"Yun," bisik Jaejoong sambil tersenyum. "bear."

"Kau pingsan, boo." Dengan lemah Jaejoong mengangkat tangan dan mengelus pipi Yunho, membelai rambutnya.

Seperti dikomando, orang-orang yang berkerumun di sekeliling mereka serentak menaikkan alis. Terdengar seseorang bergumam, "Wah, bukan main."

"Kau akan segera sembuh. Pasti. Aku yakin." Yunho mengangkat tangan Jaejoong dan meletakkannya di bibir, lalu menekan telapak tangannya. Diangkatnya tubuh Jaejoong ke pangkuannya, hingga Jaejoong tidak terbaring di lantai lagi. "Dokter akan segera kemari."

"Aku tak perlu dokter."

"Tak usah banyak bicara. Kau baru saja pingsan. Karena terlalu gembira, makanya kau pingsan. Kau akan..."

"Aku hamil, bear."

.

Bittersweet Rain

©Sandra Brown

Kim Jaejoong, Jung Yunho, Choi Siwon, Cho Kyuhyun, Lee Sungmin

©their self

Bittersweet Rain Yunjae Vers.

©Kitahara Saki

.

Kata-kata Jaejoong yang perlahan itu menghentikan semburan kata-kata yang hendak meluncur keluar dari bibir Yunho. Ia menatap Jaejoong tanpa berkata-kata. Jaejoong tertawa kecil melihat wajah Yunho yang terkesima.

"Itulah penyebabnya. Aku akan menjadi eomma."

Jaejoong menatap orang-orang yang berkerumun karena ingin tahu. Para pemuka masyarakat menyimak informasi tersebut dengan sangat antusias, yang menyingkap gosip yang mereka dengar berbulan-bulan belakangan ini. Mereka inilah yang dulu menganggap Jaejoong dan keluarganya rendahan. Kepada mereka inilah Jaejoong berusaha menanamkan reputasinya, berjuang mendapatkan pengakuan.

Kini baru Jaejoong menyadari, bertahun-tahun ia membuang waktu untuk memperjuangkan hal yang ternyata tak bermakna. Matanya kembali tertuju pada Yunho. Menatap mata keemasan itu, yang selalu menatapnya dengan mesra, kasih, hasrat dan cinta. Disentuhkannya pipinya ke pipi Yunho, dan berkata, "Aku akan punya anak darimu, Yun."

Mata Yunho berbinar-binar. Sambil mempererat dekapannya pada Jaejoong, ia menunduk dan mendekatkan bibir ke telinga Jaejoong. "Aku akan jadi appa," bisik Yunho. "Aku cinta padamu, Jae, boojaejoongie."

Kemudian, secepat angin, Yunho menekuk kaki, menggendong tubuh kekasihnya itu. "Tolong beri kami jalan. Anda dengar, ia bilang ia hamil. Aku akan membawanya pulang. Walikota, tolong matikan cerutu Anda. Asap itu membuat saya mual, padahal saya si calon ayah, bagaimana dengan calon ibu ini? Boa, tolong ambilkan barang-barang Jaejoong di sana, di kursinya. Kyuhyun, tolong bawa mobil ke sini. Sungmin, kau tidak apa-apa, kan? Itu baru adikku yang manis."

Beberapa saat lamanya Yunho memberi perintah, sementara Jaejoong bersandar di dadanya dengan nyaman. Yunho menyeruak di antara orang banyak, meyakinkan setiap orang bahwa Jaejoong baik-baik saja, bahwa Jaejoong pingsan karena luapan emosi kegembiraan, hawa panas bangunan, dan sarapan yang kurang. "Saya akan membawanya pulang sekarang untuk memberinya makan dan menidurkannya. Saudara-saudara, silakan teruskan acara dan selamat bersenang-senang. Jaejoong akan baik-baik saja. Saya tahu, ibu yang sedang hamil memang sering mengalami hal ini."

Yunho tersenyum pada Jaejoong, dan seluruh warga kota menyaksikan mereka meninggalkan gedung. Jaejoong melingkarkan tangannya di leher Yunho.

.

.

.

.

.

"Sudah bangun?" Yunho memiringkan tubuh dan memberikan ciuman manis di dahi Jaejoong.

"Dari tadi kau di sini?" Jaejoong tertidur dengan tangan digenggam Yunho.

"Setiap detik."

"Berapa lama aku tidur?" Jaejoong menggeliat.

"Beberapa jam. Tidak terlalu lama. Aku malah ingin kau tetap di ranjang sampai beberapa hari lagi."

Mata Jaejoong membelalak. "Hanya tidur?"

"Salah satunya," jawab Yunho penuh arti dan mendekap Jaejoong erat. Sejenak ia membenamkan wajah di leher Jaejoong yang wangi serta lembut, kemudian ia mengangkat kepala untuk menciumnya.

Bibir Yunho menyentuh bibir Jaejoong dengan lembut. Dengan lidahnya ia menelusuri garis bibir Jaejoong. Ketika bibir Jaejoong agak membuka, lidahnya segera dimasukkan ke mulut kekasihnya itu. Jaejoong melingkarkan tangan di leher Yunho, dan menarik tubuh pria itu lebih rapat ke tubuhnya.

Yunho tak kuasa menahan desakan yang sejak beberapa jam yang lalu ditahannya karena takut membahayakan Jaejoong. Ia berbaring di samping wanita itu di ranjang, dan memeluk tubuh Jaejoong yang hangat dan masih mengantuk. Bibir mereka saling melumat. Tak henti-hentinya mereka tersenyum. Tetapi akhirnya Yunho menatap Jaejoong dengan wajah serius.

"Tadinya kapan kau akan memberitahu aku soal bayi ini, boo?"

Yunho masih berpakaian lengkap, tetapi kancing kemejanya sudah dibuka. Jaejoong menyelipkan tangannya ke balik kemeja, mengelus dadanya yang bidang. "Setelah akhir pekan ini. Bila kau tidak hadir pada acara Festival Musim Gugur ini, aku akan meneleponmu."

"Begitukah?"

"Bila tidak, Boa yang akan menelepon."

"Ia tahu?"

"Kurasa ia curiga. Dan Kyuhyun. Mereka memang tidak mengatakan apa-apa, tetapi aku merasa mereka selalu memerhatikanku."

"Bukan aku curiga, tapi aku merasa ada yang tidak beres. Berat badanmu berkurang terus." Tangan Yunho yang diletakkan di rusuk pindah ke paha.

"Kata dokterku aku normal saja. Aku memang kurang nafsu makan. Sedikit saja aku makan, selalu keluar lagi."

"Mengapa kau tidak mengatakannya padaku? Aku tak tahu apa aku harus memukulmu atau menciummu."

"Menciumku."

Yunho mengabulkan permintaan Jaejoong. Yunho mengelus perut wanita itu. "Ada anakku di dalam sana. Oh Tuhan, mukjizat yang sangat indah, aku akan jadi appa" kata Yunho sambil memeluk Jaejoong. Sekali lagi diciumnya Jaejoong dengan lembut dan hasrat menggelora.

Tangan Yunho menyelinap ke payudaranya. Ia hanya menyisakan pakaian dalam ketika membuka pakaian wanita itu dan menyuruhnya segera berbaring di ranjang begitu mereka tiba di rumah. Bahan sutra itu terasa hangat karena pancaran panas dari tubuh Jaejoong. Yunho menyentuh payudara Jaejoong, melepas bra berenda yang menutupinya. Diciuminya bagian itu. "boo, maukah kau menikah denganku?"

Jaejoong tersentak. Bibir Yunho dengan panas terus beraksi. "Bagaimana bisa aku menolak? Kau memintanya dengan begitu manis."

Yunho menindih tubuh Jaejoong dan memegangi wajahnya dengan dua tangan. "Aku ingin kau tahu sesuatu, yang tidak kusadari sampai hari ini." Matanya tajam menatap Jaejoong. "Andaipun kau benar-benar menjadi istri aboji, aku akan tetap mencintaimu dan menginginkanmu seperti sekarang ini."

Yunho melihat mata Jaejoong berkaca-kaca. Ia juga melihat air mata menitik jatuh di pipinya. "Aku cinta padamu." Jaejoong memegang kepala Yunho dan menekannya ke bawah, minta dicium. "Ya, aku mau menikah denganmu."

"Secepatnya?" desak Yunho. "Baru empat bulan aboji meninggal. Orang akan menggunjingkan kita."

Jaejoong menggeraikan rambutnya di bantal dan tertawa. "Setelah peristiwa pagi ini, kekhawatlran seperti itu tak perlu lagi." Jaejoong mengelus perutnya dengan penuh kasih sayang. "Kurasa lebih cepat lebih baik."

"Minggu ini?"

"Besok," bisik Jaejoong, dan Yunho tersenyum. "Apa yang ingin kita lakukan setelah kita menikah? Di mana kita akan tinggal?"

"Di sini, di Jung Mansion. Aku harus bolak-balik, ke Jepang dan ke sini untuk bisnisku." "Aku ikut bolak-balik bersamamu."

"Tidak takut naik pesawat denganku?"

"Aku tidak pernah takut melakukan apa pun bersamamu."

Pernyataan itu mendorong Yunho kembali mendaratkan ciumannya. "Sementara kita tinggal di sini, apa yang akan kita lakukan, pindah tempat tidur setiap beberapa malam?" goda Yunho.

"Bagaimana kalau kita memakai ranjangmu saja, dan kamar ini kita jadikan kamar anak kita?"

Yunho memandang ke sekeliling kamar, kemudian kembali menatap Jaejoong dengan penuh kemesraan. "Andai eomma masih hidup, ia pasti senang sekali."

Bibir mereka kembali saling melumat. "Aku tidak bosan-bosan menciummu. Oh, Tuhan, aku sangat merindukanmu."

Dada dengan bulu yang lebat itu menggesek dada Jaejoong, yang masih basah akibat sentuhan bibirnya. Yunho menggenggam tangan Jaejoong yang diletakkan di perut bagian bawahnya. Gelora seperti merembes masuk ke perut lalu menuju paha Jaejoong, seperti mentega yang meleleh. Sambil menciumi leher Yunho, Jaejoong bergumam, "Yunho, buka pakaianmu."

"Brengsek!" maki Yunho dan duduk. Pipinya memerah, dan jantungnya berdebar cepat. "Aku tidak bisa melakukannya sekarang. Kita harus menunda reuni kita. Aku sudah bilang pada Boa akan mengajakmu turun makan malam begitu kau bangun."

"Oh, astaga!" Jaejoong menyibakkan selimut dan menurunkan kaki dari ranjang. "Baru aku ingat. Kita akan kedatangan tamu saat makan malam."

"Tamu? Siapa?"

"Kejutan. Tolong ambilkan pakaianku." Jaejoong segera beranjak ke meja rias, mengambil sisir dan merapikan rambutnya. "Apakah aku kelihatan seperti habis...? Kau tahu maksudku."

Dengan cemas Jaejoong memerhatikan wajahnya di cermin ketika ia menepukkan bedak di bibirnya yang habis diciumi.

Yunho memberinya gaun dari bahan wol, pilihan yang diambilnya dari lemari. Dipeluknya Jaejoong dari belakang, tangannya menggenggam payudara kekasihnya. Jari-jarinya beraksi. "Heeh. Kau kelihatan seperti habis... kau tahu."

Yunho membenamkan wajah di leher Jaejoong, tepat di belakang telinga, dan menciumi bagian yang sensitif itu. Sambil mengerang, Jaejoong menarik napas, "Bear, aku tidak akan siap bila kau tidak berhenti."

"Aku siap." Yunho menekankan kejantanannya ke bokong Jaejoong. "Aku sudah siap sejak beberapa jam yang lalu. Kau tahu betapa cantiknya dirimu ketika sedang tidur?"

"Kau tahu apa yang kumaksud. Siap untuk makan malam."

"Oh, makan malam. Persetan." Yunho pura-pura menarik napas, menarik tangannya dan menjauh dari Jaejoong.

Setelah tenang, mereka turun untuk bergabung dengan Kyuhyun dan Sungmin di teras. Tanpa bertanya, Kyuhyun menuangkan soju untuk Yunho yang mendudukkan Jaejoong di sofa dengan sangat hati-hati.

"Terima kasih," kata Yunho sambil menerima gelas minuman. Ia menatap adik iparnya dan tersenyum. Andai masih ada keraguan dalam hati Yunho tentang pernikahan Sungmin, yang ia perlu ia lakukan hanya memandang Sungmin dan Kyuhyun. Kebahagiaan terpancar di wajah Sungmin seperti lampu mercusuar yang memancarkan sinar terang benderang di lautan pada malam hari. Kyuhyun rileks, tidak lagi tegang dan defensif. Ia sudah merencanakan beberapa perubahan untuk kandang kuda yang sangat produktif. Ia berbicara dengan Yunho pada posisi yang sederajat sekarang. Kedua pria itu makin saling mengenal dan saling menyukai.

Ketika bel rumah berbunyi, Jaejoong, membuat Yunho cemas, melompat dan lari ke teras. "Aku yang buka. Nikmati saja minuman kalian."

"Bagaimana ia menyuruhku menikmati minuman sementara ia melompat-lompat seperti kelinci?' tanya Yunho. "Ia seharusnya berhati-hati selama beberapa bulan pertama ini, bukan?"

"Aku rasanya tidak percaya Jaejoong akan punya anak," kata Sungmin kepada kakak laki-lakinya.

"Yang aku tidak percaya adalah aku orang yang terakhir mengetahui hal itu," sahut Yunho sambil menatap Kyuhyun dengan tatapan menyelidik.

"Mengapa kau tidak meneleponku dan memberi isyarat?"

Kyuhyun mengangkat bahu tanpa rasa bersalah. "Itu bukan kewajibanku."

Yunho mengernyit. Ia ingin mengatakan sesuatu tetapi terdiam karena kemunculan Jaejoong di ambang pintu. "Yunho, ada yang ingin bertemu denganmu."

Gadis remaja itu menatap ke sekeliling ruangan yang asing baginya dengan sorot mata gugup. Ia menggigitgigit bibir. Yang membuat Jaejoong lega, ia tidak memoles bibirnya dengan lipstik mencolok. Ia juga tidak memakai anting-anting berbentuk jepitan kertas di telinga, dan tata riasnya tidak semencolok waktu itu. Pakaiannya sederhana. Rambutnya masih memakai jeli, tetapi disisir ke belakang seperti model.

"Jaejoong bilang aku boleh datang ke sini," kata Junsu defensif, sambil menoleh ke arah Jaejoong. "Aku sudah bilang padanya mungkin kau tidak ingat aku lagi, tetapi ia bilang kau tetap ingat, jadi..."

Jaejoong melihat perubahan air muka Yunho, dari heran, terkejut, lalu gembira. Ia menggumamkan nama gadis remaja itu, mengulanginya, makin lama makin keras. Yunho merentangkan tangan ketika berada di dekatnya. Tetapi ia tidak ingin membuat gadis remaja tersebut takut. Sesaat ia berhenti dengan tangan tetap direntangkan.

Jaejoong mengamati Junsu, yang datang ke Jung Mansion naik taksi. Ia melihat bibir gadis remaja itu bergetar, matanya berkaca-kaca. Junsu berusaha keras menahan air matanya agar tidak menitik, tetapi gagal. Sisa ketegarannya tak bertahan lagi, ia lari menghambur ke dalam pelukan Yunho, menggosok-gosokkan wajah di dada Yunho dan memeluk pinggang pria itu.

.

.

.

.

.

"Ia tidak terlalu buruk."

Mereka ada di kamar tidur Jaejoong, berganti pakaian hendak tidur.

"Sama sekali tidak. Hanya salah didik. Perlu diperbaiki. Aku tidak yakin ia pernah mendapat pendidikan. Seharusnya kau lihat ia ketika aku berkenalan dengannya. Ia kelihatan seperti wajah yang ada di film-film horor."

"Sudah berapa lama kalian bersahabat?" Yunho duduk di ranjang sambil membuka sepatu dan kaus kaki.

"Beberapa minggu. Kami berjumpa dua kali di kota untuk minum milkshake. Aku mengundangnya ke sini malam ini untuk makan malam dengan kemungkinan kau masih di sini." Jaejoong membalikkan badan. "Aku gembira kau masih di sini," katanya lembut.

"Aku juga," jawab Yunho. "Kau memberi aku alasan lagi untuk mencintaimu. Terima kasih, boo."

"Terima kasih kembali." Letupan emosi yang memenuhi hatinya membuat suara Jaejoong parau seperti suara Yunho.

"Kau lihat air mukanya ketika kita mengajaknya ke Pekan Raya besok? Kurang ajar si jalang Ahra itu. Aku yakin ia tidak pernah membawa anak itu ke mana-mana."

"Kau memberi pengaruh baik padanya."

"Tidak sebanding dengan kebaikanmu. Aku ingin kita bersamanya sesering mungkin."

"Aku juga begitu. Namun kau yakin ingin pergi ke Pekan Raya itu besok?"

"Mengapa tidak?" tanya Yunho, sambil melepas celana.

Jaejoong menatap cermin dan dengan malas-malasan menepis rambutnya ke belakang. "Seluruh warga kota akan ada di sana. Setelah peristiwa hari ini..."

Jaejoong tidak sempat menyelesaikan perkataannya. Yunho datang ke belakangnya, membalik tubuhnya, dan menciuminya. Akhirnya ia mengangkat kepala. "Aku akan membawamu berkeliling di Pekan Raya. Kita akan menyapa setiap orang yang kita temui. Dan aku akan mengatakan kepada setiap orang, siapa pun yang ingin tahu dan tidak ingin tahu, betapa aku sangat mencintaimu dan tidak sabar untuk melihat anakku."

Jaejoong meletakkan dahinya di dada Yunho. "Aku sangat mencintaimu. Kau sangat baik."

"Kau juga sangat baik," bisik Yunho, sambil menjauhkan tubuhnya dengan lembut. Matanya menatap seluruh tubuh Jaejoong penuh hasrat. Baju tidur yang menampakkan lekuk tubuh Jaejoong sangat menggairahkannya, menonjolkan payudara, pangkal pahanya. "Kau sexy sekali, boo."

Yunho mengelus seluruh tubuh Jaejoong yang terbalut satin, lalu perlahan-lahan menurunkannya dengan gerakan tangan yang piawai. Payudara Jaejoong bereaksi ketika jemari Yunho terus bergerak. Punggung tangannya mengelus pahanya, membuat Jaejoong menggelinjang.

Jaejoong tahu, sesaat lagi ia akan lupa diri. "Chankamman bear." Tangan Yunho terentang, ibu jarinya mengelus-elus. "Aku... aku punya sesuatu untuk kuberikan padamu."

"Aku juga punya sesuatu yang ingin kuberikan padamu," gumam Yunho sambil membenamkan kepala. Lidahnya ikut beraksi, sementara ibu jarinya meraba-raba dan menemukan yang dicari. "Apakah pemberianmu bisa menunggu?"

"Aku... aku kira... begitu."

"Aku tidak," kata Yunho sambil mengambil tangan Jaejoong dan meletakkannya di kejantanannya.

Yunho mengaitkan jarinya pada celana dalam Jaejoong dan menariknya ke bawah sehingga Jaejoong bisa melepaskannya. Jaejoong berdiri di hadapan Yunho dalam keadaan telanjang bulat. Yunho menggendongnya ke ranjang. Jaejoong berbaring, Yunho membuka celana dalamnya dan menindihkan tubuhnya yang juga tanpa selembar pakaian pun di atas tubuh Jaejoong.

Ia berlutut di antara paha Jaejoong. "Aku cinta padamu. Aku selalu mencintaimu, boo. Dulu aku mengumpat datangnya hari baru. Karena aku terbangun dengan pikiran melayang padamu, mencari dirimu, memikirkan apa yang kaulakukan, kauinginkan, ingin sekali melihat wajahmu. Kini aku menantikan datangnya hari baru, karena aku bangun tidur untuk mencintaimu dan tahu kau pun mencintaiku."

Yunho menyentuh perut Jaejoong dengan bibirnya. Ia yakin bayinya tidur dengan aman di dalam perut perempuan yang sangat dicintainya itu. Jaejoong meletakkan tangannya di kepala lakilaki yang dicintainya dengan takjub karena ternyata hidup menganugerahkan kebahagiaan sedemikian rupa. Hasrat dan cinta saling bertaut, menerpa tubuh Jaejoong seperti angin sepoisepoi.

Dengan tangan yang masih mengelus payudara Jaejoong, Yunho menunduk, mencium tubuh Jaejoong. Ia tidak ingin menahan diri lebih lama lagi, ia ingin memberikan segalanya.

"Tidak akan melukai bayinya?" Yunho menaikkan tubuhnya ke atas tubuh Jaejoong dan menyatukan diri mereka.

"Ya."

Yunho menguasai Jaejoong dengan perasaan yang meluap-luap, penuh cinta dan kasih sayang. Pinggulnya bergerak berirama. Jaejoong mendekap Yunho erat. Mereka saling memberi dan menerima sebagai ungkapan cinta mereka yang membara. Setelah mencapai puncak, mereka menikmatinya berbarengan, bersama berpacu meraih puncak surga dunia sambil berpelukan.

Beberapa saat kemudian, selagi mengeringkan tubuh sesudah mandi, Jaejoong berkata, "Kau tidak memberiku kesempatan untuk memberikan hadiahku padamu."

"Maksudmu, mau tambah lagi?" Sambil menggoda Yunho menepuk bokong Jaejoong yang naik ke ranjang. "Aku tidak mampu memberikan yang lebih istimewa daripada apa yang barusan kuberikan padamu."

"Ini serius." Jaejoong beranjak ke lemari antik dan membuka lacinya. Dari dalam laci ia mengeluarkan gulungan kertas. Diberikannya gulungan kertas itu kepada Yunho, lalu ia berdiri di jendela, membelakangi Yunho.

Bulan purnama memancarkan sinar keperakan di permukaan rumput yang terhampar luas. Sungai yang berkelok-kelok di antara pepohonan di kejauhan tampak seperti pita yang berkilauan. Jaejoong sangat mencintai tempat ini. Tetapi ia jauh lebih mencintai laki-laki yang menempati tempat ini.

Jaejoong mendengar suara gemeresik kertas. Ia tahu Yunho sedang membaca tulisan yang berisi keputusan Jung Mansion dialihkan menjadi miliknya. Suara langkah kaki Yunho yang mendekati Jaejoong diredam ketebalan karpet di sekelilingnya.

"Aku tidak bisa menerima ini, boo. rumah ini milikmu."

Jaejoong berbalik menghadap Yunho. "Tidak pernah akan menjadi milikku, bear. Rumah ini senantiasa akan menjadi milikmu. Itulah sebabnya aku sangat mencintai tempat ini. Tanpa kau di dalamnya, rumah ini tidak punya arti apa-apa. Kaulah detak jantungnya. Sebagaimana arti dirimu bagiku."

Jaejoong mendekati Yunho dan meletakkan tangannya di dada pria itu. "Karena cintaku padamu, aku memberikan apa yang kurasa sangat kucintai di dunia ini. Cintailah aku, tinggalkan keangkuhan dirimu, cintai aku apa adanya."

Yunho menatap Jaejoong beberapa saat, kemudian menatap kertas di tangannya. Digulungnya kertas itu dengan hatihati, dan disimpannya di lemari. "Aku terima dengan satu syarat. Bahwa kau bersedia tinggal di rumah ini bersamaku seumur hidupmu. Kau berjanji kita akan selalu saling mencintai di sini dan punya anak di sini. Kita tidak akan pernah membiarkan kepedihan hidup yang pernah menimpa diri kita terjadi lagi."

Jaejoong tersenyum bahagia. "Aku berjanji."

Yunho menciumnya sebagai tanda sumpah setia. Kemudian ia memeluk Jaejoong dan menggendongnya kembali ke tempat tidur mereka.

.

.

.

.

.

.

.

THE END

Ada yang bingung kenapa ceritanya gak nyambung?

Pertama saki mau minta maaf... karena ada yang Saki harus prioritasin, Saki terpaksa harus stop FF ini sampai disini. tapi Saki gak lepas tangan gitu aja kok. bagi teman2 yang penasaran dengan cerita ini, kalian bisa main di (ingat A-nya doble)

Kedua, Saki terimakasih buat semua yang udah ngikutin FF ini mulai dari chapter 1.. terutama buat yang udah ninggalin review buat Saki. itu benar2 berarti buat Saki...
Hug n Kiss buat kalian semua... Anyooongggg