KLANG...KLANG...KLANG...

Bunyi lonceng terus bergema ke seluruh penjuru distrik Shiganshina. Tanda rombongan prajurit penyelidik kembali dari tugas mereka. Bisa dibilang penyelidik Titan. Yah, bisa juga dibilang prajurit sukarelawan penyedia makanan Titan, yang mereka sendiri tentunya. Orang-orang awam pasti berpikir, kenapa ada orang-orang sebodoh itu. Padahal mungkin berkat prajurit-prajurit yang terus mengadakan penyelidikan itulah, mereka dapat mengetahui di mana kelemahan Titan berada.

Untuk beberapa alasan, coret kata 'mungkin' itu.

Tapi yang akan dibahas bukanlah orang-orang bodoh—ups...orang-orang pemberani dari pasukan itu, macam komandannya pandai berstrategi, kaptennya yang dapat membunuh dua-tiga Titan sekaligus dalam satu serangan, ataupun anggota lainnya yang setia dan gagah berani mengorbankan diri mereka demi teman-temannya. Bukan. A big 'NO'.

Barangkali kita dapat memindahkan fokus sejenak pada sisi lain sehampar Shiganshina, di mana seorang anak laki-laki bermanik samudera yang sedari tadi memandangi gerakan lonceng dari kejauhan. Dan jangan lupakan anak-anak lainnya yang sedang mengitari dirinya di sudut salah satu bangunan di situ. Mereka tampak masih tersita perhatiannya oleh pemandangan lonceng menara.


Heißen

Shingeki no Kyojin © Isayama Hajime

WARNING: AT, semi-canon?, drabble tapi ngga jadi oneshot, possibly OOC, kalau ada mistypo dengan amat sangat saya mohon beritahu saya

DLDR~


Part 1 : Grün

.

.

.

Sebelum lonceng menara selesai berdentang, pemilik manik itu segera merendahkan posisi tubuhnya, untuk melewati anak-anak yang lebih besar darinya, berupaya untuk melarikan diri tentunya. Namun sayang seribu sayang, ujung blazer panjangnya segera tertahan oleh cengkraman salah seorang dari mereka yang segera menyadari tindakannya.

"Heeei, urusan kita belum selesai, dasar bocah sesat!"

"A—apa maksudmu?! Aku bukan bocah sesat! Aku hanya ingin melihat dunia luar!" balasnya dengan suara bergetar. Anak tadi hanya mencibir. Dua temannya ikut mengolok.

"Kau menyembahkan diri pada para Titan, begitu? Hahaha! Dan kau bilang kau bukan bocah sesat?" Jeda sebentar, kemudian tangan si anak besar menjambak-jambak surai pirang anak malang itu. "Lucu sekali!"

Yang dijambak tak dapat mengelak, kecuali mengaduh kesakitan. Detik berikutnya, dirinya ditarik dan dihempaskan ke tanah. Yang lainnya tertawa terbahak-bahak. Seolah di depan mereka itu adalah sebuah pertunjukan komedi. Jadi, dirinya disamakan dengan pelawak, padahal ia tidak sedang melawak. Ah, berasa dipermalukan!

Apa sih salahnya memiliki mimpi begitu?

Yah, bukan berarti ia ingin menjadi salah seorang dari pasukan penyelidik yang perlu digaris bawahi bahwa hanya merekalah yang dapat keluar masuk dinding-dinding kokoh tersebut. Tidak. Ia tidak mau mencari maut dengan mudah begitu.

Pokoknya, entah bagaimana caranya, kecuali harus berhadapan dengan makhluk pemangsa manusia itu, ia ingin melihat dunia luar!

Ah...kalau dirinya mati di tangan anak-anak menyebalkan itu saat ini juga, sama saja, bukan..? Tapi, seingatnya, ia tak pernah mendengar berita ada korban bully yang mati setelah disiksa. Setidaknya, tak pernah di Shiganshina. Atau mungkin ia yang akan jadi orang pertama? Padahal, mereka duluan yang menanyainya tentang impiannya. Lalu, dengan mudahnya mereka menganggapnya sesat dan menyiksanya setelah ia menjawab pertanyaan mereka. Bukankah itu tidak adil?

Hei, kalian bercanda! Lupakan soal Titan-Titan itu! Bahkan di dalam perlindungan kokoh Wall Maria pun masih ada kekerasan seperti ini!

Haah... Sudahlah. Jika ia akan mati di situ, ia sudah rela. Asalkan, tolong bawa arwahnya ke dunia luar.

"KALIAAAANNN! HENTIKAAAAANNN!"

Ah, dia datang lagi. Sesosok anak laki-laki beriris zamrud berlari ke arah mereka. Anak itu tanpa pikir panjang, melayangkan tinju ke arah salah satu dari mereka, dan kena telak di wajah bengisnya itu.

"Kau...anak yang waktu itu! Berengsek! Kalian! Pegang dia! Kali ini aku akan menghajarnya sampai puas!"

"Siap! Hahaha!" Si zamrud pun bergegas dicengkram oleh dua orang dari mereka. Ia sempat memberontak, mengarahkan kepalan tangannya ke sana kemari. Namun, mereka sigap mengunci kedua tangannya, bahkan tubuhnya. Lalu, tubuhnya pun segera menjadi sasaran empuk tinju-tinju anak pemimpin dari mereka tadi. Si pemilik iris biru yang sedari tadi terkapar di tanah mulai mengupayakan sendi-sendinya untuk bangkit. Sembari bangkit, ia hanya dapat berseru-seru pada mereka.

"Hentikan! Tolong hentikan! Jangan libatkan orang lain! Kalian pengecut! Aku akan melapor—"

Hajaran yang bersangkutan terhenti—masih mencengkram kaos cokelat polos milik korban keduanya. Dalam keadaan seperti itu, ia masih dapat mengomando si pirang untuk menyelamatkan diri.

"Lari! LARI!"

Lari?

"Kau! Cepat tahan bocah sesat itu!" ujar anak berandalan itu pada salah satu temannya.

"LARIIII!"

Lari? Lari katanya? Meninggalkan orang yang menyelamatkan diri kalian begitu saja ketika ia diperlakukan semena-mena? Tak akan! Ia tak akan ke mana-mana!

Lagipula, bagaimana ia bisa beranjak pergi, sedangkan dirinya tengah dicengkram anak lainnya yang memiliki tangan yang kokoh?

"LARI KATAKU!"

BUAGH!
Kena lagi, 'kan? Mungkin saja kemarin-kemarin mereka berdua hanya beruntung dapat melarikan diri setelah babak belur. Tapi sekarang? Jangan harap.

Sebentar.

Si manik biru mendongak ke langit. Tidak, tidak ada tanda-tanda hujan. Lalu...dari manakah aura dingin menyengat ini berasal..?

Ah. Rasanya dia tahu...walaupun sepertinya memang sesuatu yang langka. Ia menggeser pandangannya ke arah belokan jalan. Seorang gadis asing berwajah oriental melangkahkan kakinya cepat mendekati tempat kejadian kejam itu. Si blonde tak dapat melihat ekspresi wajahnya dengan jelas, sebab setengah wajahnya tertutupi oleh syal merah.

"Oh. Hoo...kau membawa gadis mungil kali ini? Bagus. Setidaknya, aku tak perlu melihat wajahmu yang menyebalkan ini. Hei, kemarila—"

Entah dalam jangka waktu seperberapa detik, pemandangan di depan mata bocah pirang itu sudah berubah. Berbalik mungkin tepatnya? Apa yang telah terjadi barusan? tanya-tanyanya seraya membulatkan iris samuderanya. Baru saja ia berkedip sekali, saat ia mendengar bunyi baku hantam. Dan ketika kedipannya berakhir, anak laki-laki yang telah babak belur itu tampak sudah terbebas dari hajaran dua anak keji itu. Lebih mengejutkan lagi, ketika terlihat keduanya tersungkur ke tanah sejauh lima meter dari tempat si zamrud.

Sementara si pirang sibuk memutar-mutar otaknya untuk mencerna keadaan di depannya, anak yang tadinya mencengkram kedua lengannya, kini cepat-cepat mendatangi kedua temannya yang terjerembab tadi.

Jangan bilang

gadis itu yang...

"Sialan! Awas kalian!" Dasar. Mereka memang pengecut. Setelah terkena hantam sekali saja sudah lari terbirit-birit sembari melontarkan kalimat yang terdengar seperti janji. Janji akan memberi pembalasan kapan saja ada kesempatan. Terdengar muluk, bukan?

"Oi, kau tidak apa-apa, 'kan?" tanya si zamrud mengulurkan tangannya pada si pirang, dan segera disambut oleh yang bersangkutan untuk topangan berdiri.

"Um...terima kasih. Aku tak apa... Daripada itu, kau tak apa-apa?! Kenapa...kau mau dipukuli begitu...demi menyelamatkanku?!"

"Aah! Kenapa kau harus berpikir di saat kau harus menolong orang?" Yang ditanyai memandangnya polos, kemudian menepuk-nepuk kepala pirangnya. Si penanya hanya membisu mendengar pernyataan itu. Sebuah pernyataan yang simpel, namun luar biasa menurutnya. Kalau dia sendiri...bagaimana..? Jika ada orang yang butuh bantuan di depannya, ia pasti akan berpikir dahulu, apakah dengan menolongnya ia akan baik-baik saja? Apakah ia dapat menolongnya? Akankah berhasil? Akankah ia selamat?

"Nah, pulanglah ke rumahmu sekarang. Hati-hati, ya!" ujarnya lagi sambil memutar tubuhnya ke arah gadis tadi, mengajaknya pergi.

Rasanya ada yang kurang. Tapi...apa..?

Oh, tentu saja.

Ini kali keduanya ia diselamatkan anak itu. Dan si pirang tidak tahu siapa namanya. Yang benar saja!

"Tu—TUNGGU!" Kedua anak yang merasa dipanggil menghentikan langkah masing-masing, lalu menoleh ke arahnya lagi dengan wajah heran. Minus si gadis. Gadis itu agak-agaknya hanya memiliki satu ekspresi di wajahnya. Ekspresi datar. Dan tampaknya jarang bersuara.

"Ya?"

"Siapa...siapa nama kalian?"

"Hmm... Kalau begitu bagaimana dengan kau sendiri?" Senyum usil mulai terbentuk di wajah memarnya.

"Aku...Armin. Armin Arlert! Jadi, nama kalian siapa?"

"Oh, baiklah, Armin. Oh ya, waktu itu kau bilang kau tertarik pada hamparan pasir yang kau lihat di buku kakekmu, 'kan?" Yang bernama Armin itu mengangguk cepat. Apapunlah! Dan cepat beritahu nama kalian tanpa basa-basi! Agar ia dapat membalas budi!

"Dan daratan es?" Lagi-lagi disambut dengan anggukan cepat. Oh, ayolah!

"Lalu, air yang—"

"Iya! Iya! Semua yang kuceritakan waktu itu! Semuanya! Jadi, tolong—uhm...tolong beritahu aku nama kalian..." Merendahkan intonasi suaranya tiba-tiba, Armin hampir lupa ia sedang berbicara pada pada orang asing. Ah, dia jadi malu sendiri telah berseru-seru tak sopan pada mereka.

Baiklah. Sekarang apa lagi? Anak beriris hijau itu tampak sedang asyik berbisik-bisik pada gadis bersyal merah di sebelahnya. Yang dibisiki mengangguk-angguk sambil masih mempertahankan ekspresinya. Sepertinya mereka sama sekali tak menanggapi pertanyaan si pirang.

"Nah, aku berubah pikiran, Armin! Aku akan mengajakmu bermain!"

Lupakan kata 'sepertinya'! Bahkan mereka memang sama sekali tak menanggapi pertanyaannya!

Setitik peluh di pipi bocah blonde itu. Apa lagi maunya? Armin memilih untuk diam saja dulu, menunggu perkataan anak laki-laki yang sedikit lebih tinggi darinya itu.

"Oke. Aku pernah dengar dari orang-orang, katanya kelemahan Titan ada di tengkuk mereka."

Ya, lalu?

"Kita akan bermain. Jika kau dapat menemukan kami, aku akan memberi tahu namaku...dan saudaraku ini."

Oh, Tuhan...

"Tapi tak hanya itu!" Si manik hijau menerima syal merah yang diberikan oleh gadis yang disebut sebagai saudaranya itu, lalu segera melingkarkan benda itu menutupi sekitar lehernya. "Kau harus dapat menyentuh tengkukku."

Eh...apa..?

"Ta—tapi... tengkukmu tertutup syal—"

"Hahaha! Makanya itu, carilah cara, Armin!"

"Tapi—"

"Tak ada tapi-tapian lagi! Waktunya tak terbatas! Artinya, yaah...mungkin kau tak akan mengetahui nama kami selamanya, jika kau tak memenangkan permainan ini! Tapi semakin kau mengulur waktu, itu akan semakin merugikanmu lho!"

"Maksudnya..?"

"Kau akan tahu nanti! Setuju? Yak, mulai!" Anak itu langsung berlari diikuti gadis bersurai hitam itu, kemudian segera lenyap dari pandangan si Arlert kecil.

"..."

Apa? Mereka sedang mengerjainya atau bagaimana? Ia harus menemukan mereka untuk satu-dua buah nama saja? Bukan hanya menemukan, bahkan ia harus menemukan letak leher yang bersangkutan. Yang benar saja, ia paling lemah jika sudah menyangkut urusan kejar-kejaran—tidak, bukan hanya kejar-kejaran, kalau perlu semua yang berhubungan dengan olahraga. Ditambah, ia pasti harus mengatasi elakan si zamrud saat ia akan menyingkap syalnya.

Sebenarnya bisa saja ia mengabaikan ajakan 'bermain' mereka itu. Lagipula, jika mereka tak mau memperkenalkan diri, bisa saja ia menanyai orang-orang di sekitar situ. Iya, 'kan? Jadi, dirinya tak perlu berlari-lari seperti anak hilang. Waktunya tak terbatas, bukan?

Namun, sayangnya—

—Armin merasa sedikit tertarik, dan tertantang oleh permainan itu.

Fine! Dirinya akan mencoba mengejar mereka, saat itu juga. Dilangkahkannya kedua kakinya ke arah kedua anak insan itu berlari tadi. Ia sudah melupakan rasa sakitnya di saat jambakan terasa di seluruh permukaan kulit kepalanya, maupun rasa sakit di saat tubuhnya terhempas ke tanah tadi. Ia telah menemukan sesuatu yang menarik.

Itu pertama kalinya ada anak sebayanya yang mengajaknya bermain!

.

.

.

- To Be Continued -


Jadi, ini ceritanya pengen refreshing dari fic satunya yang rada angst #bilang aja melarikan diri #plak
Tadinya mau oneshot...eeh kok jadi nanggung panjangnya #kutukan abadi _(:,3_
Semoga cuma 2 chap u_u

Oya, tentang Heißen, itu bacanya 'haissen' ye...
Saya inget pelajaran bahasa Jerman bagian awal-awal tentang perkenalan diri...
"Saya [isi nama]." atau "Nama saya adalah [isi nama]." bahasa Jermannya tu "Ich heiße [isi nama].", 'Heißen' sendiri itu bentuk kamusnya.
Nongol deh ntu judul, maksut saya ini berhubungan dengan 'nama'.

Plis ampuni saya scene yang sesuai judul baru ada di tengah-tengah ihik ihikk...

Makasih uda mampir, trus baca...kalo mau review silakan...