[FanFic] being with you

黒子のバスケ © Fujimaki Tadatoshi

being with you © Ai Natha [Alenta93]

inspirated by

Sailor Fuku ni Onegai! – Meca Tanaka

Watashi no Okusuri – Takamiya Satoru

.

Length : 2444 words [epilogue yang kepanjangan]

Pairing : AkashixKuroko | Ogiwara/Kuroko

Genre[s] : AU | Fantasy | Romance

Warnings : shonen ai, possibly OOC

.

.

Epilogue

.

.

"Aku tahu kau tak sabar menunggunya, Kuroko." Ogiwara meletakkan dua kotak bento (bekal makan siang) yang sudah terbungkus rapi dengan furoshiki* di atas meja makan. Manik orange gelapnya mendapati Kuroko tengah berdiri di depan kaca setinggi tubuhnya, menatap refleksi dirinya. Surai blue aquanya masih berantakan seperti biasa, wajahnya masih datar tanpa emosi, namun manik saffirnya tampak lebih cerah dari biasanya. Ogiwara tersenyum.

*) Kain yang biasa dipakai untuk membungkus bento

"Kau mengetahui segalanya, Ogiwara-kun~" Kuroko mencibir.

"Hari ini Seirin ada pertandingan persahabatan, bukan? Apa aku perlu membawakan bekal untuk semua teman satu teammu?" Ogiwara beralih mencuci tangannya di dapur.

"Tidak perlu, Ogiwara-kun. Aku tidak mau mereka memanfaatkan keahlian memasak Ogiwara-kun." Kuroko mengambil bento bagiannya kemudian memasukkannya kedalam tas selempangnya. "Ne, Ogiwara-kun, ini bento untuk siapa?" Kuroko menunjuk satu bungkusan lain yang tergeletak di atas meja.

"Oh, itu untuk―"

Tok tok tok

Mereka berdua mengalihkan pandangan menatap pintu yang di ketuk, sebelum kembali memandang satu sama lain.

"Mou kita no ka? (Ah, dia sudah datang?)" Ogiwara mengulaskan sebuah senyuman, membuat Kuroko mengangkat alisnya. "Tolong kau buka pintunya, Kuroko. Aku mencuci piring sebentar sebelum mengantar kalian ke sekolah." Ujar Ogiwara kembali menyibukkan dirinya.

Kalian? Kuroko semakin mengerutkan dahinya, namun ia tetap beralih membuka pintu usai meletakkan tasnya di kursi ruang makan.

Kuroko masih sibuk dengan pemikirannya saat mendapati sosok pemuda yang tak jauh lebih tinggi darinya dengan setelan gakuran berwarna hitam di balik mantel maroon panjangnya yang mencapai lutut berdiri di balik pintu yang baru ia buka. Sosok pemuda tampan bersurai merah dan berkulit putih dengan eye patch menutupi sebelah matanya.

Kuroko mengerjapkan matanya beberapa kali, ia menelengkan kepalanya. Pemuda ini tak asing baginya. Tapi, siapa? Entahlah, Kuroko tak mengerti, tapi perasaan bahagia dan rindu itu menyeruak dalam dadanya. Segala pikiran menyerbu otaknya, menyusun sebuah puzzle memori yang samar namun mampu menariknya membuat sebuah kesimpulan mengenai sosok di hadapannya ini. Tanpa sadar, Kuroko meneteskan air matanya. Bibirnya bergetar mengucapkan sebuah nama.

"A-ka-shi-kun?"

Pemuda bersurai merah itu tercekat mendapati Kuroko tiba-tiba menangis di depannya. Mengulurkan tangan, pemuda itu merangkul Kuroko. Ia takut terjadi sesuatu dengan pemuda blue aqua ini. Manik crimson kanannya menangkap sebuah ruangan di sudut koridor apato dan membimbing Kuroko untuk masuk kesana―yang ternyata adalah dapur dengan ruang makan―sebelum meminta Kuroko duduk di salah satu kursinya.

Ogiwara menolehkan kepalanya saat ada yang mengunjungi ruang makan. Tersenyum lebar, Ogiwara menyambut kedatangan dua pemuda itu. "Okaeri,*Akashi. (Selamat datang, Akashi.)"

*) Okaerinasai biasa diucapkan oleh orang yang berada di rumah untuk menyambut orang yang baru pulang.

Akashi Seijuurou ―pemuda bersurai merah itu mengalihkan pandangannya sebelum beralih mendekati Ogiwara. Berdiri sejenak di depan pemuda itu, Akashi mengangsurkan secarik kertas sebelum beralih mengambil gelas dan menuang air putih.

Pemuda tinggi itu tersenyum membaca pergerakan bibir Akashi saat mengucapkan, "Hi-sa-shi-bu-ri, Shi-ge-hi-ro. (Lama tak berjumpa, Shigehiro.)" Kemudian Ogiwara melihat bagaimana Akashi membantu Kuroko meneguk air sebelum kemudian mengulurkan jemarinya menghapus lelehan air mata di pipi pucat Kuroko. Ogiwara kemudian membalik tubuhnya dan bersandar pada pantry, memunggungi kedua pemuda itu di meja makan.

"Terima kasih, sudah menepati janjimu, Shigehiro."

Ogiwara terkekeh usai membaca sederetan tulisan rapi milik Akashi pada secarik kertas yang diterimanya. Manik orange kecoklatannya beralih menatap lengan kirinya. Wristband hitam itu masih bertengger disana. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya menahan agar cairan bening itu tak menuruni pipinya. "Semoga kalian bahagia." Gumamnya lirih.

.

*55*

.

Sementara di ruang makan, Akashi menumpu tubuhnya dengan kedua lututnya, setengah berdiri di depan Kuroko. Menggenggam tangan yang bergetar itu. Akashi kemudian menangkup punggung tangan Kuroko sebelum membaliknya menumpukannya di atas paha pemuda itu. Akashi membiarkan telapak tangannya Kuroko menengadah. Dengan raut khawatir, Akashi menyentuhkan jari telunjuknya menuliskan sesuatu.

"Sugoi itai toko aru?"

Pertanyaan itu― Air mata itu semakin deras menuruni pipi pucat Kuroko kala semua memori itu menyeruak dalam kepalanya. Pertanyaan yang sama pernah ia dengar saat ia bertemu dengan pemuda bersurai merah itu. Entah sudah berapa tahun yang lalu. I-inikah, orang yang ditunggunya selama ini? Inikah orang yang dilupakannya selama ini? Batin Kuroko bertanya-tanya.

Saat jemari itu berhenti menuliskan pertanyaan itu di telapak tangannya, Kuroko semakin tak kuasa menahan air matanya. Ia mengusapnya beberapa kali namun perasaan senang dan sakit itu menyerbunya. Kuroko kemudian sedikit membungkuk dan menarik Akashi dalam pelukannya. Rasa hangat itu menguar dari tubuh pemuda bersurai merah itu. Kuroko tak lagi merasa dingin seperti pertemuan mereka pertama dulu. Bahkan tangan pemuda ini juga terasa hangat membelai surai blue aquanya. Bibirnya yang gemetar kembali menyebut nama itu. "Akashi-kun~"

Akashi mengusap punggung Kuroko dan mengelus helaian blue aqua yang amat dirindukannya itu lembut. Akashi mengeratkan pelukannya. Setiap udara yang ia hirup mengandung wangi vanilla yang menguar dari tubuh pemuda dalam pelukannya ini. Wangi yang Akashi suka. Wangi yang amat sangat ia rindukan. Tak lama, Akashi kemudian melepas pelukan Kuroko, ia mengusap lelehan air mata di pipi pucat itu. Akashi kemudian membuka mulutnya. Perlahan ia mengeja frase yang diucapkannya agar Kuroko menangkap apa yang ingin dikatakannya. "Ta-da-i-ma. (Aku pulang.)"

Manik saffir Kuroko beralih fokus pada bibir Akashi yang terbuka. Sebuah frase itu terucap tanpa suara namun disertai dengan sebuah senyuman yang Kuroko rindukan. Menghiraukan rasa sakit yang menyambangi dadanya, Kuroko membalas senyum seraya mengucapkan, "Okaerinasai, Akashi-kun."

Akashi kembali menyentuhkan telunjuknya, menuliskan pertanyaan di telapak tangan Kuroko perlahan.

Kuroko menunggu dengan sabar, mencerna apa yang Akashi tuliskan sebelum berkata, "Tujuh―tujuh belas tahun." menjawab pertanyaan Akashi―"Tetsuya, berapa umurmu sekarang?"

"Dulu, aku bertemu denganmu saat usiamu baru tiga belas tahun." Sejenak Akashi memperhatikan Kuroko dari ujung rambut hingga kaki. Ia mengulaskan senyum sebelum kembali menuliskan. "Zenzen kawaranai. (Kau sama sekali tidak berubah.) Hanya tubuhmu yang bertambah tinggi."

Kuroko melebarkan matanya, "Benarkah?" Tanyanya yang mendapat anggukan sebagai jawaban.

"Saat itu kau lucu dan manis sekali. Kau begitu polos dan aku suka melihatmu mengatasi rasa penasaranmu padaku. Kau ingat saat mengajariku membedakan air panas, dingin dan hangat? Saat itu kita menyiapkan air hangat untuk Bachan, dan kau mengajariku saat aku menuang air terlalu panas――"

Pipi pucat Kuroko kini merona. Benar ia tak mengingat sedetail itu―Ogiwara lah yang membuatnya mengingat tentang sosok Akashi, namun Kuroko tak bisa menghindari perasaannya yang menghangat tiap Akashi menyuarakan cerita―sepenggal memori ingatan―nya dengan menuliskan pada telapak tangannya.

"Dan apa kau ingat kau pernah mengatakan bahwa kau terbiasa dengan aku yang mengucapkan 'ohayou' setiap kau membuka mata di pagi hari, Tetsuya?" Akashi mendongak dan senyumnya pudar kala mendapati Kuroko mengerutkan dahinya dan memaksa menarik sudut bibirnya untuk tersenyum? Jari telunjuknya berhenti menulis. Tetsuya?

Menggigit bibir bawah, Kuroko semakin mengerutkan dahinya. Ia memberanikan diri menanyuarakan apa yang mengambang dalam pemikirannya. "Apa yang mereka ambil darimu selain―" Manik saffirnya meredup, menatap manik crimson dan eye patch yang menutupi mata kiri Akashi. "―selain kemampuanmu untuk berbicara, Akashi-kun?"

Melihat tatapan sendu Kuroko, Akashi menggeleng. Pergerakan bibirnya mengatakan, "Tidak ada, Tetsuya."

Menggigit bibir bawahnya erat, Kuroko membawa tangan kanannya dan menyentuhkan ibu jarinya pada eye patch yang melekat di wajah Akashi. "La―" Kuroko mengatupkan mulutnya, menarik nafas sebelum menghelanya berat. "Lalu ini?"

Akashi menangkupkan tangan kirinya mengelus jemari Kuroko sebelum menarik untaian tali yang mengikat eye patchnya.

Kuroko menahan nafas saat eye patch itu jatuh dan menampakkan sebelah mata Akashi yang disembunyikannya. Kuroko kemudian membekap mulutnya saat Akashi membuka mata kirinya yang terpejam, memperlihatkan manik heterochromenya―mata kanan berwarna crimson dan gold mengisi warna manik kirinya.

Akashi menarik sebelah tangan Kuroko, menuliskan sesuatu di telapak tangannya. "Ini sebagai tanda bahwa aku telah menjadi―bukan." Akashi mendongak, tersenyum pada Kuroko."Sebagai tanda bahwa aku terlahir kembali menjadi manusia―yang sama sepertimu."

Mata Kuroko kembali berkaca-kaca. "Kau―kau sampai melakukan sejauh itu?" Suaranya serak, Kuroko hampir kehilangan kata-katanya.

Sebuah anggukan mantap Akashi berikan sebagai jawaban. "Kimi no tame ni, nani mo yatteru kara. (B'cz if it is for you, I'll do anything.)"

Kuroko tak mampu menahan air matanya lagi. Ia menunduk, membuat cairan bening itu jatuh menyapa pipi Akashi sebelum bergulir menuruni wajah tampan itu. Kuroko semakin menundukkan kepalanya, kedua tangannya menangkup sisi kepala Akashi. "Arigatou, Akashi-kun. Hontou ni arigatou." Ujar Kuroko sebelum mengecup mata kiri Akashi.

.

*55*

.

Akashi masih ingat saat Raja meminta bayaran atas permohonannya. Dengan berat hati, ia telah menentukan pilihan.

"Aku merelakan kemampuan bicaraku."

"Kau benar-benar rela?"

Akashi mengangguk mantap.

Raja tak menanyakan apa alasan Akashi, namun, bila ada yang bertanya, Akashi telah menyiapkan jawabannya. Dengan yakin, dia akan mengatakan,

"Ya, aku rela sekalipun aku tak dapat berbicara. Aku masih bisa menggunakan tanganku untuk menuliskannya―menuliskan apa yang ingin kukatakan.

"Aku lebih tak rela jika harus kehilangan penglihatanku. Aku tak mau hidup dalam kegelapan dan tak dapat lagi melihat sosoknya. Aku ingin melihat bagaimana keadannya dan bagaimana sosoknya yang sekarang.

"Aku juga tak mau kehilangan pendengaranku karena aku masih ingin mendengar suaranya. Aku ingin mendengar berbagai macam suara yang ada di sunia ini.

"Aku tak ingin kehilangan indera perasaku karena sebelumnya aku sudah merasakan bagaimana rasanya tak dapat merasakan apapun. Aku ingin dapat membedakan air panas, dingin dan hangat. Bukan karena aku dapat memperkirakannya, tapi aku ingin benar-benar dapat merasakannya.

"Juga aku tak ingin kehilangan penciumanku. Aku sangat menyukai aroma vanilla itu. Karenanya―karena alasan yang mungkin terkesan egois itulah, aku lebih rela kehilangan suaraku."

.

*55*

.

.

[Flashback]

.

"Apa kau seorang God of Death yang akan mengambil nyawaku?"

Aomine Daiki membulatkan manik kelamnya usai mendengar pertanyaan bocah bersurai blue aqua di depannya. Ia hanya membantu bocah itu memungut koinnya. Ia tak menyangka kalau bocah itu dapat merasakan sisi lain dirinya padahal ia telah menyembunyikan 'hawa'nya dan berpenampilan selayaknya manusia.

"Aku beberapa kali melihat sosokmu di sekitar rumah." Bocah itu menelengkan kepalanya. "Aku pernah membaca di buku, sesorang yang hendak meninggal dapat melihat sosok God of Death yang akan mengambil nyawanya. Dan waktu itu aku melihatmu dengan jubah yang serba hitam dan membawa sabit."

"Kau tidak takut padaku, bouya (bocah)?" Pemuda tinggi bersurai navy blue itu menyeringai saat mendapati bocah itu menggeleng. "Ceh. Siapa namamu?"

Seperti terkena magic, Kuroko menyebutkan namanya, "Tetsuya."

Tersenyum lebar, Aomine memutuskan untuk memperlihatkan sosoknya yang sebenarnya sejenak.

Kuroko spontan melindungi mata dan sebagian wajahnya dengan lengan kanannya saat angin berhembus kencang di sekitarnya. Kemudian manik saffirnya melebar saat mendapati sosok pemuda di depannya berubah mengenakan jubah serba hitam dengan tudung yang menutupi kepalanya dan wajahnya berubah seolah mengenakan topeng. Kemudian sebuah sabit runcing dengan ukuran besar berada dalam genggamannya. Sama dengan sosok yang pernah Kuroko lihat di buku, bahkan tak pernah terpikir sosok itu akan dijumpainya secara langsung.

Kembali menyembunyikan sosoknya, Aomine mendengus. "Benar. Aku akan mengambil jiwamu, karena masa hidupmu di dunia ini telah habis, Kuroko Tetsuya. Kuharap aku tak salah menyebut namamu."

Kuroko mencoba menyuarakan kalimatnya namun suaranya tak keluar. Ia kemudian berdeham, "Berapa lama sampai kau akan mengambil nyawaku?"

Aomine menghela nafas. "Sebenarnya kau sudah harus meninggalkan dunia ini tiga bulan yang lalu, tapi guardianmu itu menyelamatkanmu."

"Guardian?" Bocah itu mengautkan kedua alisnya.

"Akashi Seijuurou." Aomine berujar. "Dia adalah guardian yang telah ditakdirkan dan akan melindungimu saat kau kehilangan orang yang paling penting bagimu."

"Jadi― Akashi-kun―?"

Aomine mengangguk. "Dia bukan manusia. Dia tak sama sepertimu."

"Lalu, kena-pa―?" Kuroko mencoba mengatasi pertanyaan yang muncul dalam pikirannya. Lalu, jika Akashi adalah guardiannya, kenapa ia tak mengatakannya? Jika Akashi bukanlah seorang manusia, kenapa ia memilih tinggal bersamanya dan seolah mempelajari kehidupan manusia?

"Akashi melanggar sumpahnya." Manik kelam Aomine balas menatap manik saffir itu. "Sebagai guardian, ia tak diijinkan untuk berkontak langsung dengan 'target'nya pada tugas awalnya untuk mempelajari kehidupan sang 'target'. Namun, Akashi memilih untuk menunjukkan dirinya di depanmu dan menyelamatkanmu dari tabrakan yang seharusnya merenggut nyawamu tiga bulan lalu." Papar Aomine.

Guardian? Kuroko pernah menemukan artikel mengenai guardian dalam buku yang sama dengan artikel mengenai God of Death yang pernah dibacanya. Penjelasan Aomine benar-benar sesuai dengan apa yang pernah ia baca.

"Tiga bulan lalu itu― aku―" Kuroko membekap mulutnya. Jadi sebenarnya dia meninggal dalam tabrakan itu? Namun Akashi datang dan menolongnya? Akashi rela melanggar sumpahnya hanya untuk menyelamatkannya dari kematian?

Seolah mengetahui pertanyaan dalam benak Kuroko, Aomine mengangguk. "Kau seharusnya mati dalam tabrakan itu."

"Lalu sekarang kau akan mengambil nyawaku?" Tanya Kuroko usai menemukan kembali suaranya.

"Ya."

"Apa yang akan terjadi pada guardian jika sang 'target' meninggal?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Kuroko.

Aomine melemparkan pandangannya pada bocah mungil itu. "Guardians akan lenyap dan menghilang saat kehidupan sang 'target' berakhir, bersama dengan jiwanya yang 'pergi'." Jawab Aomine.

"Begitu?"

Sebuah anggukan Aomine berikan. Ia melihat manik safiir bocah itu menerawang jauh.

"Buku yang pernah kubaca mengatakan, 'Saat kematian atau akhir dari kehidupan sang 'target' memisahkannya dengan sang guardian, mereka dapat mengucapkan permohonan pada Kami-sama agar mereka dipertemukan kembali di kehidupan selanjutnya.' Apa pernyataan itu benar, Shinigami (Dewa kematian)?"

Aomine menggaruk belakang kepalanya. "Aku tidak tahu. Tapi― kalau Kami-sama benar memberikan pernyataan itu, Kami-sama tak akan mengingkarinya."

"Berapa lama waktuku yang tersisa?"

"Kurasa sebentar lagi. Kau sudah tak sabar aku menjemput jiwamu, bouya?"

Kuroko menggeleng polos. "Kalau kau benar akan mengambil nyawaku tidak lama lagi, aku hanya ingin melakukan sesuatu. Setelahnya, terserah padamu."

"Ceh." Aomine mendengus. "Kau merelakan seperti apa proses kematianmu padaku, bouya?" Senyuman itu semakin lebar saat Kuroko mengangguk. "Baik. Apa yang ingin kau lakukan sebelum aku mencabut nyawamu?"

Menatap lurus manik biru kelam Aomine, Kuroko menggenggam tangannya erat. "Aku ingin memohon pada Kami-sama agar aku dipertemukan kembali dengan Akashi-kun. Aku akan menunggunya."

Aomine melihat kesungguhan dibalik wajah datar itu. Ia tak pernah mengira ada bocah tiga belas tahun yang bahkan tak merasa takut saat kematian selalu mendampinginya dan siap menyambutnya.

"Bisa kau janji tak mengambil nyawaku sampai aku mengatakannya―" Kuroko menggantung kalimatnya.

Mengerti maksud Kuroko, Aomine menepuk kepala bocah itu. "Daiki. Aomine Daiki. Percayalah padaku, aku akan menunggumu hingga kau menyampaikan permohonanmu, bouya."

.

.

Aomine menjentikkan jarinya saat Kuroko limbung di depannya dengan pisau kecil yang menancap tepat pada dadanya dan menikam jantungnya. "Satu menit. Kumohon biarkan aku mengambil nyawa itu setelah satu menit dari sekarang." Gumamnya. Ia tahu, waktu Kuroko Tetsuya telah habis tepat pada saat bocah blue aqua itu menikam jantungnya dengan tangannya sendiri. Namun Aomine memperpanjangnya sedikit lebih lama. Ia telah berjanji pada bocah itu, untuk menunggunya hingga permohonan itu terucap.

"Ne, kimi. Aku― tidak tahu siapa kau. Tapi― aku merasa― harus mengatakan ini." Jeda. "Kita― akan bertemu lagi― di kehidupan selanjutnya seperti― dongeng tentang para guardian yang―" Nafas Kuroko tersengal. Aomine masih menahan diri untuk menunggu bocah itu menyelesaikan kalimatnya "Yang memohon pada― Kami-sama untuk dipertemukan kembali― dengan 'target'nya, bukan―? Aku― aku akan menunggumu."

Aomine kemudian mendekati tubuh yang tergolek lemah di atas tmpukan salju itu. "Sudah waktunya untukmu, Kuroko Tetsuya." Ujar Aomine sebelum mengangkat bocah itu dalam gendongannya.

"Itsu made mo matteru kara." Bocah itu berujar lirih. Tepat sebelum manik saffirnya terpejam, Kuroko bergumam lirih. Sangat lirih, sampai hanya Aomine yang dirasa dapat mendengarnya. "Arigatou, Aomine-kun. Senang bertemu denganmu."

Mengulaskan senyumnya, Aomine kembali menjentikkan jarinya kemudian sosok dalam gendongannya berubah menjadi serpihan kristal yang berkilau sebelum terbang ke langit. Bersiap menjalani kehidupan selanjutnya setelah kematian.

"Aku juga senang bisa bertemu denganmu, Tetsu."

.

.

A/N :

Hwaaaaaa! Panjang ternyata! Hhahaha maafkan sayaaa~~~

Epilog macam apa ini panjang banget.. ngalah-ngalahin panjangnya FanFic satu chapter hhe

Hai, dou omou kanaa? Gimana Minna? Mohon kritik, saran n komennya yak~ :D

Buat ka'yuna, lunas yak~ hhehe jadi sungkan pe' ditagih *plakk* XDD moga ka'yuna suka ama FanFic ini :D

N buat para readers, reviewers, yang udah fave n follow, n buat silent readers juga, makasiiiiihhh udah baca FanFic fantasy yang aneh ini.. hhehe makasih banyak! *cium satusatu*

Kukira ini FanFic nggak seberapa bagus, tapi tanggepan kalian bikin aku mewek.. syukurlah kalo' banyak yang suka ama ni FanFic, ah jadi terharu XDD

Mou ichido, arigatoooouuuu~~~ :D

Ohya buat review yang masuk, mungkin akan kubales via PM, tapi mungkin nggak bisa cepet cz tanggal 6 saya UAS! orz n ada 2 matkul yang tugas UASnya take home, jadi sepertinya abis taon baru saya bakal nge-date ama tugas-tugas dulu hhehe

Buat yang nggak login, aku bingung gimana enaknya buat bales review kalian.. mungkin ada saran? XD

Last but not least, Happy New Year! Mohon bantuannya untuk setahun kedepan ne, minna *o*/