Cerita Sebelumnya:

Sakura membeku di tempat. Tubuhnya tak bisa ia gerakkan. Kedua bola matanya mendelik lebar. Di sana—tepat di hadapannya, pintu bilik toilet itu terbuka secara tiba-tiba.

Kakinya gemetar. Sesuatu keluar dari sana, sosok tubuh wanita tanpa kedua kaki, berjalan merayap dengan bantuan kedua tangannya. Ingin rasanya Sakura berteriak, namun suaranya tertahan di dalam kerongkongan miliknya.

Semakin dekat dan semakin dekat. Sosok itu berusaha meraih kedua kaki milik Sakura yang sampai saat ini masih bergetar.

"A-aa!" Sakura berusaha memanggil Ino.

Dia—Reiko-san, sosok dengan rambut panjang yang menutupi hampir seluruh kepala serta wajahnya, sosok yang mengincar kaki setiap orang, kini hadir tepat di hadapan untuk mengusik kehidupan gadis bermarga Haruno itu. Siapuntuk memberikan sebuah pertanyaan dan siap untuk membawa Sakura ke dalam neraka penuh dendam.

Reiko-san menyeringai. Sakura membeku. Dan pada detik itu pula, suara teriakan Sakura terdengar bergema bersamaan dengan gelegar petir kencang yang mampu menggetarkan seluruh jendela kaca yang ada.

'Dimanakah kakiku?'


Naruto © Masashi Kishimoto

Warning : Alternative Universe, Out Of Character, Typo, etc.

Sepasang iris berwarna hijau cerah itu menatap kosong sepiring penuh nasi kare di hadapannya yang sama sekali belum tersentuh. Warna hijau cerah yang biasa terpancar indah dari kedua bola mata itu kini tampak terlihat sedikit menggelap. Berkali-kali Ino berusaha mengalihkan kekosongan itu dengan cara terus memanggil-manggil nama Sakura, namun sang empunya nama sama sekali tidak merespon. Dan hal tersebut terkadang membuat Ino menghela napas panjang.

Ino menatap Sakura khawatir. Sejenak ia menggigit bibir bagian bawahnya, mengingat kejadian semalam. Kejadian dimana teriakkan Sakura menggegerkan hampir seluruh penghuni asrama bagian putri. Dengan wajah ketakutan dan tubuh bergetar, Sakura terus memanggil nama Reiko-san kala itu.

Mengingat akan kejadian tersebut, sedikit banyak Ino pun menjadi kalut. Ini salahnya, benar, ini salahnya. Salahnya karena memaksa Sakura untuk menemaninya.

Bisik-bisik siswi lain mulai terdengar di dalam indera pendengaran Ino, membuat kedua bola matanya terbelalak takut. Pada saat itu—kenapa ia tidak melihatnya? Kenapa hanya Sakura yang melihatnya?—Ino merasa gelisah.

Sakura.

"Sa-Saku...," Salah satu tangan Ino berusaha menggapai salah satu pipi Sakura. Berharap dengan cara itu bisa membuat sahabatnya tersadar.

Semua mata di dalam kantin itu tertuju kepada Sakura. Baik siswa maupun siswi. Pandangan khawatir, takut, iba, semua menjadi satu.

Tak jauh beda dengan ekspresi beberapa siswa dan siswi lain yang telah melihat Reiko-san. Wajah mereka benar-benar tampak terlihat sangat depresi. Dan hal tersebut juga berlaku untuk seorang Haruno.

'Mati.'

Sakura tersentak saat dirasakannya sebuah sentuhan hangat menjalar lembut di salah satu pipi pucatnya. Reflek, ia pun mendongakkan kepalanya. Jeda sejenak sebelum Sakura dapat mencerna hal apa yang sedang terjadi di sini. Dilihatnya Ino tengah tersenyum ke arahnya

"I-no?" Ucapnya agak sedikit linglung.

Ino tersenyum semakin lebar saat mendapati Sakura telah merespon sentuhannya. Perlahan namun pasti, kedua iris hijau itu tampak kembali bercahaya. Sedikit banyak, beberapa siswi yang melihat hal tersebut pun mulai menghampiri Sakura dan Ino secara bersamaan. Menjejalkan beberapa pertanyaan kepada Sakura dengan ekspresi wajah khawatir.

Kembali, ia menatap kosong semua teman-teman yang menghampirinya. Ino yang mengerti akan kondisi Sakura, dengan segera menghentikkan semua pertanyaan teman-temannya dengan alasan yang cukup logis.

Mengerti akan hal tersebut, mereka pun hanya bisa memberikan semangat kepada Sakura yang tampak masih terlihat linglung. Karena pada dasarnya, mereka sendiri juga bingung harus berbuat apa—ketakutan akan hantu Reiko-san semakin menyebar luas di dalam asrama maupun sekolah.

.

.

.

Kedua bola mata berwarna merah itu menyalang tajam ke arah Sakura yang pada saat itu terlihat begitu ketakutan. Gelegar petir yang seharusnya dapat terdengar jelas di dalam indera pendengarannya kini seakan teredam akibat desisan aneh yang ditimbulkan oleh suara sosok yang pada saat itu tengah merayap ke arahnya.

Suara desisan dipadu dengan suara gesekan antara kuku-kuku tajam dengan lantai kayu tua, menimbulkan suara aneh tersendiri. Membuat Sakura semakin merapatkan tubuhnya ke arah tembok di belakangnya.

'Kau tahu dimana kakiku?' Tanyanya seraya menggapai salah satu pergelangan kaki milik Sakura.

Gadis berparas cantik itu menatap ngeri hal tersebut. Lidahnya kelu, bibirnya bergetar. Apa? Apa? Bahkan suaranya pun susah untuk ia keluarkan. Ia kembali menegak salivanya dengan susah payah.

"Aaa..." Kepalanya bergerak kaku, sebagai tanda bahwa ia tahu akan jawabannya.

Melihat akan hal tersebut. Sosok yang dikenal dengan nama Reiko-san itu pun menyeringai lebar. 'Darimana kautahu?'

Suara rendah yang terdengar begitu serak dan menusuk, membuat tubuh Sakura kembali terasa kaku.

.

.

.

"Sudah dengar, Teme?" Suara khas anak laki-laki itu terdengar begitu jelas di dalam kedua indera pendengaran seorang laki-laki lain di sebelahnya. Teme—ah, bukan. Itu adalah sebutan untuk seorang Sasuke.

Kedua iris kelamnya menatap Naruto—orang yang bertanya padanya dengan pandangan malas.

"Hm." Hanya itulah responnya. Sangat singkat.

"Benar-benar mengerikan! Aku harap tidak akan bertemu dengannya," lanjut Naruto dengan suara yang dibuat-buat sedemikian rupa. Membuat Sasuke kembali menatapanya malas—dan geli tentunya.

Mengabaikan Naruto dengan celotehannya yang begitu memekakan telinga. Sasuke pun memilih untuk kembali berkutat dengan koran tua di atas pangkuannya. Dalam diam ia membaca setiap kata demi kata dari setiap huruf yang tercetak di sana. Tidak begitu jelas, namun masih dapat terbaca.

Sasuke, menyeruput susu kotak di hadapannya dengan tenang. Sesekali ia hanya merespon celotehan Naruto dengan sebuah lirikan malas atau sebuah deheman singkat yang terkadang membuat seorang Naruto menggerutu.

Kashima Reiko.

Sasuke menegak habis cairan kental di dalam mulutnya ketika kedua irisnya membaca sepenggal kalimat berisi sebuah nama yang membuat dahinya kembali berkerut. Ia yakin, sebelumnya ia pernah mendengar nama ini. Ia menatap Naruto sekilas, yang sedari tadi tampak sibuk dengan celotehan-celotehan panjangnya.

"Naruto." Pada akhirnya, suara rendah khas miliknya pun terdengar jelas. Membuat Naruto mengernyit heran. Pasalnya, Sasuke tidak akan pernah memanggil namanya jikalau ia tidak serius.

"Soal Haruno—"

.

.

.

Semilir angin sore berembus halus menerpa helai demi helai untaian mahkota milik gadis bermarga Haruno yang pada saat itu tengah terdiam tepat di depan gerbang asrama tempat ia tinggal. Kedua manik hijaunya menatap jauh langit yang mulai berubah warna menjadi lebih teram. Sakura Haruno, ialah gadis itu, menghirup napas panjang sebelum pada akhirnya ia pun membalikkan tubuhnya tepat menghadap gedung asramanya yang terlihat kuno dan tua namun megah.

"Kau yakin akan kembali hari ini?" Sakura, menatap Ino yang pada saat itu tampak terburu-buru berjalan ke arahnya seraya memberi sebuah pertanyaan.

"Tidakkah kau tahu hari sudah mulai gelap, Sakura?" Ino menatap Sakura khawatir tepat saat mereka sudah berdiri secara berhadapan. "Oh, ayolah. Biarkan aku ikut untuk mengantarmu." Ino kembali berucap. Kali ini sedikit dengan nada memohon, membuat Sakura terkekeh geli.

Apa yang salah?

Sakura menggelengkan kepalanya pelan, tanda bahwa dirinya menolak tawaran sahabatnya itu perihal tidak ingin merepotkannya. Dirinya bukanlah anak kecil yang perlu dibimbing setiap saat, tentu saja.

Sakura mendengus pelan. "Aku akan pulang sendiri, oke? Dan aku akan baik-baik saja." Jelas Sakura seraya memandang Ino remeh. Dan sedetik itu pula, Sakura memandang Ino dengan tatapan lembut penuh arti.

"Aku sudah tidak apa-apa," terang Sakura sekali lagi, mengingat kejadian sepanjang hari ini. Dimana Ino selalu menjaganya dengan baik, menemaninya, dan juga menghiburnya. Sedikit banyak, Sakura mulai tenang dan dapat berpikir lebih realistis mengenai hal apa yang sedang terjadi.

Sejujurnya, Sakura bukanlah sosok pengecut yang akan selalu terpuruk dengan keadaan yang telah menimpanya. Pengalaman mengajarkan. Ia menghela napas panjang sebelum pada akhirnya ia menepuk pundak Ino seperti biasanya. "Hanya perasaan atau entah apa, tapi aku yakin aku akan menemukan sesuatu di rumah."

Ino mengernyit mendengar ucapan Sakura. Membuat begitu banyak lipatan di dahinya. "Maksudmu?" Tanyanya kemudian.

Sakura mengendikkan kedua bahunya sekilas sebagai respon singkat atas pertanyaan yang diajukan kepadanya. Dan tentu saja hal itu membuat Ino merengut kesal.

"Tapi kau harus janji!" Suara Ino kini meninggi tepat di depan wajah Sakura. Membuat beberapa cairan bening kecil mengenai tepat kedua mata jingga hidung mancung nan mungil milik Sakura. "Kau harus menelponku saat kau sampai di rumah!" Lanjut Ino tanpa memedulikan hal tersebut.

Sakura mendelik kesal ke arah Ino. Namun ia tetap mengiyakan perintah Ino. Sungguh, sahabatnya ini terkadang benar-benar terasa merepotkan, menurut Sakura. Walaupun Sakura tahu, bahwa dirinya lebih banyak merepotkan Ino. Ia menghela napas panjang, setelah memikirkan segala kejadian yang ada.

"Aku pamit," ucap Sakura setelahnya karena merasa hari sudah semakin gelap.

Ino mengangguk pelan, tanda sebagai ia kini sudah merelakan kepergian Sakura yang hanya beberapa waktu itu. Masih dengan tatapan penuh akan kekhawatiran, Ino melambaikan tangannya pada Sakura yang pada saat itu sudah berlalu dari hadapannya.

»»» oOo «««

Embusan angin sore kembali menerpa seluruh tubuh gadis bermarga Haruno yang pada saat ini tengah melangkahkan kaki-kaki jenjangnya menuju sebuah stasiun kereta api yang letaknya tidak jauh berada dari posisi letak asrama Sakura saat ini.

Kedua iris hijau cerah itu memandang keramaian di sekitarnya dengan pandangan kosong. Sesekali ia juga menepuk-nepuk kedua pipinya guna menjaga kesadarannya agar tetap dalam keadaan terkendali.

"Haaah ..." Helaan napas panjang terdengar begitu jelas kala gadis bermarga Haruno itu menduduki dirinya tepat di salah satu bangku tunggu yang tersedia di dalam stasiun. Entah hanya perasaannya atau memang benar-benar terjadi—Sakura merasa keadaan di dalam stasiun tempat dia berada terasa begitu sepi dan dingin. Padahal, beberapa saat lalu Sakura yakin, begitu banyak orang lalu-lalang di sekitarnya.

Kedua maniknya memandang sekitar dengan keadaan was-was.

"..."

'Kalau terjadi sesuatu kau harus cepat memberitahuku. Tidak peduli apapun, kau harus segera memberitahuku!'

Sakura teringat akan sederet kalimat yang sempat Ino sampaikan padanya. Ingin rasanya ia tertawa, sedikit banyak mungkin Ino adalah salah satu orang yang dapat menenangkan hatinya. Seperti saat ini contohnya; hanya mengingat ucapan gadis bersurai pirang itu, entah kenapa, perasaan was-was yang sempat melingkupi Sakura pun kini mulai memudar walaupun hanya sedikit.

Sakura terkekeh pelan seraya mengambil ponsel flip miliknya dari dalam saku jaket yang ia kenakan. Setidaknya, hal tersebut membuatnya jadi lebih tenang sekarang.

Kedua matanya menatap lurus layar bening bercahaya di dalam genggamannya kini, dua buah pesan masuk yang belum sempat ia baca. Dibukanya salah satu pesan tersebut dan dengan seksama Sakura membaca serentetan kata-kata pesan pertanyaan yang dikirimkan oleh Ibunya. Mau tak mau, hal tersebut membuat Sakura tersenyum tipis dan dengan segera ia membalas pesan tersebut.

.

.

.

Hampir setengah jam, Sakura menunggu kedatangan kereta yang hendak ia tumpangi untuk perjalanan pulang, namun tampaknya kedatangan kereta itu terlambat akibat beberapa masalah yang terjadi. Terbukti dari sebuah pengumuman yang baru saja ia dengar. Sakura menghela napas panjang. Mungkin, ini adalah hari sialnya. Benar-benar menyebalkan.

Kicauan burung gagak kembali terdengar, membuat Sakura mendongakkan kepalanya menatap langit yang sudah mulai gelap. Embusan angin kembali menerpa kulit wajah Sakura kala ia tengah memandangi gumpalan awan hitam yang juga ikut menghiasi langit malam. Sepertinya akan turun hujan—begitulah yang ia pikirkan saat ini.

Keadaan yang begitu tenang, sangat tenang. Membuat Sakura sangat menikmati keadaan seperti ini. Tentu saja ia menikmatinya—keadaan dimana ia dapat melepaskan semua penatnya, melupakan semuanya tanpa harus memikirkan hal apapun. Ya, keadaan yang benar-benar dapat menenangkan jiwa dan pikiran, namun kenikmatan tersebut hanya berlangsung sesaat karena hal tersebut terputus oleh sebuah getaran dari dalam saku jaketnya.

Dengan cepat Sakura mengambil kembali ponsel miliknya guna melihat siapakah yang mengganggu kenikmatannya saat ini dengan sebuah panggilan dari nomer yang sama sekali tidak ia kenal.

"Halo?" Suara Sakura terdengar samar akibat embusan angin musim gugur yang kini kembali menerpa tubuhnya.

Gemerisik suara terdengar begitu jelas kala Sakura mengangkat sambungan tersebut, membuatnya mengernyitkan kedua alisnya dalam. Lagi, ia kembali menyapa sang penelpon dengan Suara yang terdengar begitu samar. Namun, hanya sebuah suara deru napas yang dapat ia dengar di dalam salah satu indera pendengaranya miliknya.

"Halo?" Sakura kembali bersuara namun hanya suara gemerisik dan deru napaslah yang masih ia dengar saat itu. Hanya jeda beberapa saat sebelum sambungan di seberang sana mulai bersuara. Ya, hanya jeda beberapa saat dan hal tersebut sukses membuat kedua iris mata Sakura terbelalak lebar.

'Dimana kakiku?'Sebuah suara serak terdengar begitu bergetar, membuat Sakura reflek menutup ponsel miliknya.

Napasnya berderu cepat, keringat mengalir dari seluruh pelipis miliknya. Tubuhnya sedikit bergetar hebat. Ia tahu suara itu. Ya, Sakura sangat tahu. Dia—Reiko-san, benar-benar ingin membunuhnya. Sakura menggelengkan kepalanya sekuat tenaga guna menepis seluruh pikiran negatif yang ada. Mencoba agar untuk tetap tenang dan dapat kembali berpikir secara kritis dan realistis.

Tetap tenang.

Tetap tenang, walaupun ia tahu hal tersebut sangatlah sulit untuk sekarang ini.

'Dimanakah kakiku?'

Pertanyaan itu terus bergema di dalam telinga dan juga kepalanya. Ia harus segera pergi dari sini. Dikeluakannya kembali ponsel flip miliknya guna menghubungi Ino, sahabatnya. Namun gerakannya terhenti saat dirasanya seseorang tengah mengamatinya dari seberang tempat stasiunya berada.

Tubuhnya bergetar hebat.

Sebuah siluet hitam yang semakin lama semakin tampak jelas di dalam arah pandang Sakura, membuat tubuh Sakura semakin kaku. Seakan berada dalam dimensi lain, semua yang ada dalam sekitarnya kini tampak terlihat begitu mati. Tidak ada satu pun tanda kehidupan di sana.

"Aaa …" Ingin rasanya Sakura berteriak, namun seakan tersedot akan sesuatu, suaranya tidak dapat ia keluarkan sebagaimana semestinya.

Kakinya kaku, tubuhnya terus bergetar hebat. Sosok itu—sosok dengan helaian rambut hitam panjang yang menutupi hampir seluruh bagian wajahnya mendongak secara tiba-tiba, memperlihatkan sosok wajah pucatnya yang benar-benar mengerikan dan juga sebuah seringai yang sanggup membuat Sakura mengeluarkan air matanya tanpa berucap.

»»» oOo «««

"Mau kemana?" Sebuah pertanyaan ingin tahu yang seseorang utarakan kepada pemuda bersurai hitam itu menoleh kepada sang empunya nama. "Sasuke?" Sekali lagi, Naruto bertanya kepada pemuda bermarga Uchiha yang memang terkenal dengan kedisiplinannya.

"Bukan urusanmu." Jawaban acuh yang dilontarkan sebagai sebuah jawaban atas apa yang telah Naruto tanyakan membuat dirinya merengut kesal. Hei, apa salahnya bertanya pada teman sendiri? Bukankah itu adalah salah satu sikap bahwa kita peduli?

Naruto bersungut-sungut merutuki sikap rekan kamar sekaligus sahabatnya yang memang dirasanya benar-benar menyebalkan.

Sasuke mengeratkan jaket biru dongker yang ia gunakan sebelum ia benar-benar pergi meninggalkan Naruto. Sekilas, ia kembali melihat sebuah koran tua yang memang sengaja ia letakkan di atas meja kecil tak jauh dari tempatnya berdiri kini.

"..."

Naruto memandangnya bingung. Namun ia tidak terlalu ambil peduli dengan sikap Sasuke yang terkadang membingungkannya. Toh, ia yakin sahabatnya itu tidak akan melakukan sesuatu yang buruk atau diluar batas kewajaran sebuah peraturan. "Jangan pulang malam-malam." Naruto mencoba mengingatkan dan hanya dibalas sebuah anggukan oleh Sasuke.

.

.

.

Pantulan sinar bulan sabit yang menghiasi langit angkasa tampak begitu temaram akibat awan mendung yang terkadang menutupi. Sasuke, melaju dengan kecepatan penuh menggunakan motor sport miliknya. Menembus dinginnya angin malam yang terasa menusuk kulit. Sesekali ia menurunkan laju kecepatannya guna untuk memeriksa sesuatu.

"…"

Entah hanya perasaannya atau bukan, rasanya suasana malam ini sangat berbeda dengan malam biasanya. Sasuke memerhatikan keadaan disekitarnya dengan seksama walaupun dengan kecepatan di atas rata-rata. Ia sudah memutuskannya.

Malam ini, tepat di hari kejadian itu berlangsung. Kejadian lalu yang kini mampu membuat keadaan disekitarnya menjadi terlihat rusuh. Kejadian yang mungkin sudah dilupakan oleh aparat keamanan setempat.

Kashima Reiko.

Kasus yang sudah berlangsung lama namun memiliki legenda cerita tersendiri. Sasuke semakin mempertajam area pengelihatannya. Tidak peduli dengan dinginnya malam yang dirasanya semakin menembus kulit dan menusuk tulang. Setidaknya, untuk malam ini, ia harus bisa menemukan suatu pentunjuk yang mungkin dapat membantunya dalam menyelesaikan kasus yang dipercayakan oleh keluarganya kepadanya.

Tujuannya kali ini adalah Stasiun Meishin.

Bersambung,


Catatan penulis: Hai, long time see ya :D merinding sendiri cari refrensi ini cerita hahaha. Setelah sekian lama akhirnya bisa juga update chapter duanya. Terima kasih buat kalian yang masih mau ngikutin cerita ini. Banyak improvisasi dari cerita aslinya perihal hantu teke-teke ini. Saya harap kalian gak bosen sama alurnya yang mungkin terlalu lambat tapi juga kecepetan dalam hal pendeskripsian. Vakum nulis setahun lebih jadi kaku ya :I sedih sih but, apadaya mood naik turun. Sekali lagi terima kasih buat kalian yang baca, riview, dan ngikutin cerita ini.

See you in next chapter~