19

.

"Ke mana kita akan pergi, Draco?"

Hermione menatap Draco yang tengah sibuk memasukan semua pakaiannya ke dalam sebuah koper besar. Gerakannya amat terburu-buru. Setelah pertemuan mereka dengan Narcissa pada sore tadi, Draco langsung mengajaknya untuk membereskan semua barang-barangnya.

"Apakah kita akan pindah?"

"Tidak," akhirnya Draco berhenti. Dia menatap Hermione, lalu menghela napas berat. Cowok pirang itu dengan penuh penyesalan menatap Hermione. Dia berjalan mendekatinya. Hermione menggeleng, merasakan pertanda buruk yang menyakitkan dari mata itu.

"Tidak, tidak. Kau tidak akan melakukan ini padaku, Draco. Tidak—"

"Granger, dengarkan aku—"

"Tidak—"

"Dengarkan aku!" Malfoy menyentuh pipi Hermione dengan kedua tangannya, memaksanya untuk balas menatap ketika Hermione mulai memberontak. "dengar, Granger, dengar. Kita tidak bisa selamanya berada di sini. Aku harus segera memindahkanmu, membawamu ke suatu tempat yang sulit untuk di temukan. Sejauh mungkin…"

Hermione menatapnya tidak percaya.

"Kita harus menghadapi ini, Granger. Kita harus bergerak. Demi kebaikanmu, demi anak kita. Tidakkah kau mencintainya?"

Mata Hermione sudah berkaca-kaca. Suaranya hampir hilang saat dia bicara. "Tapi kau tidak ikut denganku, kan?"

Malfoy hanya menatap.

"Yah, kau hanya akan meletakkanku dan meninggalkanku lagi—seperti biasa."

"Aku tidak bisa menetap denganmu, aku mempunyai sebuah tanggung jawab besar. Nyawa keluargaku berada di bawah tanganku, Granger."

Hermione mulai menangis. Tangan Malfoy merosot, berganti menggenggam kedua tangannya.

"Aku berjanji setelah ini semua berakhir, entah kapan, aku akan membawamu ke sini. Setelah keadaan aman, setelah kuyakin anak kita kelak dapat bergerak dengan bebas dan tak perlu mengawasi koridor-koridor jika—"

Tiba-tiba pintu diketuk dengan kasar dan sembarangan.

"Draco, hey, ini aku!"

Draco mengumpat, menghela napas berat sebelum berjalan mencapai pintu. Dia membukanya dengan cepat. Blaise Zabini muncul dari sana. Hermione kaget sekali. "Kau yakin tak ada yang mengikutimu?"

"Yeah," Blaise bernapas putus-putus, seolah dia baru saja lari puluhan kilo tanpa jeda. "harus segera pergi."

"Well," Draco mengambil koper Hermione, meletakannya di depan Blaise. Hermione baru saja ingin membuka mulut hendak protes, tapi Draco telah menyelanya. "Granger, sayang, dengarkan aku baik-baik untuk kesekian kalinya. Akan ada penyerangan besar-besaran di Malfoy Manor malam ini. Perang akan di mulai kembali. Sementara Pangeran Kegelapan membutuhkanku di sampingnya, Blaise akan membawamu pergi."

"Kau bilang kau yang akan membawaku?" ratap Hermione, terluka.

"Granger, ini bukan saat yang tepat. Sudah ada keributan di luar sana. Banyak penyusup datang, dan kau harus segera pergi—"

Duarrr—suara ledakan terdengar dekat di luar. Keringat bercucuran di pelipis Draco, dia menatap Hermione penuh permohonan.

"Hanya pergi saja, oke? Aku akan menemuimu—"

"Tidak, kau bohong." Pipi Hermione sudah bercucuran air mata. Lalu mereka mendengar suara-suara teriakan, tampaknya berada di koridor. Draco bernapas frustasi, dia menggapai lengan Hermione. Memberi isyarat pada Blaise untuk segera mengikutinya pergi. Saat membuka pintu, mereka dikejutkan dengan puing-puing dan hancurnya bangunan di sana-sini. Draco menariknya berlari. Remang-remang dari kejauhan, muncul seseorang, mengenakan pakaian serba hitam. Tampangnya tampak marah.

"Draco!"

Draco mendorong Hermione ke dalam sebuah pintu, menutupnya dengan cepat. Ternyata orang itu adalah Yaxley—Hermione masih ingat betul tampangnya, seseorang yang berpengaruh besar saat ini di Kementrian, si pembunuh berdarah dingin.

Dari balik pintu, Hermione dapat dengan jelas mendengar percakapan mereka. Yaxley tidak menyadari keberadaan Hermione dan menganggap Malfoy baru saja keluar dari ruangan ini. Dia menahan napas. Tidak berani bergerak sama sekali, takut kalau saja Yaxley mencium keberadaannya.

"…sudah periksa sayap Utara?" Tanya Yaxley, nadanya mendesak.

"Itu tugasmu!" jawab Draco keras. "berani sekali kau berkeliaran dan malah membalikan tugas padaku? Kaupikir kau siapa, hah?"

"Semua tahanan kabur, Draco! Kabur! Tidakkah kau lihat semua kehancuran ini? Pangeran Kegelapan akan datang—dia akan marah—dan Blaise? Mau kemana kau?"

Dia pasti melihat koper besar yang dibawa Blaise. "Menyembunyikan barangku dari keributan. Memang itu urusanmu?"

Yaxley kedengarannya tidak merespon. Lalu suara Draco terdendar lagi. "Kenapa kau tidak kerahkah Penjambret seperti biasanya? Mereka unggul soal menangkap, kupikir."

"Bukan itu masalahnya," Yaxley berhenti sesaat, dia bicara dengan nada yang lebih rendah. "aku mendengar—yah, dari mulut ke mulut—bahwa kita sedang dikhianati. Potter berhasil ditangkap dan tak mungkin dia kabur. Tak mungkin—tak ada seorang pun yang bisa menembus kekuatan magis Manor—dan percayakah kau, Draco, bahwa ada yang mengkhianati kita? Melepaskan Potter?"

Draco tidak langsung menjawab. "Pergi benahi kerusakan. Biar aku yang mengejar Potter."

"Yeah, akan kubenamkan semua darah-lumpur itu ke tempat asal mereka. Tiada ampun sekarang. Jaga diri, Draco."

Lalu orang itu pergi, menyeret langkahnya menjauh. Beberapa detik kemudian, Draco membuka pintu ruangannya. Hermione sudah sangat marah ketika Draco menarik tangannya untuk melanjutkan perjalanan mereka menyusuri koridor yang gelap.

"Brengsek kau, Draco." Gumam Hermione, suaranya bergetar. "Kaukah itu, yang menangkap Harry?"

Draco tidak menjawab, melainkan terus membawanya. Sedangkan di belakang mereka, Blaise dengan sigap mengikuti. Hermione hampir kehabisan napas saat mereka melewati koridor penuh asap dan tembok di samping mereka sudah hancur—roboh dan menjadi puing-puing.

Hermione menyesalkan suasana yang dilihatnya pada saat itu. Kehancuran di sana-sini dan asap mengepul dari mana-mana. Saat sampai pada ruangan besar—tampak seperti ruang keluarga tadinya, sebelum api besar berkobar di sana—mereka di hadapkan dengan pertarungan beberapa Penjambret dan orang-orang yang tak pernah Hermione lihat sebelumnya.

"Biar aku yang urus. Bawa saja Granger," kata Blaise. Draco terus membawa Hermione, sedangkan Blaise mengalihkan perhatian para Penjambret itu. Dia mendengar Blaise melancarkan sebuah kutukan, namun entah mengenai siapa. Saat mereka berlari menyusuri koridor sepi dan panjang, Hermione akhirnya tumbang. Dia jatuh terjerembab dengan napas tak beraturan.

"Sudah hampir sampai, Granger. Ayo!"

Tapi Hermione menggeleng-geleng, perutnya amat terangat nyeri. Draco berlutut, mendesah frustasi lalu mengangkat Hermione ke atas kedua lengannya. Setelah berhasil membopong Hermione, dia melangkah cepat menyusuri koridor. Sampai akhirnya mereka sampai pada sebuah pintu. Draco menendangnya paksa. Pintu itu menjelebak terbuka. Mereka telah sampai pada bagian luar Malfoy Manor, entah di mana.

Hermione belum sempat memerhatikan lebih jauh ketika tiba-tiba saja beberapa orang menyambutnya. Jantungnya terasa anjlok ketika dia melihat mereka.

"Hermione!"

Harry, Ron dan Nymphadora Tonks telah menunggu mereka. Malfoy menurunkannya, Hermione langsung disambar oleh pelukan kedua sahabatnya. Rasanya kerongkongannya tersumbat oleh sesuatu yang tak diketahui wujudnya. Ketika Harry dan Ron melepaskan pelukannya dan Hermione melihat senyum mengembang di keduanya, dia baru menyadari bahwa itu adalah wujuh bahagia.

"Sudah lama sekali sejak…" Nymphadora melihat perut besarnya, tersenyum penuh haru. Dia merentangkan tangannya, membawa Hermione pada pelukannya. "aku melihatmu,"

Air mata senang baru jatuh ketika wanita berambut nyentrik itu melepaskan pelukanya. Hermione segera menyekanya. Dia tersenyum. "Senang juga melihatmu, Tonks…"

"Lupin," koreksi Nymphadora. "kami sudah menikah dua bulan lalu, setelah aku menyadari bahwa sebaiknya Teddy memiliki orang tua lengkap seutuhnya. "

Hermione memeluknya lagi, mengucapkan kalimat selamat padanya. Ketika suasana haru masih menyelimuti, Draco berdehem di belakang mereka. Hermione segera melepaskan pelukannya. Harry mendekati Draco, Ron mengekor di belakangnya. Mereka berdua saling menatap.

"Kami berhutang padamu,"

"Ini kata-kata terakhir yang bisa kauucap jika kau meninggalkannya lagi." Kata Draco, keangkuhan yang sudah lama tak Hermione lihat bersarang lagi di sana. Lalu suara langkah tergesa-gesa terdengar. Blaise muncul dengan napas yang tak beraturan, masih dengan koper Hermione di tangannya.

"Draco, haruskah—?"

"Tidak perlu, Blaise. Tugasmu selesai, terima kasih."

Blaise menyerahkan koper itu pada Ron. Suasana berubah canggung ketika kedua Slytherin dan Gryffindor itu saling menatap. Hermione menunduk, tidak sanggup menahan tangis ketika Draco mulai berjalan mendekatinya. Saat Draco mencoba menggenggam jemarinya, Hermione menepisnya dengan kasar. Dia berbalik, menghindari cowok pirang itu. Namun dengan penuh kelembutan Draco menyentuh bahunya. Hermione tetap bergeming membelakanginya.

"Jangan menangis, Granger," tutur Draco, suaranya menenangkan. "berjanjilah padaku untuk tetap bertahan sampai akhir. Kau sudah sejauh ini. Aku hanya bisa melindungimu sampai di sini."

Air mata Hermione bercucuran semakin deras tanpa suara.

"Jaga dirimu dan anak ini," Draco meremas bahunya. "jika aku tidak di sana saat kau membutuhkanku, ketahuilah bahwa aku akan selalu mencintaimu."

Setelah kata-kata itu selesai, Hermione berbalik dan memeluknya. Kedua lengannya melingkar di leher Draco. Hermione tersedu-sedu dengan hebatnya. Tak ada yang lebih menyakitkan daripada harus melepasnya pergi. Draco memeluknya sama eratnya. Dia tidak sanggup untuk menatap wajah lelaki yang amat dicintainya itu untuk terakhir kali.

Ketika Hermione melepaskan pelukannya, dia mencium Draco.

Draco-nya.

Dengan perasaan yang sama beratnya, Draco membalas ciuman itu. Hermione tidak berpikir untuk melepaskannya, namun tiba-tiba saja Draco mendorongnya menjauh. Suara langkah-langkah kaki mulai terdengar. Keributan mendatangi mereka.

Harry dan Ron sudah ada di belakangnya, memeganginya. Draco mengeluarkan tongkatnya, mengacungkannya pada pintu gerbang besar di hadapannya. Mengucapkan sihir rumit tanpa suara, akhirnya pintu itu terbuka. Hermione menatap Draco, melihat tubuh jangkung di tengah kegelapan ketika Harry dan Ron menariknya keluar. Dia mencoba meronta, namun terlambat ketika Nymphadora menyentuh mereka bertiga.

Dan bayangan Draco hilang sepenuhnya.

.

Hermione berdiri sendirian. Ketika mereka sampai pada Shell Cottage, daerah pinggiran Tinworth, Hermione langsung dihujam berbagai macam rasa ucap syukur dan pelukan penuh kerinduan dari para anggota Orde yang tersisa. Mereka semua bersembunyi di pinggiran pantai, di mana Bill dan Fleur menetap.

Hermione tidak ingat kapan terakhir kali dia melihat matahari. Namun sore itu, ketika semua orang berkumpul dan bercerita, Hermione berjalan sendirian keluar rumah. Menyusuri pasir-pasir putih menghangatkan dan melihat warna jingga matahari yang mulai terbenam di ujung dunia.

Dia mengenakan pakaian yang dibongkarkan oleh Mrs. Weasley dari koper untuknya. Saat sampai, dia kebingungan dan tidak merespon semua orang yang berusaha bicara dengannya. Mrs. Wealey bilang dia butuh waktu, namun Hermione tidak peduli. Saat melihat semua orang yang berusaha memerhatikannya dan menaruh simpati, Hermione hanya terdiam ling-lung di sudut perapian.

Koper yang dikepak Draco untuknya ternyata telah berisi semua perlengkapannya. Dress tidur, dress rumah dan jubah berpergian. Serta—yang membuat Hermione mengeluarkan air mata tanpa suara lagi—tersusun dengan amat rapi baju bayi yang tak pernah dilihat sebelumnya. Sejak kapan Draco memiliki ini semua? Atau sekedar membelinya? Kenapa dia tidak memberi tahu Hermione bahwa dia telah mempersiapkan semuanya…

Dia menatap ombak yang menari-nari di hadapannya. Mendengarkan dengan khidmat suara-suara air yang bergemericik di bawah kaki telanjangnya. Angin menerpa wajahnya, merasuk hingga ke otak. Percakapan semalam terus melintas di kepalanya.

"…jadi bagaimana dengan rencana melarikan diri itu? Apakah kau sudah merencanakan sebelumnya? Apa benar si bocah Malfoy itu yang mendatangimu pada saat malam kau ditangkap, Harry?"

Hermione berbaring terpekur, membelakangi. Pastilah mereka semua menganggap Hermione telah tertidur.

"Ya, Penjambret-lah yang menangkapku di hutan itu. Ternyata mereka membawaku ke Malfoy Manor. Dan tanpa di sangka, pada malamnya, Malfoy mendatangiku ke ruang bawah tanah—di mana semua tahanan di sekap—lalu kami mulai bicara—perjanjian, sebenarnya.

Ternyata Hermione bersama Malfoy. Dia bilang, cukup untuk membawa pergi Hermione, maka dia akan membantuku untuk melepaskan semua tahanan dan membiarkankan kami pergi."

Dan di sanalah dia. Jadi ini yang dilakukan Draco... sekarang semua tampak jelas di depan hidungnya. Bagaimana bisa dia mengkhianati Tuan-nya dan melakukan semua kegilaan ini?

Hermione menatap debur ombak yang seolah menantang cakrawala di atas mereka. Hermione masih bisa melihat burung-burung itu terbang, berkicau, melayang-layang di atas laut sampai matahari tenggelam sepenuhnya.

.

Dua malam sudah, Hermione berada tanpa suara di sana. Siang itu Ginny tengah berada di sisinya, menyisir rambutnya, seraya memerhatikan Ron yang mencari-cari kerang di pasir. Harry sendiri duduk tak jauh dari mereka. Memerhatikan selembar kertas, yang sepertinya hanya dirinya sendiri yang mengetahui apa isi kertas tersebut.

Sedangkan anggota Orde yang lain berpencar. Menyamar, mencari-cari informasi di luaran. Ternyata semakin hari, semakin banyak orang-orang tak dikenal yang di bawa oleh anggota-anggota Orde. Ternyata mereka adalah bagian dari yang berpindah jalur, beberapa orang yang selama ini ketakutan untuk memilih dan menuruti semua perintah Voldemort. Beberapa lagi mengaku utusan seseorang dari Manor, yang Harry ketahui, tak lain dan tak bukan adalah suruhan Malfoy.

Saat anggota Orde semakin membludak, semakin baik pula sistem kerja mereka. Harry mulai memberikan petunjuk-petunjuk rencana mereka selanjutnya. Jadi di setiap malam, Mrs. Weasley selalu membuka pintu rumahnya lebar-lebar karena demi mengadakan perkumpulan. Beberapa sumber mulai mengungkapkan bahwa kekuatan Kementerian mulai pudar. Rakyat mulai berani memberontak. Beberapa darah-lumpur yang berusaha ditangkap mulai berani melawan.

Tengah malam itu Hermione menuruni tangga. Suasana rumah amatlah sepi. Pastilah beberapa orang tengah menjalankan Patroli malam, seperti biasa. Dan ketika Hermione menuju dapur, untuk mengambil segelas air putih, Harry muncul dari pintu belakang.

"Hei," kata Harry, kebingungan untuk mengeluarkan kata apa yang mesti dia ucapkan. Hermione, memegangi perutnya, melangkah melewatinya. Mengambil segelas air putih dan menenggaknya habis tanpa suara.

Hermione berbalik untuk menatapnya. Dia tahu saat itu wajahnya seperti orang gila karena Harry mulai takut keberadaannya menganggu, dan bersiap untuk pergi dari sana. Namun entah apa yang merasukinya, Hermione seperti ingin meledakkan sesuatu—entah apa—dari dalam tubuhnya.

"Harry,"

Harry berhenti melangkah, berbalik dan tampak sangat bingung. "Ya, Hermione?"

Hermione tidak langsung menjawab, melainkan mengendalikan kata-kata di kepalanya. Dia menatap wajah Harry lama, memerhatikan betapa lelahnya mata itu dan penampilannya mencerminkan betapa keras dia bekerja selama ini. "Apakah benar kau akan pergi ke Kementerian besok malam?"

Harry mengangguk cepat. "Ya,"

Hermione melangkah mendekatinya. Wajahnya sembab karena terlalu lama dan sering menangis. Harry mulai bergerak tidak nyaman. Hermione sudah hampir satu minggu tidak bicara dengan siapa pun, dan kini dia bicara dengannya? "Akan terjadi perang besar-besaran di sana."

Harry menganggap itu bukan pertanyaan.

Hermione terus mendekat—sampai jarak diantara mereka sangat tidak patut untuk dikatakan hanya sekedar bicara—dan ketika menatap mata hijau Harry yang berpendar, rasanya amat menyakitkan karena keindahan itu mengingatkannya lagi pada seseorang.

"Katakan kau akan membantunya, Harry." Air mata metes di pipi Hermione, wajah itu memohon dengan penuh kepedihan. "berjanjilan padaku kau akan melindunginya. Kau satu-satunya yang dapat mengeluarkannya dari semua kekacauan ini."

Harry menatapnya sedih.

"Bawa dia padaku," suara Hermione hampir hilang, terjerembab ke dalam sedu-sedan yang menyakitkan. "kembalikan Draco padaku, Harry. Bawa dia…"

Saat Hermione terisak hebat, Harry membawanya pada pelukan. Meredam suara itu di dadanya, mengusap punggung Hermione dengan penuh kasih. Napas Harry tak beraturan, dia tidak tahu apa yang lebih menyakitkan dari melihat wanita yang amat dicintainya menangis di depan hidungnya. Selama ini Hermione sudah begitu kuat—Harry melihat bertapa mulut cerdas itu melawan siapa pun yang menindasnya, dan kekuatan mantra yang paling unggul di Hogwarts—Harry sudah melihat betapa hebatnya Hermione selama dia hidup.

Namun dia baru menemukan sosok Hermione saat ini.

Dan amat sangat memilukan rasanya.

"Ya," Harry merasakan matanya buram, dia menutup matanya. Satu tetes air mata jatuh dari sana. "aku berjanji, Hermione."

.

Selain berada di Grimmauld Place, Shell Cottege adalah tempat di mana Hermione ingin sekali mati bunuh diri.

Dia berada berdua bersama Ginny—yang dilarang keras untuk ikut dalam penyerangan besar-besaran ke Kementrian karena belum cukup umur—duduk seperti sinting di depan perapian dan tak bicara satu sama lain. Mereka berdua amat sangat gelisah sekaligus ketakutan. Ginny berulang kali menyibak gorden jendela, mengintip dan berharap kalau-kalau saja seluruh anggota Orda secara bersamaan muncul dari sana. Utuh. Tak ada yang berkurang. Tak memakan korban…

"Bagaimana rasanya, Hermione," dia mendengar Ginny bicara—setalah hampir dua jam diam satu sama lain. "berada di tempat di mana seharusnya kau tidak di sana?"

Dia ingat rasa takut itu. Tapi wajah Draco menyelimuti ingatannya. "Ingin di sana selamanya," Hermione mengelus perutnya. Dia merasakan tendangan di sana.

"Aku tak pernah tahu, Hermione…" kata Ginny pelan, matanya menatap kosong perapian. "kalau Malfoy sebegitu mencintaimu,"

Hermione tidak menjawab.

"Aku salah satu sahabatmu, kan?" dia mendengar nada penyesalan di sana. "apakah aku tidak seberuntung itu untuk dapat mendengarkan semua ceritamu?"

Hermione menutup mata. Dia tahu kini Ginny tengah menatapnya. Dia hanya tidak ingin membalas menatap mata itu. Dia benar, mengapa Hermione sama sekali tidak menceritakan ini dengannya? Mengapa Hermione lebih memilih memendam semuanya sendiri, setelah semua?

Dia tidak menemukan jawabannya. Hermione tahu bahwa seluruh perasaannya pada Malfoy bukanlah hal yang mudah untuk dibicarakan. Hal itu terasa amat fana, tidak nyata dan sulit untuk dipercaya. Jika dia bercerita, dari mana dia harus memulai? Hermione tidak menemukan jawabannya. Jadi ketika sepersekian menit, Ginny menunggunya, Hermione hanya menggendikan bahu. Dia tidak ingin menatap mata kecewa itu.

Maafkan aku, Ginny…

.

Hermione kaget sekali.

Dia terbangun dengan hentakan keras dan suara ricuh di sekelilingnya. Dia merasakan guncangan pada bahu. Wajah panik Mrs. Weasley menyambutnya. Tiba-tiba saja seisi ruangan Shell Cottege sesak—dipenuhi dengan orang-orang yang amat dikenalnya. Fred dan George berdiri masing-masing di samping Mrs. Weasley, merangkul ibunya. Ginny berdiri tak jauh darinya—memerhatikannya dengan lekat. Dia melihat sisa-sisa air mata di mata mereka, begitu pun di mata Mrs. Weasley. Ron menunduk, wajahnya kotor. Beberapa bagian bajunya sobek. Hermione melihat sebuah memar di pipinya, meninggalkan noda ungu mengganggu di sana.

Mr. Weasley merangkul Ginny. Bahkan Percy Weasley telah bergabung dengan mereka semua. Lalu ada wajah-wajah yang Hermione belum pernah lihat sebelumnya—mereka kah para anggota baru Orde?

Seperti mimpi, Hermione masih menatap bingung mereka. Apa, apa yang terjadi?

Dia mencari satu mata. Namun Harry tidak ada di mana pun. Hermione merasakan jantungnya dengan cepat bergemuruh—dia mencari-cari. Tiba-tiba saja Harry membelah kerumunan. Wajahnya kosong—pandangannya pada Hermione, namun dia terlihat amat sangat kelelahan. Debu dan darah mencoreng wajahnya. Hermione segera bangkit dari duduknya, berhadapan dengan Harry.

Dia ingin segera menggapai Harry. Tapi bagaikan gerakan slow motion, semua orang hanya terdiam. Menatapnya dengan khidmat. Beberapa orang tertunduk. Hermione menatap sekitar dengan panik, ini tidak mungkin terjadi. Dia menggeleng perlahan, masih ingin memahami situasi lebih jauh. Harry sudah berjanji padanya…

Tidak, tidak. Hermione merasakan matanya basah. Sesuatu menyumpal kerongkongannya. Ini tidak mungkin terjadi…

Tanpa di duga—membuat perasaannya meledak dengan hebatnya—Harry bergeser. Sosok di belakang Harry terasa seperti bayangan yang tak mungkin di sentuhnya. Hermione hanya menatapnya untuk beberapa saat. Kesedihan itu bertransformasi menjadi sebuah perasaan bahagia tiada tara. Dia kira dia bermimpi—namun Hermione tahu semua itu nyata, karena matanya begitu amat mengenali setiap detil sosok tersebut.

Draco, dengan senyum itu—senyum yang tak akan pernah Hermione hapus dari ingatan seumur hidupnya—penuh debu dan luka di sana-sini, merentangkan tangannya. Dengan air mata kebahagiaan, Hermione berlari, masuk ke dalam pelukan orang yang amat dicintainya.

.

.

"…Draco Lucius Malfoy, keturunan tunggal dari Keluarga Malfoy, yang ayahnya, Lucius Malfoy, gugur dalam Perang. Yang ibunya, Narcissa Malfoy, berhasil di selamatkan, dan kini tengah mengalami pemeriksaan khusus. Yang seluruh keluarga habis tak tersisa, baik dari pihak Black—sang ibu—atau pihak Malfoy—sang ayah."

Hermione duduk di kursi belakang, memandang lurus ke depan. Seisi ruangan mengenakan pakaian rapi—pakaian terbaik mereka dari sisa-sisa Perang. Hermione mengelus perut besarnya. Di sampingnya, Ginny dan Mrs. Weasley, mendampingi. Dia merasakan tangannya digenggam hangat, Mrs. Weasley tersenyum menenangkan padanya.

Lalu para anggota Orde Pheonix ikut hadir pula. Menjadi saksi dan memberikan keterangan-keterangan mereka. Kerusakan-kerusakan yang dialami dunia Sihir mulai dibenahi. Kementerian telah mengganti semua pegawai dengan orang baru. Kingsley ditunjuk sebagai Menteri Sihir secara pungutan suara. Sedangkan Mr. Weasley mendapatkan tempat yang jauh lebih layak—di mana seharusnya dia berada selama ini—setelah semua.

Hogwarts dalam masa perbaikan. Belum ada murid yang menjalankan rutinitas di sana—namun Hermione yakin, jika sudah saatnya di buka, Hogwarts tetap mendapatkan banyak peminat, seperti biasa.

Lalu dia bertemu pandang dengan Harry. Dengan penampilan yang paling rapi—setelah peperangan dan segala macam rintangan yang dihadapinya—Harry tampak jauh lebih berwibawa. Dia memutuskan untuk masuk ke dalam pelatihan Auror. Begitu pula dengan Ron. Dan yang membawa mereka semua berada di sini adalah…

"bahwa kau, Draco Malfoy, telah dinyatakan membunuh seratus tiga puluh dua Muggle, kelahiran Muggle dan dua puluh satu darah-campuran. Kau juga terlibat dalam naungan kekuasaan Voldemort, menjadi mata-mata selama tahun terakhir di Hogwarts. Menggunakan Sihir-sihir Hitam saat masih berada di bawah umur. Serta membunuh Albus Percival Wulfric Brian Dumbledore,"

Ruangan hening. Hermione merasakan telapak tangannya basah. Lalu suara berat dan tua itu melanjutkan.

"Dan berikut kubacakan juga pengakuan para saksi. Bahwa kau, Draco Malfoy, telah mendatangi Harry Potter pada saat malam dia ditangkap oleh Penjambret, untuk membebaskan seluruh tahan yang dikurung di penjara bawah tanah Malfoy Manor. Kau ikut serta dalam pelarian seluruh tahanan yang dilakukan oleh pengikut Voldemort. Kau merekrut beberapa teman, kerabat dan pesuruhmu untuk masuk ke dalam Orde Pheonix. Kau menyelamatkan Hermione Granger. Kau berpindah haluan, membantu Orde dalam Perang.

Maka dari itu, dengan seluruh pertimbangan yang dilakukan, beserta Ketetapan Kementerian yang telah dibuat secara tegas, kau dihukum selama lima tahun kurungan di Azkaban. Selama kau dalam masa penjara, seluruh hartamu, yang kaupercayakan kepada Narcissa Malfoy, ibumu.

Dan beserta istrimu, Hermione Malfoy, akan ikut serta menempati Manor. Dan akan membesarkan anak kalian di sana."

Hermione menutup mata. Dia mendengar palu diketuk.

"Dibubarkan."

.

.

.

.

.

.

Bau sejuk salju selalu mengingatkannya pada rumah. Dia memandang jendela, mengamati dari kaca buram suasana di luar. Rintik-rintik hujan jatuh di atas atap, membuat ruangan dua kali lipat lebih dingin dari biasanya.

Dia sama sekali tidak melepaskan mantelnya sepanjang hari itu. Matanya berkali-kali melirik pada jam dinding besar di atas pintu ruangan. Jemarinya mengetuk-ngetuk meja. Dia melihat tumpukan kertas di atas mejanya, lalu mengabaikannya. Pandangannya beralih pada sebuah potret yang berdiri tunggal di meja itu. Wajah dengan senyum ceria terhias di sana. Baru saja Hermione ingin menggapai potret itu—tiba-tiba saja pintu diketuk. Pintu terbuka, wajah perempuan muda menyembul dari sana.

"Penyembuh Malfoy, dia sudah menunggumu di bawah."

Dia segera beranjak, dengan gesit memungut tasnya dan berjalan menuju pintu. Langkahnya cepat—menuruni anak tangga—dan melambat ketika dia sudah sampai ruangan utama. Wajah ceria menyambutnya.

"Ibu!"

Hermione Malfoy berlutut, merentangkan tangannya. Sesesok anak lelaki dengan tinggi yang tak lebih dari kakinya berlari menyambutnya, menghujam pelukannya dengan pelukan mini yang membahagiakan. Rambut pirang serta mata biru itu berpendar, menatap senang. "Hei, sayang," anak itu melepaskan pelukannya. Memberikan Hermione ciuman bertubi-tubi tanpa henti. Lalu melepaskan ibunya dengan senyum lebar. "Apa yang kaumakan sebelum sampai di sini, Iris?"

Narcissa bangkit berdiri, meluruskan masalah. "Pemuda Weasley—Geroge—"

"Paman Fred!" protes Iris.

"Yah, entahlah diantara keduanya yang mana tepatnya, memberikan Iris cokelat serba rasa. Dan sepertinya cokelat, rasa muntahan." Wanita tua itu berjalan mendekat. Hermione segera bangkit dengan Iris di gendongannya.

Hermione menatap Iris, wajahnya meminta penjelasan. Tapi bocah berumur lima tahun itu hanya terdiam cemberut, merasa terpojok dengan pengakuan sang Nenek. "Sayang, kau tahu betapa lelahnya ibu untuk membawamu pada Paman Doughlas demi mengobati gigi-gigimu?"

"Seperti yang selalu Nenek katakana padamu, sayangku Iris. Besok akan kubeli seluruh isi toko Sihir Sakti Weasley dan menutup toko tersebut agar cucuku tidak membeli sesuatu yang berbahaya—" Hermione ingat satu minggu lalu Iris hampir meledakkan sayap Barat Manor karena hadiah 'Tutup Telinga dan Lari' dari Kedua Paman Weasley tersayangnya. "—merusak ketentraman jiwa—" Frisbe Berdesing sepanjang malam yang diberikan pada hadiah ulang tahun Iris yang kelima pada bulan lalu, mengakibatkan seisi Manor frustasi mencari benda berdesing tersebut yang sulit ditemukan di Manor. "dan mengganggu kesehatan."

"Tapi, Paman selalu bilang kalau Ibu, Paman Harry dan Paman Ron adalah pelanggan setia mereka dulu semasih di Hogwarts."

Narcissa mendelik. Menatap Hermione, meminta kejelasan dari pernyataan tersebut. Dengan ekspresi meminta maaf, Hermione tersenyum masam. "Dengarkan Nenekmu, sayang. Kau tidak boleh terlalu sering mengunjungi Toko Sihir Sakti Weasley, oke? Hanya belum waktunya…"

Seorang datang, Hermione menengadah.

"Louisa, hari ini aku harus pergi lebih cepat dari biasanya. Jika ada pasien, gantikan aku dengan Penyembuh lainnya. Bisa kau mengerti?"

"Ya, Penyembuh Malfoy."

"Oke… Sayang? Bisakah kau peluk Ibu dengan erat?" Iris memeluknya. Narcissa mendekat, menyentuh tangannya. Mereka ber-disapparate.

.

Ketiga Malfoy tersebut berjalan menyusuri jalan yang basah dan lembab. Di hadapan mereka, terdapat bangunan tua yang besar berdiri kokoh tanpa sela. Hermione memeluk Iris dengan erat. Melindunginya dari udara dingin yang mampu menembus pakaian mereka. Ketika hampir sampai pada gerbang, secara sihir, gerbang itu bergerak terbuka. Hermione dapat melihat lebih jelas suasana di dalam sana. Betapa gelap dan suram suasana tempat itu.

Saat pintu gerbang seluruhnya terbuka, dia melihat tiga sosok berdiri menyambut mereka. Perasaan yang tak terkatakan muncul. Hermione dan Narcissa terus berjalan mendekat. Begitupun mereka. Hingga pada akhirnya jarak diantara mereka begitu dekat. Narcissa segera menghambur, memeluk sosok pirang dengan wajah pucat dan tak jauh lebih tirus dari pada seingatnya. Wanita itu menangis tersedu-sedan, penuh haru dan khidmat. Kedua penjaga di sisi perlahan-lahan mundur, memberikan hormat dan pergi kembali memasuki gerbang.

Hermione memandang lurus, matanya tak bisa teralihkan dari sosok di hadapannya.

Dia kembali.

Setelah semua, Draco kembali.

Betapa dia amat bahagia, dengan kesuka citaan yang tak tersampaikan, ketika Narcissa melepaskan pelukannya, Hermione berjalan mendekat. Ingin memerhatikan dengan lebih jelas seseorang yang begitu amat dirindukan, diimpikan dan tak pernah luput dari balutan cintanya…

Dia sudah teramat sangat lama tak menatap mata itu. Mata yang selalu berpendar bagai percikan kembang api, yang tak pernah gagal memporak-porandakan hatinya. Draco merentangkan tangannya. Tersenyum miring. Hermione dengan penuh perasaan tenggelam dalam pelukan tersebut. Memberinya segala macam ucapan penuh cinta dan kasih sayang. Betapa dia amat merindukannya. Betapa dia menunggu setiap harinya, menghitung waktu yang terasa amat menyiksa selama Draco tak di sisinya.

Saat Hermione melepaskan pelukannya, wajahnya telah basah oleh air mata. Dia merasakan cengkraman pada lengan bajunya. Dia bahkan hampir lupa kalau Iris kini berada di tengah-tengah mereka.

"Jadi…" dia amat bahagia mendengar suara Draco setelah sekian lama. "si kecil pirang ini anakku?"

Ternyata dia sama sekali belum berubah, hal itu membuat Hermione ingin memeluknya lagi dan lagi. "Ya,"

Draco menunduk menatap anak yang tak pernah dikenalnya selama dia lahir. Dahinya berkerut, tampak berpikir. "Iris…" dia bergumam. "hanya perasaanku saja, atau aku memang sedang bercermin ke masa lalu?"

"Draco!"

Draco tertawa. "Yeah, aku hampir tak mengenali perbedaan. Dia mirip sekali denganku, terkahir kali aku berkaca, aku tampak seperti dia."

"Sebentar lagi dia akan menganggap kau bukan Ayah yang selama ini aku ceritakan padanya," kata Hermione, memutar mata.

"Oh, maaf. Aku masih merasa berumur delapan belas." Dia menyeringai.

Lalu menawarkan tangan. Iris hanya menatap mata itu. Beberapa saat, sebelum tersenyum sama persisnya dengan Draco, dia menerima tangan Draco dan berpindah ke dalam gendongannya.

"Wow, kau jauh lebih berat dari yang kuingat," kata Draco bergurau. Narcissa mengelus bahu putranya dengan penuh kasih sayang. Semua Malfoy itu berjalan, menjauhi Azkaban. "Jadi bagaimana Ibu menceritakan Ayahmu? Apakah Ayah tampak seperti pahlawan super atau tampak seperti Pangeran di dongeng-dongeng?"

"Ibu bilang, Ibu pernah meninju wajah Ayah di tahun ketiga kalian di Hogwarts. Itu keren!"

Draco menatap Hermione tidak percaya, berbisik. "Dari sekian banyak cerita romantis kita, hal itu yang kaupilih untuk diceritakan padanya?"

Hermione tersenyum masam. Memeluk lengan Draco, wajahnya memerah.

"Jadi, pernahkah kau naik sapu terbang?"

"Draco!" kedua wanita berseru tidak setuju di sisinya.

Draco Malfoy, dengan tampang piciknya, mendekatkan wajah. Berbisik di telinga putrinya. "Well, kita bisa mencoba besok. Ketika Ibu dan Nenekmu tidak di Manor…"

"Kami dengar itu!"

Tapi terlambat. Ketika kedua Malfoy sudah sepakat dalam menyusun rencana, pada akhirnya pasti akan terlaksana.

Malfoy selalu mendapatkan yang dia inginkan. Benar?

.

.

.

TAMAT


akhir catatan : terima kasih. Pembaca yang sabar menunggu cerita ini, karena sudah dua tahun lebih dalam proses. Baik yang merelakan waktu untuk review, mengirim PM atau menghubungi saya langsung di media sosial. Maafkan atas segala kekurangan dan kemiskinan bahasa. Bab ini saya persembahkan untuk pembaca-pembaca saya yang tercinta dan amat setia...

04. 10. 15