuh perjalanan jauh. Sekolahku berada di tengah pemukiman orang-orang elit. Dari stasiun aku bahkan harus berjalan kaki. Tidak ada kendaraan ataupun bus sekolah. Aku berharap ini Amerika, seperti yang ada di film-film.

Aku terus berlari mengejar waktu, ini benar-benar jauh. Apa seharusnya aku menggunakan sepeda saja?

Mataku beralih ke mobil-mobil sedan mewah yang melewati tubuhku. Aku yakin mereka menuju ke sekolah. Aku sangat berharap mereka akan berhenti untuk sekedar menawari ku bersama mungkin?

Tiba-tiba saja salah satu mobil itu lewat, ia membuka jendelanya. Do'aku terkabul?

"Hei, Haruno! Semangat ya!"

"I-Ino? B-bolehkah a-aku―"

Benar saja ia segera menutup jendelanya. Aku menunduk.

Aku janji, aku janji. Aku akan bangun lebih awal lagi agar tidak telat seperti ini.