Identity Chapter 6
Disclaimer : Masashi Kishimoto
Rate : T
Genre : Crime/Romance
Warn : boys love, gaje, banyak typo, AU, dll.
Pair : SasuNaru, yang lain belum terpikirkan (selalu lupa nulis pairnya)
Kali ini chap panjang lagi. Semua akan terkuak disini makanya sengaja kubuat panjang. Dan Akatsuki udah mulai keluar disini, pokoknya semua udah mulai keluar!
Balasan review :
-aikhazuna117 : ini udah dipanjangkan. Eto, disini udah ^.^ , Iya, author bakal usahakan. Jangan panggil senpai aku itu masih newbie. Makasih reviewnya.
-gici love sasunaru : udah lanjut. Makasih reviewnya.
-versetta : ada jadi anggota Akatsuki. Iya, Naruto tetep jadi uke kok. Baca chp ini, ada Sasunaru. Makasih reviewnya.
-himekaruLI : Iya. Author malah pengen ini cepet tamat, mungkin ini sampai chp 8 atau 9an. Ini udah lanjut makasih reviewnya.
-hanazawa kay : ini udah lanjut. Makasih reviewnya.
-mifta cinya : Ada. Di chp ini udah ada cluenya. Haha, Sasuke Cuma pngen ketemu Naru. Eto, di chp depan. Makasih reviewnya.
-LalaCukaCacuNaluCacu : Iya, maaf selalu kelupaan nulis pairnya. Makasih reviewnya.
-alta0sapphire : Minato itu jadi antagonis orang2 di dojo dijelasin di chp ini. Mkasih reviewnya.
-Dewi15 : ini udah lanjut. Makasih reviewnya.
Enjoy
But don't read if you not like this fanfic
Chapter 6 : It's All About
.
.
.
Seakan tak peduli pada berita yang telah menyebar luas ke publik, bahkan mungkin ke seluruh Jepang, keberadaan Naruto mampu melenyapkan segala kekesalan yang dirasakan Sasuke dan tidak akan Sasuke buang kesempatan untuk terus berada bersama Naruto hanya karena suatu hal kecil saja.
Kini Sang Uchiha tengah melangkahkan kedua kakinya menuju kamar apartemen Naruto. Pemuda pirang itu menghilang darinya ketika Sasuke mengisi bahan bakar mobilnya di stasiun pengisian bahan bakar dan Sasuke tak tahu kemana perginya. Pemuda pirang itu memang pantas jika disebut Dobe.
Ia Berharap Naruto saat ini sedang mencari-cari dimana kunci apartemennya.
Kemeja putih berlambang SMA konoha di bagian sebelah kiri dada serta gakuran dan celana hitam panjang masih lengkap melekat di tubuh atletisnya. Tiga hari telah beralalu semenjak Mansion Uchiha menjadi berita hangat di Koran maupun saluran TV dan dalam tiga hari tersebut Sasuke sama sekali belum menampakkan keberadaannya ke publik. Bahkan petinggi jepang dan Kakashi juga menghubunginya, menanyakan keberadaannya. Dia juga tidak pulang ke apartemennya.
Saat bel sekolah berbunyi tiga kali, pertanda jam belajar telah usai, Sasuke sesegera mungkin memacu mobilnya menuju apartemen Naruto. Ia bahkan mengacuhkan panggilan Shikamaru.
Namun sang Uchiha harus menelan kekecewaan. Pintu apartemen bercat oren itu masih tertutup rapat. Tangan alabasternya meraih kenop pintu. Dirabanya kenop pintu berbahan dasar besi tersebut terasa dingin.
Sasuke merogoh saku celananya. Memasukkan kunci yang semula berada di saku celana pada lubang pintu. Wajahnya tertunduk dalam saat pintu oren tersebut terbuka menampakkan ruangan yang tidak begitu luas namun terkesan mewah dengan 2 sofa besar dan sebuah meja rendah yang menghadap ke TV 21 inch layar datar. Ruangan tersebut terhubung langsung dengan dapur dibelakangnya namun diberi sekat berupa rak kaca berukuran sedang yang berisi buku-buku.
Helaan nafas lelah meluncur mulus dari bibir. Langkah kakinya bergerak pelan setelah melepas sneaker hitam bercorak warna biru yang menjadi alas kaki, menaruhnya di rak sepatu. Iris onix sekelam malam menelusuri ruang apartemen yang terlihat rapi tersebut.
Senyum tipis tercetak diwajahnya. Seperti ada sesuatu yang tiba-tiba melintas muncul dari pikirannya. 'mungkin aku bisa membuat kejutan kecil untuk dobe saat ia kembali nanti.'
Sasuke membuka pintu yang menghubungkan ke kamar Naruto kelambu oranye menutup rapat jendelanya, menghalangi akses pandangan ke luar. Ia menghela nafas kesal mendapati keadaan ruangan yang gelap.
Ia Menaruh tasnya di lantai secara sembarangan. Meskipun di dalam sana minim penerangan Sasuke dapat melihat lampu merah yang berkedip-kedip dari komputer Naruto yang terletak di sebelah pintu balkon.
Sasuke menekan tombol power pada Motherboard yang terletak secara terpisah di bawah. Iris Sasuke menyapu pandangan ke meja. Tidak ada sesuatu yang aneh pikirnya.
Tidak lama kemudian layar computer menyala terang menyinari ruangan. Sasuke memicingkan matanya silau saat layar computer menyala terang dalam ruangan minim penerangan tersebut. Kemudian ia membuka tirai yang seketika membuat ruangan diterangi oleh cahaya.
Sasuke kembali lagi ke computer ada pesan masuk yang terpampang di layarnya, itu sebabnya computer Naruto berkedip-kedip. Sasuke meninggalkan pesan tersebut, mengarahkan mouse menuju program data. Mengintip sedikit tidak apa kan. Ia ingin mengetahui sedikit tentang Naruto, mungkin pemuda itu punya tontonan gratis.
Alisnya terangkat. Iris kelam itu terarah pada folder bernama 'Akatsuki'. Penasaran, Sasuke mengarahkan mouse membuka folder tersebut. Didalamnya hanya berisi satu berkas file word.
Sasuke tidak mengalihkan pandangannya sedikit pun saat membaca apa yang ada dalam file word. Banyak informasi mengenai organisasi dunia bawah Akatsuki disana, semua termasuk biodata anggota-anggotanya.
Dahi Sasuke mengerut. Entah kenapa ia merasa sesuatu yang buruk telah terjadi terhadap Naruto. Pemuda itu mudah sekali ditebak melalui apapun yang ada di sekitarnya. Meskipun Naruto tidak pernah mengatakan jati dirinya kepada Sasuke secara langsung. Seperti ada sebuah dinding yang sengaja dibangun oleh Naruto. Namun Sasuke akan tetap percaya pada pemuda pirang itu. Ia berharap Naruto baik-baik saja saat ini.
.
.
.
Bunyi debaman tubuh seorang pemuda yang dibanting oleh pemuda lainnya terdengar dengan nyaring pada lantai kayu yang menjadi alasnya. Desahan nafas memburu berusaha meraup udara yang makin terasa menipis.
Peluh bercucuran turun dari dahi pemuda berambut pirang yang terbaring di lantai. Nafasnya terengah-engah berusaha mengambil oksigen yang nampak begitu sulit untuk menuju paru-parunya. Ia menutup sebelah matanya, mencoba mengurangi rasa sakit. Seluruh tubuhnya terasa linu akibat beberapa kali bertubrukan dengan lantai.
"Ayo lanjutkan lagi." orang yang berdiri diatasnya menyeringai. Sosok itu mengarahkan tangannya berniat mengunci gerakan sang pemuda pirang yang sudah tidak berdaya.
Ia memejamkan mata bersiap menerima serangan lanjutan yang begitu menyakitkan sendi-sendinya. Namun sebelum tangan itu menyentuhnya, Naruto menahan tangan pemuda bersurai oranye jabrik tersebut, mengunci serangannya.
Naruto bangkit memelintir kedua tangan yang berada dalam kunciannya. Detik berikutnya dia membanting tubuh Pein, ia menahan sedikit kekuatan bantingan agar tidak terjadi cedera.
"Uugh," sosok yang menjadi lawannya terbaring di lantai. Meringis merasakan punggungnya nyeri saat menabrak lantai. "Aw..Naruto-kun kuncianmu memang tidak bisa diremehkan. Tapi pukulanku juga lebih kuat kali ini."
Pemuda yang dipanggil Naruto itu segera bangkit lalu memasang kuda-kuda. Pukulan terarah padanya, Naruto beberapa kali berusaha mengelak semua pukulan yang tertuju padanya.
Ini bukan pertama kalinya Naruto latihan di dojo. Dojo Akatsuki adalah salah satu dari sekian banyak dojo yang ada di Konoha. Namun, ada suatu hal yang membedakan dojo ini dengan dojo yang lain. Yakni, dojo ini dibuat khusus untuk organisasi dunia bawah, Akatsuki. Mereka menggunakan dojo tersebut untuk sebuah kedok belaka.
Naruto telah mengetahui hal tersebut. Dan tujuan Naruto sebenarnya bergabung dalam dojo adalah untuk menyelidiki lebih banyak tentang organisasi yang terkenal akan kebringasannya tersebut. Dia telah mencari ke semua artikel bahkan membobol beberapa situs guna mendapatkan informasi tentang organisasi berbahaya hasilnya tidak memuaskan. Oleh karena itu Naruto memutuskan untuk langsung menyelidiki tempat yang dicurigai sebagai markas kelompok dunia bawah tersebut. Meski dia harus was-was setiap waktu.
Naruto mendapat imbalan yang pantas meski ia harus berjuang susah payah untuk dapat masuk dan menjadi anggota dalam dojo tersebut. Dia berpura-pura menjadi seorang yang tersesat di sekitar dojo. Kemudian Naruto meminta kepada Konan untuk dijadikan anggota dengan alasan ingin berlatih bela diri, meskipun saat itu Konan curiga terhadapnya. Namun setelah beberapa bulan lamanya Naruto bergabung dengan bodohnya mereka menaruh kepercayaan pada Naruto.
Ia juga telah akrab dengan beberapa anggota, seperti pemuda yang kali ini menjadi lawannya berlatih, pemuda pemilik surai oranye dengan gaya jabrik yang mencuat keatas melawan gravitasi.
Pemuda itu bernama Pein memiliki banyak piercing yang terpasang di telinganya. Pemuda itu memang memiliki tampang garang, seperti preman. Namun pemuda itu sebenarnya memiliki hati yang lembut dan baik.
.
Kanvas biru di langit mulai berpendar warna kemerahan. Suhu udara menurun dengan drastic menyambut datangnya petang yang dingin dan suram.
Namun, seolah-olah tidak peduli dengan suasana disekitarnya, dua orang yang sibuk dengan lawannya masih melanjutkan latihannya. Mereka tahu jika itu hanyalah latihan, tetapi semangat yang terpancar dari keduanya terutama Naruto tidak bisa dianggap remeh.
Beberapa bagian wajahnya mulai lebam walaupun tidak begitu kentara, akibat beberapa kali terkena pukulan maupun tendangan lawannya. Tangan dan kakinya pun sudah terasa kebas.
Begitupun Pein yang menjadi lawannya. Padahal Naruto hanya mengunakan Aikido* teknik yang mendasar untuk kesempurnaan gerakan dan penguasaan diri. Berupa elakan, kuncian, lemparan dan bantingan. Namun staminanya terkuras habis menghadapi gerakan sempurna Naruto yang cepat. Keadaan Naruto jauh lebih parah dibandingkan dirinya.
"Cukup," suara tegas satu-satunya orang berjenis kelamin wanita serentak menghentikan kegiatan dalam ruangan luas itu.
Naruto melepaskan kuncian tangannya pada tubuh Pein. Sebuah senyuman kecil terbentuk di wajahnya saat pemuda yang lebih tua setahun darinya itu mengerutu kesal.
.
Suara shower yang mengisi ruangan luas dan sedikit gelap tersebut baru saja berhenti. Cahaya yang menerangi ruangan berasal dari salah satu kamar mandi berpintu kaca transparent. Tampak siluet sosok pemuda yang telah usai menyelesaikan kegiatan mandinya dari balik pintu kaca.
Pemuda tersebut membuka pintu menampakkan dirinya seutuhnya. Pemuda bersurai pirang dalam balutan towel biru keunguan yang kontras dengan rambutnya. Ia tengah menggosok surai pirang yang basah dengan handuk. Tetesan air masih jatuh dari rambut pirangnya yang kini menempel di dahi dan telinga.
Pemuda itu, Uzumaki Naruto menghela nafas lega setelah tubuhnya yang pegal terguyur air dingin.
Naruto melepas tali yang melingkari pinggangnya hingga melorot jatuh ke lantai. Tubuhnya polos tanpa sehelai benang pun, toh di dalam sana gelap tidak ada seseorang yang akan melihatnya telanjang.
Tangan berbalut kulit tan terbakar matahari tersebut meraih t-shirt oren yang tersedia di dalam lokernya dan segera memakainya tanpa menyadari sesosok bayangan yang bersembunyi dalam kegelapan yang tengah menatap dirinya -Naruto dengan iris merahnya.
Tap Tap
Suara langkah tapak kaki perlahan mendekat menuju sosok itu. Sosok itu menoleh merasakan kehadiran seseorang menuju ke arahnya. Sosok pemuda berambut merah yang hampir mirip dengan dirinya tengah menyeret sesuatu yang menguarkan bau tajamnya liquid besi. Warna merah berceceran menyatu dengan lantai kayu coklat tua dibawahnya.
Pandangan teralih pada sesuatu yang berbau tajam tersebut. Lagi-lagi kakaknya itu menganggu kesenangannya namun mungkin dia akan mendapat kesenangan yang lain.
"Ikut aku."
Iris crimson yang hampir persis dengan miliknya menatapnya dengan tatapan –ada sesuatu yang ingin kutunjukkan paddamu. Sosok tersebut mengangguk, membentuk seringai diwajahnya. Kemudian membantu menyeret sesuatu tersebut, mengabaikan jejak merah pada lantai.
.
Suara dengungan katak ditaman menyambut pendengaran Naruto ketika ia menuju pelataran yang diterangi cahaya lampu redup. Naruto menyapukan pandangan iris birunya ke sekitar. Sepi, sepertinya semua orang sudah kembali ke rumah mereka masing-masing.
Pemuda dalam balutan jaket merah tersebut juga berniat pulang. Namun dia mengurungkan niatnya ketika kakinya menyentuh sesuatu yang basah dan sedikit lengket diatas lantai kayu.
Naruto beringsut mengulurkan jarinya menyentuh lantai kayu, warna merah darahlah yang di dapat disana. Bau darah yang tajam terasa pada indera penciumannya. Pandangan Naruto mengikuti jejak darah yang berceceran menuju ke tangga. Naruto belum pernah ke sana sebelumnya, karena ia pernah ketahuan oleh Madara dan tidak diijinkan lagi untuk ke atas.
Sejenak ia menolehkan pendangannya ke sekitar, hanya keheningan malam yang menyambutnya. Ia menatap bercak darah di depan matanya. Lantas kakinya bergerak mengikuti ceceran darah segar tersebut. Menaiki satu-persatu anak tangga dengan hati-hati. Beberapa kali terdengar deritan pelan, mungkin kayunya sudah tua.
Naruto mengigit bibir bawahnya, sepertinya dia mulai ragu saat masuk lebih dalam. Bagaimana apabila ketahuan oleh yang lain, ia tidak membawa senjata apapun. Apalagi bila dia harus berhadapan dengan Konan, sang pemegang sabuk hitam yang lebih kuat dibandingkan siapapun yang ada di ia hanya menguasai Aikido.
Naruto mengacak rambutnya tidak tahu dengan pemikirannya sendiri.
Namun bila dia mendapat informasi yang berguna, hal tersebut bisa menambah nilai plusnya. Baiklah, Naruto yakin sekarang. Ia mengusap hidungnya yang tidak gatal.
Kemudian meskipun tidak tahu jejak darah itu akan membawanya ke mana, ia tetap mengikutinya dengan keyakinan yang besar.
Langkahnya terhenti di sebuah pintu geser dengan penutup kertas yang bergambar naga hijau. Cahaya menyala terang dari dalam. Akan terdapat siulet yang terlihat apabila ada orang di dalamnya. Naruto mengintip melalui celah pintu yang sedikit terbuka, tidak ada siapapun di dalam, kecuali gundukan yang tergeletak di lantai mungkin itu tumpukan baju atau semacamnya. Jejaknya meghilang di balik pintu.
Terdorong rasa penasaran yang tinggi Naruto membuka pintu dengan perlahan. Yang pertama kali ditangkap oleh iris birunya bukanlah tumpukan baju namun sesosok tubuh pria dewasa yang sudah tidak bernyawa tergeletak di tengah ruangan.
Naruto mendekati tubuh tak bernyawa tersebut. Darah yang telah mengering maupun masih mengalir dari luka yang menganga lebar menghiasi tubuhnya. Naruto membawa jemarinya menuju bagian perut yang masih mengalirkan darah segar. Tangannya yang dingin terasa hangat oleh darah segar yang masih mengucur tersebut.
Diedarkannya pandangan keseluruh sudut ruangan. Ruangan itu cenderung kosong hanya disudut ruangan yang banyak sekali terdapat boneka manekin berjejer rapi di sudut ruangan. Sebuah jubah hitam dan beberapa pakaian tergantung di sudut lainnya menandakan ruangan itu berpenghuni. Hiraukan manekin di sudut ruangan.
Naruto mendekat ke salah satu manekin yang tubuhnya terbalut jubah hitam panjang hingga kaki mata kaki. Naruto mendekatkan wajahnya pada iris mata hijau yang terbuka lebar, seakan memperhatikan sekitarnya. Kaki porselennya menggantung di udara, namun Naruto tidak melihat pengait yang membuat mereka mengantung di udara.
Jemari Naruto menyentuh salah satu pipi manekin yang terasa sedikit kenyal, seperti terbuat dari kulit asli. Warna merah menghias pipi porselen tersebut.
Kriet
Suara deritan benda rusak terdengar pelan mengisi indera pendenggarannya. Naruto menolehkan kepalanya ke belakang. Mencari sumber suara yang menganggu tersebut.
Tidak didapati tanda siapapun di dalam ruangan ini. Naruto bergidik ngeri, mengusap tengkuknya. Sebenarnya pemuda pirang itu penakut, meskipun ia selalu menyangkalnya.
Iris hijau yang memancarkan kekosongan itu bergeser beberapa centi perlahan dari tempatnya menyorot pada pemuda bersurai pirang yang berada tepat didepan wajahnya. Suara tadi berasal dari kaki porselennya yang mencoba bergerak menyingkirkan pemuda pirang yang telah menyentuhnya. Hanya tuannya lah yang boleh menyentuhnya.
Samar-samar Naruto dapat mendengar langkah kaki ringan yang berasal dari lorong. Suara tersebut semakin mendekat menuju kearah ruangannya, "…nii, terimakasih."
Suara itu suara seseorang yang begitu familiar di pendenggaran Naruto. Pemuda berambut merah yang entah kenapa seringkali bersikap tidak wajar terhadap dirinya –Sasori. Naruto panik, detak jantungnya berpacu dengan cepat. Ia tidak pernah kerja lapangan sebelumnya mungkin hanya beberapa kali bersama dengan seorang rekan. Dan disini ia terjebak sendirian di markas kelompok yang terkenal akan kebringasannya di dunia bawah.
Dilihatnya jendela kaca berukuran sedang yang tertutup rapat. Mungkin dia bisa sekaligus menyelinap keluar dari dojo. Naruto memutar penahan jendela dengan mudah.
Udara dingin berhembus masuk ketika jendela terbuka lebar. Naruto membungkukan tubuhnya, memposisikan tubuhnya cukup muat melewati celah jendela. Naruto menutup kembali daun jendela yang menjadi akses keluarnya dengan perlahan, berusaha tidak menimbulkan suara sekecil apapun.
Naruto merasakan tubuhnya terseret gaya gravitasi ketika salah satu kakinya tak menapak pada permukaan.
"UU.."
Naruto membekap bibirnya dengan tangan kiri. Dengan cekatan tangan kanannya mengapai apapun yang ada di dekatnya. Tangannya berpegang erat pada pipa besi yang menempel pada dinding. Posisinya saat ini tidak bisa dibilang baik-baik saja dengan keadaan yang hampir tergelincir jatuh. Hampir saja tubuhnya meluncur bebas saat kaki kanannya tanpa sengaja berpijak pada salah satu genting berlumut yang licin.
Naruto melongokkan kepalanya ke bawah. Beberapa genting tergeletak berantakkan di tanah disebabkan olehnya. Mungkin Naruto akan membersihkannya nanti. Naruto menarik nafas kuat. Keringat meluncur menuruni pipi tembemnya yang berkilat basah. Kulit tan terbakar matahari tersebut terlihat semakin eksotis.
Naruto dengan perlahan menuju balik dinding. Dia terlalu takut kejadian yang sama terulang kembali.
Naruto mengeser dirinya mendekat jendela berusaha mengetahui apa yang terjadi di dalam ruangan yang kini terdapat dua orang pemuda bersurai merah.
Tidak ada interaksi yang terjadi antara dua pemuda merah itu. Mereka menyibukkan diri dengan urusan masing-masing pemuda yang lebih tinggi beberapa centi dengan surai merah terangnya membuka lantai tatami yang ternyata terdapat anak tangga menuju entah kemana. Sedangkan pemuda lainnya pemilik surai merah sedikit gelap menyeret onggokan mayat yang sedari tadi dibiarkan tergeletak di lantai.
Mereka hilang di bawah permukaan lantai tatami. Merasa belum mendapat informasi yang berarti Naruto masih disana menunggu dalam kebisuan. Tak lama kemudian dua pemuda itu kembali menampakkan diri.
"Paman Minato akan datang hari ini," ucap pemuda merah terang dengan datar. Suara yang terdengar hampir seperti gumaman itu terdengar dengan sangat jelas oleh Naruto.
Menyodorkan kain lusuh bernoda merah pada pemuda merah sedikit gelap bernama yang Naruto hapal sebagai Sasori.
"Mau apa lagi dia? Entah kenapa aku menjadi tidak begitu menyukainya, nii." Sasori menerima kain dari pemuda yang ternyata adalah kakaknya itu.
"Hn. Akupun begitu. Sejak ayah dan ibu meninggal, klan Uzumaki sepertinya semakin menghilang dari kekuasaan di Jepang."
Naruto membelalakan mata tidak percaya. Apa hubungan dua pemuda itu dengan Uzumaki. Uzumaki, nama marganya. Selama ini Naruto juga tidak mengetahui nama marga Sasori. Naruto juga melupakan nama pemuda bersurai merah terang itu, sebab ia jarang bertemu dengan pemuda itu. Atau acapkali bertemu mereka hanya saling memandang seperti kejadian yang terjadi tadi siang.
Naruto merutuki kebodohannya sendiri. Ingatkan dirinya untuk mencari tahu lebih lanjut tentang Sasori.
"Menguntit itu tidak baik Naruto-kun." Bisikan suara baritone khas seseorang yang familiar melantun tepat di telinga Naruto.
Naruto terlonjak kaget ketika menoleh mendapati wajah seorang pria dengan surai raven panjangnya yang mencuat-cuat. Pria itu sebut saja Madara menatapnya dengan tajam.
Sedetik kemudian sebuah tendangan kuat mengenai punggungnya.
"Uwaah," tubuh Naruto terpental jauh beberapa meter berguling-guling menjatuhkan beberapa genting lalu mendarat tak mulus di tanah keras. Setelah itu dia kembali berdiri meski punggungnya terasa nyeri, ia mengusap darah yang berada di sudut bibirnya.
Hewan-hewan disekitar taman seketika berhenti bersuara membuat suasana penuh ketegangan.
Madara menatap Naruto datar dengan pandangan meremehkan kearah Naruto. Sasori membuka jendelanya sesaat setelah mendengar kegaduhan yang terjadi di dekat kamarnya.
"Ada apa?" teriak Sasori saat tanpa sengaja penglihatannya menangkap sosok Naruto. Naruto selama ini menjadi seseorang yang menarik perhatiannya. Kulit tan yang eksotis, otot yang tak terbentuk sempurna di beberapa bagian, dan bentuk tengkuk jenjangnya yang indah. Pemuda itu memang memiliki tubuh yang ideal untuk dijadikan koleksi boneka manekinnya.
Sepasang iris crimson dan sapphire bertemu pandang, beradu tatapan tajam.
Sasori mengepalkan kedua tangan telapak tangannya erat.
"Ada tikus kecil yang perlu disingkirkan," ucap Madara.
Sesosok pemuda yang hampir mirip dengan Sasori hanya saja rambut merahnya memanjang sebatas dagu ke samping. Pemilik iris crimson itu membuka mulut, mengucapkan kata yang datar dari bibirnya, "Aku sudah menduganya dari awal."
"H-hei kenapa dengan, Naruto-kun?" tanya Sasori heran.
Sasori tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Ia ingin melindungi Naruto, namun ia juga tidak bisa menghianati anggota kelompoknya apalagi kakaknya.
Pemuda bersurai merah terang melompati jendela. Berdiri di atas genting, dengan posisi siap bertarung.
"Dia mangsaku," Madara maju membelakangi sang pemuda yang akan merebut mangsanya –Naruto untuk dilawan.
Kemudian Naruto maju, berlari dengan cepat menuju kearah tiga orang tersebut. Mengantarkan adrenalin ke seluruh tubuhnya. Madara membulatkan matanya saat Naruto telah berada di belakang Madara. Mudah sekali bagi Naruto untuk bergerak lincah dan memberi serangan.
Madara yang tahu akan serangan Naruto langsung meloncat ke samping kanan. Pemuda bersurai merah terang mencengkram kaki kiri Naruto di udara. Naruto segera menghantamkan sikutan yang tepat mengenai ulu hati. Cengkraman pada kakinya terlepas. Kemudian Naruto kembali mengambil ancang-ancang, mengabaikan pemuda merah yang mengerang kesakitan.
Tidak berhenti di situ Madara melancarkan kembali serangannya pada Naruto, untungnya Naruto segera menghindar. Naruto berlari menerjang Madara, mengunci kedua tangannya di balik punggung.
Tidak lama berselang pemuda merah melayangkan satu pukulan keras dan cepat yang tiba-tiba, hal itu sama sekali tidak Naruto sadari. Dia tidak sempat menghindar sebab terfokus pada Madara. Pukulan itu mengenai pelipisnya dengan keras menorehkan warna kebiruan yang kentara jelas di pelipisnya, hingga membuat telinganya berdengung. Kemudian Madara berhasil meninju perutnya.
Sontak saja perbuatan kedua temannya langsung mendapat perhatian seorang yang sejak tadi diam menonton.
Naruto lantas terbatuk, dia memegangi perutnya sembari membungkukkan badan. Mengerang tertahan di tengah rasa pening sekaligus mual.
Pertarungan yang berat sebelah dua lawan satu. Tentu saja Naruto kewalahan. Naruto bersiap, memasang kuda-kuda. Jantungnya berpacu dengan cepat, sembari mencoba mengatur nafasnya yang terengah-engah.
Sebuah pukulan tiba-tiba datang dari belakang, Naruto sempat menghindar ke samping. Sepertinya ada seorang lagi yang datang. Pasti mereka mendengar keributan yang terjadi.
Pein bangkit berdiri setelah pukulannya meleset. Ternyata dia datang bersama Tobi pria yang selalu memakai topeng spiral dan Kakuzu pria yang terlihat gendut yang sangat mencintai uang.
Naruto memejamkan matanya. Ia tidak mungkin berhasil melawan mereka semua. Pada akhirnya, dia harus bergeming, tubuhnya berada dalam keadaan siaga. Ia semakin gelisah, peluh bercucuran turun dengan deras dari balik rambut pirangnya. Lengannya juga terasa perih setelah terjatuh tadi. Tenaganya juga telah terkuras untuk melawan Madara dan pemuda bersurai merah. Naruto berdecak kesal, dia harus melarikan diri apabila masih ingin selamat. Namun hal itu sungguh memalukan, melarikan diri dalam pertarungan. Tetapi dia tetap harus memilih kabur atau mati mengenaskan di tempat.
Akhirnya Naruto memutuskan untuk memilih opsi pertama, melarikan diri.
Naruto memaksa kedua kakinya yang mulai lemas untuk berbalik kebelakang. Memacu langkahnya berlari dengan lebih cepat menyusuri deretan genting yang bertekstur tidak rata.
Pemuda bersurai merah menggeram marah, dia berniat mengejar Naruto.
"Jangan kejar dia."
Semua mata menatap heran kearah Konan kecuali dua orang yang mengikutinya. Kebingungan terlihat jelas di wajah mereka.
Namun ia urungkan niatnya saat mendengar intruksi seorang wanita bersurai ungu yang muncul bersama 2 orang anggota Akatsuki lain, "Minato-sama ingin berbicara dengannya."
"Ada apa memangnya?" tanya pemuda merah mulai geram. Kedua telapak tangannya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih.
Konan berjalan pelan menuju sosok pemuda berambut merah yang menatap penuh amarah. Ia menepuk pelan bahu tegap tersebut pelan, "Jernihkan lah pikiranmu dahulu, Ketua. Minato-sama pasti akan memberitahukanmu nanti."
Dengusan sebal yang tidak pelan meluncur mulus dari bibirnya. Dia sangat ingin membunuh pemuda pirang yang entah karena kebetulan atau tidak terlihat begitu mirip dengan pamannya. Kalau saja pamannya, Minato tidak menghalangi rencana yang telah dibuatnya pasti hal tersebut akan terjadi saat ini juga.
Ia ingat saat itu ekspresi tercengang Minato saat mendengar nama, Uzumaki Naruto. Nama marga yang sama seperti dirinya, ia juga tidak menyangka klan Uzumaki masih ada selain dirinya dan Sasori, adiknya.
"Baiklah, kalian kembali lah sekarang. Cepat." perintah Konan seraya meloncat turun dengan mudah dari atap. Semua anggota beranjak kembali ke ranjang mereka yang hangat sebab hari sudah mulai larut tengah malam.
Sasori melirik kakaknya yang terdiam di depan pintu ruangan. Tangan berkulit putih itu meraih pinggiran pintu, baru saja Sasori akan memperingatkan kakaknya untuk tetap disini.
"Nii, kau akan pergi kemana?" tanya Sasori khawatir.
Sasori tak ingin kakaknya pergi sekarang. Ia masih ingin bersama dengan keluarga satu-satunya yang ia miliki di dunia ini.
"Menemui Paman Minato" pemuda berambut merah terang mengeser pintu kertas dihadapannya.
Sasori berderap menuju pemuda berambut merah di ambang pintu. Namun terlambat, pintu itu terlebih dahulu tertutup cepat. Menimbulkan bunyi hentakan kayu yang tidak pelan.
.
Naruto mencari titik pendaratan yang menurutnya mudah. Dia kemudian melihat sebuah gundukan hijau yang terlihat empuk.
Naruto segera meloncat turun, tubuhnya menubruk gundukan semak-semak dibawah dengan selamat. Duri dan ranting yang tajam membuat luka sayatan dangkal yang menghiasi wajah manisnya, namun saat ini ia tak begitu memperdulikan luka-luka ditubuhnya. Yang ada dipikirannya saat ini hanyalah untuk segera keluar dengan selamat dari tempat ini.
Dan kemudian saat ia pulang nanti, ia yakin akan mendapat omelan dari Sasuke ketika melihat banyak luka yang tertoreh di tubuhnya. Eh, kenapa dia memikirkan pemuda raven menyebalkan itu.
Naruto tersadar dari lamunannya. Dia menilik sekitarnya dengan seksama, memastikan keadaan di sekitar aman. Menghela nafas lega ketika sadar tidak ada satupun yang mengikutinya. Meskipun demikian ia belum berada di luar, ia masih di area dojo namun gerbang keluar telah berada di depan sana.
Naruto terlonjak kaget ketika tubuhnya hampir bertabrakan dengan punggung tegap seseorang yang berdiri tepat di depan gerbang.
Seeorang yang ternyata adalah pria muda bersurai pirang itu berbalik menoleh kearah Naruto, tinggi dan rupa mereka hampir sama. Sulit membedakan keduanya apabila berdekatan seperti ini. Sebuah senyum terukir di wajah sang pria, sepertinya pria itu tidak terlihat berbahaya.
Naruto gelapan saat pria pirang itu menatap iris saphirenya lurus. Sepasang iris sapphire kembar saling bertemu pandang.
"Naruto-kun?" tanya pria itu dengan suara baritonenya yang lembut. Senyum tipis terukir di wajah tampannya.
Alis Naruto turun kebawah dengan posisi menyatu, "E-eh kau tahu namaku?" Naruto bertanya kembali dengan wajah bingung.
"Tentu saja, aku kenal semua orang yang berada di sini," sang pria mengusap puncak kepala Naruto lembut. Sedikit mengacak helaian pirang yang sama dengan miliknya pelan, sengaja membuat surai pirang itu berantakkan.
Naruto merasakan kehangatan ketika tangan itu menyentuh surainya, kehangatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, "Dan siapa kau?" Naruto dengan terpaksa menurunkan tangan sang pria. Ia harus segera pergi dari tempat itu.
Senyum menghilang begitu saja dari wajah pria tersebut, "Aku Namikaze Minato" –ayahmu.
"Ah, maaf aku harus segera pergi, Minato-san," Naruto membungkukkan badannya.
Sedikit rasa tidak rela melingkupi relung hati Minato. Tapi Minato sama sekali tak dapat menghentikan Naruto yang telah berlari pergi meninggalkan Minato yang termenung sendirian disana.
Minato mengigit bibir bawahnya menatap punggung tegap Naruto yang semakin menghilang jauh dari pandangannya.
Di hari itu Minato menatap kepergian putranya dengan tatapan sedih.
Tetes-tetes hujan pertama mulai turun menyembunyikan lelehen air mata yang mulai turun dari pipi Minato.
'Naruto, ini semua adalah kesalahan Kushina yang telah membuangmu. Maafakan aku Naruto Namikaze-Uzumaki. Aku belum bisa melindungimu saat ini tunggulah nanti setelah Ibumu, Kushina benar-benar menghilang dari dunia ini. Apabila dia mengetahui tentangmu, kau pasti yang akan langsung menjadi sasaran pembunuhannya. Aku tidak ingin kau mengalami nasib yang sama seperti Uchiha Mikoto, wanita yang kucintai.'
Sejak kematian Mikoto yang tanpa diketahui siapa pelakunya. Banyak orang beranggapan bahwa Minato lah tersangka pembunuhan Mikoto. Hal tersebut menjadikan klan Namikaze terkucilkan di Jepang.
Minato yang mengetahui pembunuh Mikoto yang sebenarnya adalah istrinya, Kushina. Ia tidak mungkin melaporkan Kushina karena Kushina adalah istrinya, pasti tetap klan Namikaze lah yang terkena imbasnya.
Juga Minato mengetahui suatu hal yang membuat ia mulai tidak suka pada Kushina. Minato telah mengetahui anak pertamanya, memang Minato hanya diam saat ia mengetahui Kushina hamil.
Dan cara yang terbaik ia dapat saat itu adalah membuang Kushina keluar dari Jepang. Hanya cara tersebut yang dapat dipikirkan Minato untuk menyelamatkan nama baik klannya.
Namun usaha Minato tersebut tidak cukup. Makin banyak rumor yang beredar tentang pembunuhan Mikoto Uchiha. Minato yang sejak dulu tak pernah akrab dengan Fugaku mengiba padanya. Minato berlutut dihadapan Fugaku.
Akhirnya Fugaku dengan kekuasaannya menyatakan bahwa pembunuhan itu adalah murni kecelakaan dari pihak musuh. Meskipun nama baik klan Namikaze telah dibersihkan masih membekas ketidakpercayaan pada para petinggi Jepang yang memblacklist Namikaze.
Sejak saat itu Minato menaruh kebencian pada Fugaku. Ia merasa dipermalukan oleh rumor tidak benar yang telah tersebar.
Minato menghapus air yang mengalir di pipinya. Dia beranjak pergi memasuki bangunan dojo sebelum hujan bertambah lebih deras.
Seorang pemuda yang sejak tadi menatap kedua interaksi kedua surai pirang kembar dari kejauhan. Iris crimsonnya membulat tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Mengapa Minato yang terkenal akan sikap acuhnya bisa bersikap selembut itu kepada seorang pemuda yang bahkan baru saja dikenalnya. Sebuah seringai lebar tampak di bibirnya. Sepertinya sesuatu akan terjadi sebentar lagi.
.
.
.
"Jadi anda dulunya juga orang Jepang?" selidik Itachi setelah mendengar cerita singkat dari wanita paruh baya di depannya. Itachi penasaran menngenai jati diri wanita paruh baya yang memperkenalkan dirinya sebagai Kushina Uzumaki, orang yang dicari-carinya.
Wanita itu mengangguk, wajahnya tertunduk dalam. Menyembunyikan raut ekspresi diwajahnya.
"Lantas kenapa anda er.." itachi mencari kata-kata yang tepat tidak ingin menyakiti perasaan Kushina yang saat ini sangat rapuh, "bisa berada di sini?"
"Lebih baik akan aku ceritakan."
FLASHBACK ON
Mempunyai seorang anak menurut banyak orang akan membawa berkah bagi kehidupan keluarga yang hidup bahagia. Namun tidak bagi Kushina, meskipun kini ia telah mengandung, suaminya tidak akan pernah mencintainya. Tidak sebab pernikahan yang dipaksakan tidak akan pernah membawa kebahagiaan sekecil apapun itu bentuknya.
Kehidupan memang tidak seindah cerita dongeng.
Dihari yang sakral itu tidak ada kebahagiaan yang terpancar dari wajah sepasang mempelai suami-istri baru tersebut. Sepasang mempelai yang akan disatukan dalam ikatan suci yang abadi. Ikrar suci telah diucapkan pendeta, melantun dengan lantang seolah hanya memecah kesunyian di dalam rumah Tuhan.
Sang pendeta menuntut jawaban yang dijawab dengan pelan dan enggan.
Kushina Uzumaki merasa dirinya tidak beruntung telah dinikahkan dengan seorang pria yang justru mencintai sahabatnya sendiri. Ya, suaminya lebih mencintai sahabatnya, Uchiha Mikoto yang bahkan telah menggendong anak pertamanya.
Uchiha Mikoto memiliki kehidupan yang sempurna. Suami yang mencintai dirinya juga kebahagiaan dari anak yang baru saja terlahir ke dunia.
Kushina selalu merasa tersaingi oleh Mikoto, bahkan rasa iri telah timbul padanya sejak mereka pertama kalinya bertemu di bangku SMA.
Kehidupan yang bahagia seperti anggan yang selama ini diinginkan Kushina sejak kecil. Namun, semuanya hilang bagaikan tersapu angin saat dirinya harus menerima kenyataan didepan matanya. Menjalani hidup yang penuh kepalsuan.
Suaminya hanya bersikap bahagia di depan orang tua mereka, kemudian dia akan kembali seperti biasanya mengacuhkannya, menganggapnya tidak ada.
Pernikahan Kushina dan suaminya telah mencapai tahun ke-2, saat dimana Kushina mengandung anak pertamanya. Kejadiannya terlalu cepat, Kushina tidak dapat mengingatnya.
Saat itu suaminya pulang larut dalam keadaan mabuk berat. Kushina menuntut suaminya ke kamar dan setelah itu Kushina tidak ingat lagi kejadian yang terjadi selanjutnya. Esoknya harinya ia menemukan dirinya berbagi ranjang dengan sang suami.
Kushina sangat senang saat mengetahui dirinya hamil. Setiap hari ia akan pergi ke dokter sendirian untuk memeriksa kandungannya tanpa diketahui sang suami. Toh, ia sudah cukup bahagia dengan kehadiran anak pertamanya.
8 bulan telah berlalu, perut Kushina semakin terlihat membesar dan tanda-tanda kelahiran telah terlihat jelas. Namun, Kushina masih berniat menyembunyikan kandungannya dari suaminya. Kushina menunggu saat yang tepat. Dia ingin memberikan kejutan besar pada suaminya saat anak dalam kandungannya telah lahir.
Namun suaminya bersikap acuh, dia justru mengadakan bisnis luar negeri selama beberapa bulan.
Kushina mengalami kegilaan sesaat, dia mengamuk. Membanting apapun yang ada di dekatnya. Guci-guci mahal, peralatan makan semua menjadi barang pecah belah. Hingga Kushina merasakan kontraksi hebat dari perutnya. Perutnya begitu sakit.
Kushina di larikan ke rumah sakit saat itu juga. Saat ia terbangun perutnya telah rata. Dia begitu panik saat itu, kemudian dia mengetahui bayi mungil bersurai pirang yang lucu di ranjang kecil di sebelahnya.
Bayinya, anaknya telah lahir. Bayi tampan yang lucu dan mirip dengan ayahnya. Anak lelaki yang kelak akan menjadi penerus warisan keluarga Namikaze.
Dan Kushina tidak akan membiarkan kesempatan itu terwujud.
Mungkin ini lah balasan yang tepat atas apa yang telah dilakukan suaminya meskipun dia harus merelakan bayinya.
Kushina meletakkan keranjang bayi dalam gendonggannya di depan sebuah bangunan panti asuhan yang sedikit tidak terawat. Kushina memberikan kalung kristal biru miliknya sebagai tanda dan mengecup surai pirang halus anaknya untuk terakhir kalinya.
Menyelipkan note kecil bertuliskan Uzumaki dan beberapa lembar uang kertas bernominal ganda.
Anak itu tidak akan pernah menjadi Namikaze, tidak selama Kushina masih hidup.
Tanpa terasa waktu berlalu sangat singkat. Setelah tiga tahun berlalu sejak kehamilan pertamanya Kushina tidak menceritakan apapun pada suaminya.
Malam itu seperti biasanya suaminya pulang larut. Dia lalu menyeret Kushina ke ranjang dan menyetubuhi Kushina dengan kasar untuk yang kesekian kalinya.
Kushina dinyatakan positif hamil setelah memeriksakan kandungannya ke rumah sakit. Dia mengatakan kehamilannya pada suaminya. Baru kali ini Kushina melihat kebahagiaan terpancar di wajah tampan itu. Andai saja dulu dia mengatakan hal tersebut pada suaminya. Dia tak akan kehilangan anaknya, namun Kushina tak merasakan penyesalan sedikit pun.
Namikaze Naruko nama yang diberikan oleh suaminya pada anak keduanya. Naruko tumbuh menjadi gadis yang cantik dan riang berkat asuhan Kushina. Sejak saat itu suaminya sering menaruh perhatian lebih pada dirinya.
Kushina tentu saja merasakan kebahagiaan yang selama ini dia inginkan. Hingga suatu insiden besar yang merubah segalanya menimpa kehidupannya.
Suatu hari Kushina menemukan sebuah pesan terselip di buku suaminya. Pesan dari Mikoto yang mengajaknya bertemu di suatu tempat. Kushina memang tidak pernah tahu seberapa jauh hubungan suaminya dan Mikoto selama beberapa tahun ini. Kemungkinan mereka telah dekat cukup lama melihat dari tulisan tangan Mikoto yang terkesan akrab.
Tepat di hari pertemuan suaminya pergi dan tidak mengatakan kemana tujuannya, seperti ada sesuatu yang disembunyikan. Kushina mengikuti kepergian suaminya dengan taksi. Ia membawa benda berharga milik suaminya yang tersembunyi dengan aman di dalam tas.
Disana, disebuah pelabuhan yang sudah tidak terpakai Kushina melihat Mikoto mengotak-atik komputer canggih dengan layar transparant yang tidak Kushina mengerti kegunaannya. Juga suaminya bersama seorang pemuda berambut hitam panjang. Mereka tengah mendiskusikan sesuatu yang sepertinya sangat serius.
Tidak lama kemudian datang beberapa gerombolan pemuda dengan pakaian layaknya preman dari arah utara. Jumlah mereka tidak sedikit kira-kira lebih dari 20 orang berdasarkan pengamatan Kushina.
Mereka berdiskusi sejenak. Kemudian gerombolan pemuda itu mulai mengeluarkan beragam jenis senjata dari balik punggung mereka.
Kushina tercengang, dia tidak yakin suaminya bisa melawan kumpulan preman itu. Namun Kushina salah menyangka, suaminya mengeluarkan sebuah senjata laras panjang dan melemparkan ke Mikoto. Sedangkan pemuda hitam panjang telah menodongkan moncong senjatanya menumbangkan satu preman.
Terjadi adu senjata tiga orang melawan sekumpulan preman. Beberapa peluru yang meleset sempat meluncur hingga ke area persembunyian Kushina.
Satu persatu gerombolan preman telah tumbang di tanah. Tanpa terduga seorang preman menyandera Mikoto. Seorang lagi menodongkan senjata dari balik punggung suaminya.
Kushina mengiggit bibirnya, ia harus bertindak sebelum suaminya terbunuh. Kushina dengan gemetaran mengeluarkan benda milik suaminya, yaitu sebuah pistol kecil. Kushina memang tidak ahli menggunakan senjata api namun setidaknya ia bisa menembak tepat sasaran.
Dor
Kushina melepaskan pelurunya tepat pada sasaran yang seharusnya. Perempuan cantik bermarga Uchiha itu tumbang darah mengucur deras dari lubang peluru di pingganganya.
Tepat saat itu Kushina tidak menyangka tatapan lembut suaminya kali ini berubah menjadi amarah saat kedua iris mereka bertemu. Suaminya dengan cekatan menembakkan beberapa kali pelurunya ke dua orang preman yang masih tersisa.
Terpancar tatapan kekhawatiran di iris sapphire indah suaminya. Meskipun suaminya tahu Kushina ada disana, namun Kushina sadar tatapan itu bukan untuk dirinya melainkan untuk Mikoto.
Duka yang sangat dalam menyelimuti kediaman Uchiha. Duka itu dirasakan juga oleh Kushina. Saat terbangun di pagi itu bukanlah Naruko yang ditemukannya. Melainkan bau busuk dan tumpukan-tumpukan sampah menggunung di sekitarnya.
Sebuah koper tergeletak yang terisi uang didalamnya. Apa-apaan ini, Kushina menangisi dirinya sendiri. Kenapa kehidupannya bisa seburuk ini. Layaknya Terjerumus ke dalam neraka kemudian ditenggelamkan lagi ke lubang neraka yang paling dalam.
FLASHBACK OFF
.
.
Suatu hal yang Sasuke khawatirkan adalah saat tiba-tiba Naruto muncul di tengah malam dengan luka disekujur tubuhnya yang basah terguyur hujan. Betapa khawatirnya Sasuke saat itu, Ia begitu panik apalagi Naruto tidak menyadari darah terus mengucur dari luka yang terbuka di lengannya.
Dan Naruto membuat alasan dengan senyum lima jarinya terpasang diwajah polosnya. Apa Naruto tidak sadar dia akan mati kehabisan darah bila lukanya tidak segera ditutup.
Sekarang semua telah selesai tidak ada yang perlu dikhawatirkan sebab Naruto pada akhirnya pulang ke apartemen dengan selamat walau banyak luka disekujur tubuhnya.
"Sebaiknya lepas bajumu yang basah itu dulu, Dobe. Lalu akan kubalut luka di lenganmu" ucap Sasuke menarik pergelangan tangan Naruto yang dingin.
Menghadapi Naruto yang keras kepala memang tidak mudah.
"Tidak, aku ingin segera berendam." Naruto menarik kembali lengannya dari gengaman tangan Sasuke yang terasa hangat, tetap memakukan dirinya duduk di lantai yang mulai basah.
"Kau boleh berendam setelah aku menutup luka di lenganmu. Lihatlah lenganmu terus berdarah. Bagaimana bila kau mati kehabisan darah." omel Sasuke. Ia menatap lengan Naruto yang tertutup jaket merah, darah dari lukanya terus keluar turun melalui jemari lentiknya.
Naruto tidak berkutik ketika Sasuke memapah tubuhnya ke dapur. Kotak P3K telah tersedia di meja.
Sasuke mendudukan Naruto dengan perlahan di kursi tinggi.
Merasa Naruto sudah tidak meronta Sasuke membuka jaket Naruto, membuangnya di lantai secara sembarang. Sasuke menarik lengan Naruto dengan hati-hati, memposisikanya diatas meja.
Terlihat luka sayatan dalam yang tidak begitu lebar namun terus mengucurkan warna merah di lengan tannya. Darah masih terus merembes keluar.
Sasuke dengan perlahan mulai mengusap luka di lengan Naruto dengan handuk kecil yang berasal dari baskom berisi air hangat. Setelah semua darah yang membekas hilang, Sasuke mulai meneteskan antiseptik di sekitar luka Naruto dengan kapas.
Wajah si pirang mulai pucat menahan sakit. Naruto memejamkan kelopak matanya, mencoba untuk menahan rasa sakit dan perih yang merambat di setiap jengkal tubuhnya.
Tatapan iris kelam itu terus terpaku pada wajah kesakitan sang pemuda pirang. Butiran keringat terus mengalir dari kening dan pipi tannya. Rasa khawatir Sasuke menghilang sejenak tergantikan dengan rasa aneh yang tiba-tiba muncul dari bagian dalam perutnya.
Sasuke mulai membalut luka Naruto. Menutupnya dengan berlapis-lapis kain perban yang tebal hingga darahnya tidak akan lagi merembes keluar.
"Aww"
Dengan sengaja pemuda raven menekan kapas tepat di luka yang berada di wajahnya. Sontak membuat Naruto mengadu kesakitan. Naruto mengambil sejumput kapas di tangan Sasuke dalam sekali sahutan. "Biar aku sendiri."
"Dobe."
Sasuke mengambil kapas baru, membuang kapas dengan bercak darah dari luka Naruto bercampur cairan kuning antispetik ke tempat sampah. Dan beralih ke bagian robek di bibir Naruto. Sasuke menutulkan kapasnya dengan sangat hati-hati, tapi tetap saja Naruto meringis kesakitan.
Sasuke mengambil plester berukuran kecil yang khusus untuk luka robek di bibir. Sasuke menyentuhkan jarinya yang dingin ke permukaan bibir Naruto yang terasa lembut di jarinya. Gerakan tangan Sasuke terhenti mengusap bibir lembut Naruto dengan perlahan.
Naruto menengadahkan kepalanya menatap Sasuke saat pemuda itu berhenti dan malah mengusap bibirnya.
Dua iris berbeda warna saling bertemu pandang. Rasa aneh dari perut Sasuke muncul lagi, kali ini lebih membuncah dari sebelumnya. Bahkan jantungnya pun ikut bergetar tidak karuan, kadang pelan kadang lambat.
Manik hitamnya mulai berkabut. Sasuke mengerjapkan matanya berulang kali. Berusaha meyakinkan diri bahwa getaran yang terjadi di tubuhnya itu benar adanya. Ia menatap kearah sosok Naruto yang menengadahkan kepala menatap iris onixnya. Sosok Naruto yang ia cintai.
Sasuke merasakan isi kepalanya kosong saat kedua tangan telah meraih tubuh Naruto kedalam sebuah pelukan hangat. Bibir mereka menyatu dalam ciuman yang panjang.
Naruto membulatkan kedua manik sapphire indahnya saat dirinya ditarik kedalam suatu ciuman hangat. Semua ini terlalu tiba-tiba. Apalagi Sasuke baru saja mencuri ciuman pertamanya. Ciuman Sasuke tidak kunjung terlepas, akhirnya kelopak mata Naruto terpejam menikmati ciuman Sasuke.
Sasuke melingkarkan lengannya pada pinggang Naruto, menyatukan tubuhnya semakin erat dengan Naruto.
Tautan bibir mereka terlepas meninggalkan benang tipis saliva yang kemudian terputus di bibir Naruto.
"Sepertinya aku akan lebih khawatir padamu," jemari Sasuke mengelus pipi bergaris Naruto lembut.
"Teme," Naruto tersenyum lemah pada pemuda raven yang dengan seenaknya mencuri ciumannya. Tangan Naruto beralih mengambil tangan kiri Sasuke yang dibalut perban, menciumnya sekilas.
"Hn" Sasuke bergumam pelan.
".. kau menghawatirkanku?" Naruto bertanya dengan nada yang pelan sama sekali tidak menghiraukan gumaman Sasuke.
"Siapapun pasti akan khawatir ketika melihat orang yang kau suka terluka, Dobe." sebelah bibirnya terangkat membentuk seringai tipis.
Suara samar yang terdengar seperti gumaman terdengar dengan jelas oleh Naruto.
"Teme, apa yang kau katakan barusan?" wajah Naruto memanas. Ia yakin wajahnya memerah hingga tengkuk.
Sasuke bisa melihat wajah berkulit tan terbakar matahari itu merona merah. Entah kenapa Naruto terlihat imut saat tersipu malu seperti itu. "Tidak ada pengulangan khusus untukmu, Dobe."
Sasuke kembali menyerang bibir lembut Naruto sekali lagi.
Naruto merasakan kehangatan menyebar di dalam hatinya karena seorang Uchiha Sasuke, kali pertama ia merasakan kehangatan seseorang yang begitu dekat pertama kalinya Naruto ingin menangis mengutarakan seluruh isi hatinya pada orang yang telah mengisi hatinya. Naruto akui sekarang dia telah terjerat dalam pusaran perasaan yang pusatnya adalah Uchiha Sasuke.
Uchiha Sasuke yang kini resmi mengisi hati Naruto dan tidak akan Sasuke biarkan orang lain yang akan mengisi hatinya.
.
.
.
Satu sosok terlihat samar di dalam temaram ruangan senyap yang hanya diisi oleh suara detik jam. Sosoknya sendirian duduk santai di ruang temaram dengan setelan yukata berwarna biru tua. Garis wajahnya yang tenang dengan guratan keriput yang tidak begitu kentara di dahinya beberapa kali mengerut. Sosoknya yang seperti itu semakin terlihat tua.
Sesekali iris sekelam batu obsidian miliknya menoleh ke arah jam dinding yang terus berputar. Dan kemudian dia akan kembali menekuni benda dalam genggamannya. Memencet-mencet layarnya yang tersentuh secara otomatis membentuk sebuah kalimat runtut, lalu tidak lama kemudia dia akan menghapusnya menyisakan layar yang masih bersih.
Sinar bulan tidak nampak malam mini, mungkin tertutupi oleh gumpalan awan mendung yang telah terlihat sejak tadi sore. Nuansa yang tercipta saat ini begitu damai. Ditambah suara hewan-hewan malam yang mulai terdengar jelas dari rumahnya yang telah terlihat tua. Apalagi rumahnya memang terletak tepat di tengah hutan di atas perbukitan Konoha.
Mungkin orang-orang yang datang ke sana akan menganggap rumah tua itu rumah tak berpenghuni atau semacamnya. Namun rumah itu memiliki banyak kenangan berharga bagi dirinya.
Seorang pria bersurai keperakan melenggang memasuki ruangan. Masker menutupi sebagian wajahnya yang memang terlihat tampan.
Cahaya yang berasal dari lorong menyorot kedalam menerangi ruangan temaram itu. Pria bermasker menekan tombol lampu di dinding. Seketika ruangan tampak terang menunjukkan kemegahan ukiran di sudut-sudutnya.
"Uchiha-sama mengapa anda sembunyi disini. Bukannya tadi anda telah ke kamar?"
Sosok tua itu tersenyum ketika mendengar namanya dipanggil. Nama yang selalu dibangga-banggakan dalam kesempurnaannya. Namun dibalik semua itu ia terlalu lelah menyandang nama pemberian mendiang ayahnya.
"Ayolah Kakashi kau jangan terlalu formal seperti itu," senyum jahil terukir diwajah Fugaku. "Aku meminjam ponselmu, Kakashi."
Pria bersurai silver a.k.a Kakashi melangkah pelan semakin ke dalam hingga berdiri di depan perapian. Memperhatikan beberapa bingkai foto keluarga yang terpajang rapi disana karena ia selalu merawatnya dengan baik.
"Ha'i. Kau bisa memakainya sesukamu."
Kakashi telah lama mengabdi pada Fugaku, namun ia masih merasa sedikit canggung meskipun mereka berdua telah akrab. Kakashi juga tahu segala macam tingkah tuannya itu, apabila tuannya bersembunyi sendirian pasti ada hal yang sedang dipikirkannya.
"Apa kau yakin? Ternyata koleksimu begitu ekstrem. Aku tidak menyangka kau menyukai hal-hal seperti ini," Fugaku membuka sebuah situs berjudul Icha-Icha Paradise di ponsel layar sentuh milik Kakashi.
"A-apa yang anda lihat?" wajah Kakashi memanas menahan malu. Sejauh apa Fugaku telah menelusuri ponselnya. Kakashi telah menyembunyikan file-file pribadi di tempat terdalam yang terpencar dan pasti akan sulit mencarinya. Kakashi ingin merebut ponselnya dari tangan mengerikan Fugaku.
"Tenang saja aku hanya sekilas melihatnya. Aku tidak menyukai hal-hal seperti 'itu'."
Kakashi tertohok. Ia menghela nafas lelah. Bila tidak segera dihentikan Fugaku pasti akan terus menjahilinya. "Ehm, apa anda mengirim pesan pada Sasuke lagi?"
Pandangan Fugaku menyendu. "Ya."
Keheningan yang cukup lama terjadi.
" Tapi ia tidak membalasnya. Mungkin sedang sibuk." gumam Fugaku.
"Ya."
Fugaku sangat menyayangi anak bungsunya itu, Sasuke Uchiha. Sejak kematian Mikoto semua terlihat begitu berbeda. Sasuke menjadi pemuda yang sangat diam.
"Sebaiknya anda tidur sekarang. Mungkin ia akan membalasnya besok."
Kakashi melirik Fugaku yang mulai beranjak dari tempat duduknya. Fugaku berjalan dengan tenang keluar dari ruangan.
"Oyasumi." gumam Fugaku.
Kakashi menghela nafas lega. Kakashi melangkah menuju pintu. Menutup pintu yang berasal dari kayu mahoni itu setelah sebelumnya mematikan tombol lampu. Kakashi terdiam sejenak di depan ruangan. Ia tersenyum meskipun tidak nampak karena masker penutup wajahnya.
Kakashi merasa kehilangan sesuatu yang berharga. Sepertinya ada sesuatu yang ia lupakan. Tapi sudahlah mungkin ia bisa mencarinya besok.
~TBC~
Aikido : salah satu seni beladiri asal Jepang. Selengkapnya baca di wikiped aja ya/bows.