Mencoba membatasi chapter cuma ada di 10-15k, banyak yang komen kalo chapternya yang dipublish sering kepanjangan.
Disclaimer : Masasshi Kishimoto
1
"Naruto! dengarkan aku baik-baik."
"Apa?."
"Aku tidak tahu apa yang kau rencanakan tapi yang jelas jangan berbuat yang aneh-aneh pada adikmu!. . . jika kau ditangkap polisi aku juga yang repot nantinya."
Aku tidak ingat kalau Shion pernah jadi waliku. Tapi di tempat ini memang kalau sampai aku kena masalah dia juga akan ikut terkena imbasnya sebab semua akomodasiku yang menanggungnya adalah teman sekelasku ini.
Hanya saja, menelponku dengan sambungan internasional yang mahal hanya untuk memperingatkanku untuk tidak melakukan tindakan yang tidak akan pernah kulakukan itu rasanya agak kedengaran bodoh. Dan kalau aku mengingat jika dia itu murid terpintar di sekolah membuatku semakin penasaran apakah gara-gara kelamaan libur otaknya jadi agak karatan.
"Shion. . . aku sudah tahu anggapan macam apa yang kau punya tentangku jadi dengarkan aku baik-baik. . "
"Apa?."
"Aku bukan orang mesuuuummm!."
"Aku sangat paham kalau tidak ada maling yang mau mengaku maling"
"Aku sudah lama sekali ingin menanyakannya. . . sebenarnya alasan macam apa yang membuatku mengira kalau aku ini semesum apa yang kau bayangkan?."
"Alasan ya. . . mungkin karena aku mendengar cerita Hinata tentang kau yang melakukan banyak hal padanya, melihat bukti kalau kau mengintip adikmu, dan juga menempel-nempel Amaru setelah mengajaknya ke tempat gelap dan sempit."
". . . . . "
Sial, aku ingin membantah omongannya tapi aku tidak mengatakan apa-apa. Sebab pada dasarnya apa yang dia katakan semuanya benar, aku tidak bisa membuktikan kalau aku ini bukan orang mesum berdasarkan bukti yang dia bawa. Selain itu, jika ingatannya normal mungkin dia bahkan akan menambahkan fakta kalau aku pernah melihatnya cuma mengenakan pakaian dalam di kamarnya.
"Jadi apa pembelaanmu?."
". . . . .Tidak ada."
"Bagus."
"Tapi setidaknya percayalah kalau aku tidak akan menyakiti atau memaksa Hanabi melakukan hal yang aneh-aneh."
"Kalau yang itu tentu saja aku percaya. . . aku lebih khawatir kalau kau membuatnya mau diapa-apakan olehmu. . ."
"Berhenti di situuuuuuu!. . . berhenti bicara mesum tentang adik seseorang pada kakaknya sendiri."
Kenapa gadis ini tidak bisa percaya kalau aku ini bukan tipe orang yang akan membawa seorang gadis kecil ke sebuah tempat sepi dengan maksud yang tidak benar. Yang kita bicarakan adalah Hanabi, yang notabene adalah tiang penyangga motivasi kehidupan seorang Naruto.
"Kalau kau masih ingat berarti semuanya masih aman."
"Dari awal aku tidak pernah berbahaya . . . dan aku akan tutup telponnya."
"Um."
Aku menutup pembicaraan kami dan memasukan ponselku ke saku. Setelah itu aku melihat ke sekitarku untuk memeriksa keberadaan Hanabi. Hari ini aku dan Hanabi akan pergi jalan-jalan, tapi untuk suatu alasan dia tidak mau berangkat bersama dan memintaku untuk bertemu di tempat lain. Karena itulah sekarang aku sedang berdiri sendirian di tengah kerumunan orang banyak sambil mencoba mencari lokasinya seperti orang mencurigakan.
"Kak Naruto kau melihat ke mana? aku di sini."
Ketika aku sedang memutar-mutar badanku sambil memfokuskan pandanganku ke tempat yang agak jauh, tiba-tiba aku merasa kalau ada sesuatu yang menarik bajuku. Dan begitu aku membalikan badanku lalu melihat ke bawah, aku menemukan seorang gadis kecil imut yang akan jadi tema kencank. . . maksudku yang akan menemaniku jalan-jalan.
"Sejak kapan kau ada di sini Hanabi?,"
"Um. . . . mungkin sejak kak Naruto berteriak 'aku orang mesuuumm' dengan semangat."
"Ke mana kata 'bukan'-nya? ke mana!?. . . . ."
"Ehehe. . ."
Jangan tertawa seperti itu di depankuu dadaku rasanya tiba-tiba jadi penuh oleh sesuatu yang manis. Kemudian melihatmu memasang muka senang sambil tertawa itu jadi membuatku lupa kalau di saat seperti ini aku harusnya marah dan memberikan kalimat retorik. Keimutanmu Hanabi benar-benar sesuatu.
"Jadi kita akan pergi ke mana kak Naruto?."
"Sepertinya mataku mulai bermasalah. . . oleh karena itulah aku ingin memeriksanya dan mencari kacamata."
"Kalau begitu bukankah akan lebih baik kalau kita pergi ke dokter?."
"Eh. . . kalau aku pergi ke dokter bukankah aku jadi tidak bisa main denganmu?. . . "
"Aku tidak sedang bercanda!."
"Aku juga. . ."
Setelah itu Hanabi terus melihatku tanpa mengatakan apapun. Sebab aku sudah biasa dihina oleh orang-orang di sekitarku, intimidasi semacam ini jauh lebih efektif untuk memojokanku. Apalagi kalau yang melakukannya adalah Hanabi. Oleh karena itulah, dalam sekejap aku langsung mundur.
"Maafkan aku. . . nanti aku akan ke dokter. . . tapi untuk sekarang aku memang benar-benar butuh kacamata. . jadi aku masih perlu ditemani. ."
"Kalau begitu aku tidak punya pilihan lain."
Setelah berjalan beberapa waktu, akhirnya kamipun sampai di tempat penjualan kacamata. Aku mengunjungi tempat pemeriksaan mata untuk menyesuaikan lensa yang cocok, sedangkan Hanabi kusuruh untuk mencarikan frame yang dia anggap bagus untuku. Alasan yang kukatakan padanya adalah aku tidak ingin membuatnya bosan, tapi alasan sebenarnya kenapa aku memintanya pergi adalah hal lain.
"Jadi bagaimana hasilnya?."
Aku bertanya pada petugas yang baru saja memeriksa mataku.
"Matamu memang minus, tapi masih ringan dan mungkin kau belum butuh kacamata asal kau bisa menjaga diri, hanya saja. . ."
"Apa. . ."
"Sepertinya kau mengalami gejala glaucoma, apa kau melakukan olahraga ekstrim? kalau iya sebaiknya kau berisirahat dulu dan melakukan terapi agar matamu bisa normal lagi."
Hal-hal yang sering kulakukan memang ekstrim, tapi mereka semua itu sama sekali tidak ada yang bisa disebut olahraga. Dan malah bukannya membuatku sehat, semua hal-hal itu lebih sering membuatku hampir mati.
"Kau mungkin tidak merasakan sakit, tapi bukan berarti glaucoma itu tidak berbahaya."
Glaucoma terjadi karena tekanan cairan yang berlebih di dalam mata yang disebabkan oleh faktor turunan, atau pengaruh eksternal seperti luka dari bahan kimia, benda benturan, pembengkakan, dan juga aliran darah yang tersumbat.
"Statusnya masih gejala, tapi kau harus segera melakukan perawatan."
"Terima kasih informasinya, kalau begitu tolong pilihkan lensa yang cocok untuku."
Petugas tadi melihatku dengan tatapan agak kesal.
"Kau belum perlu. . memakai alat bantu penglihatan saat matamu masih normal malah akan berakibat buruk. ."
"Kalau begitu carikan yang aman."
"Kau . . kacamata itu bukan mainan. . ."
"Jangan begitu. . . apa kau tidak bisa melihat adiku yang imut-imut sedang mencarikan frame dengan wajah senang? aku tidak mau membuatnya kecewa."
"Aku tidak peduli!."
"Ayolaah. . ."
Setelah beberapa menit memohon-mohon sampai oang yang dimintai tolong merasa risih, akhirnya dia mau juga memilihkan lensa untuku. Meski aku tidak mau mengakuinya, tapi ternyata skill Hinata untuk membuat orang sebal bisa berguna juga di sini. Hanabi datang dengan membawa frame yang dia pilih, lalu kemudian kami menunggu selama beberapa menit dan kacamatkupun jadi.
"Bagaimana kalau dicoba dulu?."
Hanabi membuka frame kacamata yang baru saja kami beli, setelah itu dia mengeluarkan isinya dan menyodorkan benda itu padaku dengan posisi ingin memasangkannya padaku. Akupun menunduk dan membiarkan Hanabi menyelipkan benda itu ke kepalaku.
"Bagaimana. . .?"
Aku kembali berdiri dan melihat ke arah Hanabi.
"Um. . . entah kenapa rasanya tidak cocok. . . untuk suatu alasan kak Naruto masih kelihatan bodoh."
Tentu saja aku mengharapakan semacam pujian dari Hanabi, tapi aku sendiri paham kalau mendapatkan pujian darinya adalah sesuatu yang agak susah untuk dicapai. Meski tidak kelihatan, sebenarnya Hanabi itu pemalu dan dia tidak bisa mengatakan hal yang memalukan kalau ada di depan orang yang tidak dia kenal.
Aku mengangguk.
"Um. . . "
Dia hanya malu.
"Ada apa kak Naruto? kenapa kau memasang muka 'aku sedang menghibur diriku sendiri'?."
Kau tidak perlu mengatakannya Hanabi, aku sudah tahu kalau aku sedang menghibur diriku sendiri dengan imajinasi. Jadi tolong diam saja dan jangan mengoleskan sambal ke atas lukaku.
"Apa kita perlu ganti framenya kak Naruto?, atau mungkin orangnya?."
"Tidak usah, kurasa ini sudah cukup bagus! terima kasih Hanabi aku akan menjaganya baik-baik."
"Kenapa kau menjawab serius begitu? . . ."
Maafkan kakakmu Hanabi! aku tidak tahu kau tadi sedang mencoba melawak sebab raut wajahmu tidak berubah. Aku berjanji akan berusaha lebih keras mulai besok untuk membaca lawakanmu.
"Kalau kau menyukainya ya sudah."
Aku tidak terlalu paham fashion, aku bahkan tidak bisa memebedakan mana yang bagus dan mana yang lebih bagus kalau sudah masalah tentang penampilanku sendiri. Jadi sebenarnya, desain atau apapun yang Hanabi pikirkan saat mencarikan frame kacamataku sama sekali tidak penting. Yang paling penting bagiku adalah, benda itu adalah hadiah pertama yang kuterima dari Hanabi.
Meski uang yang digunakan untuk membelinya adalah uangku sendiri.
". . . ."
Dia tidak mengubah raut wajahnya terlalu derastis, tapi kali ini aku bisa melihat kalau dia tersenyum kecil.
Urusan kacamataku sudah selesai meski urusan masalah mataku masih jauh dari selesai. Berhubung alasanku untuk mengajak Hanabi keluar sudah tidak ada harusnya kami langsung pulang, tapi tentu saja aku tidak akan membiarkan kesempatan langka untuk bisa berdua dengannya ini pergi begitu saja.
Aku langsung mengajaknya ke tempat lain dengan berjalan kaki melewati banyak gedung-gedung bertingkat di sekitar kami.
"Kak Naruto itu apa?."
"Yang mana?."
"Itu. . ."
Dia menunjuk sebuah layar digital besar yang sedang menampilkan iklan tentang program dengan tagline 'Let's Save the World by Working Together" dengan sponsor banyak nama perusahaan IT besar serta organisasi pemerintah dari berbagai negara.
"Mereka hanya sedang minta donasi."
"Donasi?."
"Ya, donasi."
Tapi hanya saja donasi yang diminta bukan berupa uang melainkan sumber daya berupa memori, penyimpanan, maupun kemampuan pemrosesan dari komputer pribadi milik seseorang sebagai bagian dari gerakan volunteer computing bernama Rebirth Project yang sejak lima tahun yang lalu dijalankan.
"Volunteer computing?."
Rebirth Project adalah proyek volunteer computing berskala internasional yang memanfaatkan teknologi grid computing dengan media jaringan infratsruktur terbuka. Project ini memanfaatkan komputerisasi terdistribusi untuk melakukan tugas-tugasnya seperti melakukan penelitian matematis, molekular, iklim, lingkungan, obat-obatan dan macam-macam hal lain yang akan terlalu berat untuk dilakukan oleh sebuah sistem standalone.
Membuat supercomputer perlu banyak biaya mulai dari hardware, perawatan, staff, listrik, dan yang lainnya karena itulah untuk mendapatkan hasil lebih efisien dengan biaya yang sekecil mungkin agar penggunannya bisa lebih luas maka digunakanlah metode grid computing di mana pemrosesan data dilakukan oleh jutaan komputer yang saling terhubung.
Hal itulah yang dijadikan sebagai bahan tagline, let's save the world by working together'. Sebab orang-orang yang mendownload aplikasi client dari proyek itu ke komputer atau ponsel mereka sudah ikut berpartisipasi dalam membantu para orang-orang pintar di tempat lain untuk menyelesaikan masalah-masalah dunia dengan memberikan sedikit sumber dayanya.
Ngomong-ngomong aku juga ikut berpartisipasi, sebab bagi yang punya kuota tertentu biasanya akan ada imbalan yang diberikan pada penyumbangnya. Normalnya dalam bentuk coin. Tapi yang kupakai sebagai hanyalah custom ASIC computer yang kubuat dari Pi board yang kubeli dengan murah.
Aku ingin membantu lebih, tapi ponselku punya fungsi lain yang tidak boleh sembarangan prioritasnya diturunkan.
"Hah. . . . . rasanya benar-benar damai."
Baru beberapa hari kemarin ada orang yang menyatakan akan berperang mewalan dunia, tapi meski semua channel berita membicarakannya kehidupan orang-orang masih berjalan seperti biasa seakan tidak pernah terjadi apa-apa.
Aku yakin kebanyakan orang sadar kalau masalah besar akan datang tapi meski begitu mereka tidak bisa melupakan apa yang harus mereka lakukan dulu di depan mereka, ada juga yang tidak paham dengan situasinya, dan ada juga yang memutuskan untuk tidak memikirkannya sebab apapun yang mereka pikirkan pada akhirnya mereka tidak bisa melakukan apa-apa.
Harusnya aku juga ikut masuk ke dalam kategori orang-orang yang seperti itu. Hanya saja aku tidak bisa menutup mata dan menganggap kalau deklarasi perang yang kudengar beberapa hari yang lalu hanya gretakan dan tidak mungkin seorang individu bisa menantang dunia dan punya harapan untuk menang.
Sayangnya aku, dan kebanyakan orang-orang yang benar-benar punya kekuasaan dan kekuatan di dunia tahu kalau semua yang dikatakan oleh mantan jendral pertahanan PBB kemarin itu adalah masalah besar. Dia adalah orang yang punya karisma besar, cukup besar untuk membuat banyak orang mau mengikuti ideologinya. Selain itu, dia juga punya kekuatan yang cukup untuk membuat kemampuan militer sebuah negara tidak bisa mengehentikannya.
"Kak Naruto?."
Mungkin karena aku sempat bengong selama beberapa saat Hanabi menarik bajuku untuk menarik perhatianku. Dan begitu aku melihatnya aku mendapatinya sedang memandangku dengan tatapan khawatir.
"Tidak ada apa-apa, aku hanya sedang memikirkan tujuan kita selanjutnya."
"Apa benar?."
"Tentu saja!."
"Jadi kita akan ke mana?."
Semua hal yang seharusnya tidak perlu kupikirkan itu mau tidak mau harus kupikirkan sebab hasil dari perang yang akan datang akan mempengaruhi kehidupan semua orang termasuk kehidupanku dan Hanabi. Oleh sebab itulah meski sekarang aku sedang berkencan dengan Hanabi, aku tidak bisa benar-benar menikmati waktu langka di mana kami bisa bersama seperti sekarang.
"Bagaimana kalau kita nonton?."
Di manapun tempatnya, yang namanya nonton film pasti ada dalam template. Berhubung aku tidak terlalu tahu tentang seluk-beluk kota ini, kurasa meski aku mengambil pilihan aman tidak akan ada yang protes.
Kami berdua pergi ke bioskop dan menonton sebuah film yang plotnya sudah direcycle berkali-kali. Sepertinya Hollywood sudah benar-benar kehabisan ide dan dan hanya memperbarui banyak film lama dengan CG baru. Dalam situasi ini harusnya aku ketiduran karena bosan, hanya saja meski filmnya membosankan aku sama sekali tidak bisa ngantuk.
Sebab di sebelahku ada pemandangan yang jauh lebih menarik. Hanabi yang sedang menonton film dengan serius. Sama seperti aku yang masih kecil dulu, Hanabi juga sepertinya terkagum-kagum dengan efek-efek serba dahsyat yang ada di film yang kami tonton sekarang.
Setelah dua setengah jam akhirnya film yang kami tonton selesai, kemudian begitu kami keluar dari bioskop ternyata hari sudah siang dan matahari sudah lumayan tinggi. Sebab paginya kami agar buru-buru, di antara kami tidak ada yang sempat sarapan. Karena itulah aku langsung mengajaknya makan begitu kami melewati sebuah tempat yang kelihatannya murah tapi masih berkelas.
Tunggu dulu, aku masih punya uang atau tidak? kemarin saat belanja bukankah aku dan Hanabi menemukan kalau bahan-bahan makanan yang kami beli lebih mahal dari biasanya. Kalau sampai uangku tidak cukup kencan kami bisa jadi berantakan. Aku benar-benar tidak mau kalau kencan kami berakhir dengan mencuci piring.
"Kak Naruto. . kalau kau khawatir tidak punya cukup uang aku akan akan ikut membayar jadi tenang saja."
Sepertinya mencoba mengecek isi dompetku dengan sembunyi-sembunyi sama sekali tidak ada gunanya. Dari pengalaman, semuanya akan lebih mudah kalau aku mengaku saja kalau aku tidak bisa melakukan sesuatu daripada pura-pura tidak punya masalah tapi pada akhirnya malah menyusahkan diri sendiri.
"Maaf. . ."
Hanabi berlari kecil ke depanku lalu berbalik dan melihatku secara langsung, setelah itu dia memasang kedua tangannya di pinggangnya dan tersenyum padaku.
"Di saat seperti ini harusnya kau bilang terima kasih."
Sejak kapan kau jadi sekeren ini!? entah kenapa kakakmu ini jadi merasa senang dan kecewa di saat yang bersamaan. Senang karena aku merasa kalau Hanabi sudah jadi semakin dewasa, dan sedih juga karena dia sudah jadi semakin dewasa. Mungkin seperti inilah perasaan seorang ayah yang melihat anak perempuannya bertumbuh dan mulai menjauhinya.
"Ada apa kak Naruto?."
"Tidak apa-apa, aku hanya merasa kalau waktu benar-benar berjalan."
"Maksudmu?."
"Bukan apa-apa, ayo kita masuk."
Aku merasa kalau pertemuan pertamaku dengan Hanabi baru berlangsung kemarin, tapi sekarang begitu aku mulai memperhatikannya lagi ternyata dia sudah bukan lagi anak kecil yang akan bersembunyi di balik kaki orang tuanya saat bertemu orang asing. Dan begitu aku menyadari kalau dia sudah semakin dewasa aku tidak bisa berhenti berpikir tentang apa yang harus aku lakukan ketika dia sudah jauh lebih dewasa lagi.
Apakah aku masih bisa terus bersamanya lagi di masa depan atau tidak.
"Kak Naruto, jangan bengong terus! kau mengganggu orang lain."
Dengan begitu, Hanabipun menariku ke dalam kafe yang ada di samping kami.
Dan begitu di dalam dia langsung menariku untuk duduk kemudian dia sendiri ikut duduk di sampingku. Entah kenapa rasanya kami tidak seperti sedang kencan. Maksudku bukankah di saat seperti ini harusnya kami duduk berhadapan. Tapi sudahlah, lagipula aku lebih suka dia duduk menempel padaku seperti ini.
Ketika dia masih sedikit lebih kecil, saling tempel menempel itu biasa. Bahkan aku pernah mandi bersamanya. Tapi dua tahun setelah itu dia mulai menjaga jarak sehingga bisa melakukan kontak fisiknya menjadi hal yang sangat jarang terjadi. Sekedar memegang tangannya saja susah. Jadi ketika dia mau duduk di sampingku, aku bisa menikmati hangat tubuhnya.
"Kak Naruto, mukamu kelihatan mesum."
"Apanya yang mesum, aku hanya sedang mengingat masa lalu. ."
"Kenapa mengingat masa lalu bisa membuatmu kelihatan mesum?."
" . . . . "
Percayalah padaku kalau aku tidak sedang coba mengingat-ingat lekuk tubuh Hanabi, kulit putih mulusnya, perut lembutnya, atau dadanya yang baru tumbuh. Aku hanya sedang mengingat-ingat wajah bahagianya saat sedang menciprat-cipratkan air padaku di dalam bak mandi.
"Kak Naruto. . "
"Aa. . . . . aku harus pesan apa ya?."
Kenapa kelihatannya tidak ada yang mengenyangkan?.
"Kurasa aku harus pindah temp. . ."
"Maafkan aku!. . . . . tolong jangan pindah!."
Aku langsung memegang tangan Hanabi begitu dia ingin mengangkat badannya dan berpindah tempat. Lalu, begitu dia merasakan badannya kutarik balik Hanabi langsung melihat ke mataku secara langsung. Tapi tatapan yang kulihat bukanlah tatapan marah yang sudah siap untuk aku terima. Tapi tatapan bingung dan heran yang artinya mungkin kenapa kau bertingkah berlebihan seperti itu?.'
"Aku cuma bercanda. . ."
Apa kau yakin? aku sangat yakin kalau kau tadi serius ingin pindah karena pura-pura tidak mendengarmu. Atau kemampuan spesialku untuk membaca raut wajahnya sudah mulai turun dan membuatku jadi salah tebak.
Setelah itu kami berdua memesan makanan dan minuman. Dan begitu makanan kami datang, aku langsung mengajaknya ngobrol tentang film yang kami tonton tadi untuk menghilangkan perasaan canggung hasil reaksi berlebihanku sebelumnya. Lalu, sebab Hanabi itu pintar dia langsung tahu maksudku dan sengaja mengikuti arah pembicaraanku.
"Jadi menurutmu film tadi bagaimana Hanabi?."
Dari ekspresinya saat menonton film aku menebak kalau pendapatnya akan sama sepertiku yang beberapa tahun lalu. Dan jika aku yang beberapa tahun yang lalu menonton film yang sama lalu ditanyai pertanyaan tadi, aku sangat yakin kalau jawabanku adalah. Film itu sangat bagus. Kemudian, begitu Hanabi menjawab kalau film itu bagus aku akan memberikan komentar yang kedengaran pintar.
Dengan begitu aku yakin kalau Hanabi akan melihatku sebagai orang keren.
Um. . . rencanaku benar-benar brilian.
"Plotnya sederahana dan sama sekali tidak original."
Maaafkan akuuu! maafkan aku karena sudah menganggapmu lebih bodoh dariku! aku tidak akan mengulanginya lagi.
"Hah. . ."
Seharusnya aku sudah menebak jawaban seperti ini dari Hanabi dan tidak banyak berharap. Alasan kenapa aku yang dulu bisa menganggap film yang baru saja kutonton tadi bagus adalah di jamanku yang namanya menonton film itu adalah pengalaman yang langka. Oleh sebab itulah aku baru merasa kalau apa yang kutonton itu punya banyak flaw setelah beberapa tahun menonton banyak film dengan tema dan plot yang hampir mirip.
Kalau untuk Hanabi sendiri bisa menonton film yang baru keluar di rumahnya sendiri bukanlah sesuatu yang sulit. Kedua orang tuanya punya cukup uang dan mereka juga tidak pernah sayang mengeluarkan biaya untuk membuat anak satu-satunya itu senang.
Jadi sepertinya film yang sudah dia pernah tonton malah jauh lebih banyak dariku yang notabene lebih tua darinya.
"Kenapa kau menghela nafas seperti itu?."
"Tidak apa-apa, aku hanya tiba-tiba merasa bodoh?."
"Eh? kau baru sadar sekarang?."
"Kau belajar melakukan tsukkomi dari siapa Hanabi?."
"Amaru."
Eh? serius? kau benar-benar belajar melakukan tsukkomi dari Amaru?. Maksudku, sejak kapan kau mau beralih haluan dari karakter stoik ke karakter komedi?.
Melihatku bengong setelah mendengar jawabannya, Hanabi langsung memberikan jawaban susulan untuk membuat topik kami yang sebelumnya kembali ke permukaan.
"Mengsampingkan ceritanya, special effect yang mereka gunakan benar-benar kelihatan bagus."
Atau malah bisa dibilang, selain CGnya semua elemen dari film yang kami tonton tadi itu biasa saja.
"Hanya saja meski ceritanya biasa saja aku merasa kalau penjahat utama di film tadi lumayan berkharisma."
"Maksudmu?."
"Bagaimana menjelaskannya ya. . ."
Apa yang Hanabi maksud dengan penjahat utama berkharisma adalah plot twist lama yang membuat pahlawannya malah jadi kelihatan jahat di akhir film sebab tujuan utama dari penjahat ternyata adalah sesuatu yang baik. Selain itu si penjahat juga mempunyai masa lalu buruk yang membuatnya ingin merubah dunia. Sedangkan si pahlawan sendiri hanya melawan karena diberitahu kalau si penjahat itu orang yang buruk oleh orang-orang berkuasa.
"Dia punya ideologi yang kuat dan rencana yang realistis serta kekuatan yang nyata!."
Semua hal itu membuatnya jadi punya kharisma yang membuat banyak orang ingin mendukungnya. Selain itu keberaniannya untuk mengambil keputusan untuk menjadi figur yang perlu dihancurkan demi orang-orang yang bahkan tidak dikenalnya membuat karakternya jadi semakin menarik. Jika hanya dilihat sekilas, mungkin dia hanya seperti figur standard yang ingin menguasai dunia meski harus menghancurkannya.
Tapi kalau semua tindakannya dipikirkan lebih jauh, penonton yang tidak hanya fokus melihat efeknya akan paham kalau yang terjadi malah sebaliknya. Dengan menjadi musuh bersama, dia bisa menyatukan dunia. Dan begitu musuh bersama itu hilang, maka dunia akan jadi damai sebab semua kebencian yang ada dipusatkan padanya seorang akan ikut hilang bersamanya.
"Aku paham!."
Aku benar-benar paham kenapa Hanabi menganggap si penjahat berkharisma. Aku bahkan yakin kalau diberikan pilihan, Hanabi ingin melihat bagaimana kalau rencana si penjahat berhasil dilakukan.
"Aku paham, tapi meski aku diberikan pilihanmu aku ingin kalau si penjahat itu kalah."
Begitu aku memberikan komentarku, Hanabi kembali melihatku dengan wajah heran dan penasaran.
Kenapa? kenapa kau melihatku dengan tatapan seperti itu? apa aku mengatakan sesuatu yang aneh?. Apa yang kukatakan mungkin kedengaran bodoh tapi sama sekali tidak aneh.
"Kukira kak Naruto akan senang dengan karakter yang seperti itu?."
"Kenapa kau berpikir seperti itu? meski tidak bisa dibanggakan aku ini bukan orang yang punya ambisi besar."
Impianku hanyalah keinginan sederhana untuk bisa hidup tentram, aman dan damai tanpa banyak gangguan. Impian yang sama sekali tidak besar maupun hebat.
"Bukankah kak Naruto itu karakter 'antihero' atau 'hidden villain'?."
"Sejak kapan aku jadi karakter semacam itu?. . ."
"Makusduku. . . . aku merasa kalau ada orang yang sangat ingin merubah dunia karakter yang masuk kriteria hanya kak. . . . bukan apa-apa."
Jadi begitu. Jika melihat latar belakangku yang rasanya agak gelap, mungkin Hanabi berpikir kalau aku ini tumbuh dengan keinginan besar untuk melakukan 'balas dendam' pada dunia yang sudah membullyku selama bertahun-tahun. Dan sejujurnya memang aku sempat berpikir seperti itu, ada kalanya aku ingin membunuh orang-orang yang pernah memperlakukanku dengan buruk dan ada kalanya juga aku menginginkan kalau dunia ini hancur saja kalau tidak ada yang mempedulikanku.
Hanya saja.
"Aku sudah pensiun memikirkan hal seperti itu."
Begitu aku bertemu Hanabi dan menemukan tempat yang bisa kusebut rumah aku mulai berpikir kalau semua keinginan negatifku itu tidak penting lagi. Aku ingin melupakan pengalaman pahitku di belakang dan tidak ingin lagi mengungkit-ungkitnya. Yang kuinginkan saat ini hanyalah jadi bahagia dan membuat orang yang membuatku bahagia jadi ikut bahagia.
Keinginan-keinginan itu semuanya berpusat pada kata 'aku' yang artinya semua hal yang tidak ada hubungannya denganku sama sekali tidak kuanggap penting. Aku sendiri sadar kalau aku ini egois, tapi aku tidak peduli.
"Oleh sebab itulah aku hanya memikirkan apa yang ada sekarang."
Aku tidak hidup di masa lalu dan aku juga tidak hidup di masa depan. Yang lama akan kulupakan, yang baru akan kupikirkan nanti, dan satu-satunya yang perlu perhatianku secara penuh hanyalah saat ini.
"Itulah alasanku ingin si penjahat tetap kalah."
Revolusi selalu membawa konflik. Perubahan derastis yang cepat selalu membawa kekacauan. Dan kekacauan selalu membawa hal-hal buruk. Jadi meski tujuan seseorang mendorong sebuah revolusi itu baik, aku tidak akan pernah mengijinkannya untuk terjadi ataupun membiarkan orang yang menjalankannya maju.
Aku tidak ingin 'hari ini' hancur agar hari esok jadi lebih baik.
Alasan ini juga adalah alasan yang sama yang membuatku ingin menghentikan si jendral dari PBB. Jika dia serius ingin merubah dunia maka bisa dipastikan kalau dunia ini akan jadi kacau dulu. Dan meskipun dia berhasil, jalan menuju keberhasilannya itu tidak akan pendek, bersih, dan tanpa pengorbanan.
Maaf saja tapi aku tidak suka mengorbankan sesuatu untuk hal yang belum pasti.
Revolusi akan membuat dunia kacau, dan dunia yang kacau itu akan membuat kehidupan Hanabi jadi sulit.
"Yang paling penting bagiku adalah orang-orang yang dekat denganku."
Dan aku sama sekali tidak punya niat untuk mengorbankan keselamatan mereka untuk masa depan, dunia, atau apapun.
"Kau ternyata egois kak Naruto."
"Tentu saja, aku ini bukan pahlawan."
Hanabi menunduk untuk beberapa saat sebelum kemudian kembali menatapku secara langsung. Kali ini dia menunjukan muka khawatir yang sama sekali tidak cocok dengan obrolan yang seharusnya ringan ini.
"Hana. . "
"Tolong jangan melakukan hal-hal berbahaya!."
"Hah?."
"Seperti yang kak Naruto bilang, kau itu bukan pahlawan! tolong jangan melakukan hal yang berbahaya! di luar sana ada banyak orang yang punya tugas untuk mengurusinya! jadi kak Naruto tidak harus melakukan apa-apa."
"Kau. . ."
Kau tahu dari mana aku melakukan hal-hal berbahaya? aku ingin menanyakannya tapi aku memutuskan untuk berhenti. Dia pernah melihatku babak belur, dia pernah mendatangiku yang terluka parah setelah tersangkut insiden, setelah itu aku terdampar di pantai dengan keadaan seperti hampir mati.
Orang bodohpun akan tahu kalau aku sudah melakukan sesuatu yang tidak boleh sembarangan dilakukan. Dan sebab Hanabi itu punya skill tinggi dalam membaca suasana aku yakin kalau dia mampu memperhatikan tingkah-tingkah anehku beberapa hari ke belakang. Ditambah dengan otak pintarnya aku yakin kalau dia sudah punya gambaran umum tentang apa yang sudah kulakukan selama ini.
Dia tidak menanyakannya hanya karena dia tahu aku tidak ingin membicarakannya.
"Berjanjilah kalau kau akan menurutiku!."
Aku menatapnya balik dan melihat kalau matanya dipenuhi dengan determinasi.
"Aku akan berusaha."
Hanabi membelalakan matanya dan menunjukan wajah terkejut, setelah itu dia mengangkat tangan kanannya dan menyodorkan jari kelingkingnya padaku.
"Janji!..."
Ini adalah pertama kalinya dia bertingkah manja padaku dan menunjukan keegoisannya dengan memaksaku melakukan sesuatu yang dia mau. Dalam keadaan nomal aku akan kegirangan setelah melihat hal itu. Hanya saja, kali ini. . . .
"Aku akan berusaha."
Aku hanya bisa mengalihkan pandanganku darinya sambil melihat adik perempuanku itu mengepalkan tangannya dalam diam sambil memasang wajah kecewa.
Setelah itu makanan kami datang dan kami berduapun makan dalam diam, pulang dalam diam, dan berpisah tanpa bicara apapun pada satu sama lain.
Kencan keduaku dengan Hanabi, berakhir dengan kegagalan.
2
"Hahhh. . . . . .."
"Kenapa mukamu seperti itu Naruto?."
Hinata punya kamar lain, tapi ketika sedang tidak ada orang dia akan datang ke kamarku dengan seenaknya. Dia bahkan dengan santainya berbaring di kasurku sambil berguling ke sana ke mari, membuat rokny tersingkap naik dan turun.
Yang secara ajaib tidak pernah bisa kulihat isinya. Setiap dia ada dalam posisi berbahaya, untuk suatu alasan ada saja yang mengganggu pandanganku. Sepertinya orang yang membuat Hinata di masa depan tidak suka fanservice.
"Ugh. . "
Sial, aku sudah tahu kalau di balik roknya itu tidak ada apa-apa, tapi tetap saja pemandangan itu membuatku jantungku jadi bekerja lebih cepat. Selain itu paha mulusnya itu juga entah kenapa tanpa sadar membuat jari-jari tangaku bergerak sendiri.
"Diam kau! cepat keluar dari sini."
Hinata berhenti berguling-guling lalu melihatku dengan seksama.
"Ada apa?."
Kenapa kau harus jadi senstif di saat seperti ini? di saat seperti ini harusnya kau menggunakan rasa humor salah tempatmu itu agar aku punya alasan untuk mengusirmu dari sini.
"Tidak ada apa-apa, aku hanya sedang patah hati."
"Tapi aku tidak ingat pernah menolakmu."
"Aku juga tidak ingat pernah menyatakan cinta padamu!."
Tapi tenang saja, aku masih ingat pernyataan cintamu padaku.
"Eh? kalau bukan tentangku lalu siapa? memangnya ada gadis lain yang mau untuk kau tembak?."
Sialan, aku tidak bisa membantah kesimpulannya. Aku bisa membayangkan menembak Shion tapi yang bisa kubayangkan hanyalah wajahnya yang menyuruhku bercermin dengan muka dingin.
"Jadi apa yang terjadi?."
"Aku dan Hanabi hanya sedang melakukan 'pertengkaran antar saudara' untuk pertama kalinya."
Dan sama seperti pengalaman pertama yang lain, pengalaman pertama yang ini juga lumayakan menyakitkan.
"Aku paham, jadi kau sedang butuh sesuatu untuk menghibur diri."
"Tidak juga."
"Dan cara paling efektif untuk menyembuhkan luka orang yang baru dicampakan perempuan adalah dengan menggunakan perempuan lain."
"Aku tidak dicampakan! dan omonganmu mulai kedengaran berbahaya!."
"Ayo ke sini Naruto."
Dia sama sekali tidak mendengarkanku dan malah sekarang berbaring terlentang sambil menurunkan kedua kakinya di bagian pinggir kasur sambil membuka kedua tangannya. Dengan membentangkan tubuhnya di depanku seperti itu, sekali lagi aku jadi sadar kalau android dari masa depan ini benar-benar cantik.
"Aku ini milikmu, dan salah satu tugasmu adalah membuatmu senang! jadi jangan sungkan-sungkan untuk bersenang-senang menggunakan tubuhku!."
"Kau bisa diam tidak!?."
Rambut gelap panjang yang lembut, wajah manis dengan mata besar jernih dan bibir manis. Selain itu kulit putih mulus dan lekuk tubuhnya yang pas memberikan kesan kalau Hinata dibuat dengan 'kesempurnaan' sebagai basisnya. Meski dia mesin tapi aku bisa merasakan aura feminimnya yang membuatku ingin segera melompat ke kasur dan memeluknya dengan erat.
Hanya saja.
"Aku sebenarnya agak pensaran dengan sesuatu."
"Ukuran braku adalah . ."
"Aku tidak peduli dengan hal itu!."
"Jadi kalau bukan itu kau penasaran tentang apa?."
Jangan membuatku kedengaran seperti orang yang memikirkan ukuran dada seseorang dua puluh empat jam sehari. Akan kuakui kalau tidak mungkin kalau pikiranku semurni anak lima tahun, tapi aku tidaklah semesum itu.
"Aku sangat sering mendengarmu bicara sugestif. . . tapi apa kau benar-benar bisa. . . . ."
"Bisa apa?. . ."
Sial, bagaimana Hinata bisa melakukannya. Bagaimana dia bisa dengan mudahnya mengatakan hal-hal yang konotasinya mesum?. Secara alami harusnya akulah yang lebih tertarik dengan topik ini, dan sebab yang kuajak bicara adalah android mesum dari masa depan seharusnya tidak ada masalah walaupun aku menanyakannya secara blak-blakan. Tapi sekarang aku benar-benar merasa grogi.
"Bisa apa Naruto?."
"Itu. . . kau tahu kan?"
"Itu ap . . . "
Tiba-tiba Hinata berhenti bicara lalu memandangaku dengan tatapan yang entah kenapa rasanya tidak enak untuk dilihat. Setelah itu dia juga tersenyum dengan senyuman yang tidak enak dilihat.
"Apa. . . ayo katakan saja Naruto. . . bisa melakukan apa?."
Uwah . . . bagian error dari android ini mulai jadi tambah banyak. Bukan hanya dia terlalu mesum dan punya humor yang salah tempat, sekarang kabel di dalam otaknya juga sepertinya ada yang salah sambung dan membuatnya jadi punya hobi membully seseorang. Aku sangat yakin kalau dia paham apa yang ingin kutanyakan tapi sengaja memancingku untuk mengatakannya sendiri.
"Lupakan. . ."
"Ehhh. . . kenapa kau menyerah secapat itu? kau benar-benar tidak seru."
Jangan mengeluarkan suara kecewa seperti itu. Tenang saja, aku masih belum menyerah.
"Aku akan memeriksanya sendiri!."
"Eh?."
Aku mengangkat kedua tanganku lalu menggerakan jari-jariku dengan berlebihan. Setelah itu aku melihat ke arah Hinata yang masih berbaring di kasurku. Selama ini aku hanya menerima serangan dan menghindar tanpa pernah membalas, tapi mulai hari ini aku akan balik menyerang.
"Naruto. . . mukamu agak menyeramkan!. . . "
"Jangan khawatir, aku hanya memeriksa MESINMU."
"Naruto. . . kau tidak serius kan? kau tidak serius kan?."
Hinata mulai kelihatan khawatir. Dan begitu aku semakin mendekat dia memutuskan untuk duduk dan memposisikan dua telapak tangannya di depan tubuhnya seakan mencoba menolakku untuk maju.
"Aku tidak pernah seserius ini! jadi singkirkan tanganmu dan biarkan aku mengerjakan tugasku untuk melakukan maintenance pada tubuhmu,"
"Jangan mend. . ."
Sebelum Hinata menyelesaikan omongannya, aku sudah terlebih dulu berhasil memegang bagian ujung roknya. Dan tanpa banyak tanya aku langsung mencoba menyingkapnya dengan sekuat tenaga.
"Maafkan aku! di sana sama sekali tidak ada apa-apanya! tidak ada yang bisa dilihat di sana!."
"Tapi bukankah kau selalu mengajaku melakukannya, bukankah itu artinya kau bisa melakukannya?"
Aku masih mencoba menyingkap roknya dan Hinata masih mencoba menghalangiku melakukannya. Jika dia mau dia bisa mengalahkanku dalam urusan kekuatan, tapi kalau dia serius melawanku maka dia akan melawan tugasnya untuk melindungiku. Oleh karena itulah dia hanya bertahan dengan memegang ujung roknya dengan kuat.
"Maafkan aku! aku hanya menggodamu saja! aku tidak benar-benar bisa melakukannya! percayalah padaku! di sana hanya ada kulit arficial dan barang elektronik!."
"Kalau kau tidak bisa melakukannya bagaimana kau bisa membuatku senang? hah? bukankah tugasmu membuatku senang?."
"Tugasku adalah melindungimu!."
"Sama saja!."
"Beda! beda jauuuh! terutama konotasinya."
Tunggu dulu! kenapa tiba-tiba aku merasa kalau sedang terkena deja vu?.
"Naruto. . "
Eh? apa-apaan ekspresimu itu?. Bukankah kau yang selalu mengundangku untuk melakukan sesuatu padamu? lalu kenapa kau sekarang memasang muka seperti korban pelecehan sexual?. Selain itu kenapa kau tiba-tiba juga memasang muka memelas seperti itu? lalu lap air mata di pipimu itu. Kau membuatku benar-benar jadi merasa berdosa.
Lama-lama aku jadi merasa kasihan padanya. Sebab melindungi perempuan dan anak kecil itu ada di dalam DNA semua laki-laki, entah kenapa meski aku benar-benar sebal padanya dan ingin balas dendam. Begitu melihatnya memohon-mohon dengan wajah seperti itu, membuatku langsung ingin memberikan apapun yang dia mau.
Tapi aku tidak boleh menyerah begitu saja.
"Aku akan mundur, tapi jawab satu pertanyaanku dulu!."
Hinata melihatku dengan expresi yang masih kelihatan agak takut.
"Apa yang akan kau lakukan kalau aku menjawab iya saat kau mengajaku melakukan ini dan itu?."
Hinata membuang semua expresinya negatifnya dari wajahnya lalu tersenyum dengan lebar. Setelah itu dia melepaskan satu tangannya dari roknya lalu menunjukan jempolnya padaku.
"Aku akan membantumu bermain solo!."
" . . . . . . ."
"Naruto. . . matamu. . . kenapa kelihatan menyeramkan lagi."
Ok! tidak ada namanya belas kasihan lagi!. Kau mungkin kelihatan seperti perempuan, tapi kau hanya benda elektronik. Dengan kata lain kau hanya magic jar yang kebetulan punya bentuk gadis cantik. Karena itulah kau tidak akan kumasukan dalam kategori perempuan.
Dengan kata lain, di DNAku tidak ada insting untuk melindungimu.
"Lepaskan rokmu!."
"Ada apa Narutoooooo! kalau kau tidak ingin bermain solo aku akan membantumu!."
"Diam kau android mesuuumm!."
"Jangaaaan! bagaimana kalau ada yang mas. ."
"Kak Nar. . . . ."
Dan sebelum Hinata menyelesaikan kata-katanya, seseorang benar-benar masuk ke kamarku. Dan orang yang masuk adalah orang yang paling aku tidak mau sampai melihat pemandangan ini. Pemandangan di mana aku memasang muka seram sambil menarik rok pendek Hinata yang memohonku untuk berhenti dengan ekspresi seperti akan menangis.
"Hanabi! percayalah padaku kalau aku punya alasan yang sangat daaaaalam!."
Mendengar alasanku, Hinata langsung menarik pandangannya dariku.
"Aku tahu kalau kau sedang stress karena baru dicampakan Hanabi! tapi aku tidak bisa menghiburmu karena sekarang bukan hari aman."
Aku tidak dicampakan! dan berhenti membuat cerita palsu agar aku kelihatan seperti orang mesum!. Lalu kau Hanabi! jangan buru-buru mengeluarkan ponselmu! aku tidak tahu siapa yang ingin kau telpon tapi tolong berhenti saja! tolong berhenti sekarang juga! aku tidak melakukan tindakan kriminal apapun!. Hinata itu cuma magic jaaaarrrrrrrr!.
Setelah berhasil membuat Hanabi berhenti menelpon polisi dan menjelaskan apa yang terjadi. Hanabi pergi dan kembali meninggalkan kami berdua tanpa mengatakan tujuan awalnya datang ke kamarku. Hanya saja, meski dia pergi dengan tenang aku sama sekali tidak bisa tenang dan berharap kalau dia memang benar-benar percaya dengan penjelasanku.
"Hah. . . . . ."
Tidak dianggap ada rasanya benar-benar tidak enak.
Jika aku tahu kalau aku akan merasa seperti ini akan lebih baik kalau Hanabi menatapku dengan pandangan marah lalu bilang 'dasar kau sampah masyarakat' atau 'mati saja kau!' seperti pelayan sadis yang sebenarnya pemalu.
"Muka mesumu keluar lagi Naruto."
Diam kau!. . . . apa kau tidak lihat kalau aku sedang menghibur diri dengan membayangkan ekspresi sadis Hanabi!.
"Mengesampingkan pikiran mesumu itu, apa kau sudah punya rencana selanjutnya?."
"Aku ingin menyelesaikan masalah ini ASAP."
"Apa kau serius?,"
"Sangat serius!."
Kalau perlu aku bahkan akan keluar sekolah jika hal itu bisa membuatku fokus untuk menyelesaikan masalah yang akan menghantam dunia. Aku masih tidak peduli pada dunia, tapi jika dunia ini bermasalah aku yakin kalau Hanabi juga akan ikut kena masalah. Dan membayangkan apa yang terjadi kalau rencana dari si jendral terlaksana saja sudah membuatku ketakutan.
"Dari program yang dia umumkan, aku tahu kalau niat orang itu baik! tapi yang namanya revolusi selalu diiringi dengan kekacauan! dan tentu saja aku tidak akan membiarkan Hanabi mengalami kelaparan hanya karena orang di atas ingin bermain-main dengan politik."
Si Jendral punya pandangan kalau konflik yang selama ini terjadi dan belum pernah selesai akarnya adalah interfensi pihak luar dalam sebuah negara. Oleh karena itulah dia ingin memutuskan semua interfensi itu meski harus menggunakan kekerasan.
Dunia ideal yang ada di dalam bayangannya adalah dunia di mana semua negara bisa berdiri sendiri, mengurus dirinya sendiri, dan tidak bisa dipengaruhi oleh kekuatan luar. Dengan semua itu mereka bisa membuat negara tertutup yang terisolasi satu sama lain.
Dengan kata lain dia ingin membuang konflik antar negara menghilang, masalah domestik tidak menyebar keluar, dan campur tangan pihak yang tidak berkepentingan dalam masalah internal sebuah negara tidak lagi ada.
Tujuannya sendiri seperti sebuah mimpi sebab sudah jelas tidak mungkin semua pemimpin negara bisa duduk diam dan bisa puas dengan apa yang sudah mereka miliki. Dan meskipun mereka bisa bersukur dan tidak fokus membuat rakyatanya lebih bahagia, pasti ada benih-benih busuk yang tersimpan di dalam pemerintahannya.
Jika orang-orang itu main kong kalikong dengan negara lain maka yang akan terjadi adalah kekacauan. Lalu, dengan policy isolasi yang ada orang lain tidak akan bisa membantu sama lain saat ada masalah.
Kecuali kalau sybil sudah ditemukan dan semua orang punya bisa diukur crime coeficientnya.
"Apa yang dia ingin capai kelihatan seperti angan-angan kosong, tapi sebab dia punya kekuatan pasti akan ada yang mau mengikutinya."
Lalu jumlah mereka tidak akan sedikit, sebab orang yang berpikir kalau dunia berjalan dengan sistem yang salah jumlahnya sama sekali tidak sedikit. Dan jika kau memberikan orang-orang itu kekuatan dan juga ilusi kalau mereka adalah 'pembela kebenaran' maka mereka akan bisa bergerak serempak untuk mewujudkan mimpi dari si jendral.
"Naruto. . . ."
Hinata melihatku dengan tatapan khawatir. Dan tanpa bertanyapun aku bisa menebak kenapa dia memberikan pandangan seperti itu. Apa yang baru kukatan hampir sama seperti apa yang kukatakan sebelum melakukan perjalanan ke Marryland. Saat itu aku gagal dan memutuskan menyerah.
Mungkin dia berpikir kalau kali inipun akan sama. Ketika situasinya terlalu berat aku akan mundur lagi seperti dulu.
"Aku tidak tahu apakah pikiranku akan berubah di masa depan sama seperti sebelumnya. . . tapi kali ini kita tidak sendiri."
Ya. Sekarang kami tidak lagi mencoba mengatasi masalah yang terlalu besar ini sendirian saja. Berhubung si jendral punya banyak doll yang bisa digunakan untuk menghancur leburkan sebuah kota dengan mudah, seluruh dunia sedang waspada dan siap bergerak dan menyerang balik kalau sampai ada gerakan yang mencurigakan sedikit saja.
"Jika dengan bergabung dengan mereka aku bisa membuat masalah ini selesai dengan lebih cepat maka aku akan melakukan apapun untuk membantu orang-orang itu."
"Tapi . ."
Meski aku sempat masuk ke sekolah militer, tapi aku hanya mengikuti program latihan mereka selama beberapa minggu. Jadi tentu saja kemampuanku masih tidak ada bandingannya dengan Sasuke dan teman-temannya. Dan dalam pertempuran yang sesungguhnya mungkin aku sama sekali tidak ada gunanya. Tapi aku punya sesuatu yang tidak mereka punya.
Hinata.
"Tentu saja aku tidak punya niat untuk mati. . . karena itulah Hinata. ."
Aku meraih telapak tangannya.
"Tolong lindungi aku!."
Melindungiku adalah tugasnya. Menjagaku adalah sesuatu yang harus dia lakukan. Dan perintahku adalah sesuatu yang harus dia turuti. Karena semua hal itu aku tidak pernah berpikir untuk secara eksplisit memintanya melakukan sesuatu untuku. Aku hanya percaya kalau dia akan menyelesaikan semua masalah yang kupunya dan menjauhkan bahaya dari hadapanku.
Hanya saja sekarang aku tidak lagi bisa menanggapnya hanya sebagai mesin yang tidak punya perasaan.
Setelah semua hal yang pernah kami alami bersama, aku tidak lagi bisa melihatnya sebagai 'bukan manusia'.
Mungkin aku kedengaran bodoh, mungkin aku bertindak bodoh, dan mungkin juga tindakanku hanya akan jadi bahan tertawaan di masa depan karena mencoba memperlakukan Hinata seperti seseorang yang benar-benar hidup.
Tapi.
"Um. . . serahkan padaku."
Aku ingin mempercayai seseorang. Aku ingin bisa percaya pada seseorang.
3
Di hari selanjutnya, aku langsung mengontak Sasuke untuk mengajaknya bicara. Tujuanku adalah memintanya memasukan namaku dalam pasukan yang akan menyerang Razzle yang dikabarkan sedang mengincar salah satu pangkalan perang NATO.
Dan sebab aku sudah belajar kalau membawanya ke fasilitas militer yang penuh laki-laki hanya mengundang banyak perhatian. Aku menyuruhnya untuk bergaul dengan gadis-gadis lain sambil berdoa kalau dia juga akan membersihkan kesalahpahaman yang Hanabi lihat waktu itu.
Sayangnya begitu aku bertemu dengannya dan mengutarakan keinginaku, yang kudapatkan hanyalah.
"Tidak bisa! aku tidak bisa memasukanmu ke dalam daftar pasukan penyerang! selain aku tidak punya kuasa dan hanya dipanggil karena masalah politik, statusmu sebagai orang sipil juga sama sekali tidak membantu."
"Apa kau tidak bisa mengusahakan pengecualian seperti dulu? bukankah aku sudah memberikan lumayan banyak kontribusi?."
"Kontribusimu malah sudah terlalu banyak, dan itu adalah masalah ketiganya."
"Apa maksudmu dengan terlalu banyak? apa kau mau bilang kalau orang-orang yang sudah mengorbankan nyawanya untuk melumpuhkan Trident kontribusinya tidak dihitung? tanpa mereka kita juga sudah pasti mati saat itu."
Ketika Danzou memberontak dan ingin menggulingkan pemerintahan menggunakan Trident, pasukan PBB terlambat datang lalu pasukan keamanan dalam negri juga hampir tidak bisa berbuat apa-apa. Lalu, yang pada akhirnya yang bisa menjatuhkan Trident adalah sekumpulan murid sekolah militer dan seorang warga sipil.
"Kau tahu berapa harga satu buah misil? sekitar satu setengah juta dolar, kau tahu seberapa besar pengeluaran militer UN? sangat besar sampai angkanya akan menghasilkan error di kalkulator murahan."
Pengeluaran sebuah negara untuk kepentingan militer jumlahnya berbeda-beda, tapi yang jelas uang yang terkumpul itu nilainya sama sekali tidak kecil. Untuk melakukan riset, menambah personil, pembuatan perlatan dan semua perangkat pendukungnya, serta perawatan mereka diperlukan banyak sekali uang. Dan semua uang itu datang dari pajak yang masyarakat umum bayar.
"Apa yang akan kau rasakan ketika tahu uang yang kau berikan malah tidak berguna saat mereka sangat diperlukan?."
Jawabannya adalah kecewa. Dan ketika kekecewaan muncul seseorang pasti ingin protes dan menyuarkan komplain. Lalu jika yang melakukan komplain jumlahnya ada banyak dan teriakan itu didengar lebih banyak orang, pada akhirnya semua komplain itu akan berubah menjadi kritik pedas.
"Intinya mereka ingin memperbaiki image mereka dengan mengalahkan Razzle!."
Jika aku ikut dalam pertempuran mungkin ada yang akan bilang kalau mereka bergantung padaku, yang notabene adalah warga sipil. Tentu saja masalah ini bisa diatasi dengan merekrutku, tapi jika sampai mereka melakukannya hal itu sama saja dengan bilang kalau mereka memerlukan bantuanku untuk bisa menang.
Aku ingin bilang kalau sekarang bukan saatnya untuk membicarakan masalah harga diri. Tapi aku sendiri paham dengan dilema yang mereka hadapi, karena itulah aku diam. Lagipula tidak ada hal yang bisa kami lakukan kalau masalahnya sudah jadi politik.
"Aku akan mencari cara agar kau bisa berpartisipasi, tapi jangan terlalu berharap banyak."
"Kalau begitu aku juga akan mencari cara lain untuk bisa membantu."
Yang kuinginkan adalah menyelesaikan masalah guling-menggulingkan pemerintahan dunia secepatnya, bukannya bertarung dan mengalahkan benda-benda raksasa. Jadi asalkan tujuan awalku bisa tercapai, aku sama sekali tidak keberatan meski harus bekerja di belakang layar dan tidak mendapatkan kredit.
"Ngomong-ngomong dari tadi kita sedang berjalan ke mana?."
"Kita akan ke. . ."
Brak.
Tepat sebelum Sasuke menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba seorang pria besar jatuh setelah terlempar keluar dari sebuah ruangan di depan kami. Dan sebab lemparannya sepertinya sangat keras, pria besar itu bahkan sampai tidak bisa langsung berdiri dan hanya bisa merintih untuk beberapa sesaat sebelum dengan pelan mulai berdiri dan kembali masuk ke ruangan tadi.
"Fasilitas olahraga militer."
"Untuk ukuran fasilitas olahraga entah kenapa tempat ini memancarkan aura berbahaya."
"Bukankah kau sudah biasa berhadapan dengan bahaya?"
"Bertemu dengan bahaya dan menemui bahaya itu berbeda."
"Tapi yang jelas kau pasti akan berhadapan dengan bahaya, karena itulah aku mengajakmu ke sini."
"Untuk?."
"Menjemput pelatih bela diri pribadimu."
"Aku tidak perlu membayar kan?."
"Tentu saja tidak! kau kira aku ini agen?."
Kukira orang-orang yang mau menawarkan bantuan pada Sasuke hanya teman-teman sekelasnya. Tapi ternyata jaringan sosial pemuda sangar ini jauh lebih luas dari yang kubayangkan. Jika dia merekomendasikan orang itu, berarti kemampuannya cukup hebat. Dan dia tidak meminta imbalan finansial, itu berarti hubungannya dengan Sasuke lumayan dekat.
"Jadi. . . kenapa dia ada di sini?."
"Karena dia yang akan jadi pelatihmu."
Begitu kami berdua masuk ke dalam tempat itu, seperti yang sudah kuduga aku bisa menemukan banyak orang berbadan kekar sedang melatih diri sambil memanen keringat. Dan di antara pria-pria berotot dengan muka sangar itu, ada seorang gadis berukuran kecil yang sedang memasang wajah serius di hadapan salah satu dari pria-pria tadi.
"Jadi, kenapa kalian mengeroyok Rin?."
"Jangan membuat kami kedengaran seperti kriminal, mereka hanya sedang berlatih bela diri."
"Aku tidak tahu tentang menu latihan kalian, tapi apa yang seperti ini normal?."
"Tentu saja tidak, dengarkan aku Naruto! percaya atau tidak! Rin itu kuat."
Dia adalah mantan pemimpin dari sebuah kelompok teroris, tentu saja aku percaya kalau ada yang bilang jika dia memiliki pengetahuan bela diri. Hanya saja, sebab aku belum pernah melihatnya berkelahi di depanku secara langsung aku tidak bisa membayangkan kalau Rin yang kalah postur dan tenaga bisa menang melawan lima pria besar yang sedang mengepungnya.
Jujur saja aku merasa khawatir.
"Ha!."
Tapi kekhawatiranku langsung hilang begitu Rin melemparkan seseorang seseorang yang mencoba menyerangnya. Dengan sangat cepat, dia menangkap lengan penyerangnya, menekuknya di persendian, merendahkan badannya lalu menggunakan kaki kanannya untuk mendorong tubuh orang itu lewat belakang dan melemparkannya ke arah kami.
Begitu serangan lain datang, gadis itu langsung menggunakan momentum dari gerakannya yang sebelumnya untuk mempercepat gerakannya dan menahan serangan musuh. Begitu pukulan dan tendangan lawannya berhasil dia hentikan dengan lembut, dia langsung mengincar titik-titik lemah seperti hidung, tenggorokan, ulu hati, pusar, dan selangkangan musuh.
Secara kekuatan dia kalah jauh dari lawan-lawannya, jadi secara teori untuk mengalahkannya seseorang hanya perlu mengunci tubuhnya. Begitu tubuhnya terkunci gadis itu tidak akan bisa bergerak sebab dia tidak punya cukup kekuatan untuk melawan musuhnya secara langsung.
Hanya saja, justru di situlah masalah utamanya. Mencoba memprediksi gerakan gadis itu sangat sulit karena basis bela dirinya yang sepertinya hasil campuran dari berbagai macam aliran, kecepatan dan kelincahannya membuatnya selicin belut untuk ditangkap, dan meski kau berhasil mendapatkan persendiannya gadis itu selalu bisa lolos dengan mengatur posisi badannya dan membuat sebagian besar berat tubuhnya bisa dia gunakan untuk mengungkit kaki atau tangannya keluar dari genggaman musuh.
"Ini pertama kalinya aku melihat gerakan semacam itu di luar film bela diri lama."
Teknik yang digunakan Rin tidak mengandalkan kekuatan, tapi meski begitu kemampuan bela dirinya benar-benar mematikan. Dan teknik itu seperti memang dibuat khusus untuknya. Selain efektif setiap gerakannya juga indah dan seperti tidak ada yang menghasilkan gerakan tidak berguna.
Jika aku harus melawannya dalam pertarungan satu lawan satu, aku yakin dalam lima detik aku sudah akan berada di tanah dan siap dieksekusi.
"Ngomong-ngomong, apa kau bisa mengalahkannya Sasuke?."
Hubunganku dengan Rin mungkin tidak terlalu buruk, tapi jarak di antara kami juga tidak sedekat itu. Selain itu aku masih ingat kalau kami sempat adu argumen sebelum tempat kami berada diratakan oleh sebuah senjata raksasa yang jatuh dari langit. Aku agak khawatir kalau dia masih menyimpan dendam atas keputusanku. Kalau bisa, aku tidak ingin ditinggal sendirian bersama dengan Rin yang bisa dengan mudah mematahkan leherku.
"Setidaknya saat ini."
"Saat ini?."
"Ya! bisa dibilang kalau dia adalah jenius dalam bela diri."
"Kau serius?."
"Kalau hanya sekedar kemampuan mentah saja yang diukur, dia malah sudah ada di atasku."
Bisa dibilang Sasuke hanya menang tenaga dan postur, jika mereka punya postur yang sama Sasuke sendiri tidak yakin kalau dia bisa menang dalam pertarungan satu lawan satu. Dan masalah seperti itu bisa hilang dengan sendirinya dalam waktu beberapa tahun. Pemuda itu yakin, kalau di masa depan Rin akan melampauinya.
"Kalau dia punya masa depan. . ."
"Ha? apa-apaan pertanyaan itu Sasuke? apa dia akan ditahan atau semacamnya di masa depan?."
"Bukan itu! sebelum sadar dan kubawa ke sini, dia dirawat di rumah sakit militer dan di sana dokter yang merawatnya menemukan ada yang aneh dengan badannya."
Orang dengan profesi berbeda punya susunan otot yang berbeda karena tubuhnya mendapatkan beban yang berbeda-beda pula. Meski dengan presentasi lemak yang sama, seorang atlet sepak bola akan punya susunan otot yang berbeda dengan pemain basket.
"Lalu?."
Normalnya, ketika seseorang menemukan bakat dari seorang anak. Tubuh mereka akan dilatih berdasarkan bakat itu. Dalam kasus ini, bakat Rin dalam bela diri. Sebab bakat saja tidak akan cukup untuk membuatnya kuat. Tanpa latihan yang tepat, kemampuan bela dirinya tidak akan setinggi sekarang seberapa besarpun bakat yang dimiliki gadis itu.
"Lalu apa masalahnya?."
"Masalahnya adalah ketika dokter memeriksa tubuhnya, dia menyadari kalau susunan ototnya sama persis dengan gadis biasa yang tidak pernah berlatih bela diri."
Tunggu dulu. Sasuke bilang untuk bisa sampai pada levelnya yang sekarang Rin perlu latihan keras. Dan latihan keras itu tentu saja tidak mungkin dilakukan hanya dalam waktu satu atau dua hari. Dia perlu melatih tubuhnya dengan menu khusus yang berkelanjutan. Latihan itu pasti akan berpengaruh pada susunan otot di tubuhnya. Mungkin tubuhnya tidak akan kelihatan kekar seperti Sasuke, tapi setidaknya pasti ada perubahan.
"Kalau begitu bagaimana Rin bisa sekuat itu?. . ."
"Di sini. . ."
Sasuke mengetuk kepalanya sendiri menggunakan jari telunjuknya.
"Kau tahu apa itu savant syndrome?."
"Sedikit."
Savant syndrome adalah keadaan disabilitas mental di mana kemampuan lain seperti perhitungan, ingatan, kemampuan kognitif dan artistik berada jauh di atas rata-rata. Bisa dibilang, orang yang punya kekurangan bagian lain secara mental tapi punya kelebihan di bagian lain. Dan kelebihan ini biasanya jauh-jauh di atas orang normal. Dengan kata lain, seorang yang jenius dalam satu hal dan orang bodoh dalam hal lain.
"Tapi dilihat dari manapun Rin kelihatan seperti gadis normal."
Savant syndrome dinamakan keadaan disabilitas mental karena orang yang memilikinya normalnya punya kemampuan yang jauh di bawah standar dalam masalah umum. Tapi Rin tidak punya masalah komunikasi dan tidak menunjukan perliaku aneh yang normalnya ditunjukan oleh seseorang yang menyandang savant syndrome.
"Bagaimana kalau aku bilang kalau sebelumnya dia itu memang gadis normal."
"Jangan bilang kalau keadaannya buatan!."
"Sayangnya memang hal itu yang mereka temukan."
Berdasarkan cerita Sasuke, dokter yang memeriksa Rin menemukan kalau susunan otaknya sudah dirubah secara paksa menggunakan operasi dan bahan kimia. Dan modifikasi pada otaknya itu dilakukan untuk mendapatkan kemampuan plus seorang savant syndrome tanpa bagian minusnya.
"Tidak mungki. . ."
Kau mau bilang kalau eksperimen terhadap manusia bukan hanya ada di film dan dokumentasi perang puluhan tahun yang lalu?. Kau mau bilang kalau dunia ini malah jauh lebih buruk dari apa yang kubayangkan?. Sekarang aku benar-benar mulai berpikir ulang apakah revolusi memang tidak perlu dilakukan.
"Naruto, sejujurnya membuatnya jadi pelatih bela dirimu hanya salah satu dari tujuanku mengajakmu ke sini!."
"Lalu apa yang satunya?."
Yang kita bicarakan adalah Sasuke yang notabene adalah karakter pembela kebenaran. Meski dia punya tujuan tersembunyi aku yakin kalau hal itu bukanlah sesuatu yang licik atau jahat. Tentu saja, apakah tujuannya itu menyusahkanku atau tidak, adalah urusan lain.
"Tolong bawa Rin bersamamu."
"Ha?."
"Aku ingin menitipkannya padamu."
"Aku tidak akan bertanya kenapa kau meminta tolong padaku, tapi aku akan bertanya kenapa kau ingin menitipkannya."
"Sebenarnya aku memberikan laporan palsu ke atasanku."
Sasuke memberikan laporan palsu tentang Rin pada atasannya dengan menuliskan kalau Rin hanya gadis biasa dan tidak punya hubungan dengan organisasi teroris yang mereka kejar. Sejak memberikan deklarasi perang, banyak investigasi yang dilakukan terhadap si Jendral. Dan hasil dari salah satu investigasi itu adalah kalau ternyata dia punya banyak hubungan dengan organisasi teroris di banyak negara.
Jika identitas Rin sebagai mantan pemimpin salah satu pasukan teroris itu diketahui oleh mereka, bisa jadi gadis itu akan ditangkap untuk diintrogasi. Dan sebab semua orang sedang panik karena keberadaan senjata pemusnah masal milik orang tua itu, ada kemungkinan sangat besar kalau para investigator itu akan tega menggunakan metode apapun untuk bisa mengorek informasi penting dari Rin.
"Dan aku tidak mau hal itu sampai terjadi, kau boleh menyebutku naif tapi aku merasa kalau Rin juga adalah korban."
"Maksudmu?."
"Kau ingat kasus penculikan yang kubicarakan dulu?."
Saat bertemu di markas salah satu organisasi teroris aku bertemu dengan Sasuke, dia dan teamnya sedang mencoba membebaskan seorang teman Hanabi yang diculik dan di bawah ke luar negri. Selain itu dia juga menceritakan kalau dia sempat menggagalkan sebuah kasus penculikan yang hampir melibatkan Hanabi ketika aku pergi.
"Ini hanya tebakanku saja, tapi aku rasa kalau Rin juga adalah salah satu korban dari kasus itu."
Kalau memang begitu, ada kemungkinan besar kalau orang-orang yang diculik akan digunakan sebagai bahan eksperimen. Yang artinya juga adalah, kalau otak Hanabi hampir diotak-atik oleh orang-orang gila yang bekerja untuk orang gila lain.
"Apa kau tidak bisa menyerahkannya pada panti asuhan saja?."
"Kau masih ingat kalau otaknya dituning untuk kepentingan militer kan?."
Hal itu mungkin akan membuat Rin memandang sesuatu yang normal dari sudut yang lain, melihat situasi dari sisi yang berbeda dari orang normal, dan tendensi untuk menggunakan standar militer sebagai gaya hidup. Hal seperti itu akan membuatnya dilabeli sebagai seseorang yang punya masalah mental, dan memberikan obat pada orang yang sebenarnya tidak sakit malah hanya akan membuat seseorang jadi keracunan.
"Tidak ada orang yang bisa kuberi kepercayaan penuh di tempat ini, karena itulah aku ingin meminta tolong padamu untuk memberikannya tempat tinggal! setidaknya sampai tugasku berakhir dan aku diijinkan pulang."
Ketika dia pulang dia bisa meminta kenalanannya yang bisa dipercaya untuk diserahi tugas mengurus Rin.
"Selain itu aku juga masih ingin mendapatkan informasi tambahan darinya, sebab kau punya skill untuk menjinakan gadis kecil aku percaya kalau adalah orang yang paling tepat untuk pekerjaan ini."
"Kau sedang minta tolong atau memintaku menghajarmu?."
"Tolonglah."
Warga sipil tidak bisa tinggal di fasilitas militer tanpa ijin khusus. Dan untuk memiliki ijin khusus biasanya orang-orang itu perlu bekerja di sana. Dan tentu saja, Rin yang belum cukup umur, tidak punya tanda pengenal, dan hanya punya identitas yang kabur tentu saja tidak bisa mengambil pilihan semacam itu untuk bisa tinggal di sini.
Dalam masalah tempat tinggal dan akomodasi, keadaanku juga tidak terlalu jauh berbeda dengannya. Aku hanya orang yang numpang pada temannya. Tapi meski begitu, aku tidak punya pilihan untuk menolak permintaan Sasuke.
Aku butuh seseorang untuk memberiku latihan bela diri, dan Rin adalah kandidat terbaik yang ada sebab selain kami sudah saling kenal aku juga tidak perlu membayar sepeserpun. Selain itu bisa dibilang dia adalah pro yang levelnya bahkan sekelas Sasuke.
Ada banyak situasi di mana aku tidak bisa mengandalkan Hinata, jika aku masih terus seperti ini kejadian seperti saat kami ada di pulau terpencil bisa terjadi lagi. Sebelum itu, saat aku melawan Danzou aku juga bisa menang hanya karena aku memberikan serangan kejutan dan bukan karena benar-benar punya skill.
"Baiklah."
Mungkin Rin akan membawa sedikit masalah ketika aku membawanya pulang. Tapi aku yakin kalau Shion akan menerima kehadirannya meski protes di awalnya. Dia bukan orang yang setega itu membiarkan orang lain mengalami kesulitan.
"Tapi apa Rin akan mau mengikutiku begitu saja?."
Terakhir kali aku berbicara dengannya dia punya kepala yang agak keras.
"Dia tidak akan menolak kalau kau yang memintanya! bukankah kau belum mengambil hadiahmu?."
"Bagaimana kau bisa tahu tentang hal itu?."
"Aku menggunakan sedikit kekerasan."
"Aku paham, aku perlu lapor polisi."
"Aku hanya mengajaknya berduel dan menuruti perintahku kalau aku menang."
Aku juga berpikir kalau dia melakukan hal semacam itu, jika dia belum pernah melawannya tentu saja dia tidak akan tahu seberapa kuat Rin. Dengan begitu, Rinpun ikut pulang bersamaku bahkan tanpa memberikan sedikitpun kalimat protes.
4.
"Baiklah Naruto! tergantung jawabanmu aku akan memilih siapa yang akan kutelpon, polisi, ambulans, atau pemadam kebakaran."
Aku sudah tahu kalau membawa Rin pulang itu sama dengan meminta seseorang untuk menyambutku dengan tatapan dingin. Tapi aku sama sekali tidak menyangka kalau selain tatapan dingin aku juga akan mendapatkan tuduhan tindakan kriminal dari orang yang kukira paling normal di antara orang-orang yang sering ada di sekitarku.
"Mengesampingkan polisi dan ambulans, aku agak penasaran kenapa kau perlu memanggil pemadam kebakaran."
"Karena sebentar lagi aku akan meledak."
"Kau bukan reinkarnasi pria paruh baya yang dikirim ke jaman perang karena ngotot debat dengan dewa kan?."
"Jadi? apa penjelasannya? apa kau memungutnya di bawah jembatan? menculiknya dari rumah seseorang, atau menipunya sepulang sekolah?."
"Ok, stop! namanya adalah Rin dan dia adalah saudara Sasuke, sebab dia tidak bisa menjaganya karena punya tugas lain dia ingin menitipkannya sementara padaku."
"Maksudmu, padaku kan?."
Secara teknis Sasuke memang menitipkan Rin padaku, tapi berhubung aku menumpang pada Shion secara tidak langsung Sasuke juga meminta bantuannya. Dan sayangnya, Sasuke dan Shion belum pernah bertemu satu sama lain dan jelas tidak punya hubungan yang cukup dekat untuk bisa dengan mudah membantu tanpa banyak tanya.
"Aku juga tidak ingin merepotkanmu, jadi kalau kau. . .?."
Kalau Shion tidak bisa menerima kehadiran Rin, maka aku tidak punya pilihan lain kecuali ikut keluar. Aku sudah tidak ada dalam posisi di mana aku bisa mundur dan kembali pada Sasuke lalu bilang maaf. Jadi mau tidak mau aku harus memberikannya tempat tinggal meski harus mengeluarkan uang sendiri.
"Entah kenapa kau membuatku kedengaran seperti orang keras kepala yang tidak bisa berkompromi, tenang saja aku tidak akan melaporkanmu ke polisi hari ini.."
Apa maksudmu dengan hari ini? jadi kau tetap ingin melaporkanku ke polisi?.
"Kau hanya perlu memberitahukanku siapa itu Sasuke."
Sekarang apa yang harus kukatakan padanya? bilang kalau Sasuke adalah temanku mungkin pilihan yang paling normal. Tapi apa itu saja sudah cukup untuk meyakinkan Shion kalau menerima Rin itu bukan masalah?. Apa aku harus menceritakan pekerjaan Sasuke yang sebenarnya untuk menarik simpatinya?. Kalau aku menceritakan yang sejujurnya, apakah Shion akan percaya?.
"Kak Naruto, siapa gadis yang kau bawa itu?."
Ketika aku sedang bingung bagaimana menjelaskan identitas Sasuke, tiba-tiba Hanabi muncul bersama Amaru sambil membawa belanjaan.
"Dia saudaranya Sasuke."
"Saudara ya? kupikir dia tidak punya saudara sebab dia bertingkah seperti kak Naruto."
Apa maksudnya dengan 'bertingkah seperti kak Naruto' memangnya tingkahku selama ini seperti apa?.
"Jadi apa yang terjadi? kak Naruto tidak mungkin menang melawan Sasuke jadi tidak mungkin kau membawa gadis itu secara paksa dari Sasuke."
Secara spek dan pengalaman Sasuke jauh berada di atasku dalam masalah hajar menghajar seseorang. Jadi tidak mungkin aku bisa membuat Rin yang sekarang statusnya jadi saudaranya Sasuke secara paksa dari pemuda itu.
"Tunggu dulu."
Kenapa kau berbicara seakan kau jauh lebih kenal dengan Sasuke daripada aku?. Bukankah kalian hanya sering bertemu selama sebulan?. Hanabi punya tendensi untuk banyak berpikir ketika melakukan hubungan sosial, dan hal itu membuatnya sulit dekat dengan orang lain yang tidak paham bagaimana cara kerja pikirannya. Jadi harusnya Sasuke dan Hanabi tidak mungkin bisa jadi dekat dalam waktu yang sesingkat itu.
Aku saja perlu waktu sekitar tiga bulan sampai bisa dekat dengannya dulu.
Jangan bilang!. .
"Sasuke tidak melakukan sesuatu yang aneh padamu kan?."
Seperti menyatakan cinta padamu seperti yang kulakukan dulu.
"Te-tentu saja ti-tidak! memangnya hal aneh macam apa yang kak Naruto bicarakan."
Aku yang ingin tahu hal ituuuuuu. Apa yang pernah dia lakukan sampai bisa membuatmu jadi panik, bicara terbata-bata dan memasang wajah malu dengan pipi merah ketika membicarakannya.
"Kau kenal dengan Sasuke, Hanabi?."
Shion yang sedari tadi tidak mendapat jawaban yang diinginkannya akhirnya mengalihkan target introgasinya pada Hanabi. Membuatku mendapatkan perasaan yang agak rumit. Aku senang tidak harus diintrogasi lagi, tapi sebagai kakaknya aku juga agak tidak merasa nyaman Hanabi ditanyai tentang laki-laki lain.
Seperti ayah yang tiba-tiba mendengar kalau anak gadisnya punya kekasih.
"Kau ingat saat aku hampir diculik kak Shion? yang menyelamatkanku adalah Sasuke dan teman-temannya!."
"Menyelamatkanmu? memang mereka itu siapa? kukira polisi yang menyelamatkanmu setelah kau menelpon mereka."
"Kak Naruto meminta Sasuke untuk jadi penggantinya sebagai stalker."
Kalau Sasuke memang stalker, tapi aku bukan. Sama sepertinya yang tidak mau disamakan denganku, aku juga tidak mau disamakan dengannya.
Setelah itu Hanabi menjelaskan kalau Sasuke dan teman-temannya berasal dari sekolah militer dan mereka punya pengalaman melakukan operasi penyelamatan. Hanya saja sebab mereka akan mendapatkan hukuman kalau ketahuan bertindak sendiri, Hanabi tidak bisa memberikan laporan yang sebenarnya.
"Kalau bisa aku ingin kak Shion mengijinkannya tinggal di sini, Kak Sasuke sudah membantuku dan aku ingin membalas bantuannya itu."
Shion memasang wajah berpikir untuk sesaat sambil melihatku, Hanabi, dan Rin secara bergantian. Sasuke adalah orang yang sudah menyelamatkan Hanabi dan juga kenalan dekatku. Dengan semua hal itu harusnya Shion tidak lagi punya alasan untuk meragukan latar belakang sasuke.
"Kurasa dia sedang punya tugas baru di tempat ini, dan tentu saja tempatnya bertugas bukan tempat cocok untuk seorang gadis seperti Rin."
Hanabi menatapku dengan pandangan meminta persetujuan atas tebakannya, hanya saja sebab aku tahu kalau Rin adalah mantan pemimpin organisasi teroris, aku hanya bisa memberikan senyum setengah hati sebagai jawaban.
"Aku paham, setidaknya dia bukan orang tidak jelas."
"Jadi?"
"Dia boleh tinggal di sini untuk sementara waktu."
"Terima kasih Shion."
"Aku menerimanya karena Hanabi, bukan kau."
Kenapa kau harus bertingkah tsundere sekarang? jangan bilang kalau sebenarnya kau ingin menerima Rin tapi tidak punya alasan sehingga kau pura-pura tidak setuju supaya ada orang lain yang memberikan alasan untuk memaksamu menerima kehadirannya.
"Terima kasih."
"..."
Ucapan terima kasihku yang kedua hanya disambut dengan tatapan tajam yang sepertinya artinya adalah 'aku sedang tidak ingin bicara denganmu' sebelum dia masuk ke rumah. Ok, terima kasih. Aku paham kalau kau tidak sedang bertingkah seperti tsundere tapi memang benar-benar marah karena aku membawa seseorang tanpa ijin secara mendadak.
"Berhubung kita sudah dapat ijin, ayo kita masuk."
"Um. . ."
Aku menawarkan diri untuk membawakan barang-barangnya yang bisa dia muat dalam satu tas ransel, tapi dia menolak dan melihatku dengan tatapan seakan aku baru saja meremehkannya. Dari gelagatnya, dia adalah tipe gadis yang tidak akan meminta tolong sampai dia benar-benar butuh pertolongan. Dengan kata lain, seseorang yang akan berusaha melakukan apapun sendirian kalau bisa.
Setelah aku menarik tanganku, dia mengambil ranselnya dan menggedongnya sendiri. Hanya saja. .
"Kalau begitu. . ."
Aku juga bukan orang yang akan pergi saat disuruh pergi. Dengan kata lain, aku adalah orang keras kepala yang tidak akan mundur kalau tidak benar-benar dipaksa untuk mundur. Aku mengalihkan gerakan tanganku dari tas ranselnya dan menggenggam tangannya.
"Kau masih butuh tour guide kan?."
"Geh. . ."
Dia masih menunjukan wajah kesal, tapi pada akhirnya dia balas menggenggam telapak tanganku dan menyerah begitu aku mengajaknya mulai berjalan. Sebab dia tidak tahu seluk beluk rumah super besar Shion yang kami tinggali sekarang, mau tidak mau dia harus bergantung pada orang lain untuk menuju ruangannya.
"Hanab. . ."
"Aku juga akan ikut judi tour guide."
Hanabi menyambar tanganku yang kosong dan menjepitnya dengan erat di antara kedua tanganya sendiri sambil mengarahkan tatapan yang kali ini tidak terasa kosong padaku. Melihat hal itu Rin langsung menarik tanganku dan membuat tubuhku sedikit menunduk ke arahnya.
"Naruto."
"Apa?."
Amaru yang sedari tadi tidak kebagian screen time tiba-tiba memanggilku, lalu setelah meninggalkan bom dengan bilang . .
"Adikmu benar-benar imut."
"Tentu saja, dia adalah adik perempuan paling imut sed. . .awawawaaa. . .."
Lalu pergi begitu saja ke dapur. Dan tentu saja sebelum aku bisa menyelesaikan kata-kataku, tiba-tiba lengan kiriku terasa sakit Hanabi memelintirnya dengan cukup keras.
"Ada apa Hanabi?"
Diperlakukan dingin olehnya sama sekali bukan hal baru, tapi Hanabi memperlaku kanku dengan agresif seperti ini adalah pengalaman pertamanya. Apa dia juga jangan-jangan tidak terlalu menyambut kedatangan Rin dan menerimanya hanya karena dia ingin membalas budi pada Sasuke?. Tidak mungkin, karakter Hanabi tidak seperti itu. Meski perasaannya jarang kellihatan, tapi sebenarnya dia adalah tipe orang yang memikirkan kepentingan orang lain dulu sebelum keperluannya sendiri.
Jadi harusnya tidak mungkin dia akan menunjukan ketidakpuasannya atas kehadiran seseorang dengan terang-terangan seperti ini.
Atau. . . .
"Kau tidak perlu cemb. . .awawawaawa. . ."
Kali ini dia memelintir tanganku dengan lebih keras, menunjukan kalau dia sedang tidak ada dalam mood untuk mendengar lawakanku.
Dengan begitu, kami bertiga berjalan menuju ke ruangan yang akan ditempati Rin tanpa ada masalah.
Adalah apa yang aku harapkan, tapi ketika kami sampai di depannya tiba-tiba bertingkah aneh dan melihatku dengan tatapan dingin selevel Maika-san.
"Apa maksudnya ini?."
"Apanya?."
"Kenapa kau membawanya ke kamarmu?."
Kenapa? karena aku tidak ingin membuat Shion jadi semakin repot. Dengan tinggal di kamarku, ruangan yang harus digunakan untuk mengakomodasi keberadaan kami tidak akan bertambah. Meski rumah ini adalah rumah pribadi ayahnya Shion, tapi tempat ini juga sebenarnya berfungsi sebagai rumah tamu bagi orang-orang yang ingin menemuinya. Oleh sebab itulah, seseorang bisa saja datang dan memerlukan ruangan untuk ditempati.
Jika saat itu tiba dan ruangan yang diperlukan tidak cukup karena ada Rin, hal itu akan merepotkan.
"Aku paham, Kak Naruto itu idiot."
"Hah?"
Aku memang tidak terlalu pintar dalam masalah akademik, tapi kakakmu ini adalah orang super kreatif yang bisa membuat rencana untuk menjatuhkan senjata super raksasa yang desainnya diambil dari produk di masa depan.
"Atau, kak Naruto memang dari awal berencana mencari-cari alasan agar bisa tidur dalam satu kamar dengan Rin?"
"Tentu saja tidak, aku berencana untuk tidur di luar."
Tunggu dulu, mungkin aku bisa memanfaatkan situasi ini untuk hal lain.
"Ha?."
Kenapa sekarang kau yang memasang wajah heran seperti itu Hanabi? aku tahu kalau ada banyak orang yang menyebutku mesum. Tapi aku bukanlah orang yang bisa dengan muka datar bilang kalau aku ingin tidur satu kamar dengan seorang gadis bukan saudara yang umurnya hanya satu tahun di bawahku.
Urusannya lain kalau yang jadi bahan pembicaraan adalah kau, tapi yang jadi subyek kali ini adalah Rin. Yang jelas bukan adik perempuanku. Karena itulah aku mengambil keputusan super logis yang kuberitahukan tadi.
"Kak Naruto, kau tahu sekarang bulan apa dan di mana sekarang?"
Februari dan London.
"Artinya."
"Aku hanya perlu selimut, atau. . . kalau bisa mungkin aku bisa pindah ke kamarmu?.."
" . . . . ."
"Apa? kenapa?."
Kenapa kau memandangku seakan aku ini kriminal? bukankah kita ini saudara? selain itu kita juga sudah sering tidur bersama dulu? jadi kurasa aku pindah ke kamarmu setelah kamarku dihuni orang lain sama sekali tidak aneh. Malah bisa dibilang, itu adalah pilihan paling natural yang ada saat ini.
"Aku paham."
Paham apa Rin? kenapa kau tiba-tiba memasang wajah sok tahu seperti itu?.
"Dari awal kau mengincar hal ini."
Mengincar apa memangnya? aku hanya memberikan usul yang menguntungkan semua orang. Aku bisa punya alasan untuk berada di dekat Hanbi dan mencoba memperbaiki hubungan kami yang jadi agak renggang gara-gara pertengkaran antar saudara kami yang pertama. Dia tidak perlu khawatir aku akan sakit karena tidur di luar, dan lain bisa mendapatkan kamarnya sendiri.
Win-win Solution.
"Kurasa ya win hanya kak Naruto saja."
"Apa kau masih marah padaku?"
Hanabi adalah tipe orang punya rasa kepedulian tinggi pada orang lain. Bahkan alasannya jadi terisolsi dari teman-temannya dulu adalah karena dia terlalu banyak memikirkan keadaan teman-temannya yang lain dan berakhir dengan dirinya jadi terlihat plin-plan. Jadi kalau tidak terpaksa normalnya dia tidak akan membiarkanku yang notabene adalah saudara satu-satunya untuk jadi sakit karena tidur di luar kamar di sebuah negara yang iklimnya jauh berbeda dengan rumah aslinya.
Kalau ada sesuatu yang membuat tingkahnya tidak normal, aku hanya bisa ingat satu hal yang mungkin judi penyebabnya.
"Hah? apa yang kak Naruto bicarakan? aku tidak peduli dengan hal sepele seperti itu!"
". . ."
Hal sepele? kukira kau menjauhiku karena aku tidak mau mendengarkan saranmu. Jangan bilang kalau aku salah paham dan mengira kalau kita sedang ada dalam konflik meski sebenarnya kau hanya sedang memikirkan hal lain yang tidak ada hubungannya.
"Jadi kau tidak marah padaku?."
"Kalau bicara marah atau tidak, aku masih marah, tapi hal itu tidak penting untuk dibahas."
"Tidak penting?."
"Ya, ketika kau ingin mengambil keputusan itu kau sudah memikirkannya dalam-dalam kan?."
Tentu saja. Sebelum aku mengambil keputusan untuk ikut berpartisipasi dalam perang yang mungkin akan jadi konflik terbesar ketiga di dunia ini sebagai seorang individu, aku sudah memikirkan resiko macam apa saja yang mungkin akan kuhadapi.
Dan ketika aku sudah menghadapi semua resiko itu di kepalaku, aku menganggap kalau semua itu tidak jauh lebih penting dari nasib Hanabi dan juga orang-orang yang ada di sekitarku.
Mungkin apa yang bisa kulakukan tidak banyak, mungkin bantuanku tidak ada nilainya, atau bahkan mungkin interfensiku sama sekali tidak disambut baik. Tapi meski begitu, aku benar-benar ingin kalau semua ini cepat berakhir. Karena itulah, dengan mata kepalaku sendiri aku akan memastikan kalau musuh yang mengaku pahlawan itu jatuh dan tidak bisa bangkit lagi.
"Oleh sebab itulah aku tidak bisa memaksakan kehendaku pada kak Naruto, sebab hidup kak Naruto adalah milikmu sendiri, aku akan menghormati keputusanmu."
"Hanabi."
Meski dia lebih muda dariku, tapi kata-kata yang dia lontarkan padaku sama sekali tidak kedengaran seperti omongan anak kecil. Malah sebaliknya, saat ini aku merasa kalau Hanabi jadi lebih dewasa dariku yang enam tahun lebih tua darinya.
"Terima kasih."
Bukan hanya aku saja yang sudah berubah, tapi Hanabi pun sama. Dia bukan lagi anak kecil cengeng yang kesepian, dia sudah tumbuh lebih dewasa. Cukup dewasa untuk bisa mengambil keputusan sendiri dan menghormati keputusan yang orang lain ambil.
Entah kenapa perasaanku jadi agak rumit. Di saat aku senang karena Hanabi sudah jadi sedikit lebih dewasa, aku juga merasa agak kecewa karena tiba-tiba dia sudah jadi dewasa dan sebentar lagi mungkin tidak akan mau dianggap sebagai adik kecilku lagi.
Tanpa sadar aku memegang tangannya.
"Ada apa kak Naruto? kenapa kau memasang muka serius begitu?"
Aku tidak tahu, hanya saja kalau aku melepaskanmu aku merasa kalau kau mungkin akan pergi begitu saja.
"Ahem, aku harap kalian tidak lupa kalau aku masih ada di sini."
Kau benar-benar tidak bisa membaca suasana. Apa kau tidak kalau mood di antara kami sedang bagus? kalau kau tidak bisa diam setidaknya masuk saja ke kamarku dan tunggu kami sampai selesai.
"Han…"
"Kalau begitu kami ke kamar dulu."
Hanabi melepaskan tanganku lalu meraih tangan Rin dan menuntunnya menuju kamarnya sendiri yang tidak jauh dari kamarku berada.
"Sudahlah."
Aku masih punya banyak kesempatan lain. Aku tidak perlu buru-buru. Kalau aku memaksa malah mungkin kali ini dia akan benar-benar membenciku.
Begitu aku memutuskan menyerah dan berniat untuk segera masuk ke kamarku sendiri, tiba-tiba aku merasakan aura tidak enak memancar dari dalam ruangan itu. Lalu begitu aku melihat dengan lebih teliti pintu kamarku, aku menemukan seseorang sedang mengintip ku dengan sebelah matanya yang sedikit bersinar dari celah kecil yang terbuka.
"Jadi apa yang sedang kau coba lakukan Hinata?"
Kalau aku tidak ingat jika Hinata punya hobi untuk masuk ke kamarku tanpa ijin. Mungkin aku sudah berteriak setelah melihat pemandangan horor tadi.
"Aku akan tidur di kamarmu."
"Ha?."
"Aku akan tidur di kamarmu."
"Aku sudah dengar! kau tidak perlu mengulanginya!."
"Kalau begitu. ."
"Silahkan keluar nona Hinata."
"Kenapa?. . . kau bisa dapat gadis cantik untuk jadi bantal gulingmu, harusnya kau senang."
Justru karena itu!. Justru karena kau ini gadis cantik jadi aku perlu menyuruhmu keluar. Bagaimana kalau aku tidak bisa menahan diri? lalu bagaimana kalau Hanabi melihatku yang tidak bisa menahan diri sedang main solo dengan kau menontonku?.
Aku akan mati! secara sosial!.
"Maaf saja Naruto, tapi kali ini kau tidak punya pilihan untuk menolak?."
Sejak kapan hak asasi manusia hilang dari dunia ini? seingatku beberapa hari yang lalu aku melihat kalau segerombolan orang berkumpul masih ramai membicarakannyadi di depan sebuah bangunan pemerintahan.
"Hinata, ini perintah! kembali ke kamarmu!."
"Tidak mau!, aku akan menjalankan tugasku sebagai bantal gulingmu malam ini."
Apa maksudmu dengan tugas sebagai bantal guling? aku tidak sekesepian itu sampai harus membeli bantal guling bergambar gadis cantik untuk jadi teman tidur. Selain itu, jika kau ingin jadi bantal guling kau harus punya animemu sendiri dulu.
"Tunggu dulu."
Ini aneh, kenapa dia bisa dengan tegas menolak perintahku? bukankah harusnya perintahku adalah prioritas baginya?. Menuruti perintahku adalah juga salah satu tugasnya, hal itu adalah hal paling penting kedua yang harus dia lakukan sebagai seorang android.
Jadi?.
"Hinata, kau tidak menyembunyikan sesuatu dariku kan?."
"Menyembunyikan apa? three sizeku. . . ."
"Ok, aku sedang tidak mood bercanda."
"Naruto?. . ."
"Jadi apa kau menyembunyikan sesuatu dariku?."
"Sesuatu seperti apa?."
"Sesuatu yang bisa memancing sensor bahayamu untuk bereaksi."
"Hmmm. . . .maksudmu seperti gelombang magnet besar dari bawah sungai Thames?."
"Hinata. . . ."
"Ap-apa? kenapa mukamu jadi seram begitu?."
Aku benar-benar merasa marah, tapi daripada memarahinya ada hal yang jauh lebih penting untuk dilakukan. Dan hal itu adalah menelpon Sasuke.
Berhubung jumlah kontak dalam ponselku sangat sedikit, aku langsung bisa menemukan nomornya. Dan begitu panggilanku tersambung, aku langsung bilang. .
"Sasuke! kurasa kalian perlu bergerak."
Thanks For Reading