Disclaimer: Masashi Kishimoto
Warning: YAOI, AU, OOC dan hal absurd lainnya.
Pairing: Always NaruSasu
Rated: M for Mature, Sexual Content
.
(Maaf ya Minna-san, tidak ada lemon di chap ini ^^)
You're My Kidnapper
.
By: CrowCakes
.
~Enjoy~
.
_Restaurant, Pukul 12.00 Siang_
.
Sasuke menyesap kopinya dalam diam, sikapnya terlihat tenang namun tangannya terus gemetaran tanpa henti. Hinata yang berada dihadapan Sasuke dapat melihat dengan jelas tingkah pemuda itu dibalik sikap stoicnya.
Hinata menunduk menatap cangkir teh nya, mata lavendernya lebih tertarik menatap minumannya daripada mengamati sikap pimpinan Uchiha's Corp itu.
Sunyi sudah berlangsung selama berberapa menit sejak mereka melangkahkan kakinya di restoran itu. Niat awal Hinata hanyalah untuk berbincang dengan 'teman' tunangannya itu, namun sekarang malah suasana canggung yang merayap diantara keduanya.
Sasuke mengangkat cangkir kopinya, menikmati capuccino manis itu dengan khidmat, namun rasa minuman itu tidaklah semanis yang dipikirkannya, tetapi pahit—sangat pahit. Dengan tangan gemetaran Sasuke memasukkan beberapa balok gula ke cangkir kopinya.
1 balok—
2 balok—
5 balok—
"Sasuke-san—" Hinata membuka mulutnya, memanggil dengan nada khawatir, "—Kau memasukkan terlalu banyak gula ke cangkir kopimu."
Tangan Sasuke terhenti di udara, "Benar—maafkan aku." Ucapnya ambigu kemudian menyesap lagi kopinya.
—Masih pahit. Apakah lidahnya bermasalah? Ataukah hatinya yang bermasalah? Kenapa semua rasa manis itu menghilang dalam sekejap? Padahal ia sudah menambahkan berbalok-balok gula, tetapi kenapa masih terasa pahit?—Terasa getir?
Kepala Sasuke menunduk dalam diam, ia mencoba menahan gemetar tubuhnya dengan mengepalkan tangan.
—Padahal ia sudah senang bertemu dengan Naruto. Ia begitu bahagia. Namun sekarang, kebahagiaannya itu hancur seketika. Remuk berkeping-keping.
—Lagi-lagi karena sebuah pernikahan.
.
"Kami sudah menyiapkan segalanya—" Hinata kembali membuka suara, senyum manisnya masih terpasang disana. "—Seluruh dekorasi di gereja, baju pengantin, dan jamuan untuk tamu, paman Hiashi yang mengaturnya."
Sasuke tidak menanggapi perkataan wanita itu. Ia hanya diam.
"—Aku dan Naruto, kami bahkan sudah menyiapkan nama untuk anak kami kelak." Lanjut gadis Hyuuga itu.
"Bukankah sudah kuberitahu—" Sasuke memotong dengan cepat, "—Aku dan Naruto pacaran. Kami sepasang kekasih." Ada nada getir ketika mengucapkan kalimat itu.
Hinata menunduk, "—Kau sudah memberitahuku 10 menit yang lalu, Sasuke-san. Tetapi—" Mata lavendernya menatap pria raven itu dengan serius, "—Itu tidak akan mengubah apapun juga. Kami tetap akan melangsungkan pernikahan."
Sasuke lagi-lagi diam, ia kembali menyesap kopinya.
—Masih terasa pahit. Apa ia perlu menambahkan balok gula lagi?
"Bisakah kau memberikan Naruto padaku?" Negoisasi dimulai dari bibir sang Uchiha, membuat Hinata mendongak kaget.
"Kau bilang apa, Sasuke-san?"
Pemuda onyx itu menepalkan tangannya lebih kuat, "—Aku akan memberikan apapun yang kau mau. Uang, kekayaan, bahkan perusahaan akan kuberikan secara percuma asalkan—"
"Hentikan—" Lavender Hinata menatap tajam, "—Naruto bukanlah barang dagangan, Sasuke-san. Dia tunanganku."
"Tetapi dia kekasihku—" Sasuke membalas tatapan Hinata dengan cepat.
"ITU MASA LALU!—" Hinata menggebrak meja, membuat seluruh pasang mata di restoran itu menatap mereka. Sedikit terkejut dengan tingkahnya sendiri, Hinata memilih kembali ke posisi anggunnya, yaitu duduk dengan elegan, "—Maafkan sikapku tadi. Aku hanya sedikit terbawa emosi."
Sasuke tidak membalas, bahkan tidak menatap ke arah wanita itu. Matanya masih terpaku pada cappucino miliknya.
—Masih pahit, dan semakin pahit.
Hinata mengeluarkan sesuatu dari tasnya, selembar undangan yang dihiasi dengan tinta emas di sodorkannya perlahan ke sisi cangkir kopi Sasuke, "—Aku harap kau bisa datang ke pernikahan kami, Sasuke-san." Gadis itu berdiri kemudian membungkuk 90 derajat, "—Maafkan tingkahku tadi. Selamat tinggal." Lanjutnya seraya bergerak perlahan keluar dari restoran. Meninggalkan Sasuke yang masih menatap cangkir kopinya.
—Mungkin satu balok gula akan mempermanis cappucino nya.
Sedikit gemetaran, Sasuke mengambil balok gula tadi dan menjatuhkannya ke dalam kopinya. Cipratan cairan tadi mengenai sisi kartu undangan.
Disambung cipratan cairan bening dari kelopak matanya.
—Sial!—Sekarang mataku mulai memburam.
.
.
.
_Uchiha's Apartement, Pukul 14.00 Siang_
.
Sasuke tidak bergairah melanjutkan pekerjaannya, ia memilih pulang cepat walaupun jadwal meeting nya sangat padat. Ia bahkan melempar tugasnya untuk diurus oleh sekretaris dan para anak buahnya.
Yang dibutuhkan Sasuke sekarang adalah istirahat total.
Tangan pria Uchiha itu terjulur untuk membuka kenop pintu. Kemudian segera masuk setelah melepaskan sepatunya.
"Sakura-chan, papa pul—" Ada jeda kalimat dari Sasuke saat melihat gadis mungilnya sibuk tertawa di gendongan Naruto. Sesekali putrinya itu berlari kesana-kemari dengan Naruto yang berpura-pura menjadi monster.
"Hahahaha—Naruto-san Kalah!—" Sakura berpura-pura menembak Naruto dengan tangannya yang membentuk pistol.
"Arghh!—Aku mati!—" Ucap Naruto hiperbola seraya bergerak mundur perlahan sambil memegangi dadanya kemudian terjatuh di lantai.
Sakura tertawa keras merayakan kemenangannya sambil berteriak, "Pembela Kebenaran!—Kamen Rider Banzai!" Dan diakhiri dengan mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi.
Naruto bangun dan duduk dilantai sambil tertawa.
.
"Kau terlalu tua untuk bermain, Dobe—" Suara Sasuke membuat pria pirang itu menoleh cepat.
"Ah!—Sasuke?—Kau sudah pulang rupanya." Ucap sang Uzumaki sambil merapikan kemejanya.
Sakura yang melihat sang ayah yang sudah kembali dari pekerjaan, langsung melesat untuk memeluk pria Uchiha itu dengan semangat, "Papa!—"
Sasuke tersenyum tipis sambil menggendong anaknya, "Papa pulang, Sakura-chan—"
"Selamat datang, papa—" Balas gadis mungil itu sembari menjatuhkan kecupan di pipi sang ayah.
"Ngomong-ngomong—" Sasuke menatap Naruto, "—Kenapa kau bisa ada di apartemenku jam segini? Seharusnya kau masih di kantormu, kan?"
Naruto ingin membuka suara untuk menjawab, tetapi celetukan Sakura langsung menginterupsi kalimat pria pirang itu.
"Aku kesepian, jadi aku menelepon nomor 'ayah' dari catatan dikamar." Sahut sang gadis mungil dengan cepat.
Sasuke menautkan alisnya, bingung, "Ayah?"
Sakura mengangguk dan menunjuk Naruto dengan cepat, "Naruto-san bilang, dia 'ayah'ku sekarang ini."
Sasuke mendelik galak pada pemuda pirang yang terlihat salah tingkah itu, "Hehehe—kau tahu, aku hanya ingin menjadi 'ayah' Sakura, dan kau jadi 'papa' nya. Kita akan—"
"Sakura-chan, bisa kau masuk ke dalam kamarmu sebentar?" Sasuke memotong kalimat Naruto dengan cepat sambil menurunkan putrinya itu dari pelukannya.
Sakura mengernyit heran, namun ia mengangguk patuh dan segera masuk kekamarnya. Meninggalkan suasana canggung diantara Naruto dan Sasuke.
"Sasuke, aku berencana untuk tinggal disini lebih lama—" Ucap Naruto sambil menampilkan cengiran menawannya, tanpa mempedulikan Sasuke yang terus menunduk, "—Dan kita bertiga. Kau, aku dan Sakura akan piknik di gunung, menatap bulan, sambil memanggang—"
"Naruto—" Lagi-lagi Sasuke menyela cepat, ia mengeluarkan secarik undangan dari kantongnya, "—Hinata tadi ke kantorku." Lanjutnya lagi.
Naruto yang menatap undangan tadi hanya terdiam kaku. Wajahnya mengeras, "Kenapa—dia ke kantormu?"
Sasuke tidak menjawab, dan memilih mendudukkan dirinya di sofa, "Dia mengatakan kalau kau mengirimkan pesan padanya bahwa kau menginap di tempatku, jadi dia ber-inisiatif untuk menyapaku di kantor, tetapi—" Ia menghentikan kalimatnya, mata onyx nya memandang lekat ke arah Naruto, "—kami memutuskan untuk berbincang lebih lama di restoran dan dia menceritakan segalanya, termasuk pernikahan kalian besok lusa."
Naruto tidak menjawab, wajahnya masih mengeras, "Apa yang kau katakan padanya, Sasuke?"
"Hmph—" Sasuke mendengus pelan dengan senyum tipis, "—Aku menceritakan hubungan kita berdu—"
—DUAGH!—Sebuah pukulan cepat langsung melandas ke sisi kiri wajah Sasuke. Membuat pemuda pucat itu terjatuh ke lantai.
"KAU MENCERITAKAN SEGALANYA!?—APA KAU BODOH, HAH?!" Naruto meraung keras seraya mencengkram kerah kemeja Sasuke dan menyentaknya kasar. "—KENAPA KAU MEMBERITAHUNYA TENTANG HUBUNGAN KITA?!"
Sasuke diam. Matanya menatap pemuda tan itu dengan pandangan kosong, "Kenapa?—" Satu pertanyaan keluar dari mulut sang Uchiha, "—Kenapa kau begitu takut kalau aku memberitahu hubungan kita pada Hinata?—Apa kau mencintainya?"
"SASUKE!—" Lagi-lagi Naruto berteriak marah. Mencoba menghentikan setiap kalimat yang meluncur dari bibir pucat yang terlihat gemetaran itu.
"Ah, benar juga—" Sasuke menyeringai kecil, "—Namikaze's Corp adalah anak perusahaan dari Hyuuga's Corp, kalau kau berpisah dengan Hinata maka jabatanmu akan turun jadi pegawai rendahan. Karena itu kau ingin bertunangan dengan Hinata?—Hanya untuk kekuasaan dan jabatan?—Kalau hanya uang yang kau inginkan, aku bisa memberikanmu sebanyak yang kau mau."
"SASUKE!—BERHENTI MEMBICARAKAN OMONG KOSONG!"
"KAU YANG BERHENTI BICARA OMONG KOSONG, BRENGSEK!" Sasuke membalas raungan Naruto dengan teriakannya. Tubuhnya bergetar menahan amarah, matanya berkilat tajam, "—Aku pikir kau mencintaiku, tetapi semua itu hanya karena sebuah kekuasaan dan kekayaan semata."
—BUAGH!—Lagi-lagi Naruto memberikan bogem mentahnya ke wajah Sasuke, dan melemparkan tubuh langsing itu ke sofa dengan kasar.
"Jangan bicara seakan-akan kau mengerti diriku, Uchiha Sasuke—" Desisan keluar dari bibir Naruto, "—Kau bahkan tidak tahu betapa sulitnya hidupku saat dikeluarkan dari Konoha Gakuen, sedangkan kau malah sibuk bersenang-senang dengan Sakura, bahkan mempunyai anak."
Sasuke hanya bisa terduduk lemah, ia tidak membantah setiap perkataan dari pemuda pirang itu. Naruto benar—ia tidak tahu perasaan pemuda pirang itu. Ia bahkan tidak tahu keadaan Naruto seperti apa di luar negeri tanpa sokongan dari dana beasiswa.
—Ia tidak tahu apa-apa.
Sasuke bergelung di atas sofa dengan tubuh gemetaran menahan isak tangis. Lengannya berusaha keras menutupi wajahnya yang basah karena airmata.
Naruto yang berada dihadapan Sasuke hanya menatap pria onyx itu dengan wajah mengeras, "Aku pergi—maaf sudah merepotkanmu, Uchiha Sasuke." Ucapnya tegas seraya beranjak menuju pintu depan dan menutupnya dengan bantingan keras.
.
Sakura yang mengintip dari balik kamar hanya bia menatap takut seraya menuju ayahnya yang masih menangis di atas sofa.
Tangan mungilnya terjulur untuk mengelus sang ayah, namun terhenti saat suara isakan keluar dari bibir pria Uchiha itu.
"Naruto—" Sasuke memanggil lirih disela segukannya, "—Jangan tinggalkan aku."
Dan Sakura hanya bisa menatap tubuh ayahnya yang terus bergetar di atas sofa.
.
.
.
_Namikaze's Corp, Pukul 16.00 Sore_
.
—BLAM!—Naruto menutup pintu ruang kerjanya dengan suara nyaring. Meningalkan keterkejutan dari seluruh karyawannya yang tidak menyangka akan sikap pimpinannya itu. Biasanya, Naruto terlihat ramah dengan menyapa para pegawainya, bahkan tidak jarang bercanda dengan meraka, namun kini sosok itu terlihat gusar dengan wajah mengeras karena murka. Membuat para karyawan yang tadinya bermaksud menyapa sang pimpinannya langsung mengurungkan niatnya saat itu juga.
Mengajak berbicara singa marah adalah hal yang tidak boleh dilakukan. Jadi, mereka sepakat untuk membiarkan Naruto menyendiri terlebih dahulu di ruang kerjanya.
.
Naruto menghempaskan tubuhnya di sofa, kemudian mengusap wajahnya yang letih. Sesekali ia mendesah berat memikirkan permasalahannya.
"Tidak baik membuat takut para karyawanmu, Naruto-kun." Suara lembut itu mengusik indera pendengaran Naruto. Tanpa melihat pun, pemuda pirang itu sudah menebak siapa yang berani menegurnya saat ia masih dalam kondisi marah.
"Aku hanya sedikit kesal, Hinata-san." Balas Naruto lagi.
Wanita yang dipanggil Hinata itu hanya tersenyum kecil, kemudian beranjak dari depan pintu ke sisi Naruto, dan melingkarkan lengannya di pundak sang Uzumaki, "Kau bisa menceritakan masalahmu padaku—" Bisiknya lembut.
Naruto melirik sekilas tanpa merubah ekspresinya, "—Ini tentang Sasuke."
Hinata membeku sesaat dengan pernyataan pemuda pirang itu. Ia melepaskan pelukannya dan duduk di kursi tepat dihadapan 'tunangannya', "—Apa yang kalian bicarakan?" Ucapnya lembut namun tegas.
Naruto mendesah pelan, "—Aku tidak tahu, dia mengatakan kalau aku gila kekayaan."
Hinata diam, "Kau masih ingat kenapa kau bertunangan denganku bukan, Naruto?"
Pemuda pirang itu mengangguk, "Ya—Untuk membalas kebaikanmu karena memperkerjakanku di perusahaan Hyuuga bahkan menjadikanku president direktur dari Namikaze's Corp."
Hinata mendelik dengan mata lavendernya, "Selain itu?"
Naruto menoleh, "—Hutang budi." Dua kata itu meluncur cepat dari mulutnya, "—aku berhutang budi padamu karena kau mau membantu operasi kanker ayahku."
Hinata tersenyum tipis, "Ternyata benar—" Ia mengepalkan tangannya erat, "—Kau bertunangan denganku bukan karena cinta, melainkan karena hutang budi."
Naruto tidak berusaha menyanggah perkataan gadis itu, matanya beralih menatap jendela, "Kau tahu, Hinata?—Hanya ada dua orang didunia ini yang aku cintai. Yaitu ayahku—" Ia mengacungkan satu jari telunjuknya, "—Dan Sasuke." Jari tengah bergabung membentuk gestur 'dua'.
Hinata lagi-lagi tetap menunduk, "Apakah—tidak ada celah lagi untuk diriku masuk ke dalam hatimu?"
Naruto mendengus kecil, bukan dengus meremehkan, melainkan dengus getir, "Merengkuh dua cinta itu sulit. Aku tidak akan sanggup dengan konsekuensinya."
Gadis berambut indigo itu tersenyum tipis, "Aku sudah tahu kau pasti akan menjawabnya begitu—" Ia bergerak untuk duduk di pangkuan Naruto, "—Biarkan aku memilikimu malam ini."
Naruto hanya diam, tidak tertarik, "Kau tidak akan bisa mendapatkan hatiku Hinata, maaf—"
Gadis itu membalasnya dengan senyum getir, "Cukup berikan tubuhmu saja, Naruto—hanya malam ini." Ia merangkul leher pemuda itu dan melandaskan kecupannya di bibir itu.
Naruto diam tidak mengekpresikan emosinya. Ia hanya membiarkan Hinata menjelajahi tubuhnya inchi demi inchi.
Matanya terus menatap ke luar jendela—
—Matahari hampir bersembunyi dibalik cakrawala.
Mirip ketika dia meninggalkan Sasuke 7 tahun lalu saat dirinya berangkat ke bandara. Waktu itu juga menunjukkan sore hari, tepatnya hampir senja.
—Tidakkah Sasuke sadar bahwa Naruto sangat mencintainya?
.
.
.
_Uchiha's Apartement, Pukul 21.00 Malam_
.
Tubuh Sasuke masih meringkuk di sofa. Airmatanya sudah mengering sejak beberapa jam yang lalu, namun isak tangis dan segukannya masih terdengar walaupun samar-samar. Baru kali ini sang Uchiha menangis berjam-jam tanpa henti, bahkan makan malam pun tidak dipedulikannya.
Sakura yang duduk di depannya hanya bisa menunduk bisu, tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Perutnya berbunyi sejak 1 jam yang lalu. Gadis itu kelaparan. Namun melihat ayahnya yang tidak bergerak menuju dapur, membuat gadis kecil itu mencoba memanggil sang ayah.
"Papa, Sakura lapar." Tangan mungilnya terjulur untuk menyentuh tubuh ayahnya dan mengguncangnya pelan, "Papa, Sakura lap—"
"DIAM!—" Sasuke meraung. Membuat gadis itu terlonjak mundur.
"Pa—"
"AKU BILANG DIAM, BRENGSEK!—PERGI SANA!" Teriak pria Uchiha itu, yang masih meringkuk di sofa dengan tubuh gemetaran.
Sakura terisak kecil, ketakutan. Sedikit enggan, ia mulai menjauh dari tempat sang ayah. Rasa lapar membuat gadis kecil itu memilih menuju dapur, setidaknya ia bisa membuat cup ramen dan sejenis mie instan lainnya.
Setuju dengan pemikirannya itu, Sakura langsung bergegas menuju kulkas dan mengambil satu cup mie. Mata hitamnya melirik ke arah termos air panas di atas meja.
Hmm—ia sering melihat ayahnya menuangkan air panas ke dalam cup mie, kemudian menunggu beberapa menit, dan—Voila!—makanan sudah siap tersedia.
Sakura tersenyum senang dengan pemikirannya itu, ia berbalik menuju kulkas dan mengambil satu cup lagi untuk ayahnya, berharap pria itu akan berhenti menangis dan tersenyum lagi.
Sakura meletakkan dua cup mie instan tadi ke atas meja. Kemudian beranjak menuju termos air panas. Ia berusaha menggapainya, tetapi tinggi badannya tidak memungkin untuk menjangkau benda itu, dengan sedikit akal, Sakura berdiri di atas kursi dan kembali berusaha menarik termos air tadi.
Dapat!—
—Sedikit gembira, gadis kecil itu mencoba turun dari kursi, namun keseimbangan kaki kayu itu mulai goyah, hingga—
—BRUAK!—Suara debaman keras terdengar saat Sakura terjatuh. Tetapi bukan itu saja yang membuat Sakura menjerit kesakitan, melainkan termos air panas tadi tumpah dan tepat mengenai tangan mungilnya.
"PAPA!—" Sakura berteriak keras seraya memanggil sang ayah. Menangis meraung memegangi tangannya yang langsung melepuh. Kulit yang tadinya putih itu mulai memerah dan terkelupas perlahan, meninggalkan tanda yang melepuh.
Tubuh mungil Sakura bergetar menangis, seraya mengaduh dan meniup tangannya, "Papa—hiks—tolong—hiks—"
Berapa kalipun Sakura merintih, Sasuke sama sekali tidak datang. Pria Uchiha itu masih meringkuk di sofa menahan tangisannya. Bibirnya menutup dan terbuka memanggil nama 'Naruto' dalam bisikan sunyi.
"Jangan tinggalkan aku—" Bibir pucat itu terus bergetar, "—Naruto."
.
.
.
_Namikaze's Corp, Pukul 09.00 Pagi, Keesokan harinya_
.
Pagi itu Naruto bangun dengan malas dari sofa ruang kerjanya. Mata birunya mengerjap mencoba mengumpulkan kesadarannya kembali, kemudian melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 9 lewat. Penglihatannya beralih menatap sesosok tubuh di bawah badannya.
Sosok Hinata yang tanpa pakaian sehelai benang pun masih tertidur nyenyak di bawah tindihannya. Tubuh mereka berdua tidak tertutupi oleh apapun, bahkan baju mereka tadi malam pun kini teronggok tidak berdaya di lantai.
Naruto mendesah pelan sebelum bangkit dari sofa, membuat gadis indigo dibawahnya mengerang pelan.
"Naru—" Hinata memanggil lembut, "—Jam berapa sekarang?"
Pria pirang itu mengambil celana panjangnya di lantai, kemudian segera memakainya dengan cepat, "9 pagi." Jawabnya singkat.
Hinata bangkit, ia berjalan ke arah Naruto dan memeluknya dari belakang, sesekali kecupan singkat di tinggalkannya di punggung lebar itu.
Naruto menepisnya pelan, "Pakailah baju, bukankah kau ada janji dengan Neji untuk mengantarkanmu mencari gaun pengantin?"
Gadis itu mengangguk, kemudian memakai bra-nya dengan perlahan, "Apa kau akan ikut?"
"Tidak—" Jawab Naruto singkat, "—Aku ada urusan."
Untuk sesaat raut wajah Hinata berubah kecewa, gadis itu yakin kalau Naruto akan menemui Sasuke, namun ia langsung menyingkirkan pemikirannya dengan cepat. Ia tidak boleh berpikiran negatif pada tunangannya sendiri, kan?—Lagipula Naruto tidak akan mengkhianatinya. Hinata yakin itu.
Naruto yang sudah berpakaian langsung duduk di kursi kerjanya dan membuka lembaran dokumen tanpa mempedulikan Hinata yang masih menatapnya, "Cepatlah pergi, Neji pasti sudah menunggumu." Ucap sang Uzumaki tanpa melihat gadis itu.
Hinata mencoba tersenyum tipis, "Ya—aku akan pergi." Balasnya yang segera membuka kenop pintu, "—Kalau kau butuh sesuatu, kau bisa menghubungiku." Lanjutnya lagi.
"Ya." Jawab Naruto singkat tanpa peduli.
Tepat ketika Hinata keluar ruangannya dan menutup pintu, Naruto langsung menarik ponsel dari jas nya. Ada beberapa panggilan dan pesan yang ditujukan padanya dari—Sasuke.
Naruto menelitinya. Berpuluh-puluh pesan dan panggilan tidak terjawab.
Pemuda pirang itu melemparkan ponselnya kembali ke atas meja, tidak tertarik. Kemudian mendesah pelan sambil mengusap wajahnya yang letih.
Besok pernikahannya. Dan ia berharap semuanya berjalan dengan normal.
.
.
.
"Ada yang kau pikirkan, Hinata?" Suara Neji membuat gadis itu sadar dari lamunannya. Matanya mengerjap perlahan sebelum membalas pertanyaan sang Hyuuga tertua.
"Hm?—Tidak ada." Jawab Hinata seraya kembali memilih gaun pengantinnya di salah satu butik. Lavendernya menatap berkeliling tempat megah itu. Beberapa dekorasi mewah serta aksesoris yang berkelap-kelip menghiasi setiap sudut butik itu, ditambah beberapa pajangan patung yang bergaun pengantin semakin menambah suasana ceria disana. Namun entah kenapa, hanya hati Hinata saja yang tidak ikut ceria.
Gadis indigo itu gelisah sambil mengigit bibirnya terus. Sesekali ia melirik jam dinding di butik itu. Pukul 14.00 siang, ia penasaran apa yang dilakukan Naruto sekarang ini. Apakah pria itu sibuk bekerja atau—menemui Sasuke?
Tidak!—Tidak!—Ia seharusnya tidak curiga pada tunangannya sendiri. Hinata harus percaya pada laki-laki itu. Harus.
"Serius Hinata—" Neji meliriknya malas, "—Apa yang sedang kau pikirkan? Kau terlihat gelisah sejak tadi."
Hinata mencoba melempar senyum tipis, "Aku hanya mengkhawatirkan Naruto." Ucapnya.
Neji memutar bola matanya, kesal, "Naruto bukan anak kecil, kau tidak perlu mencemaskannya."
"Ya—" Jawab Hinata lagi. Kecuali tunanganmu ketahuan selingkuh dengan seorang pria, dan—yeah—aku cemas. Batin gadis itu lagi.
"Bisakah kita langsung pulang?—Aku mulai bosan." Desah Neji lagi sambil menatap adiknya itu memilih gaun.
Hinata lagi-lagi tersenyum lembut, kemudian mengambil salah satu gaun yang sangat mewah dengan beberapa pernak-pernik renda berwarna lavender lembut, "Baiklah, aku pilih ini saja. Bagaimana menurutmu, Neji-niisan?"
Neji tersenyum tipis lalu menepuk puncak kepala gadis itu, "Itu sangat cantik. Cocok untukmu." Puji sang kakak yang langsung membuat pipi Hinata merona merah, tetapi ia akan lebih senang kalau yang memujinya itu Naruto.
.
.
.
_Uchiha's Apartement, Pukul 21.00 Malam_
.
The number you are calling si not active or out of coverage area, please try again later—
.
BRAK!—Sasuke melempar ponselnya ke lantai hingga hancur berkeping-keping. Ia mencoba menelepon Naruto berkali-kali namun tidak ada tanggapan sama sekali. Bahkan satu message pun tidak dibalas pria pirang itu.
Sasuke masih terisak di sofa, meringkuk dengan mata membengkak merah. Ia tidak makan, tidak minum, dan tidak bekerja sama sekali, bahkan Sakura yang menangis pun tidak dipedulikannya. Ia tahu gadis kecil itu kelaparan sejak kemarin, tetapi ia membencinya. Membenci segalanya kecuali Naruto.
Ia mengutuk pernikahannya dengan Haruno Sakura.
Ia membenci anak dari wanita pelacur itu.
Ia menghujat ayahnya karena nasib yang dialaminya sekarang.
Dan yang lebih buruk lagi, besok Naruto akan melangsungkan pernikahannya dengan Hinata.
Sasuke benar-benar hancur sekarang. Ia sama sekali tidak mempunyai gairah untuk hidup.
.
"Papa—hiks—" Sakura sesegukan sambil sesekali mencoba menarik lengan sang ayah dengan tangannya yang tidak melepuh, "—Aku—hiks—lapar—" Ucapnya lirih.
"Diam—" Desis Sasuke tanpa melihat gadis mungil itu. Ia memunggunginya, tidak peduli.
"Tapi—hiks—aku lapar—" Ucap Sakura semakin lirih. Sejak kemarin yang dilakukannya hanya minum air putih untuk mengurangi rasa lapar perutnya, namun sekarang lambungnya tidak sanggup menampung cairan putih itu lagi. Yang dibutuhkannya adalah makanan untuk memenuhi perutnya.
"Papa—hiks—tolong, aku lapar—" Gadis itu semakin menangis. Tangannya yang melepuh semakin mengerikan untuk ditatap. Seperti daging yang dimasak basah dan berwarna merah muda.
"DIAM!—" Sasuke meraung keras. Ia melirik Sakura galak, mata onyx nya berkilat tajam, "—Kau merusak segalanya, Sakura." Desisnya sinis.
Gadis mungil itu menggigil ketakutan, ia mundur perlahan, "Papa—"
"AKU MEMBENCIMU, SAKURA!" Tepat ketika Sasuke berteriak keras, ia langsung menyambar lengan anaknya itu dan melemparnya ke lantai.
Sakura berteriak kesakitan saat tubuhnya menghantam bidang datar porselin tadi, ia kembali menangis, "Papa—sakit—hiks—Pa—"
DUAGH!—Belum sempat Sakura merintih kesakitan, Sasuke sudah menendang perut anaknya itu dengan kasar. Tubuh mungil gadis itu terpelanting 1 meter dari tempatnya terjatuh. Mata hitam Sakura terbelalak merasakan perih ketika lambungnya ditendang. Napasnya untuk sesaat terhenti karena rasa sakit. Kemudian ia mulai terbatuk darah.
"Papa—ghok—hiks—ohok—sakit, Pa—" Rintih sang anak lagi. Tubuhnya gemetaran saat Sasuke bergerak maju kearahnya.
Pria Uchiha itu tidak mempedulikan tangisan sang gadis kecil, dengan cepat ia menyambar rambut pink yang dibencinya itu, dan sekali lagi melemparkannya ke sisi meja dengan suara -BRUAK!- nyaring.
Lagi-lagi tubuh ringkih itu menghantam sisi meja dengan keras. Membuat Sakura meraung kesakitan. "ARGHH!—PAPA!—SAKIT!"
"Sakit?—" Ada nada parau yang berat dari suara Sasuke saat ia bicara, matanya menatap sang anak dengan pandangan kosong tetapi penuh kilatan benci, "—AKU LEBIH SAKIT LAGI, SAKURA!—KAU MENGHANCURKAN HIDUPKU!"
DUAGH!—Sekali lagi Sasuke mengayunkan kakinya untuk menendang tubuh kecil itu. Sesekali ia menginjak kepala Sakura karena rasa benci berlebih. Membuat pelipis gadis kecil itu robek serta hidungnya yang mengeluarkan darah.
Sasuke benci Sakura—ia membenci rambut pink dan tingkah gadis itu.
Ia sangat membenci Haruno Sakura!
"Mati—" Sasuke mendesis tajam, "—aku ingin kau mati, Sakura—" Ucapnya lagi tanpa mengurangi tendangannya di perut sang anak.
Gadis mungil itu mengerang kesakitan, merintih sekuat tenaganya saat hantaman dan tendangan itu menghujami tubuhnya. Ia mencoba melindungi kepalanya dan tangannya yang melepuh dari tendangan sang ayah.
"Papa!—hiks—sakit!—Arrgh!—"
Sasuke menggeram marah, "Sakit?—Akan kuberitahu bagaimana rasa sakit itu." Tepat ketika ucapannya tersebut, ia bergerak ke salah satu sudut untuk mengambil tongkat golf kesayangannya. Tongkat yang selalu digunakannya untuk menemani para kolega perusahaan bersenang-senang itu, kini berada tepat di depan tubuh Sakura yang gemetaran ketakutan.
Sasuke tertawa. Bukan tawa yang sering didengar gadis mungil itu, namun kekeh seram dan serak yang membuatnya mengerikan.
Sakura mencoba beringsut mundur, namun tembok dingin di belakang punggungnya menghalangi gerakannya. Ia terkurung. Terhimpit diantara dinding solid dan sang ayah yang mengayunkan tongkat golf dengan kekeh gila.
"Papa—hentikan—hiks—aku takut—" Ucap Sakura dengan suara yang bergetar ketakutan.
Sasuke hanya terkekeh pelan, tidak menanggapi permohonan sang anak. Tangan pucatnya menggenggam erat tongkat golf tadi kemudian mulai mengangatnya tinggi-tinggi, "Kau tahu, Haruno Sakura?—Aku sangat membencimu sejak dulu."
"Papa—hiks—aku Uchiha Sakura—hiks—aku bukan mama—" Lirih sang anak lagi.
"DIAM, BRENGSEK!"—DUAGH!—Sasuke mengayunkan tongkatnya dengan cepat, menghantam tubuh mungil itu dengan keras.
"ARRGHH!—" Sakura meraung kesakitan. "—MAMA!—TOLONG!—"
"DIAM!—DIAM!—AKU MEMBENCIMU!" Balas Sasuke yang meraung marah. Ia terus menghajar tubuh anaknya dengan tongkat golf tanpa ampun. Setiap teriakan dan jeritan gadis kecil itu membuat Sasuke tertawa keras, dan semakin—keras.
Ia menyukai pandangan ketakutan itu. Ia menyukai setiap rintihan dan erangan sang anak.
.
DUAGH!—Pukulan terakhir di tubuh Sakura itu membuat Sasuke sedikit terengah-engah. Dadanya naik-turun dengan dengusan amarah. Namun dia belum selesai menyiksa gadis kecil itu.
Ia belum puas.
Sakura yang meringkuk dilantai hanya bisa gemetaran ketakutan, wajah dan tubuhnya membiru dihajar oleh Sasuke. Bahkan bercak darah masih menempel di kening dan hidung gadis kecil itu. Yang bisa dilakukannya hanya menangis dalam diam. Merintih selama suaranya masih dapat dikeluarkan.
Sasuke menatap Sakura dengan pandangan berkilat emosi, suaranya masih menggeram berat, kemudian ia beranjak dari sana dan pergi ke arah dapur.
Ia menenteng termos air panas keluar dari tempat itu. Suara kekehnya semakin nyaring. "Kenapa kau masih hidup?—Aku ingin kau mati. Segera." Desisnya lagi.
Sasuke membuka tutup botol termos tadi.
Sakura yang berada dilantai mencoba menggeleng pelan, "Papa—jangan—hiks—badanku sakit—hiks—"
"Tenang saja—aku akan menghilangkan rasa sakitmu." Sahut sang Uchiha lagi. Ia terkekeh sebentar seraya menjulurkan termos tadi tepat di atas tubuh anaknya. "—Ini tidak akan lama." Tepat ketika ucapannya itu, tangannya segera menumpahkan air panas dari dalam termos ke arah Sakura.
"AAAARGGGHHH!—" Sakura menjerit keras hingga paru-parunya sakit, namun rasa sakit itu kalah oleh air panas yang menyiram kulitnya. Tubuhnya mengejang hebat menahan rasa perih, dan berusaha meronta sekuat tenaga.
Ada desisan nyaring saat kulitnya dan cairan panas itu bertemu. Melepuh dan memerah. Kulit Sakura yang semula bersih mulus itu kini terkelupas secara perlahan dengan daging merah muda yang basah. Rambut pink yang halus itu mulai rontok sedikit demi sedikit seiring terkelupasnya kulit kepala bertemu dengan air panas.
Sasuke tertawa terbahak-bahak. Ada rasa kepuasaan saat menyiksa gadis berambut pink yang mengingatkannya pada sang istri itu.
Mata onyx sang Uchiha melirik sekilas ke arah tubuh kecil yang tidak lagi berteriak itu. Hanya jeritan sunyi yang terus mengatakan 'mama, tolong—mama, tolong aku—'
Heh!—Menyedihkan.
Sasuke tertawa untuk terakhir kalinya sebelum kembali meringkuk di sofa. Meninggalkan sang anak yang gemetaran kesakitan menahan rasa melepuh yang menyakiti kulitnya.
Kini tidak ada suara yang mengganggunya lagi... Kini, ia bisa beristirahat dengan tenang seraya menggumamkan nama 'Naruto'.
.
.
.
.
.
_Konoha's Church, Pukul 10.00 Pagi_
.
Pagi itu, suasana di gereja Konoha terlihat ramai dengan beberapa tamu yang menghadiri pesta undangan pernikahan Naruto dan Hinata. Beberapa orang penting termasuk kolega Hyuuga's Corp pun ikut meramaikan acara penting itu, tidak terkecuali karyawan dari Namikaze's Corp sendiri.
Di tempat lain, Naruto masih duduk dengan gelisah di sebuah ruangan yang ditujukan untuk mempelai pria. Ia melirik ke arah ponselnya yang di non-aktifkan sejak kemarin. Berharap tidak ada yang menghubunginya saat acara pernikahannya berlangsung. Ia mencoba tidak goyah dengan keputusannya sekarang ini. Dan berusaha melupakan Sasuke secepat yang bisa dilakukan otaknya.
Namun perasaan mengkhianati otaknya, jarinya bergerak untuk mengaktifkan kembali ponselnya. Dan jantungnya berdetak saat melihat puluhan dan panggilan dari Sasuke. Ia mencoba membalas panggilan pemuda yang disayanginya itu, namun gerakannya terhenti saat menyadari bahwa ia akan menikah hari ini.
.
Tok—Tok—Tok—Ketukan halus dari arah pintu membuat sang Uzumaki menoleh malas. Sapphire nya menemukan sosok Hinata berbalut gaun pengantin yang cantik sedang tersenyum lembut ke arahnya.
Naruto hanya mendengus kecil, "Kau tahu, kan—kalau calon mempelai tidak boleh saling bertemu sebelum naik ke altar?"
Hinata terkikik kecil, "Aku tidak sabar untuk menemuimu, Naruto-kun. Apa kau sudah selesai?"
Naruto mengangguk sambil merapikan tuxedo hitam nya, "Ya—Apakah paman Hiashi sudah datang?"
Hinata mengangguk, "Semua tamu sudah menunggu kita, kau sudah siap?"
"Sangat siap—" Sahut Naruto seraya bangkit dari kursi, sambil membawa ponselnya,"—ayo kita pergi." Ajaknya lagi.
Hinata mengangguk kecil kemudian menggandeng tangan calon suaminya itu.
.
Tepat ketika mereka hampir bersiap memasuki gereja, mata biru Naruto sempat menangkap sosok Ino yang terlihat gelisah sambil melirik jam tangannya. Sang Uzumaki melepaskan pegangan Hinata dari lengannya secara perlahan.
"Sebentar, Hinata—aku ingin menemui temanku dulu." Ucapnya meminta ijin yang disambut anggukan setuju dari calon istrinya.
Naruto bergegas ke arah Ino dan menepuk pundak gadis pirang itu, "Ino-san, ternyata kau juga datang, dengan siapa kesini?" Tanya pria itu sedikit berbasa-basi.
Ino menatap Naruto sambil tersenyum kecil, "Iya, sejujurnya aku berencana datang dengan Sasuke, namun sejak kemarin ia tidak berada dikantor, dan tadi pagi, nomornya juga tidak aktif."
"Begitukah?—" Tanya Naruto sedikit khawatir.
Ino yang melihat perubahan raut wajah pemuda itu hanya tersenyum kecil, "Sudahlah, tidak perlu terlalu gelisah, mungkin saja Sasuke sedang sibuk dengan anaknya. Lagipula—" Wanita itu melirik Naruto dari atas hingga bawah, "—Aku tidak menyangka, kalau cowok yang selalu di-bully dan diejek miskin sepertimu bisa sukses seperti ini. Kalau tahu begitu, sudah sejak dulu saja aku pacaran denganmu." Lanjut Ino seraya menghela napas lelah.
Naruto hanya diam, tidak mempedulikan celetukan wanita pirang disebelahnya itu. Otaknya terus berpikir apa yang sedang dilakukan oleh Sasuke sekarang ini.
.
"Naruto—" Hinata memanggil lembut, "—Acara akan dimulai. Ayo kita segera masuk." Ajaknya lagi seraya menggandeng sang calon suami menjauh dari Ino.
Naruto hanya mengangguk kecil, kemudian tersenyum tipis, "Iya—ayo kita selesaikan acaranya."
.
.
.
.
_Uchiha's Apartement, Pukul 10.10 Pagi_
.
Pagi itu, sinar mentari masuk melalui celah-celah jendela dan menusuk kelopak mata sang onyx yang bengkak karena terus menangis. Sasuke mencoba mengerjap perlahan untuk membiasakan sinar matahari tadi di retinanya. Matanya mencoba melirik ke arah jam dinding di ruang tamu.
Pukul 10.10 pagi. Acara pernikahan Naruto akan berlangsung sebentar lagi. Tetapi Sasuke tidak peduli, ia terlalu sedih. Yang dibutuhkannya hanyalah makanan. 2 hari tidak makan membuat tubuhnya kurus dan kelaparan. Sekaligus stres.
Sasuke menyentuh keningnya yang berdenyut sakit, namun gerakannya terhenti saat melihat ada noda darah di tangannya.
Pria Uchiha itu membeku.
—Darah siapa? Apakah aku mimisan? Tidak—ini bukan mimisan. Batin pemuda itu lagi.
Sasuke menatap tongkat golf yang teronggok dibawah sofa. Kemudian onyx nya kembali melebar melihat bercak merah di kepala tongkat itu.
—Oh tidak!—Apa yang sebenarnya terjadi.
Tepat ketika Sasuke ingin mengambil tongkat tadi, suara rintihan seseorang membuat gerakan sendinya terhenti. Ia melirik ke pojok ruangan dan menemukan seonggok tubuh sedang meringkuk dengan badan gemetaran.
—Siapa? Sakura?
Sasuke beringsut perlahan dengan jantung berdebar. Tubuh itu terus menggigil dengan rintihan sakit dan beberapa bercak darah di badannya. Pemuda Uchiha itu mengenal rambut pink yang sedang meringkuk disana.
—Kenapa anaknya bisa tertidur disana?
"Saku—" Tepat ketika Sasuke mencoba memanggil buah hatinya itu. Sang anak langsung terlonjak dan mundur ketakutan.
"Jangan—hiks—papa, jangan pukul Sakura lagi—hiks—maaf—" Lirih gadis mungil itu dengan tubuh menggigil karena melepuh.
Sasuke terkejut, mata onyx nya terbelalak ngeri menatap tubuh sang anak yang membiru serta terkelupas menampilkan daging merah muda yang basah.
—Oh Tidak!—Oh Tidak!—Ada apa ini?!
"Sakura!—Apa yang sebenar—"
"ARGHH!—PERGI!—JANGN MENYENTUHKU!—MAMA, TOLONG!—" Sakura menjerit keras saat tangan Sasuke terjulur untuk menyentuhnya.
"Sakura—ini papa, ada apa sebe—" Belum sempat Sasuke menyelesaikan kalimatnya, suara dengingan di kepala membuat koordinasi tubuhnya tidak seimbang. Rasa nyeri dan sakit bercampur aduk di sel-sel otaknya, "—Apa yang—ughh!—kepalaku—"
Sasuke tersungkur di lantai sambil mencengkram kepalanya, mata onyx berusaha memandang Sakura yang menatap ngeri dan ketakutan ke arahnya. Pikirannya berkecamuk dengan kejadian semalam.
—Apa yang membuat Sakura ketakutan?
—Kenapa dengan tubuh anaknya?
—Ada apa sebenarnya ini?
.
"Papa—hiks—tolong, aku lapar—" Gadis itu menangis.
"DIAM!—" Sasuke meraung keras. Ia melirik Sakura galak, mata onyx nya berkilat tajam, "—Kau merusak segalanya, Sakura." Desisnya sinis.
Gadis mungil itu menggigil ketakutan, ia mundur perlahan, "Papa—"
"AKU MEMBENCIMU, SAKURA!" Tepat ketika Sasuke berteriak keras, ia langsung menyambar lengan anaknya itu dan melemparnya ke lantai.
.
Seperti kilatan kejadian yang cepat, potongan gambar itu masuk ke sel-sel otaknya tidak terkendali, membuat Sasuke tersentak kaget.
—A—Apa yang tadi itu?
Mata onyx nya menatap lebar ke arah anaknya.
Oh tidak!—Oh tidak!
.
DUAGH!—Sasuke menendang perut anaknya itu dengan kasar. Tubuh mungil gadis itu terpelanting 1 meter dari tempatnya terjatuh. Mata hitam Sakura terbelalak merasakan perih ketika lambungnya ditendang. Napasnya untuk sesaat terhenti karena rasa sakit. Kemudian ia mulai terbatuk darah.
"Papa—ghok—hiks—ohok—sakit, Pa—" Rintih sang anak lagi. Tubuhnya gemetaran saat Sasuke bergerak maju kearahnya.
Pria Uchiha itu tidak mempedulikan tangisan sang gadis kecil, dengan cepat ia menyambar rambut pink yang dibencinya itu, dan sekali lagi melemparkannya ke sisi meja dengan suara -BRUAK!- nyaring.
Lagi-lagi tubuh ringkih itu menghantam sisi meja dengan keras. Membuat Sakura meraung kesakitan. "ARGHH!—PAPA!—SAKIT!"
.
Lambung Sasuke menggelegak, rasa mual dan pusing mulai menggerogoti kesadarannya. Potongan gambar itu terus berdatangan layaknya shutter kamera yang ditekan terus menerus tanpa berhenti. Pemukulan yang dilakukannya, dan penyiksaan pada Sakura, semua hal itu datang silih berganti di kepalanya. Seperti mimpi buruk yang menghantuinya setiap malam.
Tidak!—Tidak!—Tidak!—Sasuke mencengkram kepalanya dengan mata terbelalak ngeri.
—Aku tidak mungkin menyiksa anakku sendiri—Tidak!—Tidak!—Tolong katakan ini tidak terjadi!
Gejolak di lambungnya membuat tubuh kurus itu tersentak. Sasuke mencengkram lantai, kemudian berusaha untuk muntah, namun perutnya yang kosong hanya bisa mengeluarkan udara hampa.
Sasuke menatap tangannya yang masih bernoda cairan merah amis itu, "Tidak—" suaranya lirih dengan getar ketakutan, "—tidak mungkin—" rasa shock membuat pemuda Uchiha itu menggigil.
.
"AAAAARRRGGGHH!—" Sasuke meraung keras layaknya orang gila.
.
.
.
.
_Konoha's Church, Pukul 11.00 Pagi_
.
Naruto berdiri dengan tegap di sisi altar dengan tuxedo hitam yang menawan. Dihadapannya, Hinata tersenyum lembut dengan gaun pengantin putih dihias renda lavender lembut, membuatnya semakin cantik dan menggoda.
Wanita itu tersenyum kecil, "Aku gugup—" Ucapnya tanpa bisa menghentikan senyum senangnya.
Naruto membalasnya dengan senyum tipis, "Ya—aku juga." Sahutnya lagi seraya menatap ke arah para tamu, termasuk ke arah Paman Hiashi dan Neji, serta ayahnya yang tersenyum kecil.
Naruto menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Berusaha tetap fokus pada pernikahannya dan mencoba tidak memikirkan apapun sekarang ini.
.
"Hinata Hyuuga—" Suara pendeta sudah memasuki kalimat pengikraran janji, "—Bersediakah anda mencintai dan menghargai, baik dalam keadaan sakit maupun sehat, dalam keadaan susah maupun senang, untuk menjadi pendamping hidup pria disebelah anda hingga maut memisahkan kalian?"
Kalimat yang pernah didengar Naruto tujuh tahun yang lalu membuat konsentrasinya sedikit buyar. Pemuda itu bahkan tidak mendengar kalau sang calon istri sudah menjawab dengan ucapan 'Aku bersedia.'
Pendeta mengangguk pelan, lalu beralih pada mempelai pria, "Uzumaki Naruto—Bersediakah anda mencintai dan menghargai, baik dalam keadaan sakit maupun sehat, dalam keadaan susah maupun senang, untuk menjadi pendamping hidup wanita disebelah anda hingga maut memisahkan kalian?" Ucap pendeta tadi.
Naruto menatap Hinata sebelum membuka suara.
"Aku bersed—"
.
Riiingg!—Riiiing!—Suara dering ponsel membuat suasana sunyi yang khidmat itu langsung diwarnai protesan dan erangan kecil dari tamu karena proses pernikahan yang terganggu.
Naruto bergerak panik sambil menyentuh kantong jasnya dan langsung menatap layar ponselnya setelah meminta maaf pada para tamu undangan.
Nama Uchiha Sasuke tertera disana.
Naruto gelisah, haruskah ia mengangkatnya? Atau memilih tidak mempedulikannya?
Mata sapphire nya menatap Hinata dan ponselnya secara bergantian. Wajah gadis indigo itu terlihat penasaran sekaligus tidak sabaran.
Sedikit terpaksa, Naruto menyentuh layar ponselnya untuk menerima panggilan dari pemuda onyx itu.
"Sasuke—aku sedang melangsungkan pernikahan, bisakah kau—"
.
"Naruto!—Tolong!—hiks—Tolong Sakura!" Sela Sasuke dengan nada panik, bahkan tidak memberikan kesempatan pada Naruto untuk menyelesaikan kalimatnya.
.
"A—apa maksudmu, Sasuke? Ada apa dengan Sakura?" Tanya Naruto lagi, bingung.
.
Ada isak tangis sebelum Sasuke kembali menjawabnya, "Aku—aku memukulnya—hiks—Sakura berdarah. Dia akan meninggal—hiks—anakku sekarat. Tolong!—tolong aku!"
.
Naruto membelalakkan sapphire nya, "Kau—apa?!—Jangan bercanda, Teme!" Seru pemuda pirang itu kesal.
.
Bukannya balas meneriaki Naruto, Sasuke hanya bisa menangis dan terus terisak, suaranya bergetar kecil, "Tolong anakku—Sakura akan mati—hiks—Naruto, tolong aku."
.
Naruto menggeram kesal, "DENGAR, TEME!—AKU LELAH DENGAN CANDAANMU, MENGERTI!" Raungnya keras seraya mematikan ponselnya dengan cepat. Membuat para tamu undangan tersentak kaget termasuk Hinata yang menatapnya dengan pandangan terkejut.
"Na—Naruto-kun, ada apa?" Tanya gadis itu lembut.
Naruto hanya menggeleng pelan, "Bukan apa-apa—" Jawabnya cepat kemudian beralih menatap pendeta, "—Maafkan aku soal tadi, bisa diulang kembali?"
Sang pendeta mengangguk dan berusaha berdehem untuk mencairkan suasana yang tegang. Naruto hanya diam tidak mendengarkan perkataan sang pendeta. Pikirannya terus berkecamuk dengan telepon Sasuke tadi.
—Apa benar Sakura sekarat?—Tidak!—Ia yakin Sasuke hanya ingin mengganggu acara pernikahannya.
"Na—Naruto-kun—" Hinata memanggil lembut. Membuat sang mempelai pria tersentak pelan.
"Ah—ya? Ada apa?"
Wanita itu mencoba tersenyum, "Jawabanmu—"
"Eh?"
"Ikrar pernikahan, Naruto-kun. Katakan 'aku bersedia', begitu." Bisik Hinata lagi, tidak enak dengan pandangan para tamu yang menunggu lama.
Naruto terdiam membeku. Otaknya penuh dengan suara tangis dan panik dari Sasuke. Ia mencoba tidak mempedulikan setiap perkataan pemuda onyx itu, tetapi entah kenapa, di lubuk hatinya, ada rasa nyeri saat ia mengabaikan orang yang disayanginya itu.
Hinata mencengkram lengan calon suaminya itu, "Naruto-kun—"
Naruto menatap iris lavender sang gadis, kemudian tersenyum tipis, "Aku—" Ada jeda sebelum ia menyelesaikan kalimat selanjutnya, "—minta maaf."
"A—Apa?" Hinata tersentak kaget. "—Apa yang kau katakan, Naruto-kun?!" Ucap gadis itu yang mulai emosi.
Naruto melepaskan cengkraman Hinata dari lengannya, "Maafkan aku. Aku tidak bisa menikah denganmu—" Tepat setelah ucapannya itu, sang Uzumaki langsung bergerak keluar menuju pintu gereja.
"KAU DIPECAT!—KAU TIDAK AKAN MENDAPATKAN PERUSAHAANKU, NARUTO!—KAU AKAN KEMBALI MISKIN!" Teriak Hinata meradang.
Naruto berhenti bergerak. Ia membeku sesaat sebelum berbalik dan tersenyum lebar, "Sekali lagi maaf, tetapi aku tidak butuh kekayaan. Yang kubutuhkan hanya Sasuke." Kemudian segera melesat pergi dari tempat itu, meninggalkan bisikan dan protesan dari para tamu undangan. Termasuk paman Hiashi yang marah dan Neji yang murka.
Tepat ketika Neji ingin mengejar Naruto, Hinata langsung menghentikan gerakan kakaknya itu, "Lupakanlah, Nejii-niisan, ia tidak akan kembali."
"Tetapi Hinata—"
"Neji-niisan—bisakah kita pulang?" Pinta Hinata mencoba tersenyum paksa.
"Kau yakin akan baik-baik saja?" Sang kakak mengkhawatirkan adiknya itu.
Hinata menggeleng, "Aku tidak baik-baik saja, tetapi ketika melihat senyum Naruto saat itu, aku baru sadar kalau pemuda itu bisa tersenyum sangat menawan demi Sasuke. Senyum lebar yang tidak pernah ditunjukkannya pada orang lain." Ucapnya seraya menyeka air mata di pipinya.
Neji terdiam, lalu menghela napas lelah, "Baiklah, aku mengerti. Kita akan pulang." Lanjutnya sambil melirik ke arah Minato yang sibuk membungkuk minta maaf pada paman Hiashi atas sikap anaknya.
.
.
.
.
—BRAAK!—Pintu depan apartemen Sasuke didobrak paksa oleh Naruto. "SASUKE!—KAU DIMANA?!" Teriak pemuda pirang itu panik. Terlebih lagi melihat beberapa perabotan rumah yang jatuh tidak beraturan di ruang depan.
"SASUKE!—" Naruto kembali memanggil pria Uchiha itu, ia bergerak cepat menuju ruang depan, namun gerakannya terhenti saat melihat sosok Sasuke yang membungkuk di pojok ruangan sambil menangis.
"Sasuke?—" Naruto melesat cepat ke arah pemuda yang disayanginya itu, "—Ada ap—" Lagi-lagi kalimatnya tercekat ditenggorokan saat menatap sosok tubuh Sakura yang melepuh dan sekarat di lantai.
"SAKURA!—" Naruto berlutut cepat dengan panik, ia ingin menggendong anak itu dan membawanya ke rumah sakit, namun kulitnya yang melepuh membuat pemuda itu tidak bisa menyentuhnya sama sekali. Ia melirik Sasuke dengan kilat tajam, "—Apa yang kau lakukan pada Sakura, Teme?!"
Sasuke hanya terisak dengan tubuh gemetaran, "Tolong—hiks—tolong Sakura—Anakku akan mati—"
Naruto mengepalkan tangannya, geram. Ingin sekali rasanya menghajar wajah pemuda onyx itu, namun melihat keadaan Sasuke yang menyedihkannya seperti ini, Naruto hanya bisa meredam emosinya, "Baiklah, tunggu disini, aku akan mengambil selimut untuk menutup tubuh Sakura, dan kita akan segera ke rumah sakit." Ucap sang Uzumaki lagi yang ditanggapi dengan isakan dan tangisan Sasuke.
.
.
.
_Konoha's Hospital, Pukul 13.00 Siang_
.
Sasuke duduk di samping ranjang Sakura yang sedang terlelap tidur dikasur rumah sakit. Sesekali tubuh pria itu terguncang pelan mengingat kejadian semalam saat dirinya menyiksa buah hatinya itu. Suara isak tangis masih terdengar dari bibirnya yang pucat walaupun samar-samar.
Cklek—Pintu kamar pasien terbuka, menampilkan sosok Naruto yang masuk sambil membawakan buah dan beberapa makanan. Ia menatap pria Uchiha itu dengan pandangan sendu, namun segera menyembunyikannya dengan senyum tipis.
"Dokter mengatakan padaku kalau kondisi Sakura mulai membaik." Naruto mulai membuka suara, "—Jadi kau harus membaik juga, Sasuke. Makanlah dulu." Lanjut pemuda pirang itu seraya menyodorkan sepotong roti ke arah Sasuke.
"Kau bohong—" Ucap Sasuke singkat tanpa mengambil sodoran roti itu, "—Sakura tidak baik-baik saja."
Naruto terdiam, gurat sedih terpasang di wajahnya, "Sakura sudah melewati masa kritis, kita hanya perlu menunggunya siuman dari koma."
"Bagaimana kalau ternyata—" Sasuke meneguk ludahnya yang tercekat di tenggorokan sebelum melanjutkan ucapannya, "—Sakura tidak akan bangun?"
"Sasuke—"
"Ini—semua salahku—" Tubuh kurus itu kembali terguncang, "—aku dan kebodohanku—" Lirihnya lagi.
Naruto memeluk tubuh Sasuke dari belakang, "Kita akan berdoa untuk keselamatan Sakura, oke?—Dia akan baik-baik saja."
Sasuke mengangguk pelan seraya menggigit bibirnya yang bergetar. Cairan being itu terus meleleh dari kelopak matanya tanpa bisa dihentikan. Rasanya sakit melihat darah daging sendiri berjuang antara hidup dan mati di ranjang rumah sakit, dan Sasuke sadar, semua itu karena kesalahannya.
.
Brak!—Pintu kamar pasien dibuka paksa, menampilkan sosok Fugaku yang berkilat tajam. Matanya menjelajah hingga menemukan sosok Sasuke yang menatapnya dengan pandangan ketakutan.
"A—ayah—"
"Apa yang kau lakukan pada Sakura?" Desis Fugaku sinis.
Sasuke mundur dengan gugup, ketakutan. "A—Ayah, aku menyesal."
"KAU MENYESAL?!" Fugaku menyambar lengan Sasuke dan menyentaknya kasar. "—SETELAH APA YANG KAU LAKUKAN PADA SAKURA, LALU KAU MENYESAL, BEGITU?!—GAMPANG SEKALI KAU BICARA!" Raung sang kepala keluarga Uchiha itu seraya mengepalkan tangannya kuat-kuat dan mulai melayangkan tinjunya ke arah wajah Sasuke.
Pemuda onyx itu mencoba memejamkan matanya erat menunggu pukulan dari sang ayah.
.
.
.
DUAGH!—Pukulan sudah dilayangkan dengan keras, namun tubuh maupun wajah Sasuke tidak terasa sakit sama sekali. Sedikit bingung, ia membuka matanya perlahan dan melihat Fugaku tersungkur di lantai, sedangkan disebelahnya Naruto terengah-engah dengan mata berkilat tajam setelah memukul laki-laki itu.
Fugaku menoleh ke arah orang yang memukulnya, "Kau—" Ia mendesis seraya menunjuk wajah Naruto dengan geram, "—Aku ingat denganmu. Kau anak miskin itu. Apa yang kau lakukan di sini, Brengsek!"
Belum sempat Naruto menjawab, salah seorang anak buah Fugaku berbisik perlahan di telinga bos nya itu, "A—Apa?!—Anak ini pimpinan perusahaan Namikaze's Corp?!—YANG BENAR SAJA!" Raung Fugaku seraya bangkit dari lantai.
Naruto merapikan jas nya dengan pelan, "Ya, dulu—sekarang aku dipecat." Sahutnya santai, tanpa mempedulikan Sasuke yang meliriknya kaget.
"Kau—apa?—Kenapa bisa dipecat?" Tanya pemuda onyx itu.
Naruto hanya melempar senyum ringan, "Sejak aku menolak menikah dengan Hinata. Dia langsung memecatku saat itu juga."
"Kau dipecat—apa itu karena aku?" Tanya Sasuke lirih.
Naruto tertawa, "Tentu saja itu karenamu, sebab aku lebih memilihmu dibandingkan Hinata." Sambungnya lagi.
Fugaku yang melihat itu hanya menggeram marah, "Kau akan tahu akibatnya karena barmain-main denganku, kid." Ia mengangkat tangan, menyuruh para anak buahnya untuk bersiap menghajar Naruto.
.
"Kau tahu tuan Uchiha Fugaku, membuat keributan di rumah sakit tidak bisa ditolerir." Suara seseorang mengiterupsi suasana panas itu.
Naruto menoleh dan terbelalak kaget menatap sosok Hinata berdiri di ambang pintu sambil menenteng bunga dan buah, "Hinata-san, sedang apa kau kemari? Aku pikir kau—"
"Membencimu, begitu?" Sahut Hinata yang disambut anggukan kepala oleh Naruto. Gadis itu tertawa lembut, "—Bagaimana mungkin aku membenci orang yang aku cintai." Ucapnya lagi, namun ia langsung terlihat salah tingkah saat melihat sosok Sasuke, "—uhm—maksudku cinta sebagai seorang teman."
Sasuke tidak menjawab, ia menatap gadis itu dengan pandangan heran, "Lalu—bagaimana kau bisa tahu kami disini? Dan apa yang kau lakukan disini?"
Hinata bergerak menuju ke sisi ranjang Sakura, dan meletakkan buah tangannya di atas meja kecil disana, "Kau tahu, aku punya banyak 'telinga' untuk mengetahui berita penting, lagipula aku disini untuk bertemu dengan Naruto—membicarakan tentang perusahaan Namikaze's Corp."
Begitu mendengar nama Namikaze's Corpn disebut, wajah Naruto mulai menegang, ia tahu betul apa maksud perkataan wanita itu, "Aku mengerti, besok aku akan segera mengirimkan surat pengunduran diriku." Sahut pemuda pirang itu.
Hinata tersenyum lembut, "Ya—aku ingin segera kau mengundurkan diri Namikaze's Corp—" Gadis itu menoleh ke arah Naruto dan lagi-lagi tersenyum kecil, "—Kemudian ambil alih perusahaan Uchiha's Corp dengan kau sebagai president direktur disana."
"A—APA?!" Naruto dan Fugaku berteriak bersamaan. Terkejut dengan ucapan wanita itu.
Hinata tertawa kecil, kemudian menatap Fugaku tajam, "Tidakkah tuan Uchiha Fugaku ingat tentang hutang piutang yang anda pinjam dari perusahaan Hyuuga?—Kalian belum membayarnya hingga sekarang, jadi sesuai perjanjian, aku yang akan ambil alih perusahaan Uchiha's Corp."
"Ta—Tapi—" Fugaku mencoba mengeluarkan kalimat protesan, namun tangan Hinata terangkat untuk menyuruhnya diam.
"Kalau anda ingin mengeluarkan keluhan, katakan saja pada Naruto-kun, sebab dia yang mengambil alih Uchiha's Corp mulai dari sekarang." Lanjut Hinata tidak peduli.
Naruto masih menatap gadis itu dengan heran, "Tetapi Hinata-san, aku pikir—"
"Kau tidak perlu berpikir, Naruto-kun, anggap saja ini sebagai hadiah dari seorang sahabat. Dan untuk Namikaze's Corp, kau tidak perlu cemas, Neji-niisan yang mengambil alih perusahaan itu." Kata Hinata sambil tersenyum pada Naruto dan Sasuke.
"Tunggu dulu!—" Fugaku menyela, "—Kalau anak ingusan ini memimpin perusahaan, bagaimana dengan jabatanku? Kau tidak bisa melakukan hal ini, Nona Hyuuga!"
Hinata mendengus kecil, "Jabatanmu ya?—aku rasa Naruto tahu benar, jabatan apa yang cocok untukmu."
Naruto menarik sudut bibirnya kecil, "Kalau tidak salah, jabatan kepala office boy masih kosong. Mungkin kau cocok disana, Tuan Uchiha."
"A—APA?! JANGAN BERCANDA, BRENGSEK!" Raung Fugaku marah. Ia hampir menerjang ke arah Naruto, namun anak buahnya langsung menahan lengannya dengan cepat. "—Lepaskan!—Apa yang kalian lakukan, idiot!"
Salah seorang anak buahnya membuka suara, "Maaf, Fugaku-san, tetapi anda bukanlah bos kami lagi. Pimpinan kami sekarang adalah Naruto-sama."
"Apa?!—Kalian tidak bisa melakukannya padaku!" Jerit Fugaku marah.
Naruto menyeringai kecil, kemudian menjentikkan jarinya, angkuh, "Bawa tuan Uchiha Fugaku, pergi dari sini." Perintahnya yang disambut bungkuk hormat dari para anak buahnya.
Sasuke hanya menatap diam ketika melihat ayahnya diseret menjauh dari rumah sakit. Sejujurnya—ia tidak peduli dengan ayahnya lagi, sebab yang dipikirkannya sekarang adalah kesembuhan Sakura.
Hinata yang melihat perubahan raut wajah Sasuke hanya mencoba tersenyum tipis, "Tenang saja, Sasuke. Aku kenal dengan beberapa dokter handal. Mereka bisa menyembuhkan anakmu."
Sasuke mengangguk perlahan, "Terima kasih, Hinata—kau sudah memberikanku segalanya. Termasuk Naruto."
"Bukankah itu gunanya teman?" Sela Hinata dengan tawa renyah miliknya.
Naruto tersenyum, "Tetapi jujur, aku tidak bisa menerima seluruh kebaikanmu, Hinata. Aku—"
"Naruto-kun—" Hinata memotong perkataan pemuda pirang itu dengan cepat, "—cukup berjanji satu hal padaku—" Ia menatap sang sapphire dengan tajam, "—Bersediakah kau membahagiakan Sasuke mulai dari sekarang dan selamanya."
Naruto terdiam sebentar mendengar perkataan gadis itu, kemudian ia tersenyum seraya menggenggam tangan Sasuke dengan erat, "Aku bersedia."
Hinata beralih menatap sang Uchiha, "Dan kau, Sasuke—bersediakah memberikan seluruh kebahagiaanmu pada Naruto hingga maut memisahkan kalian?"
Sasuke membalas genggaman Naruto di tangannya, ia mengangguk tegas, "Aku bersedia—"
Hinata tersenyum lembut, "Lihat?—Pernikahan tidak perlu dilakukan di ruangan mewah atau gereja megah. Kalian hanya harus percaya satu sama lain dan perasaan kalian pun akan terikat." Lanjutnya seraya bergerak menuju pintu keluar.
"Hinata-san—" Naruto mencoba memanggil wanita itu, namun Hinata hanya melambai pelan tanpa berbalik.
"—Berbahagialah. Dan jangan membuat orang lain susah lagi." Ucap sang gadis indigo seraya menutup pintu dengan pelan. Meninggalkan Sasuke dan Naruto di dalam kamar.
.
.
"Kau menangis—" Suara Neji yang sejak tadi berdiri di depan pintu kamar sedikit membuat Hinata tersenyum.
"Yeah—aku tahu. Tapi tenang saja, ini air mata bahagia kok." Ucap Hinata seraya menggandeng kakaknya itu menjauh.
"Hinata-san, kau yakin dengan keputusan ini? Maksudku, menyerahkan Uchiha's Corp pada Naruto?" Tanya Neji lagi.
"Ya—lagipula ada Sasuke yang akan membantunya disana. Jadi kurasa, itu bukanlah keputusan yang buruk." Jawab sang gadis Hyuuga lagi.
Neji tersenyum kemudian menepuk puncak kepala sang adik, "Baiklah kalau begitu, Bagaimana kalau sekarang kita makan es krim untuk merayakan patah hatimu."
"Neji-niisan—" Gerutu Hinata seraya meninju pelan pundak pemuda itu. Kemudian tertawa kecil, "—Terima kasih."
.
.
.
.
.
_Omake_
.
.
2 tahun Kemudian
.
.
Fugaku terlihat menggerutu di salah satu pojok ruangan. Ia bergerak kesana kemari dangan sibuk, sesekali tersandung sapunya sendiri karena berusaha membersihkan ruangan Uzumaki Naruto, sang president direktur Uchiha's Corp.
Sasuke yang duduk di sofa bersama Sakura, hanya tertawa cekikikan melihat tingkah mantan orang terhormat itu. Bahkan gadis mungil yang sudah berusia 7 tahun itu tertawa keras saat kakeknya terjatuh akibat membersihkan lemari yang penuh debu.
Sakura berlari ke arah sang kakek dan membantunya berdiri, "Kakek lucu—mau Sakura bantu?"
"Ughh—tidak perlu—aku bisa sendiri, Sakura-chan—Aww—" Fugaku meringis saat nyeri punggungnya kembali kambuh.
Sasuke tidak bisa menahan tawanya lagi, dan terkikik di balik bantalan sofa.
Memperkerjakan ayah sendiri sebagai 'office boy pribadi' memang terdengar keterlaluan, tetapi hal itu pantas untuk dilakukan.
.
Cklek!—Pintu ruangan kerja itu terbuka, menampilkan sosok Naruto yang masuk dengan tawa lebarnya.
Sakura yang sedang membantu sang kakek berdiri langsung melepaskan pegangannya dan memilih berlari menerjang pria pirang itu. Meninggalkan Fugaku yang kembali terjungkal ke lantai.
"Ayah!—" Seru Sakura riang.
"Sakura-chan, bagaimana kabarmu?" Tanya Naruto seraya menggendong anak itu.
"Baik!—Aku dan papa sudah menunggu ayah. Kami rindu dengan ayah." Celoteh Sakura sambil berteriak 'banzai' berkali-kali.
Naruto tertawa dan melirik ke arah Sasuke, "Merindukanku, sayang?" Ucapnya sambil melandaskan kecupan singkat di kening sang onyx.
Sasuke tersenyum, "Ya—aku dan Sakura merindukanmu. Termasuk ayah mertuamu." Katanya sembari melirik ke arah Fugaku yang menggeram kesal melihat anaknya dicium oleh Naruto.
Fugaku memang membenci Naruto, namun rasa bencinya tidak sebesar dulu. Bagaimana pun juga Sasuke dan Naruto sudah hidup bersama sekarang. Mau tidak mau, Fugaku harus merestui hubungan mereka.
Naruto yang melihat pandangan tajam Fugaku hanya tersenyum lebar, "Apa kabar, ayah mertua."
"Diam, brengsek!—Jangan karena kau mendapatkan hati anakku dan hati cucuku kau jadi sok akrab denganku. Itu tidak akan pernah terjadi sampai kiamat." Desis Fugaku sambil mengayunkan sapunya ke arah Naruto. Namun gerakannya dihentikan oleh Sakura yang memeluk pinggang sang kakek.
Naruto tertawa hambar, kemudian berbisik pelan pada Sasuke, "Sepertinya ayahmu masih membenciku."
"Yah—sangat membencimu." Sahut Sasuke lagi, "—Tetapi apa kau serius akan mengundurkan diri dari jabatan president direktur Uchiha's Corp, dan menyerahkannya pada ayahku?"
Naruto tersenyum, "Ya—tetapi aku akan mengudurkan diri kalau Fugaku sudah sadar dengan kesalahannya. Untuk sekarang, mari kita nikmati dulu setiap penderitaan ayahmu itu."
Sasuke tertawa seraya meninju pelan pundak Naruto, "Kau lebih jahat dari ayahku."
"Yup!—Aku sangat jahat." Tawa Naruto lagi, kemudian melirik Sakura, "—Anak itu juga sudah pulih dari luka-lukanya." Lanjutnya.
Sasuke mengikuti arah pandangan Naruto, kemudian tersenyum, "Ya—aku bersyukur Sakura tidak trauma padaku. Dan aku berhutang budi pada Hinata karena mengenalkanku pada dokter yang bisa menyembuhkan kulit Sakura. Sekarang, luka-luka itu tidak akan berbekas di tubuhnya."
Naruto memeluk pundak Sasuke erat, kemudian tersenyum, "Baiklah—karena jadwal rapatku sudah selesai, bagaimana kalau kita jalan-jalan?"
Sasuke menoleh, heran, "Jalan-jalan?"
Belum sempat sang onyx bertanya lebih lanjut, Naruto sudah berseru memanggil gadis mungil itu, "Sakura-chan—Bagaimana kalau sekarang kita jalan-jalan?—Makan di restoran Ichiraku Ramen?!"
Sakura yang mendengar kata 'Ichiraku Ramen' langsung berlari ke arah pelukan Naruto. Lagi-lagi meninggalkan Fugaku yang kembali terjatuh ke lantai.
"YATTA!—RAMEN!" Teriak Sakura senang sambil berteriak 'banzai'.
Tepat ketika Sasuke, Naruto serta Sakura keluar dari ruangan, Fugaku langsung berseru dengan cepat, "H—Hei—hei—bagaimana dengan ayahmu ini, Sasuke?"
Sasuke berbalik, kemudian menampilkan senyum dingin khas seorang Uchiha, "Tolong bereskan ruangan ini lebih bersih lagi ya, Ayah... Bye—"
"Wait?—What!" Seru Fugaku lagi dengan wajah putus asa. Namun mereka terus bergerak dan mengacuhkan Fugaku. Pintu tertutup pelan, meninggalkan laki-laki Uchiha itu yang sibuk menyapu lantai dengan gerutuan kesal.
.
Cklek!—Pintu terbuka lagi. Kepala Naruto menengok ke dalam dan tersenyum ke arah Fugaku, "Ayo kita makan bersama. Kami menungumu di dalam mobil."
Fugaku terdiam kaget mendengar ajakan Naruto, kemudian mendengus kecil, menyembunyikan senyum tipisnya itu, "Kau tahu, aku masih tetap membencimu."
Naruto tertawa renyah, "Ya—aku juga. Tetapi aku tidak bisa membiarkan ayah mertuaku mati kelaparan. Jadi cepat selesaikan pekerjaanmu, oke?"
"A—Apa?—Apa maksudmu dengan 'cepat selesaikan pekerjaanmu' itu?"
Naruto menyeringai kecil, "Siapa bilang kalau ayah bisa langsung pergi tanpa membersihkan ruanganku. Bersihkan dulu, setelah itu, boleh ikut makan siang."
Fugaku bergetar emosi, kemudian meraung keras, "AKU BENAR-BENAR MEMBENCIMU, BRENGSEK!—AKU PASTI AKAN MEMBUNUHMU!" Kemudian melemparkan sapunya ke arah pintu yang langsung di tutup Naruto.
Pemuda pirang itu tertawa keras sebelum beranjak menjauh dari ruangan. Meninggalkan teriakan murka Fugaku dan perabotan yang dibanting.
—Ah—Mulai sekarang hidupnya pasti akan lebih menyenangkan.
Naruto yakin itu.
.
.
.
Fin
.
Woohoo! Akhirnya selesai juga, ngebut seharian. Seharusnya dibagi menjadi dua chapter, tetapi karena aku sudah janji akan langsung tamat chap depan. Jadi, ini dia...Chap terakhir! *tebar-tebar confetti sambil niup terompet*
.
Terima kasih minna-san udah setia ngikutin alur fic gaje ku ini...
.
I love you guys/girls... Sampai bertemu lagi di fic yang lain ... Byeeee~~*crow terbang sambil makan cakes*
.
RnR Please! ^^