"Tecchan ... Okaasan menyayangimu ..."

Kuroko kecil bergeming; mematung, tertegun, dan bingung. Tak ada kata yang lolos dari bibirnya. Tidak ada satu pergerakan, sekecil apapun itu. Isak tangis pun nihil terdengar. Ah, Kuroko kecil ingat, Ayah dan Ibunya berkata bahwa seorang laki-laki jangan menunjukan air matanya secara terang-terangan. Maka dari itu Kuroko kecil tidak boleh menangis.

"Okaasan ..."

Bahkan tubuh kaku dan bau tembaga yang pekat itu tidak boleh membuatnya menangis. Tidak boleh.

.

.

.

"Chain"

Kuroko No Basuke © Tadatoshi Fujimaki

Rated : T

Warning : AU. OOC. Cerita klise. Typo(s). And anything.

By : Suki Pie (Sukikawai-chan)

.

.

.

Chapter 8 : Déjà Vu

.

.

"The moment you realize that you can have everything you want in life. However, it takes timing, the right heart, the right actions, the right passion and a willingness to risk it all."

Shanon L. Alder—

.

.

Kuroko Tetsuya terjaga dari jeratan mimpinya malam itu.

Ia terbangun dengan cepat sampai tubuhnya tersentak melawan arus gravitasi sehingga mengambil posisi duduk secara refleks. Napas terengah dan tak beraturan, peluh membanjiri pelipisnya, pupil melebar, dada terasa sesak, dan pening yang menyerang kepalanya—meski tidak terlalu sakit.

Manik langitnya mengerling sesaat, bernapas lega setelahnya begitu Akashi masih terlelap di sampingnya, mata terpejam dengan raut wajah yang damai. Sama sekali tidak terganggu.

Syukurlah, batinnya tenang. Kuroko sungguh tidak tahu harus beralasan apa ketika mendapati dirinya seperti ini. Dan lagi, apa yang bisa dijelaskannnya? Mimpi buruk?

Kening Kuroko berkerut samar. Rasanya janggal jika dibilang ia terbangun secara tiba-tiba hanya karena mimpi buruk. Ia merasa tidak bermimpi buruk. Benaknya hanya menampilkan kepingan memori yang mungkin nyaris dilupakannya, nyaris hilang jauh dari ingatannya.

Ibunya. Dirinya. Dan mereka berdua.

Tidak—Kuroko yakin bukan hanya itu.

Kuroko menarik napas berat lalu mengembuskannya perlahan. Kepalanya berdenyut tanpa peringatan, memori yang berusaha diingatnya kembali samar. Ia hanya bisa mengingat bahwa hal yang terakhir dilihat dari mimpinya adalah sang Ibunda yang tersenyum sambil memeluk tubuhnya erat. Ya, memang bukan mimpi yang mengerikan. Kuroko hanya terlalu lelah.

Jam dinding kamarnya menunjukan waktu lewat tengah malam.

Kembali tidur pun rasanya tidak mungkin, kebiasaan, sebenarnya. Malam di mana ia terbangun dan tak bisa lagi terlelap setelah itu. Hal seperti ini pernah dialaminya sejak menginjak bangku SMP. Ah, bukan masalah yang besar juga, sih.

Maka Kuroko lebih memilih menyingkap selimut lalu menurunkan kedua kakinya, membiarkan telapak tak beralas itu menyentuh dinginnya lantai. Bangkit berdiri dengan hati-hati—agar Akashi tidak terbangun—berderap seperti hantu menuju pintu. Yang sebelumnya sempat menarik mantel tidur tidak jauh dari lemari setelah itu membuka pintu perlahan. Dan menutupnya kembali begitu pijakan kakinya lepas dari teritori kamar tidur.

Langkah kaki sang pemuda tak berhenti sampai ruang tengah, kali ini ia harus berjalan dengan kedua tangan menempel pada dinding, menyusurinya dengan sabar. Berjaga-jaga agar tidak tersandung sesuatu karena gelapnya ruangan. Sengaja tidak Kuroko nyalakan, sinar lampu pasti akan terpantulkan lewat ventilasi kamarnya, dan bukan tidak mungkin Akashi bisa terbangun karenanya.

"Ah, Tecchan?"

Kuroko berhenti, tepat di ruang makan dalam remang-remang lampu. Dugaannya salah, bukan hanya ia yang terbangun ketika tengah malam ternyata. Ia tidak menyangka akan menemukan wanita yang sudah melahirkan Akashi berada sendirian di tengah malam seperti ini.

"Bi—Okaasama," koreksinya cepat, teringat akan perjanjian lain yang dibuatnya bersama Akashi sore tadi. "Kenapa ada di sini?"

"Tidak bisa tidur," wanita cantik itu tersenyum, duduk di salah satu kursi meja makan mimalis namun terkesan luas. "Tecchan sendiri?"

Kuroko mendesah pelan. Aneh dengan alasan sang Nyonya Akashi, tapi ia tidak bertanya lebih lanjut. "Tidak jauh berbeda."

Akashi Kanae terkekeh geli. Padahal ini kali kedua mereka bertemu—yang pertama adalah saat pernikahan waktu itu—namun anehnya sama sekali tidak ada suasana canggung yang tercipta.

"Duduk di sini, Tecchan," Kanae menujuk satu kursi kosong di depannya, "kita berbincang santai saja. Kau tahu, berkomunikasi secara langsung itu baik untuk menjaga ikatan antara anak dan ibu."

Sebelah alis Kuroko terangkat, heran. Memandang bingung Kanae begitu ia duduk di kursi hadapannya. "Eh?"

"Astaga, Tecchan!" pekik Kanae, lalu buru-buru menutup mulut. Tanpa sadar bersuara keras. "Kau tidak berpikir bahwa kau itu lupa sudah menjadi bagian dari keluarga Akashi, 'kan?"

Sebenarnya, Kuroko hampir melupakannya. Nyaris.

"Tidak, bukan itu maksudku," sahutnya cepat, sedikit panik. "Aku hanya—"

"Nah, nah," sepasang tangan lembut yang menyentuh satu tangannya membuat Kuroko berhenti. Ada kehangatan yang mengalir di sana. "Tecchan tidak perlu sungkan padaku. Aku sudah menganggapmu sebagai anakku sendiri,"

Kuroko diam tak berkutik. Rasa terharu yang menggelitik setiap sudut hatinya membuatnya tak bisa menghentikan dirinya untuk tersenyum. Meski tidak lebar. "Terima kasih,"

Garis tipis di wajah wanita berambut merah itu menekuk simpul. Mengangkat satu tangannya lalu berhenti tepat di setiap helai poni Kuroko. Membiarkan setiap jemarinya bermain, mengusap sisi wajah si biru muda dengan sayang.

"Lalu, kau baru bermimpi buruk apa, Tecchan?"

Mata Kuroko mengerjap beberapa kali. "Bagaimana Okaasama tahu?"

"Tentu saja aku tahu," tawa renyah Kanae terdengar, renyah sekali. "Saat kecil, Sei-chan juga sering bermimpi buruk. Ia akan berlari ke kamarku, menangis sambil memelukku lalu ia tidak akan tertidur lagi sampai benar-benar mengantuk,"

Astaga, itu aib, sebenarnya. Siapa sangka masa lalu Akashi Seijuuro bisa semanis dan selucu itu? Kuroko tertawa mendengarnya. Dan mencatat dalam hati bahwa ia akan menggoda pria itu diam-diam nanti. Tentu dengan rahasia kecil yang baru saja dibeberkan oleh sang Ibunda.

"Aku tidak tahu kalau Aka—Seijuuro-kun bisa seperti itu,"

"Ah, Tecchan, kau tidak tahu kalau saat kecil Seijuuro itu begitu manja." Kanae mengibaskan satu tangan di depan wajah Kuroko. "Apalagi masa-masa ketika ia menjadi murid TK, rasanya manis sekali!"

Pembicaraan ini semakin menarik saja sepertinya.

"Benarkah?"

"Un," Kanae menjawab antusias. Wanita anggun itu memejamkan mata sesaat, mencoba kembali pada masa lalu. "Sei-chan itu sebenarnya anak yang baik. Hanya lingkungan di sekitarnya saja yang membuat sifat dewasanya muncul lebih cepat."

Kuroko mengernyit. Cara Kanae menyampaikan cerita yang satu ini membuatnya tidak nyaman. Ia mendengar nada miris dan tawa getir yang terdengar di sana.

"Ayahnya yang selalu menekannya waktu itu. Sejak Sei-chan memasuki umur delapan tahun," ruby yang terpancar dalam pahatan paras sempurnanya berbinar sedih. "Ya, seperti mengikuti kursus piano dan biola. Berkuda. Shogi. Seni kaligrafi Jepang. Waktu belajar yang lebih banyak. Sibuk sekali, bukan?"

Tak aneh memang jika Akashi memiliki talenta yang banyak. Kuroko tidak merasa terkejut. Apalagi dengan pribadi Akashi Seijuurou yang dikenalnya selama ini.

"Untuk umurnya yang masih bisa dibilang belia, seharusnya masa-masa seperti itu dihabiskan bersama teman. Bukannya aku tidak ingin Sei-chan menjadi pribadi yang hebat seperti sekarang ini, hanya saja—"

Iris merah itu semakin kosong, tampak menerawang.

"—aku merasa anakku kesepian saat itu," lagi, tawa getir itu terdengar, "sebagai seorang Ibu, tentu aku tidak bisa membiarkannya begitu saja."

"Jadi Okaasama mengajarinya basket sejak saat itu?"

Kanae membelalak. "Bagaimana kau tahu?"

Oh, tidak. Kuroko mengutuki diri dalam hati. Kalimat tanya itu meluncur begitu saja dari bibirnya tanpa bisa dicegah. Ia hanya mengatakannya secara spontan tanpa berpikir dahulu.

"Seijuuro-kun pernah menceritakannya," ujar sang biru muda akhirnya, tersenyum simpul.

"Benarkah? Apa yang dia ceritakan?"

"Tidak banyak," Kuroko mencoba mengingat. Saat itu mereka tengah menghabiskan waktu di lapangan basket dekat taman kota. Kuroko ingat betul ketika ia dibuat terkagum dengan kemampuan basket yang dimiliki Akashi. "Seijuuro-kun bilang kalau Okaasama adalah orang yang pertama kali mengenalkannya pada basket. Olah raga yang sampai saat ini dicintainya dan tidak akan pernah dilupakannya."

Kanae mengerjapkan mata tak percaya. "Dia bilang seperti itu?"

Err ... tidak sepenuhnya benar juga, sih. Kuroko hanya menambahkan kalimat terakhir tadi agar wanita di depannya itu tidak lagi terlihat sedih. Lagipula, itu tidak salah, bukan?

"Begitulah." sahutnya kemudian, tak berani mengucap dusta kecilnya.

"Sei-chan memang selalu berbeda di depanmu ya, Tecchan." kekehan terdengar, "aku senang mendengarnya." Setelah itu Kanae berdiri, membuat kursinya berderit mundur, menepuk kepala Kuroko sesaat, lalu melangkah pelan ke arah konter—menuju dapur.

Kuroko mengawasinya lewat sudut mata, menyadari suasana hati Kanae mulai membaik. Tidak lagi terselimuti luka lamanya. Malam sebelum mereka tidur, Akashi menjelaskan perihal kedatangan Ibunya ke apartemen mereka. Akashi bilang sepertinya Kanae bertengkar dengan sang Ayah (dengan menambahkan alasan kalau terkadang pertengkaran mereka karena hal sepele dan tidak terlalu penting), hingga Akashi membiarkan sang Ibu tinggal bersama mereka untuk sementara. Ya, Kuroko tak pernah keberatan, meski pemikirannya berbeda dengan si surai merah.

"Apa ... " Kuroko berhenti. Entahlah, yang tadi itu mulutnya refleks terbuka. Ia hanya merasa tak nyaman begitu percakapan di antara mereka berhenti. Ketika canggung memenuhi atmosfer setelahnya.

"Hm?"

Kepala biru itu menggeleng singkat. "Tidak,"

"Jangan sungkan bertanya padaku, Tecchan." Kanae berhenti sebentar, bersandar pada konter di belakangnya. Satu tangan terangkat, membentuk garis vertikal di salah satu sisi bibirnya. Nada suaranya merendah, menjadi bisikan. "Lagipula, kalau kau penasaran dengan masa kecil Sei-chan, kau bisa bertanya padaku,"

Sepasang alis Kuroko saling bertautan.

"Tapi ini hanya rahasia kita berdua," manik delima Kanae mengedip jenaka, "jangan beritahu Sei-chan kalau aku membeberkan rahasia memalukannya."

Ya, Tuhan. Kuroko nyaris tertawa keras jika tidak ingat jam menunjukan pukul berapa dan risiko yang mungkin terjadi setelahnya. Harus beralasan seperti apa nanti seandainya Akashi berada di antara mereka tanpa sepengetahuan?

"Ah! Senangnya berbincang denganmu, Tecchan. Sekarang, aku buatkan cokelat panas untukmu, ya?"

.

.


.

.

"Tetsuya, matamu aneh,"

Kanae tersenyum tanpa sadar. Sup krim ayam yang saat ini berada dalam pancinya sudah mulai mendidih, tapi tetap saja membuat fokus Kanae terbagi menjadi dua. Masakannya, dan percakapan pasangan pengantin yang dimata-matainya pagi ini. Oh, bukan maksudnya ia menguping. Salahkan saja dapurnya yang terletak tidak jauh dari meja makan dan hanya terpisahkan oleh konter. Menjadi sekat satu ruangan menjadi dua fungsi. Membuat gendang telinganya menjadi lebih tajam.

"Aneh?" suara Kuroko menimpali. "Apa maksudmu dengan aneh?"

"Seperti panda," celetuk Akashi tanpa ragu, malah tampak menikmati ketika mengatakannya. Kanae sampai harus menutup mulut dengan satu tangan, menjaga agar ia tidak tertawa. "Lingkar matamu terlihat sekali,"

"Aku bukan panda,"

"Aku tidak bilang kau seperti panda, tapi matamu seperti panda,"

"Sama saja. Seijuurou-kun menyebutku panda."

Tak! Kanae mendengar suara cangkir yang tersimpan, sadar anak kandungnya sendiri yang melakukannya. "Tetsuya, kukatan kalau—"

"Jangan menyalahkannya, Sei-chan," sela Kanae cepat. Ia tahu betul Akashi itu orangnya sedikit temperamental. Sedikit, baginya. Dan mendapati anak semata wayangnya yang terkadang kaku seperti boneka itu menjadi lebih ekspresif di depan Kuroko benar-benar hal yang langka.

Hanya untuk Tecchan saja Sei-chan bersikap seperti itu, batinnya jail. Tidak merasa bersalah.

"Kami berbincang lama kemarin malam,"

"Malam?" kali ini ucapannya berhasil menarik perhatian si pemuda manik heterekromatik. "Aku tidak ingat kalau aku juga ada di sana, Kaa-san."

Manik crimson Kanae mengerjap beberapa kali. Sepertinya ia baru saja mengatakan sesuatu hal yang tidak boleh dikatakannya. Apalagi menghadapi kecerdasan putranya bukanlah hal yang mudah.

"Ah, tidak, lupakan saja," tambah Kanae cepat-cepat, tertawa canggung begitu sadar Akashi menatapnya tajam dari belakang. "Aku dan Tecchan hanya—"

"Berbincang tanpaku?"

Kanae panik. "Bukan, bukan itu. Kami hanya ... bertukar informasi, ya! Bertukar informasi! Benar begitu Tecchan?" ia mematikan pematik gas, memindahkan sup krim dari panci ke dalam tiga mangkuk masing-masing, lalu berbalik untuk menyimpan panci kotor ke bak pencuci piring.

Sengaja dilakukan untuk mengontak mata Kuroko. Memberikan si rambut biru muda bahasa isyarat.

"Ya, begitulah, Aka—Seijuuro-kun,"

"Kalian berdua mencurigakan."

Kanae bernapas lega, beruntung sekali Kuroko menyadari arti tatapannya. Entah apa yang akan terjadi nanti jika Akashi mengetahui kejailannya sendiri, kecerdasan putranya patut dipertanyakan. Tidak jauh berbeda dengan Ayahnya. Oh, dan omong-omong soal Ayahnya, Kanae jadi teringat dengan pertengkarannya dua hari yang lalu dengan sang suami. Memikirkannya saja membuat emosinya tersulut kembali.

Huh, biarkan saja! Biar laki-laki workaholic, kaku, dan dingin itu sendirian dan kesepian—ah, tidak. Sendirian sampai ia dicari olehnya. Lalu setelah itu—tunggu. Astaga! Kanae merutuki diri habis-habisan. Mengapa pikirannya jadi melantur seperti ini?

"Kosongkan jadwalmu setelah acara kelulusan selesai, Tetsuya."

Ting! Urat-urat telinga Kanae kembali menegak. Percakapan mereka berdua adalah sesuatu yang tidak boleh dilewatkannya. Ia berjalan ke arah konter, membuat jarak pandangannya semakin luas. Menghadap langsung dua anaknya yang tengah duduk di meja makan, saling berhadapan. Akashi sibuk dengan cangkir teh dajeerling-nya, dan Kuroko menikmati roti croissant buatannya. Wanita itu tersenyum dalam hati. Ah, sungguh pemandangan yang manis! Kanae jadi ingin memotonya sekarang juga. Sayang ia menyimpan kamera—benda yang sengaja dibawanya—tepat di ruang tengah. Menyebalkan.

"Eh, memangnya kenapa?"

Hum, hum, Kanae manggut-manggut. Sebenarnya, ada apa dengan jadwal yang seharusnya dikosongkan ini?

"Kita pergi ke suatu tempat,"

Lagi-lagi jawaban yang—menurut pengamatannya—lucu. Benak Kanae terus berspekulasi bahwa Akashi hanya tidak ingin menujukan sikap romantisnya di depan Kuroko secara gamblang. Atau mungkin secara terang-terangan di depannya. Sei-chan manis sekali, Kanae terkikik pelan.

"Pergi? Tapi Seijuuro-kun aku—"

"Tidak ada penolakan."

Kening Kanae berkerut samar. Rasanya ia kenal dengan sifat anak laki-lakinya yang satu itu.

"Bagaimana dengan murid-muridku di TK? Aku sudah berjanji sepulang acara kelulusan nanti untuk mampir ke sana."

"Batalkan saja."

"Seijuuro-kun, aku tidak bisa membatalkan—"

"Batalkan."

Kerutan di keningnya semakin dalam. Akashi Seijuurou saat ini otoriter. Seenaknya memerintah dan memotong pembicaraan orang lain padahal dia sendiri tidak ingin orang lain menyela ucapannya. Dan lagi, keputusannya harus disetujui secara sepihak.

"Tidak bisa. Aku sibuk hari ini,"

"Tetsuya, jangan buat aku mengulanginya,"

Dan lagi anaknya itu selalu bersikap ... ng, sial. Kanae lupa akan istilah asingnya. Bahasa modern yang selama ini menggambarkan sifat sang anak sepenuhnya. Menurut pandangan orang-orang, katanya. Hanya Kuroko Tetsuya—salah—Akashi Tetsuya saja yang bisa kebal terhadap keangkuhan putranya.

"Seijuurou-kun selalu seenaknya."

"Itu karena aku selalu benar,"

"Jangan mengelak,"

"Aku tidak mengelak, kau sendiri saja yang keras kepala, Tetsuya."

Ah, absolut! Ya, begitu Akashi menjuluki dirinya sendiri. Bukan hanya Seijuurou, tapi Ayahnya juga. Kanae mencibir, lama-lama sifat anaknya benar-benar mirip dengan laki-laki kaku itu. Seperti kata pepatah, lika father like son.

"Seijuurou-kun menyebalkan."

"Katakan sekali lagi dan akan kubuang ponselmu nanti, Tetsuya."

"Ya, lalukan sa—aduh! Jangan keningku lagi, Seijuuro-kun!"

"Salahmu sendiri—hei, Tetsuya! Hentikan itu! Jangan taruh wakame menjijikan itu di atas rotiku!"

"Salah Seijuurou-kun sendiri."

"Tch! Kau sengaja menyimpan makanan itu diam-diam,"

Siapapun tolong, Kanae benar-benar membutuhkan kamera sekarang juga. Tidak peduli apakah nanti Akashi akan marah-marah padanya, yang jelas, memotret mereka berdua dalam berbagai momen adalah hal yang begitu tidak boleh ia pendam jauh di dalam lubuk hatinya. Pasangan pengantin muda itu memang selalu membuatnya iri.

Pengamatan Kanae tidak pernah meleset, matanya selalu jeli untuk menangkap berbagai ekspresi yang tembar dalam raut wajah mereka. Terutama Seijuurou, pikirnya. Sebagai seorang Ibu yang membesarkannya, untuk kali pertama ia mendapati salah satu anggota keluarganya bisa tersenyum ringan dan bebas seperti itu. Tanpa beban. Tanpa paksaan di baliknya.

Senyum itu nyata. Tulus berasal dari relung hati Akashi Seijuurou.

Kapan terakhir kalinya ia melihat putra kecilnya dulu bisa bersikap jail seperti ini? Dan garis bawahi meski dengan sifat otoriter dan keras kepalanya, Kuroko selalu bisa menarik setiap perilaku Akashi jauh lebih baik dibanding dirinya.

Bahkan Kanae sampai tidak bisa melepaskan pandangannya ketika tangan Akashi lagi dan lagi mengacak helai rambut si biru muda. Seolah-olah pekerjaan kecil itu hal yang paling disukainya. Ia tahu, satu pergerakan simpel tadi menujukan bahwa Akashi menaruh setiap keping hatinya untuk Kuroko. Menyimpannya agar Kuroko bisa menjaganya.

Akashi mempercayai Kuroko.

Kanae bisa menebaknya karena ia melihatnya. Bagaimana iris berbeda warna itu memancarkan sorot mata yang berbeda. Bagaimana gurat wajah penuh akan ekspresi itu. Dan bagaimana setiap kata menyebalkan yang terlontar dari bibir Akashi memiliki makna tersendiri di baliknya.

Ah, omong-omong, ia belum bilang bahwa dirinya ini adalah seorang wanita yang berintelejensi tinggi, bukan?

Tidak, itu bukan hanya sekadar lelucon. Buktinya Kanae bisa menebak satu dari sekian hal banyak yang berbeda dalam Akashi Seijuurou, putranya sendiri. Bukan berarti karena pemuda itu adalah anak kandung satu-satunya. Hal yang satu itu hanya menjadi faktor pendamping.

Karena bukan Akashi saja yang bisa ia sadari, tapi Kuroko juga.

Kanae selalu merasa heran—sejak pertama kali kedatangannya ke apartemen pasangan Akashi itu. Berbagai pertanyaan saling bermunculan bahkan sebelum ia sendiri menemukan jawabannya. Misalnya seperti ini—

—ke mana perginya hati dan pikiran seorang Kuroko Tetsuya ketika Akashi Seijuurou jelas-jelas berada di sampingnya? Menjadi pendamping hidupnya. Bahkan mereka sudah terikat oleh janji pernikahan.

Bukannya Kanae menaruh kecurigaan pada pemuda biru muda itu. Hanya saja, entah mengapa ... terkadang sorot di kedua mata Kuroko seperti mengatakan yang sebaliknya.

Aneh. Kanae merasa ada yang janggal.

Dia tidak sedang menyukai orang lain selain Akashi, 'kan?

.

.


.

.

Kuroko merengek dalam hati, pasrah.

Ia tidak menyangka acara kelulusan di sekolahnya bisa sangat melelahkan seperti ini. Suasana resmi yang awalnya terjadi di pagi hari kini sudah berganti menjadi kerusuhan begitu menginjakan kaki keluar gymnasium. Tentang seperti kancing teratas dan tradisi-tradisi kecil lainnya yang sering terjadi ketika kelulusan sekolah tiba.

"Kurokocchi, tolong aku! Mereka semua terus meminta kancing bajuku!"

Salah satunya, ketika titel seorang bayangan yang melekat dalam dirinya selama ini rusak gara-gara model pirang itu terus berlindung di belakangnya. Juga beberapa penggemar siswi sekolahnya yang berteriak tidak jelas dan bersamaan. Membuat telinganya sakit saja.

"Kise-kun, jangan tarik tanganku," kaki-kakinya dipaksa untuk berlari, menghindar dari kejaran penggemar fanatik sang model. "Kenapa tidak kau berikan saja kancingnya?"

"Kurokocchi ini bagaimana? Kalau aku berikan bisa-bisa bajuku habis!"

Menjadi model menyusahkan juga. Dan Kuroko tak mengerti mengapa Kise harus menariknya sehingga ia sendiri pun ikut masuk situasi melelahkan seperti ini.

Perhentian mereka berdua berhasil sampai taman di belakang sekolah. Menyerah karena lelah dan mengambil tempat di bawah pohon sakura paling besar tidak jauh dari sisi kanan lapangan depan. Bersandar pada batang pohon besarnya sambil menarik oksigen sebanyak mungkin yang sebelumnya hampir terkikis habis.

"Kau membuatku ikut dalam masalahmu sendiri, Kise-kun,"

Kise meringis. Perkataan datar seorang Kuroko tidak pernah absen untuk membekas dalam hatinya. Dengan arti lain, tak perlu memerlukan kiasan untuk menyindir setiap perilakunya.

"Gomenne, Kurokocchi," Kise menggaruk tengkuk, gestur yang dilakukannya ketika ia gelisah. "Saat itu kebetulan Kurokocchi yang kulihat, jadi aku menarikmu dengan refleks,"

"Tipikal," tanggapan tak acuhnya berusaha Kise abaikan. Kuroko mendongak, merefleksikan setiap kelopak merah muda yang berguguran dari pohon atasnya. Merilekskan seluruh otot tubuhnya dengan panorama guguran kelopak bunga, tak lebih.

"Tidak terasa, ya?"

Kuroko mengerling. Si pirang sudah memejamkan matanya beberapa menit yang lalu.

"Kita sudah lulus lho, Kurokocchi," ada tawa kecil yang terdengar, dan kelewat rapuh begitu manik topaz-nya terbuka. Berbinar tenang untuk saat ini. "Setelah ini, apa yang akan Kurokocchi lakukan? Melanjutkan sekolah ke universitas atau—melakukan hal lain?"

Pemuda biru itu tahu Kise tidak bisa menemukan kata yang pas untuk kelimat selanjutnya, namun Kuroko memahaminya.

"Aku belum memikirkannya, Kise-kun," ucap Kuroko akhirnya, jujur. "Banyak hal yang ingin dan belum aku lakukan. Untuk saat ini, aku akan memikirkannya nanti." Ia menoleh, menatap warna mata madu Kise lekat-lekat. "Kise-kun sendiri?"

Sang subjek yang ditanya tak langsung menjawab. Memang pada dasarnya model seperti Kise Ryouta akan lebih memilih untuk tersenyum menanggapi hal yang membuatnya bingung sebelum akhirnya menjawab, meski ragu dan tak pasti.

"Sama seperti Kurokocchi," sahut Kise pelan, "antara model dan pilot, mana yang lebih baik?"

Kuroko tidak ingin menjawabnya. Jangankan untuk menjawab, memikirkannya pun ia tak mau. Katakanlah ia egois, atau mungkin sama sekali tidak mengerti bagaimana perasaan si pirang. Tapi membayangkan bahwa suatu hari nanti Kise pergi jauh ke angkasa sana dan entah kapan akan kembali lagi membuat hatinya tidak nyaman. Karena jauh di dalam relung hatinya, perasaan tidak suka mengenai profesi pilot yang menjadi pilihan Kise terus merangkak untuk ia katakan secara lisan. Untuk terucap dari bibirnya.

Menyadari bahwa Kuroko tidak ingin kehilangan Kise. Tidak ingin kehilangan kehangatan dan dukungan yang selama ini diberikan untuknya. Walaupun Kuroko tak pernah mengatakannya secara gamblang.

Lalu, bagaimana dengan Akashi?

"Tapi untuk saat ini, aku ingin terus berada di samping Kurokocchi."

Lamunan Kuroko buyar seketika. Terlebih begitu dingin yang menjalar pada setiap ruas jemarinya ia rasakan tanpa diduga. Namun dingin itu tak bertahan lama, semakin hangat dan hangat karena setiap tautan jari lentik si pirang menggenggam tangannya penuh dengan perasaan.

"Kise—"

"Sebentar saja, Kurokocchi," genggaman tangan Kise mengerat. Tautan merapat, enggan melepaskan. "Sebentar saja,"

Bantahan Kuroko tertahan karena dua hal.

Pertama karena Kise tampak rapuh di hari kelulusannya, lalu yang kedua ...

Ah, Akashi sudah berdiri tidak jauh dari mereka.

.

.


.

.

"Tecchan, ayo lihat ke kamera,"

Akashi berdecih kecil, lagi. Jangan tanya mengapa ia melakukannya lagi dan lagi, ide mengajak Kanae ke acara kelulusan Kuroko benar-benar hal yang buruk. Tidak sepenuhnya buruk juga, sih. Karena mau tak mau, suka tak suka, Akashi mengakui bahwa kehadiran sang Ibu mungkin sedikit meringankan perasaan pemuda biru muda itu karena Ayahnya tidak bisa datang.

"Apa yang kau lakukan Tetsuya? Cepat lihat kamera," bisik Akashi—sedikit memaksa. Gemas melihat si surai biru muda yang terus menerus memerhatikan sekeliling.

"Semua orang memerhatikan kita, Akashi-kun."

Sepasang alis merahnya bertautan, sadar karena tidak berada dekat dengan Kanae, Kuroko memanggil namanya seperti biasa lagi. Dan itu sedikit asing di telinganya.

"Jangan memanggilku seperti itu, kau tahu kalau di depan kita itu Kaa-san," suaranya meninggi, namun dalam jarak tiga meter jauhnya dari sang Ibu, bisikan tadi sama sekali tidak terdengar.

"Aku tahu itu," tandas Kuroko jengah, "dan bisakah kita berfoto dengan normal saja? Kau terlalu dekat, Akashi-kun."

Si datar ini, benar-benar membuat Akashi kesal setengah mati. Bohong rasanya jika ia bilang tidak lelah karena harus berlakon mesra di depan sang Ibu. Bohong rasanya jika ia tidak muak dan sebal melihat sandiwara yang dilakukannya bersama Kuroko.

Bukankah pasangan yang sudah menikah itu harus bersikap secara natural?

Melampiaskan kekesalannya, lengan kanan Akashi terangkat, lengan yang lebih dekat untuk ia lingkarkan di sekeliling bahu Kuroko. Menariknya lebih dekat hingga dua sisi bahu mereka saling menyentuh. Merapat. Dan tubuh kecil Kuroko tertarik lebih dalam. Bahkan kedua pipi mereka nyaris bersentuhan.

"Akashi-kun—"

"Ssshh!" Akashi mendesis, jari yang mencengkeram ujung bahu Kuroko mengerat. "Anggap saja tidak ada yang melihat." Desaknya pelan, "sekarang, tatap lensa kamera baik-baik."

"Kalau begitu berhenti menarikku lebih jauh lagi," Kuroko berontak. Mau taruh di mana wajahnya nanti jika suatu hari nanti sekolahnya mengadakan reuni? Ya, ia tahu acara itu masih jauh. Hanya saja, rasanya berfoto dalam situasi seperti ini benar-benar memalukan. Apalagi tempat yang dijadikan objek pun depan gerbang sekolahnya.

"Anggap saja hukuman, Tetsuya," suara Akashi terdengar jelas tepat di sampingnya. "Aku masih marah soal kau dan Ryouta tadi,"

Mendapati si pirang sedang menggenggam tangan pasangannya di taman belakang sekolah? Huh! Jangan harap Akashi akan menerimanya begitu saja.

"Tadi itu hanya salam perpisahan,"

"Alasan," Akashi mendelik sinis, "salam perpisahan tidak perlu seperti itu."

"Kalau begitu, foto perpisahan juga tidak perlu seperti ini,"

Akashi mengernyit. "Apa yang kau maksud dengan foto perpisahan? Tetsuya, yang lulus di sini bukan aku, tapi kau."

"Sama saja." Sifat keras kepalanya mendesak untuk tidak menyerah. "Ini terakhir kalinya aku menginjakan kaki di sekolah ini. Untuk itu Akashi-kun—"

"Lagipula—" sang surai merah menolak untuk mendengarkan. "—untuk apa foto perpisahan jika kau sendiri sudah memiliki foto pernikahan, Tetsuya?"

Berhasil. Kuroko berhasil dikejutkan oleh ucapannya sendiri, bahkan ia merasa tubuh Kuroko mematung sekilas. Akashi menyeringai, merasa menang.

"Itu—"

"Tecchan, Sei-chan!"

"Nah," Akashi sedikit menundukan kepalanya, membungkukan tubuh agar tingginya setara dengan tinggi Kuroko. Meski hanya terpaut beberapa sentimeter, surai merah itu tetap merasa bangga karena ia yang lebih tinggi di sini. Melebihi tinggi Kuroko. "Sekarang, senyum."

Tidak, tidak bisa. Perintah itu malah terdengar mengerikan.

.

.


.

.

Waktumu hanya setengah jam untuk mengucap salam perpisahan.

Kira-kira seperti itulah titah yang diberikan Akashi untuknya. Laki-laki itu memberikannya kebebasan dalam waktu tiga puluh menit untuk menghabiskan waktu di sekolah. Sedangkan Akashi dan Kanae menunggu dirinya dengan sabar dalam mobil yang terpakir di luar gedung sekolah. Mereka menolak untuk pulang, katanya.

Kuroko sendiri tidak terlalu banyak membuang waktunya dengan teman satu kelas. Di sisi lain karena memang hawa keberadaannya yang tipis, sehingga ia lebih memilih untuk menghabiskan waktu mengelilingi gedung sekolah. Perpustakaan, salah satunya. Tempat favoritnya selama ini.

Ia juga mengunjungi taman belakang sekolah sekali lagi. Kise sudah pergi entah ke mana, mungkin kembali sibuk oleh beberapa penggemar fanatiknya. Sedikit membuat Kuroko merasa bersalah juga, sebenarnya. Tapi untuk saat ini, biarkan ia menghabiskan waktu sendiri. Hanya untuk dirinya sendiri.

Dan omong-omong, pohon sakura besar di taman belakang sekolahnya selalu bisa membuat suasana hatinya membaik. Karena pohon yang satu itu—

"Oi, Tetsu?"

—selalu mengingatkannya memori akan masa lalu.

Kuroko mengerjapkan mata. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Ia sadar bahwa sosok tinggi di depannya saat ini bukanlah semacam fatamorgana. Bukan ilusi. Bukan delusi.

"Aomine-kun?"

"Sudah kuduga kau ada di sini. Kebetulan sekali, eh?"

Baiklah, kali ini Tuhan merencanakan apa lagi? Tidak cukupkah Hokkaido menjadi tempat reuni kecil mereka saat liburan—lupakan bulan madunya—kemarin? Dan di antara sekian banyak tempat yang ada di sekolahnya, mengapa harus taman belakang sekolah menjadi pilihan pria dim itu?

Menyadari kebingungan yang terpancar dalam sorot mata Kuroko, Aomine terkekeh geli lalu menjelaskan. "Tetsu, apa kau lupa? Padahal baru tahun lalu aku menjadi lulusan sekolahmu ini."

Mana mungkin ia melupakannya. Kuroko hanya mencoba untuk melupakannya. Membuang jauh-jauh ingatan tentang Aomine Daiki dengan status seorang senpai yang urakan, dulu.

"Dan sekarang, kau yang menjadi lulusannya,"

Ini tidak adil. Detik di mana tangan besar Aomine berhasil membuat helai rambutnya berantakan, Kuroko akan sulit mengakui bahwa ia menyukainya. Selalu menyukainya.

"Selamat ya, Tetsu."

Bibir memoles senyum. "Terima kasih, Aomine-kun,"

Kuroko tahu. Situasi seperti ini sangat tidak bagus jika Akashi sampai menyusulnya kembali. Aomine dan Akashi itu dua pribadi yang bertolak belakang meski dua-duanya memiliki kesamaan, meski sedikit. Dan lagi, pertemuan pertama mereka bisa terbilang tidak cukup baik.

"Aomin-kun, aku—"

Terlambat. Kuroko tidak bisa menghindar. Bahkan ia sendiri pun tak sadar kapan Aomine berjalan mendekat, kapan Aomine mengangkat kedua lengannya, kapan Aomine merengkuh dan mendekap tubuhnya, dan kapan Aomine memeluknya sambil membenamkan kepala di bahunya. Aroma cinnamon yang menguar pun tidak bisa Kuroko hindari. Bukan lemon untuk Kise, dan tidak ada mint seperti Akashi.

Sesak. Dadanya sesak. Kuroko tidak bisa menolaknya. Tidak adil—

"Ah, Tecchan ..."

Satu panggilan kecil, Kuroko menoleh. Iris biru mudanya membelalak. Jangan katakan bahwa Kanae tersesat mencarinya dan berakhir di taman belakang sekolah. Di saat dirinya tengah berada dalam keadaan seperti ini. Berdiri tepat di belakang Aomine. Kamera yang digunakan untuk memotret segala momen kelulusannya pun masih tergantung manis di lehernya. Manik delima yang terpatri dalam paras anggunnya tampak terkejut. Kuroko juga tidak merasa jauh berbeda.

—déjà vu.

.

.

.

"Sei-chan, kenapa Tecchan lama sekali?"

"Kaa-san, biarkan saja dulu Tetsuya. Mungkin saat ini sedang berkumpul untuk acara perpisahan nanti."

"Tapi tidak lama seperti ini juga,"

"Aku memberinya waktu tiga puluh menit untuk kembali lagi kemari."

"Lama sekali! Ah, Kaa-san benar-benar bosan. Sei-chan, tunggu di sini."

"Tch! Sudah kubilang—Kaa-san, mau pergi ke mana?"

"Menyusul Tecchan."

.

.

.

To Be Continued


A/N : Ha ... lo ... /pingsan/

Suki tepar sama tahun ajaran baru, mana bentar lagi mau perang, ihik! /malah curhat/ Mungkin fanfic Chain ini fanfic terakhir yang bisa di-update Suki dalam waktu-waktu ini. Karena kemarin-kemarin lagi libur, jadi kerjaan Suki ngetik. Dan sekarang sudah masuk sekolah, jadinya tugas numpuk lagi /alesan kamu/ Suki tepar, asdfghjkl!

Oh ya, Suki gak tau sifat Nyonya Akashi itu gimana. Abis pas liat manga-nya, Ibunya itu keliatan anggun banget QvQ Jadi, ya, maaf kalo OOC #plek

Oh oh, terima kasih buat : Guest, Katsukatsu, Chieko Akane, Yuna Seijuuro, Opitopi, Yui Yutikaisy, Alice Klien, kacang metal, Ningie Cassie, Aoi-Umay, tetsuya kurosaki, Kitsuneshi Rei, witchsong, Dark Kitsune 9, setmefreeeeeee, Bona Nano, Akashi-kun, Nisca31tm-emerald, Keiko Yuu, Katsuki SAL, Arruka Seijuuro Tetsuya, deerpop, Myadorabletetsuya, ayanesakura chan, Stacie Kaniko, Megan Schoutless, ABNORMALholic, Shizuka Miyuki, Ao Mizu, Aterbury, mega trisila, rea, sofi asat, KyraAkaKuroLover.

Dan biar sistematis(?), antara Coffee Shop sama Let's Think mana yang harus diupdate udah ini? X""D Aduh, maaf Suki malah nanya yang aneh-aneh, abaikan aja kalo misal ganggu, tehe~

Yosh! Terima kasih sudah membaca chapter sebelumnya dan chapter yang ini XD Untuk review, fave dan follownya. Nanti Suki bagi Pie satu-satu XD /enggak/ Eh, eh, kalo Suki ganti penname jadi wastafel ada yang nyadar gak ya? /gak penting! Asli gak penting!/ Ya, lupakan saja X'D Maklum, faktor depresi nanti Suki mau perang delapan bulan lagi.

Akhir kata,

Review please? *makan pie*